Minggu, April 05, 2009

Jusuf Kalla: Sang Arsitek Perdamaian

Hamid: Wapres (baca: JK) Arsitek Pondok Kedamaian
SUDAH empat tahun berlalu penandatanganan perdamaian Aceh di Helsinki, Finlandia. Hasil perdamaian yang diprakarsai Jusuf Kalla itu sudah dinikmati bersama.

SORE itu, Malik Mahmud dan Muzakkir Manaf duduk berhadapan di sebuah warung kopi di bilangan Boulevard, Makassar.
Mantan Perdana Menteri (PM) Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan mantan Panglima Tentara Nasional Aceh (TNA) GAM, itu sesekali menyeruput kopi yang ada di atas meja tersebut. Mereka bercerita banyak tentang perdamaian Aceh. Saya bersama Hamid Awaludin yang berada di antara mereka, merasakan persaudaraan yang tulus. "Ini bukan kunjungan luar biasa. Apalagi, ada misi khusus. Kami hanya jalan-jalan ke Makassar menikmati kondisi kota Daeng," kata Malik.

Malik beserta rombongan menyambangi Makassar Sabtu, 9 Februari 2008, memang atas undangan Mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin, penulis buku "Damai di Aceh" (Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki) ini.

Ibarat nostalgia, Hamid duduk di antara mereka setelah berhasil menjadi juru damai di Serambi Mekah. Inilah salah satu hasil nyata perdamaian itu.

Malik mengaku, sejak GAM masuk ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dia bersama beberapa aktivis GAM lainnya ingin melihat Indonesia secara dekat. Itulah salah satu dasar kunjungan kami ke Makassar.

Sebenarnya, ada hubungan mendasar antara Sulsel dan masyarakat Aceh, termasuk dari segi agama dan semangat yang ingin terus maju," kata Malik.

Kesepakatan damai antara GAM dan NKRI, lanjutnya, merupakan bentuk keinginan masyarakat Aceh untuk meraih ketenteraman dan menciptakan perdamaian. "Dan, masyarakat di Aceh menerima ini semua.

Mayoritas masyarakat Aceh menginginkan dan menyokong penuh perdamaian. Tak ada lagi perang. Kalau ada yang tidak setuju, itu hanya sebagian kecil saja," kata Malik.

Pernyataan Malik itu langsung dibenarkan Hamid Awaludin. Hamid menuturkan, bahwa pasca penandatanganan kesepakatan damai di Helsinki, dirinya sudah berjanji untuk mengundang mantan Perdana Menteri GAM itu berkunjung ke Sulsel.

"Memang saya janji untuk mengundang mereka," ujar Hamid sambil memperkenalkan bahwa di Makassar, fenomena obrolan dan diskusi di warung kopi saat itu lagi marak. "Banyak ide lahir di sini (warung kopi). Di sinilah pabrik kata-kata sesungguhnya," tambah Hamid diiringi tawa rombongan dari Aceh itu..

Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA), Ibrahim Syamsuddin menyebutkan, kunjungannya ke beberapa daerah di Indonesia dilakukan mengingat mereka sudah berada di pangkuan RI. Khusus di Sulsel, mereka tinggal beberapa hari. Mereka berkunjung ke beberapa tempat bersejarah, seperti makam Datuk Ribandang, Datuk ri Tiro, dan Tengku Fatimah.

Mereka sempat mengabadikan gambar di tempat tersebut. Ketiga Datuk asal Aceh itu sangat tenar di kalangan masyarakat Sulsel. Itu karena mereka sangat berjasa dalam menyebarkan Islam di daerah ini.

Kunjungan yang sama dilakukan setahun setelah penandatanganan MoU damai. Hamid bersama Malik, Zaini Abdullah, dan Martti Ahtisaari berkunjung ke sebuah kabupaten terpencil di Aceh. Usai acara seremoni, seorang ibu dan ayah bersama putrinya, tiba-tiba menghampiri Hamid.

Mereka memeluk Hamid erat-erat sambil menangis tersedu. "Pak Hamid, saya sudah ke luar dari lembaga pemasyarakatan setelah meringkuk di dalam lebih enam tahun. Ini putri saya yang baru saya lihat. Sudah duduk di kelas dua SD. Istri saya hamil tatkala saya ditangkap dan dibawa ke Jawa, mendekam dalam lembaga.

Sejak itu, saya tak pernah lagi melihat mereka hingga hari pembebasan saya," ujar sang ayah kepada Hamid seperti dikutip dalam bukunya.

Kedamaian seperti ini merupakan buah dari kerja cerdas, bijak, dan tulus para perunding Perdamaian RI-GAM di Helsinki yang ditandatangani pada 2005. Menurut Hamid dalam buku yang ditulis dengan gaya sastra ini, kisah pedih tentang kekerasan yang pernah terjadi di Aceh itu telah berakhir.

Bau mesiu telah lenyap dibawa angin damai. Moncong senjata tak lagi menyalak. Anak-anak Aceh kembali sekolah. Mereka hidup dan tumbuh dengan riang menyongsong masa depan yang lebih elok.

"Kepingan-kepingan sosial yang selama ini membelah dan merobek Aceh, kini kembali terajut sebagai sebuah sulaman indah.

Tak ada lagi anak jadi yatim piatu karena kekerasan. Tak ada lagi wanita jadi janda karena kekerasan. Tak ada lagi putra-putri Aceh yang berumah di hotel prodeo lantaran sikap politik yang berseberangan dengan pemerintah. Mereka telah ke luar jadi manusia bebas, penuh harkat. Aceh benar-benar jadi darussalam (pondok kedamaian).

Ini juga karena sejarah. Sejarah tentang ikhtiar anak manusia untuk menempuh cara damai dalam menyelesaikan perbedaan. Ya, di sini, sejarah tidak terjadi, tetapi dibuat dan didesain," tulis Hamid.

Lantas siapakah pendesain sejarah itu? "Arsitek sekaligus mandornya adalah Jusuf Kalla," kata Hamid.

Pada bagian-bagian awal buku yang ditulisnya, Hamid menyajikan penelusuran perdamaian di Aceh. Ia memberi judul "Bermula dari Dua Halaman" untuk menggambarkan bagaimana Jusuf Kalla mendesain perdamaian tersebut.

Hamid menuliskan bahwa desain perdamaian di Aceh sangat gampang ditelusuri. Semuanya bermula dari dua halaman kertas folio yang ditulis oleh Wapres Jusuf Kalla. Berikut ini, saya mengutip langsung sebagian kronologis sejarah yang ditulis Hamid itu.

Persis dua pekan setelah tsunami menghantam Aceh, tanggal 9 Januari 2005, Wapres mengirim memorandum resmi ke Presiden. Nomor 02/WP/1/2005. Dalam memo ini, Wapres menggambarkan Aceh pasca tsunami, termasuk kondisi pasukan GAM.

Malah, Wapres melaporkan bahwa ia telah berbicara dengan Panglima GAM, Muzakkir Manaf, dua hari sebelumnya. Muzakkir mengatakan bahwa ikhtiar damai harus melibatkan kepemimpinan GAM yang ada di Swedia.

Dalam memo ini, Wapres sudah memaparkan rencana perundingan dengan GAM melalui mediator, Mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari.

Dalam rincian memonya, Wapres mengemukakan bahwa pada tanggal 7 Januari 2005, Malik Mahmud, Zaini Abdullah dan Bachtiar Abdullah, telah bertemu Ahtisaari dan siap melakukan perundingan damai dengan pemerintah Indonesia.

Lebih lanjut, Wapres menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia tetap harus berbicara dengan GAM yang ada di lapangan sembari melakukan kontak dengan kepemimpinan GAM yang ada di Swedia.

Untuk yang kedua ini, pemerintah Indonesia harus bekerja sama baik dengan komunitas internasional agar mereka menekan kepemimpinan GAM yang ada di Swedia untuk segera memasuki perundingan damai dengan pemerintah Indonesia.

Bagi Wapres, pemerintah Indonesia harus melibatkan Swedia sebab pemeran utama GAM adalah Hasan Di Tiro, kini telah menjadi warga negara Swedia. Begitu juga dengan Zaini Abdullah dan Bachtiar Abdullah.

Libya perlu juga memperoleh perhatian sebab di sanalah para penggemar GAM memperoleh latihan militer. Sementara Singapura perlu diikutkan karena Malik Mahmud masih tercatat sebagai warga negara Singapura. Amerika dan Inggris memiliki pengaruh yang besar di dunia internasional. Oleh karena itu, perlu juga dilibatkan.

Di akhir memo, Wapres secara eksplisit sudah mengajukan usul konkret penyelesaian masalah Aceh, yakni pemerintah Indonesia menawarkan amnesti, kesejahteraan, politik, dan program pemerintah untuk membangun Nanggroe Aceh Darussalam secara keseluruhan.

Dua hari setelah memo dua halaman tersebut, Wapres kembali membuat dua halaman folio tentang bagan proses dan jadwal perundingan. Lembaran pertama adalah tawaran pemerintah kepada GAM: amnesti, solusi politik, dan kompensasi ekonomi.

Nilai tukar yang diharap dan dituntut pemeritah dari GAM: pembubaran diri dan penyerahan senjata. Wapres juga sudah memasukkan pihak ketiga sebagai pihak yang kelak memonitor hasil-hasil kesepakatan damai bila tercapai.

Hasil umum yang diharapkan dari tawar menawar dalam negosiasi damai ini adalah: semua anggota GAM terintegrasi kembali ke dalam masyarakat sehingga mereka bisa melakukan partisipasi politik dalam bentuk: ikut terlibat dan berpartisipasi dalam partai politik, mendirikan partai politik, ikut pemilihan kepala daerah, dan menjadi anggota TNI/Polri bila memenuhi persyaratan.

Dalam lembaran kedua, Wapres telah memaparkan bahwa bulan Agustus 2005, adalah bulan kesepakatan damai. Rencana yang dibuat tersebut, memang terpenuhi.

Sampai di sini, tampak kronologis yang menguatkan sehingga Hamid berani mengatakan bahwa Jusuf Kalla adalah arsitek sekaligus mandor perdamaian Aceh di Helsinki. Hamid menutup kronologis itu dengan menuliskan, "... Yang pasti, tiga kali dua halaman kertas folio, kerangka negosiasi damai dengan GAM yang dibuat JK, telah mengubah sejarah: kekerasan di Aceh dikubur, nyawa manusia diselamatkan, kohesi sosial direkatkan, dan anak-anak Aceh kembali tumbuh dengan riang menyongsong masa depan yang lebih gemilang."

Sumber berita: Sukriansyah S. Latief (Fajar: Minggu, 05-04-09)

2 komentar:

  1. saya salut ama pak jusuf kalla, dia banyak memberikan contoh positif untuk negeri ini. Selamat untuk untuk BAPAK PERDAMAIAN INDONESIA. Anda akan dikenang sebagai bapak ISLAH INDONESIA sepanjang masa.

    BalasHapus
  2. saya salut ama pak jk, dia banyak memberikan contoh positif untuk negeri ini. Selamat untuk untuk BAPAK PERDAMAIAN INDONESIA. Anda akan dikenang sebagai bapak ISLAH INDONESIA sepanjang masa.

    BalasHapus

Salam!