PENIKAHAN PALING
BERSEJARAH DALAM HIDUP KAMI
Selain Raja Mohamed VI dan Lalla Salma bertemu jodoh dan
menikah di Maroko, penulis-pun bersama suami dipertemukan Allah di negeri ini.
Bedanya pasangan besar pertama menikah dan berbahagia di negeriya sendiri,
kami hanya menumpang nikah di negeri mereka saja.
Pertemuan Ajaib di Negeri Ajaib:
Saya bertemu suamiku pada akhir January 2006, kami
dipertemukan oleh Allah melalui hamba Allah
via Yahoo Mesengger. Saat itu saya menerima tawarannya karena sedang butuh teman ngobrol, karena kebetulan kedua orang tua saya sedang berlibur ke tanah air, dan kantorku sedang libur menyambut hari raya
umat Islam Aidul Adha.
Ketika itu tidak
pernah terlintas dalam benak saya untuk mencari pendamping hidup melalui media maya
tersebut, dan sangat terkejut ketika calon suami saya menyatakan ingin
berkenalan lebih jauh denganku untuk menjalin hubungan serius kearah
pernikahan.
Terus terang saja saat itu aku menolak
mentah-mentah tawarannya. Disamping saat itu penulis baru saja patah hati. Ya... saya juga belum siap jika menikah dalam waktu
dekat apalagi hanya berkenalan melalui
media chatting seperti ini, dimana
seseorang bisa saja berbohong demi maksud-maksud tertentu. Juga apabila ingin
berbohong alangkah gampangnya bukan? Mau kirim foto bisa saja bukan foto
dirinya yang di kirimkan melainkan foto orang yang berwajah rupawan untuk
menarik perhatian.
Begitupula dengan identitas, tak sulit
untuk memalsukan nama jika ingin membuat ID
di internet. Semua yang mungkin terjadi membuatku segera ilfil alias ga’
kepingin lagi melanjutkan pembicaraan dengan orang yang belum penulis kenal tersebut. Bisa-bisa
dia seorang psikopat, demikianlah pikiran penulis waktu itu.
Segera saja penulis menyibukkan diri dengan aktivitas lain, tetapi entah kenapa kok penulis jadi merasa sedikit
bersalah dengan orang tersebut. Sempat terjadi perdebatan yang sengit antara penulis dengannya tentang maya
atau tidak, tentu saja penulis menolak semua pendapatnya dan berusaha mati-matian mempertahankan
asumsi
penulis tentang cyber love.
Ditambah lagi dengan cerita-cerita miring
yang sering penulis temukan, makin membuat penulis eneg melanjutkan
pembicaraan seputar penjajakan tersebut dan memintanya memendam ide konyolnya
untuk memperistrikan penulis, serta menganggap penulis teman saja. Setelah itu say good bye dan ga’
kontak selama berhari-hari.
Hari kedua, ketiga... Kok
tiba-tiba penulis ingat dengan dia yang
sedang menunaikan ibadah haji Tahun itu. Ada sedikit keinginan yang tersirat
untuk meminta maaf atas kesinisan yang penulis lontarkan kepadanya. Computer di rumah penulis bervirus so
penulis berinisiatif untuk men-scan saja tapi kok lama banget dan karena
kecapekan penulis-pun tinggal tidur.
Pada pukul 2:30 pm penulis terbangun karena
kedinginan, coba cek terperatur ternyata sampai 9° C pantesan kok selimut satu
ga cukup. Karena sudah terlanjur bangun penulis
liat lagi computer yang sedari tadi di scan. Eh, ternyata ada
approval as a friend yang pending waktu itu dah ok so aku tinggal klik
finish dan bersiap-siap tidur lagi.
Ternyata langsung di balas, dia say hello
gitu. Yah karena kesempatan ga’ datang dua kali penulis
mamfaatkan saja untuk meminta maaf. Untung dia ga marah, eh malah kami keterusan
chatting sampai pagi dan berenti setelah dia yang bekerja di kantor haji ingin
berangkat kerja.
Di sela-sela itulah penulis menemukan keseriusannya
taaruf dan setuju untuk berkenalan lebih jauh. Penulis pikir tidak ada salahnya
mencoba, hitung-hitung tambah teman dan pengalaman. Setelah pembicaraan yang
seru tersebut akhirnya sambil tanya-tanya siapa dirinya penulis menemukan salah satu
ganjalan yang amat serius yang serta merta membuat penulis berpikir dua kali untuk
melanjutkan hubungan yang lebih serius.
Penulis mengemukakan
keberatan itu dan dianya setuju dan tidak ingin memaksaku setelah sebelumnya
berjanji akan mencoba datang ke negara yang penulis domisili.
Kebetulan salah satu tempat transit pesawat
yang akan membawanya ke Maroko adalah Qatar tempat penulis bermukim bersama orang
tua. Dengan memamfaatkan 8 jam tersebut dia berjanji mau bertemu face to face yang lazim
disebut kopdar.
Terus terang saja aku merasa senang tapi
sekaligus bingung bagaimana seharusnya bersikap. Dengan dirundung kebingungan
akhirnya penulis mencoba mengadukan
masalah ini ke
Sang Maha Pencipta. Entah kenapa sehabis sholat penulis
membuka al-Qur’an
secara acak serta membacanya dan melihat tafsirnya, sepertinya Allah mencoba
memberikan jawaban atas kebimbangan tersebut.
Penulis mencoba kirim SMS
kepadanya just to say hello dan mengklarifikasi apa yang penulis katakan kepadanya. Selang
beberapa menit dia langsung menelfon. Penulis
bisa merasakan bahwa dia tidak mempersoalkan apalagi mengambil
hati apa yang aku khawatirkan. Dia mencoba meyakinkanku apa yang kita lakukan
ini baik selama niat kita juga baik.
Mulailah hari-hari
kami di isi dengan penjajakan yang lebih jauh via YM tersebut, tapi jangan coba
bayangkan kami saling tukar foto atau memamfaatkan fasilitas web cam yang
tersedia apalagi menggunakan headphone. Kami baru bertukar foto ketika beberapa
hari sebelum dia menelfon ayahku untuk melamar aku.
Sempat penulis lagi-lagi merasa kebingungan bagaimana cara menyampaikan
perihal ini sebab yang aku tau ayah itu paling ga suka yang namanya media
chatting (buang-buang waktu katanya). Aku mencoba SMS ke ibu sembari berjalan pulang dari kantorku di
malam hari. Waktu itu langsung dibalas ibu dengan kata-kata pendek menanyakan
“suku apa dia?” Penulis jawab apa
adanya dan langsung dibalas lagi “keputusannya tunggu kami pulang”.
Pada saat itu ayah dan ibu berencana pulang
pada akhir bulan february. Waktu
yang tersisa sambil menunggu kepulangan ayah dan ibu aku mamfaatkan untuk
bersih-bersih rumah sembari tetap bekerja dan sesekali kami saling contact.
Jujur pada waktu itu
apabila hubungan kami tak direstui oleh ayah dan ibu, aku tidak akan terlalu
mempersoalkan dan berusaha mempertahankan pilihanku, “jika diterima yah memang
jodoh dan jika tidak berati yah apa boleh buat” mungkin itulah yang membuatku
enteng saja segera memberikan nomor telfon ayah yang lagi di Indonesia kepada
dia yang ingin berkenalan dengan orang tuaku.
Ketika itu tak
terbayangkan orang tuaku langsung mengiyakan lamarannya terbukti dini hari
pukul 3:00 waktu Qatar aku di kabari oleh dia bahwasannya dia sudah di terima
oleh orang tuaku setelah hanya selang sepersekian menit lalunya dia berbicara
dengan orang tuaku. Esoknya ayah langsung menelfonku dan mengatakan
kepulangannya yang di percepat yaitu awal bulan February tepatnya tanggal 4
february 2006.
Selama menunggu
orangtuaku pulang akupun mencari-cari info tentang menikah di Qatar sebab tak
mungkin bagi kami untuk menyelanggarakan pernikahan di tanah air sebab waktu
cuti ayah yang telah habis tahun itu ditambah lagi dia yang izin berada di
tanah sucinya hampir habis. Segala
cara kami tempuh untuk mendapatkan visa sementara untuk calon suamiku itu tapi
semuanya nihil.
Coba ambil visa turis ditolak sampai visa
business juga tidak berhasil. Sempat terlintas keinginan untuk menikah di depan
Ka’bah tetapi karena baru saja selesai haji hal itu tidak mungkin, belum lagi
masalah visa bagi aku. Sempat tercetus ide gendheng calon suamiku, “bagaimana
kalau kita menikah di bandara saja” ide yang langsung di tolak mentah-mentah
olehku dan keluargaku “memangnya bandara itu punya nenek moyangnya?”.
Penulis sempat berpikir apakah hubungan kami tidak
di ridhoi oleh Allah. Di setiap sujudku hanya satu yang aku pinta, yaitu jika
kami masih berjodoh pertemukanlah dan jika tidak jauhkanlah. Aku juga heran
melihat semangat ayah yang tetap keukeuh meneruskan usahanya agar kami menikah,
padahal melihat saja belum pernah. Ibuku menggodaku. Waktu itu juga, katanya “jangan-jangan kakinya panjang
sebelah”....
Pekerjaan ayah sangat
banyak, setiap hari ayah selalu pulang pagi karena shif malam dan siangnya
langsung ke KBRI Doha yang jarak tempuhnya sejam dengan kecepatan yang full. Kami memang tinggal jauh dari ibukota,
tepatnya di Al Khor.
Menikah di Maroko:
Akhirnya di carilah win-win solution, kami
tetap menikah tetapi akulah yang akan ke negara tempat dia tinggal atau Maroko.
Kata ayah hitung-hitung jalan-jalan sambil liat bagaimana tempat tinggal
anaknya. Pada akhir February calon suamiku melakukan perjalanan pulangnya ke
negara tempat dia bermukim dan kami merencanakan bertemu di airport Qatar
tempatnya aka transit nanti selama 8 jam.
Jam 8:00 pm penulis di jemput ayah untuk ke airport tapi apa
yang terjadi sungguh di luar dugaan. Jangankan jalan-jalan bersama, sekedar
bertatap muka saja kami tidak di bolehkan petugas bandara serta imigrasi. Pihak
kami dan dia telah memohon tetapi tidak di kabulkan.
Sempat tercetus ide bertemu karena ingin
menyampaikan dokumen penting tetapi kata polisi bandara itu “if you want to
give it by yourself I can’t give you permition but I can give to the another
person in charge of it”. Kataku lagi “but sir it’s an important document and I
want to give it personally”. Dan
dia menjawab “listen not only you can’t go there even I can’t go there”.
Akhirnya kami hanya bertelefon ria saja
selama disana, hujan
rintik-rintik menyertai keberangkatannya ke Maroko malam itu.
Setelah pertemuan kami yang gagal total
itu, Penulis masih di hadapkan oleh masalah pekerjaan, Bos Penulis yang
wanita berkebangsaan Mesir itu berkata “Arita, why you never tell me before?
It’s a must to tell to the office two or one month before you want to resign So
we can seek another person to replace your position”, langsung Penulis jawab “ listen Mrs. Dalia, how can I
tell you one or two month before even I know him not yet one month!” dia
berkata “are you sure Arita? Ok but I just want to say that you will
remember the time you work here and then you will regret your decition and someday you want to come back
here again” (ok, okey
sekarang jadi pengen balik lagi ).
Langsung Penulis di sibukan dengan mengatur dokumen, lagi
memberi tahu kepada asisten yang lainnya serta mentraining calon asisten yang
akan menggantikan Penulis.
Semua teman-teman Penulis terkejut dengan berita pernikahan itu. Ibuku menyiapkan perpisahan ala kadarnya
bagi ibu-ibu sekitar kompleks aku tinggal dan juga teman-temanku. Bosku yang
bernama Dalia tersebut tak kalah sibuk, dia juga mempersiapkan perpisahan di
sebuah club di area kompleks kami dan aku boleh mengundang siapa saja
teman-temanku.
Waktuku habis dengan urusan tersebut bahkan
mengepak pakaianpun aku lakukan dibantu ibu dan teman ibuku pada malam sebelum
keberangkatanku. Adik laki-lakiku yang bernama Dicky tidak bisa ikut ke pestaku
di Maroko karena dia sudah cuti sekolah tiga bulan lamanya mengikuti ibuku
sebelumnya. Abang dan adikku yang lainya juga tidak bisa pergi.
Mulailah pencarian tiket ke Maroko dan
Alhamdulillah masalah yang satu ini di permudah. Begitu juga ayah, dia mendapat
cuti emergency selama seminggu. Kami membooking tiket yang bertanggal 2 bulan
Maret pukul 1:00 am dini hari. Tak pernah terpikirkan olehku seperti apa dan
bagaimana persiapan pernikahan kami yang sedianya di persiapkan oleh calon
suamiku di Maroko sana.
Penulis hanya sempat
membeli beberapa keperluan yang urgen saja selama di Qatar karena waktu kami di
habiskan dengan urusan visa dan tetek bengek persiapan dokumen pernikahan.
Perjalanan yang
berdurasi 8 jam itu dari Qatar kemudian transit ke Libya baru kemudian langsung
ke Maroko itu kujalani dengan santai dan tenang. Di sampingku duduk dua orang
pria berkebangsaan India yang hendak berlibur ke Maroko karena kebetulan aku
berada pada kursi yang mempunyai tiga dudukan di tengah pesawat. Kursi sandaran pesawatku yang ga’ bisa di
mundurkan tidak juga membuat aku resah, yang ada aku tertidur nyenyak sepanjang
perjalanan.
Akhirnya setelah sempat delay 2 jam, pada
pukul 10:00 am kami menginjakkan kaki ke bumi Ibnu Batuta tersebut. Dari jauh Penulis melihat calon suami beserta dua orang
temannya menjemput. Penulis heran ga’ ada
perasaan deg-degan seperti yang selama ini Penulis alami
jika pertama kali bertemu dengan orang baru.
Sepertinya kami sudah
lama sekali bertemu dan sudah akrab padahal itulah kali pertama kami bertemu
muka. Dengan orangtua Penulis juga dia langsung akrab bahkan dia langsung
mengendong adikku yang bungsu. Sedianya
akad nikah di langsungkan pada malam harinya pada jam 19:00 waktu setempat.
Maka perjalanan satu jam dari airport Muhammad V Casablanca tersebut berjalan
mulus sampai ke ibukota negara tersebut yang bernama Rabat.
Pada jam 11:00 am sampailah kami ke rumah
yang di sewa calon suamiku. Rumah tersebut tepat berada diatas rumah sekaligus
sekretariat PPI (persatuan pelajar Indonesia). Rumah tersebut beralamat di
Yacoub Mansour, Kamra, Rabat.
Segala persiapan
penikahan baik itu masak-masak dan dekorasi di lakukan di sekretariat PPI
dengan koki-koki dan tenaga artistik yang langsung didatangkan dari tanah air
tercinta alias pelajar yang berkuliah di Maroko tersebut, di bawah koordinasi
DR. Nasrullah Jasam, sebagai ketua Panitia.
Sebagian besar dari
mereka adalah para pria yang bersekolah baik itu di perguruan tinggi di ibukota
Rabat, Fes’, Meknes, Tetouan, Marrakesh, ataupun Kenitra. Mereka semua berjumlah tak lebih dari 60
orang saja. Memang populasi warga negara Indonesia yang bermukim di Maroko
relative sedikit.
Selain
mahasiswa, hanya ada lima diplomat serta 1 DUBES: Bapak Syahwin Adenan. Mereka para diplomat tersebut
masing-masing menempati
posisi: politik yaitu oleh Bapak Andy Dirgahayu Yudyachandra, perdagangan dan
ekonomi: Bapak Aznur Syamsu, Pensosbud: Bapak Rully F. Sukarno, Komunikasi dan
keamanan: Alm. Djuman Farid, TU dan perlengkapan: Ibu Sriyana.
Pernikahan sederhana kami terjadi pada
tanggal 2 - 3 – 2006 di Rabat ibukota Maroko yang berada pada benua Afrika
sebelah utara atau yang terkenal dengan sebutan Al Magribi. Saat itu pada jam 19:00
waktu setempat suamiku mengucapkan akad pernikahan kami dengan wali nikah
Ayahku sendiri beserta dua orang saksi nikah yaitu sdr. Muqni Affan yang juga
adalah sahabat suamiku dan Alm. Bapak Djuman Farid (lapangkanlah kuburnya,
amin). Penghulu dari KBRI adalah bapak Mas’ud Thahir.
Alhamdulillah akad
nikah kami berjalan dengan lancar ditengah-tengah serangan jet lag yang aku
alami karena perbedaan waktu Qatar dan Maroko adalah 4 jam jadi ketika acara
pernikahan berlangsung adalah waktu tidurku. Jadilah selama acara berlangsung aku hanya
tunduk saja menahan kantuk yang menyerang disamping malu karena jadi pusat
perhatian.
Akhirnya acara pernikahan ditutup pada
pukul 11:00 pm. Acara besok di lanjut dengan jalan-jalan ke kota-kota Maroko
yang meliputi Rabat, Casablanca, Tanger dan Tetouan dan setelah seminggu berada
di Maroko akhirnya Ayah dan ibu beserta adikku yang bungsu meninggalkan kami ke
Qatar. Maka lembaran-lembaran kehidupan baru kami sebagai sepasang suami istri
yang jauh dirantau dimana juga di sibukkan dengan proses perkenalan segera
dimulai.
Banyak yang Penulis alami,
suka dan duka dalam mengarungi bahtera pernikahan kami yang hampir menginjak
tahun keempat (sebelum meninggalakan Maroko, April 2010), dan Alhamdulillah dia
seperti yang aku perkirakan dulu dan yang selalu ada di dalam doaku… Benar-benar
negeri ajaib Maroko ini telah mempertemukan kami secara ajaib....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam!