Jumat, Desember 18, 2009

PERNIKAHAN AKBAR ABAD KE - XXI


PENIKAHAN PALING BERSEJARAH DALAM HIDUP KAMI
Selain Raja Mohamed VI dan Lalla Salma bertemu jodoh dan menikah di Maroko, penulis-pun bersama suami dipertemukan Allah di negeri ini. Bedanya pasangan besar pertama menikah dan berbahagia di negeriya sendiri, kami hanya menumpang nikah di negeri mereka saja.

Pertemuan Ajaib di Negeri Ajaib:
Saya bertemu suamiku pada akhir January 2006, kami dipertemukan oleh Allah melalui hamba Allah via Yahoo Mesengger. Saat itu saya menerima tawarannya karena sedang butuh teman ngobrol, karena kebetulan kedua orang tua saya sedang berlibur ke tanah air, dan kantorku sedang libur menyambut hari raya umat Islam Aidul Adha.  

Ketika itu tidak pernah terlintas dalam benak saya untuk mencari pendamping hidup melalui media maya tersebut, dan sangat terkejut ketika calon suami saya menyatakan ingin berkenalan lebih jauh denganku untuk menjalin hubungan serius kearah pernikahan. 

Terus terang saja saat itu aku menolak mentah-mentah tawarannya. Disamping saat itu penulis baru saja patah hati. Ya... saya juga belum siap jika menikah dalam waktu dekat apalagi hanya berkenalan melalui media chatting seperti ini, dimana seseorang bisa saja berbohong demi maksud-maksud tertentu. Juga apabila ingin berbohong alangkah gampangnya bukan? Mau kirim foto bisa saja bukan foto dirinya yang di kirimkan melainkan foto orang yang berwajah rupawan untuk menarik perhatian.  

Begitupula dengan identitas, tak sulit untuk memalsukan nama jika ingin membuat ID di internet. Semua yang mungkin terjadi membuatku segera ilfil alias ga’ kepingin lagi melanjutkan pembicaraan dengan orang yang belum penulis kenal tersebut. Bisa-bisa dia seorang psikopat, demikianlah pikiran penulis waktu itu
 
Segera saja penulis menyibukkan diri dengan aktivitas lain, tetapi entah kenapa kok penulis jadi merasa sedikit bersalah dengan orang tersebut. Sempat terjadi perdebatan yang sengit antara penulis dengannya tentang maya atau tidak, tentu saja penulis menolak semua pendapatnya dan berusaha mati-matian mempertahankan asumsi penulis tentang cyber love
 
Ditambah lagi dengan cerita-cerita miring yang sering penulis temukan, makin membuat penulis eneg melanjutkan pembicaraan seputar penjajakan tersebut dan memintanya memendam ide konyolnya untuk memperistrikan penulis, serta menganggap penulis teman saja. Setelah itu say good bye dan ga’ kontak selama berhari-hari. 
 
Hari kedua, ketiga... Kok tiba-tiba penulis ingat dengan dia yang sedang menunaikan ibadah haji Tahun itu. Ada sedikit keinginan yang tersirat untuk meminta maaf atas kesinisan yang penulis lontarkan kepadanya. Computer di rumah penulis bervirus so penulis berinisiatif untuk men-scan saja tapi kok lama banget dan karena kecapekan penulis-pun tinggal tidur.  

Pada pukul 2:30 pm penulis terbangun karena kedinginan, coba cek terperatur ternyata sampai 9° C pantesan kok selimut satu ga cukup. Karena sudah terlanjur bangun penulis liat lagi computer yang sedari tadi di scan. Eh, ternyata ada approval as a friend yang pending waktu itu dah ok so aku tinggal klik finish dan bersiap-siap tidur lagi.  

Ternyata langsung di balas, dia say hello gitu. Yah karena kesempatan ga’ datang dua kali penulis mamfaatkan saja untuk meminta maaf. Untung dia ga marah, eh malah kami keterusan chatting sampai pagi dan berenti setelah dia yang bekerja di kantor haji ingin berangkat kerja.  

Di sela-sela itulah penulis menemukan keseriusannya taaruf dan setuju untuk berkenalan lebih jauh. Penulis pikir tidak ada salahnya mencoba, hitung-hitung tambah teman dan pengalaman. Setelah pembicaraan yang seru tersebut akhirnya sambil tanya-tanya siapa dirinya penulis menemukan salah satu ganjalan yang amat serius yang serta merta membuat penulis berpikir dua kali untuk melanjutkan hubungan yang lebih serius.  

Penulis mengemukakan keberatan itu dan dianya setuju dan tidak ingin memaksaku setelah sebelumnya berjanji akan mencoba datang ke negara yang penulis domisili. 

Kebetulan salah satu tempat transit pesawat yang akan membawanya ke Maroko adalah Qatar tempat penulis bermukim bersama orang tua. Dengan memamfaatkan 8 jam tersebut dia berjanji mau bertemu face to face yang lazim disebut kopdar.  

Terus terang saja aku merasa senang tapi sekaligus bingung bagaimana seharusnya bersikap. Dengan dirundung kebingungan akhirnya penulis mencoba mengadukan masalah ini ke Sang Maha Pencipta. Entah kenapa sehabis sholat penulis membuka al-Qur’an secara acak serta membacanya dan melihat tafsirnya, sepertinya Allah mencoba memberikan jawaban atas kebimbangan tersebut.   

Penulis mencoba kirim SMS kepadanya just to say hello dan mengklarifikasi apa yang penulis katakan kepadanya. Selang beberapa menit dia langsung menelfon. Penulis bisa merasakan bahwa dia tidak mempersoalkan apalagi mengambil hati apa yang aku khawatirkan. Dia mencoba meyakinkanku apa yang kita lakukan ini baik selama niat kita juga baik.  

Mulailah hari-hari kami di isi dengan penjajakan yang lebih jauh via YM tersebut, tapi jangan coba bayangkan kami saling tukar foto atau memamfaatkan fasilitas web cam yang tersedia apalagi menggunakan headphone. Kami baru bertukar foto ketika beberapa hari sebelum dia menelfon ayahku untuk melamar aku.
Sempat penulis lagi-lagi merasa kebingungan bagaimana cara menyampaikan perihal ini sebab yang aku tau ayah itu paling ga suka yang namanya media chatting (buang-buang waktu katanya). Aku mencoba SMS ke ibu sembari berjalan pulang dari kantorku di malam hari. Waktu itu langsung dibalas ibu dengan kata-kata pendek menanyakan “suku apa dia?” Penulis jawab apa adanya dan langsung dibalas lagi “keputusannya tunggu kami pulang”.  
Pada saat itu ayah dan ibu berencana pulang pada akhir bulan february. Waktu yang tersisa sambil menunggu kepulangan ayah dan ibu aku mamfaatkan untuk bersih-bersih rumah sembari tetap bekerja dan sesekali kami saling contact.  

Jujur pada waktu itu apabila hubungan kami tak direstui oleh ayah dan ibu, aku tidak akan terlalu mempersoalkan dan berusaha mempertahankan pilihanku, “jika diterima yah memang jodoh dan jika tidak berati yah apa boleh buat” mungkin itulah yang membuatku enteng saja segera memberikan nomor telfon ayah yang lagi di Indonesia kepada dia yang ingin berkenalan dengan orang tuaku. 

Ketika itu tak terbayangkan orang tuaku langsung mengiyakan lamarannya terbukti dini hari pukul 3:00 waktu Qatar aku di kabari oleh dia bahwasannya dia sudah di terima oleh orang tuaku setelah hanya selang sepersekian menit lalunya dia berbicara dengan orang tuaku. Esoknya ayah langsung menelfonku dan mengatakan kepulangannya yang di percepat yaitu awal bulan February tepatnya tanggal 4 february 2006. 

Selama menunggu orangtuaku pulang akupun mencari-cari info tentang menikah di Qatar sebab tak mungkin bagi kami untuk menyelanggarakan pernikahan di tanah air sebab waktu cuti ayah yang telah habis tahun itu ditambah lagi dia yang izin berada di tanah sucinya hampir habis. Segala cara kami tempuh untuk mendapatkan visa sementara untuk calon suamiku itu tapi semuanya nihil.  

Coba ambil visa turis ditolak sampai visa business juga tidak berhasil. Sempat terlintas keinginan untuk menikah di depan Ka’bah tetapi karena baru saja selesai haji hal itu tidak mungkin, belum lagi masalah visa bagi aku. Sempat tercetus ide gendheng calon suamiku, “bagaimana kalau kita menikah di bandara saja” ide yang langsung di tolak mentah-mentah olehku dan keluargaku “memangnya bandara itu punya nenek moyangnya?”.  

Penulis sempat berpikir apakah hubungan kami tidak di ridhoi oleh Allah. Di setiap sujudku hanya satu yang aku pinta, yaitu jika kami masih berjodoh pertemukanlah dan jika tidak jauhkanlah. Aku juga heran melihat semangat ayah yang tetap keukeuh meneruskan usahanya agar kami menikah, padahal melihat saja belum pernah. Ibuku menggodaku. Waktu itu juga, katanya “jangan-jangan kakinya panjang sebelah”....   

Pekerjaan ayah sangat banyak, setiap hari ayah selalu pulang pagi karena shif malam dan siangnya langsung ke KBRI Doha yang jarak tempuhnya sejam dengan kecepatan yang full. Kami memang tinggal jauh dari ibukota, tepatnya di Al Khor.  

Menikah di Maroko:
Akhirnya di carilah win-win solution, kami tetap menikah tetapi akulah yang akan ke negara tempat dia tinggal atau Maroko. Kata ayah hitung-hitung jalan-jalan sambil liat bagaimana tempat tinggal anaknya. Pada akhir February calon suamiku melakukan perjalanan pulangnya ke negara tempat dia bermukim dan kami merencanakan bertemu di airport Qatar tempatnya aka transit nanti selama 8 jam.  

Jam 8:00 pm penulis di jemput ayah untuk ke airport tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Jangankan jalan-jalan bersama, sekedar bertatap muka saja kami tidak di bolehkan petugas bandara serta imigrasi. Pihak kami dan dia telah memohon tetapi tidak di kabulkan.  

Sempat tercetus ide bertemu karena ingin menyampaikan dokumen penting tetapi kata polisi bandara itu “if you want to give it by yourself I can’t give you permition but I can give to the another person in charge of it”. Kataku lagi “but sir it’s an important document and I want to give it personally”. Dan dia menjawab “listen not only you can’t go there even I can’t go there”. Akhirnya kami hanya bertelefon ria saja selama disana, hujan rintik-rintik menyertai keberangkatannya ke Maroko malam itu.
Setelah pertemuan kami yang gagal total itu, Penulis masih di hadapkan oleh masalah pekerjaan, Bos Penulis yang wanita berkebangsaan Mesir itu berkata “Arita, why you never tell me before? It’s a must to tell to the office two or one month before you want to resign So we can seek another person to replace your position, langsung Penulis jawab “ listen Mrs. Dalia, how can I tell you one or two month before even I know him not yet one month!” dia berkata “are you sure Arita? Ok but I just want to say that you will remember the time you work here and then you will regret your decition and someday you want to come back here again” (ok, okey sekarang jadi pengen balik lagi ).  

Langsung Penulis di sibukan dengan mengatur dokumen, lagi memberi tahu kepada asisten yang lainnya serta mentraining calon asisten yang akan menggantikan Penulis
 
Semua teman-teman Penulis terkejut dengan berita pernikahan itu. Ibuku menyiapkan perpisahan ala kadarnya bagi ibu-ibu sekitar kompleks aku tinggal dan juga teman-temanku. Bosku yang bernama Dalia tersebut tak kalah sibuk, dia juga mempersiapkan perpisahan di sebuah club di area kompleks kami dan aku boleh mengundang siapa saja teman-temanku.  
Waktuku habis dengan urusan tersebut bahkan mengepak pakaianpun aku lakukan dibantu ibu dan teman ibuku pada malam sebelum keberangkatanku. Adik laki-lakiku yang bernama Dicky tidak bisa ikut ke pestaku di Maroko karena dia sudah cuti sekolah tiga bulan lamanya mengikuti ibuku sebelumnya. Abang dan adikku yang lainya juga tidak bisa pergi. 
 
Mulailah pencarian tiket ke Maroko dan Alhamdulillah masalah yang satu ini di permudah. Begitu juga ayah, dia mendapat cuti emergency selama seminggu. Kami membooking tiket yang bertanggal 2 bulan Maret pukul 1:00 am dini hari. Tak pernah terpikirkan olehku seperti apa dan bagaimana persiapan pernikahan kami yang sedianya di persiapkan oleh calon suamiku di Maroko sana.  

Penulis hanya sempat membeli beberapa keperluan yang urgen saja selama di Qatar karena waktu kami di habiskan dengan urusan visa dan tetek bengek persiapan dokumen pernikahan.  

Perjalanan yang berdurasi 8 jam itu dari Qatar kemudian transit ke Libya baru kemudian langsung ke Maroko itu kujalani dengan santai dan tenang. Di sampingku duduk dua orang pria berkebangsaan India yang hendak berlibur ke Maroko karena kebetulan aku berada pada kursi yang mempunyai tiga dudukan di tengah pesawat. Kursi sandaran pesawatku yang ga’ bisa di mundurkan tidak juga membuat aku resah, yang ada aku tertidur nyenyak sepanjang perjalanan.  

Akhirnya setelah sempat delay 2 jam, pada pukul 10:00 am kami menginjakkan kaki ke bumi Ibnu Batuta tersebut. Dari jauh Penulis melihat calon suami beserta dua orang temannya menjemput. Penulis heran ga’ ada perasaan deg-degan seperti yang selama ini Penulis alami jika pertama kali bertemu dengan orang baru.  

Sepertinya kami sudah lama sekali bertemu dan sudah akrab padahal itulah kali pertama kami bertemu muka. Dengan orangtua Penulis juga dia langsung akrab bahkan dia langsung mengendong adikku yang bungsu. Sedianya akad nikah di langsungkan pada malam harinya pada jam 19:00 waktu setempat. Maka perjalanan satu jam dari airport Muhammad V Casablanca tersebut berjalan mulus sampai ke ibukota negara tersebut yang bernama Rabat. 
 
Pada jam 11:00 am sampailah kami ke rumah yang di sewa calon suamiku. Rumah tersebut tepat berada diatas rumah sekaligus sekretariat PPI (persatuan pelajar Indonesia). Rumah tersebut beralamat di Yacoub Mansour, Kamra, Rabat.  

Segala persiapan penikahan baik itu masak-masak dan dekorasi di lakukan di sekretariat PPI dengan koki-koki dan tenaga artistik yang langsung didatangkan dari tanah air tercinta alias pelajar yang berkuliah di Maroko tersebut, di bawah koordinasi DR. Nasrullah Jasam, sebagai ketua Panitia.  

Sebagian besar dari mereka adalah para pria yang bersekolah baik itu di perguruan tinggi di ibukota Rabat, Fes’, Meknes, Tetouan, Marrakesh, ataupun Kenitra. Mereka semua berjumlah tak lebih dari 60 orang saja. Memang populasi warga negara Indonesia yang bermukim di Maroko relative sedikit.  

Selain mahasiswa, hanya ada lima diplomat serta 1 DUBES: Bapak Syahwin Adenan. Mereka para diplomat tersebut masing-masing menempati posisi: politik yaitu oleh Bapak Andy Dirgahayu Yudyachandra, perdagangan dan ekonomi: Bapak Aznur Syamsu, Pensosbud: Bapak Rully F. Sukarno, Komunikasi dan keamanan: Alm. Djuman Farid, TU dan perlengkapan: Ibu Sriyana. 
 
Pernikahan sederhana kami terjadi pada tanggal 2 - 3 – 2006 di Rabat ibukota Maroko yang berada pada benua Afrika sebelah utara atau yang terkenal dengan sebutan Al Magribi. Saat itu pada jam 19:00 waktu setempat suamiku mengucapkan akad pernikahan kami dengan wali nikah Ayahku sendiri beserta dua orang saksi nikah yaitu sdr. Muqni Affan yang juga adalah sahabat suamiku dan Alm. Bapak Djuman Farid (lapangkanlah kuburnya, amin). Penghulu dari KBRI adalah bapak Mas’ud Thahir.  

Alhamdulillah akad nikah kami berjalan dengan lancar ditengah-tengah serangan jet lag yang aku alami karena perbedaan waktu Qatar dan Maroko adalah 4 jam jadi ketika acara pernikahan berlangsung adalah waktu tidurku. Jadilah selama acara berlangsung aku hanya tunduk saja menahan kantuk yang menyerang disamping malu karena jadi pusat perhatian. 
 
Akhirnya acara pernikahan ditutup pada pukul 11:00 pm. Acara besok di lanjut dengan jalan-jalan ke kota-kota Maroko yang meliputi Rabat, Casablanca, Tanger dan Tetouan dan setelah seminggu berada di Maroko akhirnya Ayah dan ibu beserta adikku yang bungsu meninggalkan kami ke Qatar. Maka lembaran-lembaran kehidupan baru kami sebagai sepasang suami istri yang jauh dirantau dimana juga di sibukkan dengan proses perkenalan segera dimulai. 
 
Banyak yang Penulis alami, suka dan duka dalam mengarungi bahtera pernikahan kami yang hampir menginjak tahun keempat (sebelum meninggalakan Maroko, April 2010), dan Alhamdulillah dia seperti yang aku perkirakan dulu dan yang selalu ada di dalam doaku… Benar-benar negeri ajaib Maroko ini telah mempertemukan kami secara ajaib....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!