MENGENANG 534 RUNTUHNYA
GRENADA
Oleh: Med HATTA
Setiap tanggal 21 Muharram kita diingatkan nasib bangsa
Moreski, berarti juga mengenang terusirnya kaum muslimin dari Spanyol secara
paksa. Ahli sejarah yang menulis peristiwa nahas ini pasti akan terfokus pada
seorang tokoh monumental disebut Abu Abdellah Alahmar Assaghir, raja
Grenada yang paling buntut dari penguasa-penguasa yang pernah memerintah
Andalusia sekitar 8 abad lamanya. Dalam literatur Spanyol tokoh ini dituliskan
sebagai raja terakhir dari Dinasti Nassiriyinne, atau sering dipanggil
juga Buabdil.
Berbagai sumber meriwayatkan bahwa dia terguling dari tahtanya dan memilih mengasingkan diri ke sebuah daratan tinggi Arraihan yang menatap ke kota Saliba berharap bisa menyeberang ke kota Fez dibawah perlindungan penguasa Mariniyinne kala itu. Merataplah dia di sana menangisi kejayaan masa lalunya yang telah hilang, dan daratan tinggi tersebut telah diabadikan sebagai «jejak terakhir Arab» di bumi Andalusia sampai sekarang.
Kisah Abu Abdellah Assaghir merupakan tokoh yang diselimuti banyak misteri, sebagian kalangan menganggapnya tidak lebih hanya mitos belaka, fiktif tidak pernah ada dalam dunia nyata. Sebagian lagi menganggapnya sebagai kesaktria yang telah berjuang mempertahankan negerinya, kekalahan yang dialami menghadapi tentara salib yang sangat besar adalah wajar. Ada juga menganggapnya sebagai pengkhinat menyerahkan kunci kota Grenada kepada raja-raja Katolik dengan suka rela dan tanpa syarat, padahal sebagai raja semestinya berjuang mempertahankan negerinya sampai tetes darah penghabisan. Dan ada pula menjadikannya simbol tokoh yang sial, atau tokoh yang terlahir dengan kutukan. Yang terakhir ini rupanya lebih lengket dengan kepribadiannya dari sifat-sifat yang lain.
Pada akhir hayatnya tokoh ini di gelari dengan sebutan
«Azzaghbi» atau Azzaghabi, yang oleh orang Spanyol
diterjemahkan sebagai tokoh yang sial. Bangsa Maroko yang mengalami masa-masa
awal ekspedisi bangsa Andalusia sangat terpengaruh dengan kisah-kisah yang
menyertai kedatangan mereka dari laut Zaqqaq tentang runtuhnya Grenada dan kisah
Ibn Alahmar. Oleh karenanya kalimat Azzaghbi masuk dalam kamus
ungkapan sehari-hari yang berarti orang sial, mungkin juga kalimat ini telah
mengalami serapan atau pelesetan. Di dalam kamus bahasa arab kalimat
«zaghabun - azzaghabu», artinya: bulu-bulu kuning
yang terdapat pada sayap ayam, atau dikatakan juga bulu-bulu halus pada ayam,
atau bulu-bulu kecil yang tidak mengalami pertumbuhan dan panjang.
Azzaghbu: adalah bulu-bulu halus berada di atas sayap ayam, atau
juga azzaghbu, adalah rambut-rambut muda yang pertama muncul pada
bayi atau bulu-bulu anak ayam.
Besar kemungkinan gelar Azzaghbi yang disandangkan ke tokoh Abu Abdellah Alahmar ini, karena dia naik tahta ketika Andalusia mengalami masa-masa kritis dalam sejarahnya, pada usia 23 tahun dan Grenada jatuh 10 tahun kemudian, yaitu usianya kala itu baru menginjak 33 tahun. Dia seharusnya bertindak bijaksana dan kuat dalam menata pemerintahan di masa yang paling kritis di alami umat islam di Eropa. Tetapi dia minim pengalaman dan masih sangat muda. Orang Spanyol menggelarinya «el Chiko» atau Si anak kecil...
Sebuah ungkapan populer diyakini oleh ahli sejarah ditujukan kepada Abu Abdellah Assaghir bahwa: Adalah Aicha Al Hurra ibunda Abu Abdellah Assaghir mengungkapkannya ketika mendapatkan anandanya menangis menatap Grenada: «Tangisilah singgasanamu seperti perempuan yang cengeng, tidak bisa mempertahankannya seperti laki-laki perkasa». Tetapi keberadaan kisah ini disangkal oleh seorang penulis Spanyol dan mengatakan hanya sebuah khayalan belaka.
Senada dengan itu Leonardo Viena dalam bukunya «Azzafratul akhirah li Malik Abi Abdellah», mengatakan bahwa kisah ini tidak benar terjadinya, dan menambahkan bahwa yang pertama kali mempopulerkan kisah ini adalah Pendeta Qadich dan sejarahwan Antonio de Gifara untuk mendekatkannya kepada Raja Charl V ketika berkunjung ke Grenada pada musim panas 1526 untuk menghabiskan bulan madunya bersama isterinya Isabella yang berkebangsaan Portugal. Viena lebih lanjut mengatakan bahwa Abu Abdellah Alahmar tidak pernah melewati jalur lama antara Grenada dan Matril, tempat dimana diyakini dia menangis seperti dalam kisah. Dia hanya pernah lewat sekali saja melihat Grenada lewat pintu Almanar kemudian melanjutkan perjalanan melewati pebukitan sekitar Grenada dimana merupakan kawasan gerilya kaum Moreski setelah terusir dari kota.
Kisah tokoh Abu Abdellah Alahmar tidak jauh beda dari perjalanan hidupnya sendiri, berbagai misteri yang selalu menyertai dirinya. Diceritakan ketika Sultan Maroko mengetahui kedatangan Abu Abdellah di Fez dia ditangkapnya, dicongkel kedua bola matanya dan disita harta bendanya sebagai ganjaran atas pengkhianatannya menyerahkan Grenada ketangan tentara salib. Dia menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan buta dan menjadi pengemis dipinggir jalan. Ada pula menceritakan bahwa dia terjun kemedan perang membantu Sultan Maroko dan tewas disebuah pertempuran disebut perang Wadi el Aswad pada tahun 1536.
Ada pula versi lain menceritakan bahwa dia meninggal di rumahnya dengan tenang setelah berusia 70 tahun. Sedangkan menurut Annassiri dalam bukunya “Al Istiqsha li Akhbar doual Maghreb al Aqsha”, mengatakan bahwa: Ibn Alahmar datang ke Melilla kemudian dari sana pindah ke kota Fez bersama segenap keluarga dan anak-anaknya ‘menyesali masa lalunya dan menatap masa depan dengan penuh optimis'. Annassiri menambahkan: Ibn Alahmar membangun sejumlah istana di kota Fez dengan gaya arsitektur Andalusia dan meninggal di sana serta dimakamkan dalam sebuah mushalla disisi pintu disebut Bab Al-syaaria di kota Fez. Dia meninggalkan beberapa keturunan kemudian dengan perjalanan masa keturunananya punah secara pelan-pelan hingga tidak ditemuakan jejak keturunannanya satu pun sampai sekarang.
Baca: (Azzaghbi Si Kerdil Malang))
Berbagai sumber meriwayatkan bahwa dia terguling dari tahtanya dan memilih mengasingkan diri ke sebuah daratan tinggi Arraihan yang menatap ke kota Saliba berharap bisa menyeberang ke kota Fez dibawah perlindungan penguasa Mariniyinne kala itu. Merataplah dia di sana menangisi kejayaan masa lalunya yang telah hilang, dan daratan tinggi tersebut telah diabadikan sebagai «jejak terakhir Arab» di bumi Andalusia sampai sekarang.
Kisah Abu Abdellah Assaghir merupakan tokoh yang diselimuti banyak misteri, sebagian kalangan menganggapnya tidak lebih hanya mitos belaka, fiktif tidak pernah ada dalam dunia nyata. Sebagian lagi menganggapnya sebagai kesaktria yang telah berjuang mempertahankan negerinya, kekalahan yang dialami menghadapi tentara salib yang sangat besar adalah wajar. Ada juga menganggapnya sebagai pengkhinat menyerahkan kunci kota Grenada kepada raja-raja Katolik dengan suka rela dan tanpa syarat, padahal sebagai raja semestinya berjuang mempertahankan negerinya sampai tetes darah penghabisan. Dan ada pula menjadikannya simbol tokoh yang sial, atau tokoh yang terlahir dengan kutukan. Yang terakhir ini rupanya lebih lengket dengan kepribadiannya dari sifat-sifat yang lain.
Besar kemungkinan gelar Azzaghbi yang disandangkan ke tokoh Abu Abdellah Alahmar ini, karena dia naik tahta ketika Andalusia mengalami masa-masa kritis dalam sejarahnya, pada usia 23 tahun dan Grenada jatuh 10 tahun kemudian, yaitu usianya kala itu baru menginjak 33 tahun. Dia seharusnya bertindak bijaksana dan kuat dalam menata pemerintahan di masa yang paling kritis di alami umat islam di Eropa. Tetapi dia minim pengalaman dan masih sangat muda. Orang Spanyol menggelarinya «el Chiko» atau Si anak kecil...
Sebuah ungkapan populer diyakini oleh ahli sejarah ditujukan kepada Abu Abdellah Assaghir bahwa: Adalah Aicha Al Hurra ibunda Abu Abdellah Assaghir mengungkapkannya ketika mendapatkan anandanya menangis menatap Grenada: «Tangisilah singgasanamu seperti perempuan yang cengeng, tidak bisa mempertahankannya seperti laki-laki perkasa». Tetapi keberadaan kisah ini disangkal oleh seorang penulis Spanyol dan mengatakan hanya sebuah khayalan belaka.
Senada dengan itu Leonardo Viena dalam bukunya «Azzafratul akhirah li Malik Abi Abdellah», mengatakan bahwa kisah ini tidak benar terjadinya, dan menambahkan bahwa yang pertama kali mempopulerkan kisah ini adalah Pendeta Qadich dan sejarahwan Antonio de Gifara untuk mendekatkannya kepada Raja Charl V ketika berkunjung ke Grenada pada musim panas 1526 untuk menghabiskan bulan madunya bersama isterinya Isabella yang berkebangsaan Portugal. Viena lebih lanjut mengatakan bahwa Abu Abdellah Alahmar tidak pernah melewati jalur lama antara Grenada dan Matril, tempat dimana diyakini dia menangis seperti dalam kisah. Dia hanya pernah lewat sekali saja melihat Grenada lewat pintu Almanar kemudian melanjutkan perjalanan melewati pebukitan sekitar Grenada dimana merupakan kawasan gerilya kaum Moreski setelah terusir dari kota.
Kisah tokoh Abu Abdellah Alahmar tidak jauh beda dari perjalanan hidupnya sendiri, berbagai misteri yang selalu menyertai dirinya. Diceritakan ketika Sultan Maroko mengetahui kedatangan Abu Abdellah di Fez dia ditangkapnya, dicongkel kedua bola matanya dan disita harta bendanya sebagai ganjaran atas pengkhianatannya menyerahkan Grenada ketangan tentara salib. Dia menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan buta dan menjadi pengemis dipinggir jalan. Ada pula menceritakan bahwa dia terjun kemedan perang membantu Sultan Maroko dan tewas disebuah pertempuran disebut perang Wadi el Aswad pada tahun 1536.
Ada pula versi lain menceritakan bahwa dia meninggal di rumahnya dengan tenang setelah berusia 70 tahun. Sedangkan menurut Annassiri dalam bukunya “Al Istiqsha li Akhbar doual Maghreb al Aqsha”, mengatakan bahwa: Ibn Alahmar datang ke Melilla kemudian dari sana pindah ke kota Fez bersama segenap keluarga dan anak-anaknya ‘menyesali masa lalunya dan menatap masa depan dengan penuh optimis'. Annassiri menambahkan: Ibn Alahmar membangun sejumlah istana di kota Fez dengan gaya arsitektur Andalusia dan meninggal di sana serta dimakamkan dalam sebuah mushalla disisi pintu disebut Bab Al-syaaria di kota Fez. Dia meninggalkan beberapa keturunan kemudian dengan perjalanan masa keturunananya punah secara pelan-pelan hingga tidak ditemuakan jejak keturunannanya satu pun sampai sekarang.
Casablanca, 21 Muharram 1431 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam!