(Pertemuan
Perdana)
Oleh: Med
HATTA
Mukaddimah:
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الحمد لله الذي
بنعمته تتم الصالحات، وبعد!
Sejarah Perkembangan Tafsir Ayat-Ayat Hukum[1]
Tafsir
fiqhi
atau ayat-ayat ahkam (hukum) telah tumbuh dan berkembang semenjak era rasulullah
SAW, karena ia merupakan bagian dari al-Qur’an yang diturunkan Allah kepadanya.
Jenis tafsir ini termasuk bagian dari tafsir rasulullah SAW yang telah
disampaikan kepada manusia, karena banyak sekali dari ayat-ayat yang diturunkan
kepada rasulullah SAW merupakan ayat-ayat “al-far’iyah” (subtansial),
yang dikenal “al-mushtalah” dalam terminologi fiqhi. Maka rasulullah SAW
menafsirkannya kepada sahabat-sahabatnya dengan perkataan dan perbuatannya;
Beliau menjelaskan yang totalitasnya, me-menspesifikasikan yang absolutnya, dan
mendefinisikan yang substansialnya; serta beliau menjelaskan kepada mereka
apa-apa yang rumit dari ayat-ayat tersebut.
Sebagai contoh dari
kasus-kasus itu; adalah rasulullah SAW mengerjakan shalat berjama’ah dengan
sahabat-sahabatnya, lalu bersabda kepada mereka: (صلوا كما رأيتموني أصلي) “Shalatlah
sebagaimana kamu melihat saya mengerjakannya”, Beliau melaksanakan prosesi
ibadah haji bersama sahabat-sahabatnya, lalu beliau bersabda kepada mereka:
(خذوا عني
منسككم)
“Ambilah dariku manasik haji kamu”, dan inilah sekelumit tafsir ayat-ayat
hukum shalat dan haji di dalam al-Qur’an. Demikian juga halnya dengan hukum
zakat, Allah memerintahkan agar ditunaikan dengan perintah totalitas, seperti
dalam ayat:
وَآتُوا الزَّكَاةَ
Artinya: “dan tunaikanlah
zakat.” (QS: 2: 110).
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
Artinya: “dan tunaikanlah
haknya di hari memetik hasilnya” (QS: 6: 141)
أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ
مِنَ
الأرْضِ
Artinya
: “nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi” (QS: 2: 267).
Maka rasulullah SAW yang
menjelaskan kepada mereka apa-apa yang harus ditunaikan zakatnya, ketentuan dan
waktu-waktu pelaksanaannya. Demikianlah pada hampir semua kewajiban
syariat.
Ijtihad Sahabat Dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Hukum:
Setelah rasulullah SAW
wafat, para sahabatpun baru mulai berijtihad dalam memahami petuntuk-petunjuk
lain dari ayat-ayat hukum yang tidak pernah ditanyakan maksudnya kepada
rasulullah SAW, dan mereka tidak pernah mengetahui tentang kasus itu. Kemudian
pengalaman baru itu telah menjadi pekerjaan yang cukup berat dihadapi para
sahabat senior, terurama setelah kaum muslimin semakin berkembang dan kompleks
yang membutuhkan aturan-aturan permanen, untuk menata kehidupan mereka
berdasarkan hukum-hukum syariat yang lurus dan benar.
Maka hal pertama menjadi
perhatian besar sahabat tiada lain adalah harus memahami ayat-ayat hukum, karena
sumber pokok yang akan mengaplikasikan hukum-hukum syariat ini adalah al-Qur’an.
Demikianlah mereka bekerja keras mempelajari al-Qur’an, terutama ayat-ayat
hukumnya, berusaha sekuat tenaga mencernah ayat perayat ke dalam benak dan hati
mereka.
Apabila mereka menemukan
di dalam al-Qur’an hukum-hukum yang dibutuhkan pada kasus-kasus dihadapinya maka
diaplikasikannya, tetapi apabila tidak menemukan atau kesulitan, mereka mencari
kepada sunnah-sunnah rasulullah SAW. Dan jika tidak menemukannya juga pada
sunnah, mereka melakukan ijtihad namun tetap menyandarkan pemikiran mereka
kepada sumber utama yaitu al-Qur’an dan sunnah nabi SAW, kemudian mereka
meng-istinbat-kan hukum pada kasus-kasus yang memerlukan hukum tersebut
dengan perasaan tawakkal.
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ
Artinya: “jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak,” (QS: 4: 12).
Dan ayat inilah yang
telah ditafsirkan dan dita’wilkan oleh Abu Bakar ra dan mengaflikasikannya dalam
hukum semasa pemerintahannya.
فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ
Artinya: “Maka bagi siapa
yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji),” (QS: 2:
196)
Dari ayat ini Umar ra
melarang melakukan hubungan suami-isteri ketika sedang melaksanakan haji,
sebagaima dalam konteks ayat, sebagai ijtihad dari dirinya. Namun ditolak
olehnya para sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali ra, Ibn Mas’ud ra, Abu Musa
ra dan Abdullah Ibn Umar ra.
Harus diketahui bahwa
para sahabat dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, adakalanya mereka sepakat
menerapkan hukum dari ayat yang di tafsirkan, dan terkadang pula berbeda dalam
memahami ayat. Maka berbeda hukum-hukum mereka dalam suatu kasus yang mereka
cari hukumnya, seperti perbedaan yang terjadi antara Umar bin al-Khattab ra
dengan Ali bin Abi Thalib ra dalam menentukan iddah perempuan hamil yang
ditinggal mati oleh suaminya, maka Umar ra menetapkan iddahnya sampai ia
melahirkan, sedangkan Ali ra berpendapat bahwa iddahnya adalah yang terjauh di
antara dua masa yang telah disebutkan dalam dua ayat berbeda: melahirkan, dan
menjalani masa empat bulan dan sepuluh hari.
Adapun faktor yang
menyebabkan perbedaan pendapat seperti ini adanya kontra di antara dua
nash (ayat) yang bersifat umum di dalam al-Qur’an, bahwa sanya Allah SWT
menjadikan iddah bagi perempuan hamil hingga melahirkan, dan menjadikan
iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya sampai menjalani masa
empat bulan dan sepuluh hari tanpa ada perincian. Lalu Ali ra berijtihad
menerapkan kedua ayat secara bersamaan, bahwa setiap ayat dari keduanya berlaku
khusus bagi keumuman yang lain. Sedangkan Umar ra berpendapat bahwa ayat thalaq
berlaku khusus untuk ayat mengenai perempuan yang ditinggal mati
suaminya.
Dan ternyata pendapat
Umar ra diperkuat oleh kasus Sabi’ah binti al-Harits al-Aslamiyah yang telah
ditinggal mati oleh suaminya, lalu melahirkan setelah 25 hari dari kepergian
suaminya, dan kala itu rasulullah SAW membolehkannya menikah lagi.
Mahaguru dan Sekolah-Sekolah Tafsir Ayat-Ayat Hukum Pertama:
1. Abdullah bin Mas’ud ra.
2. Abdullah bin Umar
ra.
3. Abdullah bin Abbas
ra.
- Sekolah Tafsir Ayat-Ayat Hukum Kufah diprakarsai oleh murid-murid Ibn Mas’ud
- Sekolah Tafsir Ayat-Ayat Hukum Madinah dimotori oleh murid-murid Ibn Umar
- Sekolah Tafsir Ayat-Ayat Hukum Makkah oleh murid-murid Ibn Abbas[3].
Karya-Karya Perintis di Bidang Tafsir Ayat-Ayat Hukum:
Kemudian setelahnya,
mulai pula sebagian tokoh mazhab-mazhab besar dan murid-murid mereka menulis
dibidang ini, terutama setelah maraknya kasus-kasus baru yang terjadi dikalangan
umat Islam yang tidak pernah dikenal hukum sebelumnya, karena tidak pernah
terjadi pada masa sahabat senior. Lalu para imam mazhab-mazhab besar tersebut
masing-masing mencermati kasusu-kasus baru yang ada dibawah penerangan cahaya
al-Qur’an dan as-Sunnah, serta sumber-sumber sekunder Islam selain keduanya,
selanjutnya menetapkan atas kasus tersebut hukum yang terpantas dalam
pikirannya, dan meyakini bahwa ia telah benar relefan atas dalil-dalil dan
logika.
Di antara tokoh-tokoh
mazhab tersebut adakalanya mereka sejalan dalam menetapkan hukum, dan terkadang
pula berseberangan tergantung dari arah setiap dari mereka mengambil
dalil-dalil, Walaupun demikian, dilihat dari banyaknya perbedaaan mereka dalam
menetapkan hukum, namun tidak nampak di antara mereka kesan fanatik terhadap
mazhab, bahkan mereka semua menjunjung tinggi kebenaran dan mencari lalu
merumuskan hukum yang benar. Bukan isapan jempol atas salah satu di antara
mereka merujuk kepada pendapat rivalnya jika nampak baginya kebenaran berada
pada rivalnya tersebut.
Sportifitas yang paling
indah untuk menggambarkan semua ucapan penulis ini adalah Mahaguru kita Imam
Syafi’i ra. Beliau dengan lantang mengatakan: “Jika perkataan itu benar maka
adalah pendapatku”, ia juga mengaku: “Orang-orang itu mayoritas adalah anak buah
dalam ilmu fiqhi atas Imam Abu Hanifah”. Imam Syafi’i juga pada suatu kesempatan
mengatakan langsung kepada Imam Ahmad bin Hanbal, yang tiada lain adalah
muridnya sendiri dalam ilmu fiqhi: “Apabila anda mengatakan suatu pendapat yang
benar, maka ajarilah saya, plz!”.
Karya-karya Tafsir Hukum Yang Terpopuler dari Pentolan Empat Mazhab Besar:
1. Imam Abu Abdullah, Mohammad bin Idris as-Syafi’i (w. 204 H); karyanya adalah “Kitab Ahkamul Qur’an” [6].2. Imam Abu Ja’far at-Thahawi (w. 321 H).
Adapun karya-karya
tafsir hukum yang benar-benar murni produk mazhab yang mengambil alur berbeda
dari segi motifasi dan metedologi! Motifasinya adalah mendukung dan membela
mazhab yang dia anut; dan dari segi metedologinya, adalah menyusun tafsirnya
berdasarkan prinsif dan doktrin-doktrin imam mazhab. Adapun karya-karya tersebut
berdasarkan mazhabnya, sebagai berikut:
- Mazhab Hanafiah: Tokoh Penulisnya, adalah:
Imam Abu Bakar ar-Razi, dikenal dengan: Al-Jasshash (w. 370 H), karyanya yang terkenal yaitu “Ahkamul Qur’an”, yang tidak pernah luput dari mengekspresikan sanjungan terhadap Mazhab Imam Abu Hanifah, an-Nu’man bin Tsabit (w. 150 H), walaupun hanya dengan sentuhan tidak langsung, kemudian menerapkan prinsif dan dasar-dasar yang dibangun atas mazhab Hanafiah.
Karya tafsir hukum ini termasuk dalam deretan kitab-kitab tafsir fiqhi yang penting khususnya penganut Hanafiah; karena pemikirannya difokuskan pada konsep mazhabnya, penyebaran, dan membela mazhabnya tersebut.
Dia menerbitkan semua surah-surah al-Qur’an, tetapi tidak menjelaskan kecuali hanya ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum-hukum saja, ia juga sangat simpel menyusun surah-surah al-Qur’an. Tersusun bab per-bab seperti bab-bab buku fiqhi, dan setiap bab dari bab-babnya diberi judul dengan tema yang mengurut di dalamnya permasalahan-permasalahan yang ditemui penulisnya di dalam bab tersebut.
- Mazhab Syafi’iyah: Tokoh Penulisnya, adalah:
- Mazhab Malikia: Tokoh Penulisnya yang terkenal, masing-masing adalah:
Dengan demikian, terus
saja berkembang penulisan dalam koridor mazhab; hanya saja para penulis-penulis
belakangan telah berbeda metodelogi mereka dalam segi kepraktisan, simpel,
ringkas, dan sifat-sifat kesederhanaan lainnya; maka di antara mereka ada yang
membatasi pada satu referensi tertentu saja dalam penafsiran dan menarik
kesimpulan hukum; mayoritas mereka ada pula yang lebih bebas sampai mengambil
semua perkataan imam-imam dan hobby mengadu perbedaan-perbedaan pendapat dan
ijtihad yang ditemukan; dan ada juga senang menguji setiap dalil dari imam-imam
dan mendukung yang lebih menenangkan hatinya, tanpa peduli kepada mazhab
mereka.
Dan
tentu masih saja ada yang terpenjara pada pendapat-pendapat syaikh pujaannya,
dan sama sekali tidak pernah berbicara tentang masalah-salah ilmu kecuali
mengcopy-paste dari syaikhnya. Ini benar-benar sisi keajaiban dari makhluk
Allah.....Wallahu’alam
Daftar Materi-Materi
Per-Pertemuan Tafsir Ayat-Ayat Hukum:
- Pertemuan Perdana: Pengantar Umum Tafsir Ayat-ayat Ahkam
- Pertemuan II: Ahkam “THAHARAH”: Wudhu, Mandi Junub, dan Tayammum, (QS: an-Nisaa: 43 dan Surah al-Maaidah: 6).
- Pertemuan III: Hukum-Hukum Shalat (QS: al-Baqarah: 238, an-Nisaa: 102-103, dan al=: 83)
- Pertemuan IV: Hukum-Hukum Puasa (QS: al-Baqarah: 183-185)
- Pertemuan V: Hukum-hukum Zajat (Surah al-An’am: 141, dan at-Taubah: 60, 103)
- Pertemuan VI: Hukum-Hukum Tentang Makanan dan Miniman (QS: al-Baqara: 173 dan 219, al-Maaidah: 5, dan al-An’am: 145)
- Pertemuan VII: Hukum Menjaga Pandangan dan Memelihara Kehormatan (QS: an-Nur: 30 – 31, dan 59)
- Pertemuan VIII: Hukum-Hukum Nikah (QS: al-Baqarah: 221 dan al-Maaidah: 5)
- Pertemuan IX: Hukum-Hukum Miras dan Judi (QS: al-Maaidah: 90 dan al-baqarah: 219)
- Pertemuan X: Hukum-Hukum Jual beli dan Mua’amalh Riba (QS: al-Baqarah: 275-276 dan Ali Imran: 130)
- Pertemuan XI: Hukum Hutang Piutang dan Saksi (al-Baqarah: 282-283)
- Pertemuan XII: Hukum-hukum Mandi Junub (al-Maaidah: 38-39)
- Membuat Makalah: (1-Menyembunyikan Ilmu Agama, 2-Riba Merupakan Kriminal Sosial Yang Paling Berbahaya, 3- Pandangan Islam Terhadap Sihir/ Hipnosis, 4-Hukum Jihad dalam Islam, 5-Dll.)..
1. Rawai’ul Bayan fi Tafsiri Ayatul Ahkam, Mohammad Ali as-Shabouni
2. Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, al-Qurthubi
3. Tafsir Ayatil Ahkam, Mohamed Ali as-Sayes
4. Ahkamul Qur’an, Ibn al-Arabi
5. Ahkamul Qur’an, al-Jasshash,
6. Tafsirul Qur’an, al-Kassyaf
7. Tafsirul Qur’an, an-Nasafi
Cempaka Putih, 11 Januari 2012
Med
HATTA
- Pengantar Mata Kuliah: Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Semester II (2011/ 2012), Fakultas Syari’ah Prodi Fiqh dan Ushul Fiqh, Institute of Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah, Kedoya – Jakarta Barat.
- Lihat: At-Tafsir wal-Mofassirun, adz-Dzahabi (1/ 156); Tafasir Ayat al-Ahkam wa Manahijuha, al-Abid (1/ 26); Ayat al-Ahkam fil-Mughni (Disertasi), al-Fadhil (1/ 10) dan sesudahnya.
- Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab “Azan”, bab “Azan lil-Musafir”... No. 605.
- Lihat: Tafsirut Tabi’in, al-Khadhiri, (2/ 665
- Lihat: Tafsir al-Khamsumiati Ayat fil-Qur’an, Moqatel bin Sulaiman, Halaman: (66 -68)
- Direkap oleh Ibn an-Nadim di dalam Fahrasnya, Halaman: 57; dan ad-Daudi, Thabaqatul Mufassirin, (2/ 362).
- Lihat: Al-Burhan, az-Zarkasyi, (2/ 3); Ahkamul Qur’an, al-Baihaqi, (1/ 20); dan telah dinukil oleh al-Jasshash dalam Ahkamul Qur’an, (3/ 351).
- Lihat: Ahkamul Qur’an, Mukaddimah Ilkiya al-Harrasi, (1/ 2), hal yang sama diungkapkan juga al-Baihaqi dalam Mukaddimah kitabnya “Ahkamul Qur’an”, hanya saja metodelogi umum kedua kitab tersebut berbeda satu sama lain, al-Baihaqi membatasi karyanya terhadap cabang-cabang as-Syafi’i dalam bidang ini, dan ia juga tidak memperkaya kitabnya dari retorika Syafi’i sedikitpun; sedangkan Ilkiya al-Harrasi, kitabnya fokus hanya pada hukum-hukum al-Qur’an dan telah menitik beratkan pada dua hal: Motivasinya: menjelaskan retorika Syafi’i, dan metodenya: adalah merekafitulasi retorika-retorika tersebut, bahkan menambahkan hal-hal lain dalam bukunya....
- At-Tafsir wal-Mufassirun, adz-Dzahabi, (4/ 371).
- Baca: (Pengantar Umum Tafsir Ayat-Ayat Hukum))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam!