Rabu, Oktober 16, 2013

IBRAHIM AS BAPAK MONOTEISM:

Khutbah Idul Adha 1434 H
Oleh: AGH. Helmi Ali Yafi


السلام عليكوم ورحمةالله وبركاته

الله اكبر- الله اكبرا- الله اكبر - الله اكبر- الله اكبر- الله اكبرر
 الله اكبر- الله اكبرولله الحمد -الله اكبر- الله اكبر
الحمد لله  ذِ ى الجلالِ والاكرامِ ،الذي هدانا باالقُرْانِ
سُبُل السّلامِ، اشهدان لااله الا الله وحده لاشريك له الملك العَلّامُ ـ
واشهد ان محمدًا رسول الله شفِيعُنا يوم الزِّحامِ وعلى اله واصحبه اْلبَرَرَةِ
اْلكِرامِ ـ اما بعد

فاوصيكم بتقوى الله وطا عته لعلكم ترحمون  واُذَكِّرُكم قوله فى مُحْكَمِ اياته : يا ايهاالذين أمنو ااْركعواواسْجدوا وعْبدوارَبّكم وافْعلوااْلخيرَ لعلكم تفلحون – و جاهدوافى الله حقّ جِهاده – هواجْتبكم وماجعل عليكم فى الدين من حرخٍ ملة ابيكم ابر هم -   هو سمّكم المسلمين  من قبل وفى هذا ليكونَ الرسو لُ شهيدًا عليكم وتكونو شهداء على النا س  فأ قيمواالصلوة وءاتواالزكوة وا عْتصمو بالله  هو مولكم  فنعم المولى ونعم النصير

 


Maha besar Allah, untuk Nya semata kita persembahkan segala puji dan puja atas segala Rahmat Nya yang kita nikmati selama hidup kita.

Hari ini adalah hari yang penuh berkah dan bersejarah bagi kita, umat Islam. Kita berkumpul disini, sebagaiamana saudara-saudara kita diberbagai tempat lainnya, untuk merayakan Idul Adha. Perayaan yang  terkait erat dengan Nabi Ibrahim A.S dan keluarganya. Hampir seluruh yang kita lakukan, dalam rangkaian perayaan Idul Adha,  terkait langsung dengan Nabi Ibrahim A.S. dan keluarganya.  Begitu juga dengan Pelaksanaan ibadah haji yang di jalani oleh saudara-saudara kita di tanah suci, Makkah. Kita bisa mengatakan bahwa peristiwa haji sebenarnya adalah napak tilas terhadap perjalanan Nabi Ibrahim A.S. dan keluarganya.  Nabi Ibrahim  A.S. memang memiliki kedudukan khusus bagi kita umat islam. Setiap muslim yang melakukan sholat pasti menyebut nama Ibrahim pada bagian akhir dari sholatnya.  Begitu istimawanya, sehingga namanya disandingkan dengan nama Nabi Muhammad SWA, dan menjadi bagian dari tasyahhud dalam sholat kita. Nabi Ibrahim lah yang membangun fondasi agama ini.

Nabi Ibrahim  A.S. dikenal sebagai penemu konsep ketauhidan, konsep tentang Tuhan yang Maha Esa. Disebut penemu, karena itu  melalui suatu proses pencarian yang panjang. Maka selain konsep tentang Tuhan  Yang Maha Esa, kita  juga mewarisi darinya suatu proses belajar, atau semacam panduan bagaimana belajar  secara tepat untuk memperoleh pemahaman yang mendalam  tentang realitas kita yang sesungguhnya. Proses itu  dewasa ini biasa disebut sebagai proses ‘belajar dari pengalaman’, yakni  suatu daur; ‘mengalami’ (menjalani kehidupan, aktivitas rutin yang biasa dijalani) dan pada titik tertentu, kemudian, menarik diri dari realitas itu untuk ‘merenungkannya’ (melihat kembali pengalaman, perjalanan kita; dengan pertanyaan-pertanyaan refketif, ‘apa yang sudah baik ?’, ‘apa yang perlu diperbaiki pada diri kita ?’). Dari perenungan itu diharapkan muncul ma’na baru tentang realitas kita, sehingga kita bisa kembali memasuki realitas dengan cara pandang baru.   Proses ‘mengalami’ dan ‘merenungkan’ itu,  yang berlangsung terus menerus, berulang, merupakan sebuah daur (‘mengalami’ dan ‘merenungkan pengalaman’) yang berkelanjutan dalam bentuk spiral. Dari proses itu diharapkan muncul ma’na-mana baru yang memungkinkan  kita memperoleh pemahaman yang lebih komplit tentang realitas.   Kurang lebih, mungkin,  seperti itulah proses yang dilalui  Nabi Ibrahim  A.S. sampai dia menemukan makna atau pemahaman yang sesungguhnya tentang Allah SWT, Tuhan Yang Mutlak, Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta, Penguasa dan Pemilik alam. 

Nabi Ibrahim memulai perjalanan pencariannnya itu ketika dia  dikenalkan dengan tuhan-tuhan dalam bentuk berhala-berhala. Ketika dia menguji dan menemukan kenyataan bahwa berhala-berhala itu  adalah benda mati, yang tidak memiliki daya, dan sesunggunya adalah ciptaan manusia, maka  dia menyimpulkan bahwa pasti itu bukan Tuhan. Karena  itu  dia meninggalkan keyakinan yang sia-sia itu. Selanjutnya dia mengamati bintang. Pada awalnya dia kagum dan menyangkanya sebagai Tuhan. Tetapi kemudian setelah melihat kenyataan bahwa bintang-bintang itu menghilng, maka diapun meninggalkan kepercayaan itu. Demikian seterusnya dia melihat bulan, dan matahari yang lebih besar,  benda bergantung   di langit,  bercahaya atau bersinar. Dia pun kagum dan menyangka Tuhan. Tetapi ketika bulan dan matahari  juga menghilang, maka diapun kecewa. Kesimpulannya  Tuhan pastilah tidak memiliki karakter seperti itu.

Proses itu pada akhirnya memberikannya pencerahan, menuntunnya menemukan Tuhanya, Allah Yang Maha Kuasa, yang tidak memiliki permulaan dan tidak memiliki akhir. Tuhan yang mutlak keberadaannya.  Allahu Rabbul Alamin, bukan tuhan suku dan bangsa tertentu, tapi Tuhan seru sekalian alam.

Proses ini di dokumentasikan dengan sangat jelas dalam surat Al-An’am ayat 75-79
   
 وكذالك نرى ابراهيم ملكوت السموات والارض وليكون من الموقنين -  فلمَّا جَنّ عليه   الّيلُ رأى كوكبًا قل هذا ربي فلمّا أفَلَ قل لا أُحِبُّ اْلأافلين –  فلمَّا رأى اْلقمر بازِغًا قال هذا ربي فلمَّا أفل قا ل لئِن لَّمْ يَهْدِ ني  ربي لأكونَنَّ من القوم الضّا لِّين - فلمَّا رأى الشّمْسَ بازِغَةً قال هذا ربي هذا أكبر فلمّا أفلتْ قال يا قوم اِنِّي بريءٌ مما تشْركون  اِنِّي  وجهت وجهي للذي فطر السوات والارْضَ حنيفًا وما أنا من المشر كين 

“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. (75)  Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam “ (76) Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat." (77)  Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (78) Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (79)
  
Hadlirin  yang berbahagia

Selain sebagai penemu  konsep  Ketauhidan,  Ibrahim A.S. juga adalah symbol keteguhan dan kejernihan dalam keimanan. Loyalitasnya tunggal semata-mata hanya kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim A.S. sepenuhnya beriman hanya  kepada Allah, dan keimanannya itu  diwujudkan dalam ketundukan dan pengadian mutlak kepada Allah. Dan dalam pengabdian itu, yang terpenting, adalah pengorbanan. Maka ketika diperintahkan menyembelih anaknya,  diapun melakukannya dengan sepenuh hati, dengan mengabaikan semua kepentingan pribadinya. Inilah lambang dari  kepercayaan atau keimanan yang tidak terbelah. 

Tentu saja, ketika perintah itu turun, terjadi pegolakan batin yang luar biasa dalam diri nya. Ada godaan untuk menolak perintah itu. Nabi  Ismail A.S. adalah  anak satu-satunya pada saat itu, anak yang diidam-idamkan sejak lama. Nabi Ismail A. S. juga tumbuh menjadi anak yang sabar, ulet, dan cerdas. Dia pun memiliki fondasi keimanan yang kokoh.    Pokoknya Nabi Ismail A.S.  memenuhi segala syarat untuk menjadi kecintaan keluarga. Dia menjadi salah satu bagian terpenting dalam kehidupan keluarga Nabi Ibrahim A.S. Maka bisa dibayangkan betapa berat beban Nabi Ibrahim A.S, ketika dia diperintahkan menyembelih anaknya yang sangat dicintainya itu. Tetapi Nabi Ibrahim A.S. berhasil mengatasi semua godaan, dan dengan teguh, dia menjalankan perintah itu. Sikapnya itu, teguh, kuat menghadapi godaan,  juga karena dukungan penuh dari  Nabi Ismail A.S. Jadi keduanya, Ayah-anak, memiliki kesamaan cara pandang terhadap perintah Allah SWT,   dengan landasan  keimanan yang sangat kuta. Keduanya siap untuk berkorban untuk sebuah misi  yang dibebankan kepada mereka. Sikap keduanya, tergambar dalam dialog  mereka, yang terekam dalam Al Qur’an.


فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.(QS.Ash-Shofat/102)

Nabi Ibrahim A.S.  tidak goyah menghadapi berbagai godaan, yang intesif, godaan-godaan yang sebenarnya menyentuh  hal yang sangat peka, yakni napsu mementingkan diri sendiri. Atau kalau kita menggunakan bahasa sekarang, dia tidak tergoda dengan mimpi-mimpi yang menina bobokan, yang disodorkan kepadanya,  tentang kehidupan duniawi yang lebih menyenangkan.  Ini sebenarnya sebuah pertarungan yang sangat berat.  Memerangi dorongan atau naluri untuk melindungi diri, melindungi keluarga, atau  melepaskan sesuatu yang sangat dicintai, atau melepaskan kesenangan-kesenangan; yang memungkinkan seseorang untuk mengkhianti kepercayaan yang diberikan kepadanya. Sebenarnya ada banyak alasan untuk mengikuti naluri itu. Tetapi Nabi Ibrahim A.S.  berhasil menepis  upaya-upaya yang mencoba melemahkannya itu, karena adanya keyakinan dan keteguhan  akan misi yang   dibeban kepadanya. Dia rela berkorban, mengorbankan hal yang berharga atau yang dianggap paling penting dalam hidupnya. Dan Nabi Ibriham A.S. tidak berdiri sendiri menghadapi tantangan itu, dia mendapat dukungan penuh dari anaknya; yang  juga rela berkorban, bahkan mengorban dirinya; Nabi Ismail A.S. siap untuk disembelih, dengan penuh keikhlasan.

Karena keteguhan mereka, yang berpijak pada keimanan yang kokoh, Allah SWT, Tuhan yang melimpah ruah rahmatNya, berkesinambungan kasih sayangNya, pada saatnya, menggantikan Nabi Ismail A.S. dengan seekor domba. Dan domba itulah yang disembelih.

Keseluruhan peristiwa itu,  mencerminkan  sebuah sikap yang teguh atas sesuatu yang diyakini kebenarannya. Atau, kalau kita menggunakan bahasa sekarang, ini adalah totalitas dalam menjaga kepercayaan, untuk  menjalan misi yang diserahkan kepadanya.  Ini salah satu ma’na yang bisa kita tangkap  dari peristiwa yang melibatkan Nabi Ibrahim A.S. dan anaknya, Nabi Ismail A.S., yang harus kita jadikan acuan dalam menjalani kehidupan ini.

Dengan merenungkan kembali perjalanan Nabi Ibrahim A.S. dan keluarganya, mungkin kita berkaca dan mencoba melihat  keadaan sekarang ini. Kita seringkali mendengarkan, dari para ahli dan pejabat yang berwenang, bahwa kita mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat baik.  Memang dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat mobil mewah yang berseliweran di jalan, gedung-gedung atau bangunan-bangunan yang megah disekitar kita, atau pusat-pusat perbelanjaan yang ramai  dimana-mana, dengan barang-barang mewah di dalamnya. Jadi mungkin memang ada pertumbuhan ekonomi. Tetapi realitas lain menunjukkan bahwa diluar sana ada banyak saudara kita yang menderita, kelaparan, kemiskinan. Bahkan mungkin jumlahnya semakin lama semakin besar. Jadi barangkali memang ada pertumbuhan ekonomi, tetapi pertumbuhan  tidak  menyentuh orang miskin. Pertumbuhan ekonomi  hanya dinikmati oleh  sekelompok kecil anggota masyarakat.  Sedangkan kebanyakan rakyat  terbenam dalam kemiskinan. Artinya ini adalah sebuah lingkungan timpang, dan  pasti itu tidak sehat. Yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.  Kemiskinan yang membuat orang menderita kelaparan, dan kelaparan itu menutup akal sehat dan melemahkan hati nurani.  Kelaparan itu merendahkan martabat manusia, mendorong orang melakukan apa saja untuk bisa makan. Kemiskinan  itulah yang membuat kita, langsung atau tidak langsung,  berhadapan dengan berbagai persoalan social dewasa ini.  Perampokan, pencurian dan penipuan terjadi dimana-mana.  Kita senantiasa dihadapkan dengan  kekerasan yang terjadi diberbagai tempat,  bahkan ada yang  dilakukan atas nama agama. Kita juga terkoyak dengan  bentrok antara kelompok masyarakat. Keadaan itu  menunjukkan kita bahwa kita semakin individulistik, egois, tidak lagi saling menghargai, tidak punya toleransi.  Kita mudah sekali tersulut dan meledak. Ini adalah gambar dari masyarakat yang sakit, yang kehilangan karakter dan identitas.

Kondisi seperti terjadi karena tampaknya fondasi bangunan masyarakat kita didasarkan pada  gagasan  Liberalisme (yang lebih mempercayai individu atau perorangan, sehingga menyerahkan urusan-urusan public, yang seharusnya diurus negara, kepada pihak swasta yg bisa berasal dari mana saja);  dan, seperti sebuah koin mata uang, disisi lain dari Liberalisme itu ada induvidualisme (segala hal di dilihat dari sisi kepentingan individu).   

Sejauh ini, kita tidak memilik gambar yang jelas tentang masa depan kita sebagai  bangsa yang berdaulat. Tidak hanya tidak tersedia cukup lapangan kerja, tetapi juga kita semakin kehilangan penguasaan terhadap sumber daya alam kita; sementara pelayanan public berada di tangan swasta (yang lebih memikirkan keuntungan untuk dirinya sendiri). Tidak ada perlindungan yang memadai terhadap warga negara, di dalam maupun di negara lain. Bahkan, di dalam negeri, terlihat ada kecendrungan dari orang yang memiliki kekuasaan melakukan  memprovokasi sehingga masyarakat bentrok sendiri dengan sesama. Tidak ada rasa aman dan keamanan.  Dalam berbagai kasus, ketika ada konflik antara yang memiliki kekuasaan atau yang memiliki kekuatan uang dengan rakyat biasa, maka yang dikalahkan adalah rakyat biasa. Hal lain yang tampak menonjol  justeru adalah penyalah gunaan kekuasan, nepotisme, kolusi dan korupsi dikalangan atas, dikalangan orang-orang yang memiliki kekuasaan, yang dipercaya dan diberi mandat untuk  mengatur pengelenggaraan kehidupan bersama ini. Kewenangan dan fasilitas yang diberikan kepada mereka untuk kepentingan itu, tampaknya lebih banyak digunakan untuk kepentingan diri sendiri; maka yang kelihatan adalah kehidupan para elit itu yang bergelimangan dengan kemewahan.  Efeknya lebih jauh, adalah ketimpangan seperti yang digambarkan diatas. Jelas bahwa fondasi bangunan masyarakat kita hanyalah membuahkan ketimpangan,   kesenjangan; yang mengancam keberlanjutan kehidupan dan penghidupan secara menyeluruh. Sistem ini hanya membangun individu-individu yang egois, yang memiliki watak hanya  melihat segala sesuatu  dari sisi kepentingannya sendiri. Ini berbeda jauh, bahkan bertentangan,  dengan konsep yang di dibangun oleh  Nabi  Ibrahim A.S.

Konsep yang dibangun  Nabi Ibrahim  adalah bahwa kehidupan yang  berma’na adalah berkorban. Berkorban itu adalah melepaskan sesuatu yang sangat dicintai; atau melepaskan kesenangan-kesenangan pribadi, demi untuk menunjukkan kesetiaan kepada yang memberi mandat; atau mengorban kepentingan pribadi untuk kepentingan berasama. Sementara  yang ada dan berkembang dalam lingkungan  kita adalah   mengorban orang lain, atau mengorbankan kepentingan orang banyak untuk kepentingan diri sendiri. Maka yang terjadi adalah kepentingan rakyat (yang memberi mandat) dikorban untuk kepentingan para pemimpin. Kepentingan yang lemah dikorban untuk kepentingan yang kuat. Seharusnya, kalau mengacu kepada Nabi Ibrahim A.S.,   pemimpin itu berkorban untuk kemashlatan rakyat atau umat; bukan sebaliknya, mengorbankan rakyat untuk kepentingan para pemimpin. 

Dengan Gambar  buram seperti, maka relevan untuk merenungkan kembali perjalanan Nabi Ibrahim A.S. Nabi yang meletakkan fondasi agama ini. Agama ini adalah jalan yang benar, yang diredlohi, yang memberikan tuntunan kepada kita untuk membangun dunia yang lebih baik, dalam arti lebih adil, dan lebih seimbang. Seharusnya menjadi landasan kita berpijak dan menjadi tempat kita bergantung.  Maka tidak salah kalau kita mengkaji kembali dan merenungkan perjalanan Nabi Ibrahim. Dan kita memang diminta untuk senantiasa mengenang dan merenungkan perjalanan  Nabi Allah Ibrahim A.S.


قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ


“Sungguh bagi kalian terdapat teladan yang baik dalam (diri) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya…” (al-Mumtahinah: 4)

Pertanyaannya adalah maukah kita belajar dari apa yang sudah dikembangkan Nabi Ibrahim A.S. ?; dan sejauh mungkin menjadikannya sebagai landasan berpijak dalam membangun hubungan dengan sesama, atau (lebih jauh) menjadikannya sebagai fondasi bangunan kehidupan bersama kita sebagai sebuah masyarakat ?. Maukah kita menjalani hidup yang lebih berma’na ?


باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. انه غفور رحيم
الله اكبر(9 ) الله اكبر ولله الحمد
  الحمد لله رب العالمين الذى ارسل رسوله رحمة للعالمين
وانزل عليه القران هدى للمتقين . اما بعد فاتقواالله عبادالله
ايْنَمَاكنتم فى كل حين .واطيعواالله ورسوله واستقمواعلى الصّراط االمستقيم  وعلى سنة نبٍي حر يصٍ عليكم بالمؤمنين رؤف رحيم  ان الله وملأكته
يصلون على النبي يايهاالذين امنوا صلواعليه وسلموا تسليمًا
اِنْ تبدو اشيئًا اَوْ تخفوه فان الله كا ن بكل شئ عليمًا
اللهم صل وسلم علي سيد نا محمدٍ وعلى ال سيدنا محد كما صليت على سيدنا ابرا هيم وعلى ال سيدنا ابرا هيم  اللهم بارك على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد كما باركت على  سيدنا ابرا هيم وعلي ال سيدنا ابراهيم  انك حميد مجيد
وا رض اللهم عن الخلفا ئِهِ الرا شدين ساداتنا ابى بكرٍ وعمر وعثما ن وعلي وعلى من تبعهم باحسا ن الى يوم الدين
اللهم سلمنا واغفرلنا ولسائرالمؤمنين والمسلين  الآحياء منهم والآموات انك سميعٌ قزيبٌ مجيب الداعوات
اللهم  اجعل بلد تنا هذه بلدةً طيبةً امنةً يآ تيها رزقها رغدًا من كل مكا نٍ
اللهم ول علينا خيا رنا ولاتول علينا شرارنا ياارحم الرحمين
ربنا تقبل منا انك انت السميع العليم
وتب علينا انك انت اتواب الرحيم
ربنااتنا فى الدنيا حسنة وفى الاخرة حسنة وقناعذاب النار

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!