Khutbah Idul Adha 1434 H
Oleh: AGH. Helmi Ali Yafi
السلام
عليكوم ورحمةالله وبركاته
الله
اكبر- الله اكبرا- الله اكبر - الله اكبر- الله اكبر- الله اكبرر
الله اكبر- الله اكبرولله
الحمد -الله
اكبر- الله اكبر
الحمد
لله ذِ ى الجلالِ والاكرامِ ،الذي هدانا
باالقُرْانِ
سُبُل
السّلامِ، اشهدان لااله الا الله وحده لاشريك له الملك العَلّامُ ـ
واشهد ان
محمدًا رسول الله شفِيعُنا يوم الزِّحامِ وعلى اله واصحبه اْلبَرَرَةِ
اْلكِرامِ
ـ اما بعد
فاوصيكم
بتقوى الله وطا عته لعلكم ترحمون
واُذَكِّرُكم قوله فى مُحْكَمِ
اياته : يا ايهاالذين أمنو ااْركعواواسْجدوا وعْبدوارَبّكم وافْعلوااْلخيرَ
لعلكم تفلحون – و جاهدوافى الله حقّ جِهاده – هواجْتبكم وماجعل عليكم فى الدين من
حرخٍ ملة ابيكم ابر هم - هو سمّكم
المسلمين من قبل وفى هذا ليكونَ الرسو لُ
شهيدًا عليكم وتكونو شهداء على النا س فأ
قيمواالصلوة وءاتواالزكوة وا عْتصمو بالله
هو مولكم فنعم المولى ونعم النصير
Maha
besar Allah, untuk Nya semata kita persembahkan segala puji dan puja atas
segala Rahmat Nya yang kita nikmati selama hidup kita.
Hari ini
adalah hari yang penuh berkah dan bersejarah bagi kita, umat Islam. Kita
berkumpul disini, sebagaiamana saudara-saudara kita diberbagai tempat lainnya, untuk
merayakan Idul Adha. Perayaan yang terkait
erat dengan Nabi Ibrahim A.S dan keluarganya. Hampir seluruh yang kita lakukan,
dalam rangkaian perayaan Idul Adha,
terkait langsung dengan Nabi Ibrahim A.S. dan keluarganya. Begitu juga dengan Pelaksanaan ibadah haji
yang di jalani oleh saudara-saudara kita di tanah suci, Makkah. Kita bisa
mengatakan bahwa peristiwa haji sebenarnya adalah napak tilas terhadap perjalanan
Nabi Ibrahim A.S. dan keluarganya. Nabi
Ibrahim A.S. memang memiliki kedudukan
khusus bagi kita umat islam. Setiap muslim yang melakukan sholat pasti menyebut
nama Ibrahim pada bagian akhir dari sholatnya.
Begitu istimawanya, sehingga namanya disandingkan dengan nama Nabi
Muhammad SWA, dan menjadi bagian dari tasyahhud dalam sholat kita. Nabi Ibrahim
lah yang membangun fondasi agama ini.
Nabi
Ibrahim A.S. dikenal sebagai penemu
konsep ketauhidan, konsep tentang Tuhan yang Maha Esa. Disebut penemu, karena
itu melalui suatu proses pencarian yang
panjang. Maka selain konsep tentang Tuhan Yang Maha Esa, kita juga mewarisi darinya suatu proses belajar,
atau semacam panduan bagaimana belajar
secara tepat untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang realitas kita yang sesungguhnya.
Proses itu dewasa ini biasa disebut
sebagai proses ‘belajar dari pengalaman’, yakni
suatu daur; ‘mengalami’ (menjalani kehidupan, aktivitas rutin yang biasa
dijalani) dan pada titik tertentu, kemudian, menarik diri dari realitas itu
untuk ‘merenungkannya’ (melihat kembali pengalaman, perjalanan kita; dengan pertanyaan-pertanyaan
refketif, ‘apa yang sudah baik ?’, ‘apa yang perlu diperbaiki pada diri kita ?’).
Dari perenungan itu diharapkan muncul ma’na baru tentang realitas kita,
sehingga kita bisa kembali memasuki realitas dengan cara pandang baru. Proses ‘mengalami’ dan ‘merenungkan’ itu, yang berlangsung terus menerus, berulang,
merupakan sebuah daur (‘mengalami’ dan ‘merenungkan pengalaman’) yang
berkelanjutan dalam bentuk spiral. Dari proses itu diharapkan muncul ma’na-mana
baru yang memungkinkan kita memperoleh
pemahaman yang lebih komplit tentang realitas.
Kurang lebih, mungkin, seperti itulah proses yang dilalui Nabi Ibrahim
A.S. sampai dia menemukan makna atau pemahaman yang sesungguhnya tentang
Allah SWT, Tuhan Yang Mutlak, Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta, Penguasa dan
Pemilik alam.
Nabi
Ibrahim memulai perjalanan pencariannnya itu ketika dia dikenalkan dengan tuhan-tuhan dalam bentuk
berhala-berhala. Ketika dia menguji dan menemukan kenyataan bahwa
berhala-berhala itu adalah benda mati,
yang tidak memiliki daya, dan sesunggunya adalah ciptaan manusia, maka dia menyimpulkan bahwa pasti itu bukan Tuhan.
Karena itu dia meninggalkan keyakinan yang sia-sia itu.
Selanjutnya dia mengamati bintang. Pada awalnya dia kagum dan menyangkanya
sebagai Tuhan. Tetapi kemudian setelah melihat kenyataan bahwa bintang-bintang
itu menghilng, maka diapun meninggalkan kepercayaan itu. Demikian seterusnya
dia melihat bulan, dan matahari yang lebih besar, benda bergantung di langit, bercahaya atau bersinar. Dia pun kagum dan
menyangka Tuhan. Tetapi ketika bulan dan matahari juga menghilang, maka diapun kecewa.
Kesimpulannya Tuhan pastilah tidak
memiliki karakter seperti itu.
Proses
itu pada akhirnya memberikannya pencerahan, menuntunnya menemukan Tuhanya,
Allah Yang Maha Kuasa, yang tidak memiliki permulaan dan tidak memiliki akhir.
Tuhan yang mutlak keberadaannya. Allahu
Rabbul Alamin, bukan tuhan suku dan bangsa tertentu, tapi Tuhan seru sekalian
alam.
Proses
ini di dokumentasikan dengan sangat jelas dalam surat Al-An’am ayat 75-79
وكذالك نرى ابراهيم ملكوت السموات والارض وليكون من الموقنين - فلمَّا جَنّ عليه الّيلُ رأى كوكبًا قل هذا ربي فلمّا أفَلَ قل لا أُحِبُّ اْلأافلين – فلمَّا رأى اْلقمر بازِغًا قال هذا ربي فلمَّا أفل قا ل لئِن لَّمْ يَهْدِ ني ربي لأكونَنَّ من القوم الضّا لِّين - فلمَّا رأى الشّمْسَ بازِغَةً قال هذا ربي هذا أكبر فلمّا أفلتْ قال يا قوم اِنِّي بريءٌ مما تشْركون اِنِّي وجهت وجهي للذي فطر السوات والارْضَ حنيفًا وما أنا من المشر كين
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda
keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya)
agar dia termasuk orang yang yakin. (75) Ketika
malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah
Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya
tidak suka kepada yang tenggelam “ (76) Kemudian
tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku".
Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku
tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat."
(77) Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia
berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala
matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan (78) Sesungguhnya aku menghadapkan diriku
kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan
(79)
Hadlirin yang berbahagia
Selain
sebagai penemu konsep Ketauhidan,
Ibrahim A.S. juga adalah symbol keteguhan dan kejernihan dalam keimanan.
Loyalitasnya tunggal semata-mata hanya kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim A.S. sepenuhnya
beriman hanya kepada Allah, dan
keimanannya itu diwujudkan dalam
ketundukan dan pengadian mutlak kepada Allah. Dan dalam pengabdian itu, yang
terpenting, adalah pengorbanan. Maka ketika diperintahkan menyembelih
anaknya, diapun melakukannya dengan
sepenuh hati, dengan mengabaikan semua kepentingan pribadinya. Inilah lambang
dari kepercayaan atau keimanan yang
tidak terbelah.
Tentu
saja, ketika perintah itu turun, terjadi pegolakan batin yang luar biasa dalam
diri nya. Ada godaan untuk menolak perintah itu. Nabi Ismail A.S. adalah anak satu-satunya pada saat itu, anak yang
diidam-idamkan sejak lama. Nabi Ismail A. S. juga tumbuh menjadi anak yang
sabar, ulet, dan cerdas. Dia pun memiliki fondasi keimanan yang kokoh. Pokoknya Nabi Ismail A.S. memenuhi segala syarat untuk menjadi kecintaan
keluarga. Dia menjadi salah satu bagian terpenting dalam kehidupan keluarga Nabi
Ibrahim A.S. Maka bisa dibayangkan betapa berat beban Nabi Ibrahim A.S, ketika
dia diperintahkan menyembelih anaknya yang sangat dicintainya itu. Tetapi Nabi Ibrahim
A.S. berhasil mengatasi semua godaan, dan dengan teguh, dia menjalankan
perintah itu. Sikapnya itu, teguh, kuat menghadapi godaan, juga karena dukungan penuh dari Nabi Ismail A.S. Jadi keduanya, Ayah-anak, memiliki
kesamaan cara pandang terhadap perintah Allah SWT, dengan landasan keimanan yang sangat kuta. Keduanya siap untuk
berkorban untuk sebuah misi yang
dibebankan kepada mereka. Sikap keduanya, tergambar dalam dialog mereka, yang terekam dalam Al Qur’an.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar”.(QS.Ash-Shofat/102)
Nabi Ibrahim
A.S. tidak goyah menghadapi berbagai godaan,
yang intesif, godaan-godaan yang sebenarnya menyentuh hal yang sangat peka, yakni napsu
mementingkan diri sendiri. Atau kalau kita menggunakan bahasa sekarang, dia
tidak tergoda dengan mimpi-mimpi yang menina bobokan, yang disodorkan
kepadanya, tentang kehidupan duniawi
yang lebih menyenangkan. Ini sebenarnya
sebuah pertarungan yang sangat berat. Memerangi
dorongan atau naluri untuk melindungi diri, melindungi keluarga, atau melepaskan sesuatu yang sangat dicintai, atau
melepaskan kesenangan-kesenangan; yang memungkinkan seseorang untuk mengkhianti
kepercayaan yang diberikan kepadanya. Sebenarnya ada banyak alasan untuk
mengikuti naluri itu. Tetapi Nabi Ibrahim A.S. berhasil menepis upaya-upaya yang mencoba melemahkannya itu, karena
adanya keyakinan dan keteguhan akan misi
yang dibeban kepadanya. Dia rela
berkorban, mengorbankan hal yang berharga atau yang dianggap paling penting
dalam hidupnya. Dan Nabi Ibriham A.S. tidak berdiri sendiri menghadapi
tantangan itu, dia mendapat dukungan penuh dari anaknya; yang juga rela berkorban, bahkan mengorban
dirinya; Nabi Ismail A.S. siap untuk disembelih, dengan penuh keikhlasan.
Karena
keteguhan mereka, yang berpijak pada keimanan yang kokoh, Allah SWT, Tuhan yang
melimpah ruah rahmatNya, berkesinambungan kasih sayangNya, pada saatnya,
menggantikan Nabi Ismail A.S. dengan seekor domba. Dan domba itulah yang
disembelih.
Keseluruhan
peristiwa itu, mencerminkan sebuah sikap yang teguh atas sesuatu yang
diyakini kebenarannya. Atau, kalau kita menggunakan bahasa sekarang, ini adalah
totalitas dalam menjaga kepercayaan, untuk
menjalan misi yang diserahkan kepadanya.
Ini salah satu ma’na yang bisa kita tangkap dari peristiwa yang melibatkan Nabi Ibrahim A.S.
dan anaknya, Nabi Ismail A.S., yang harus kita jadikan acuan dalam menjalani
kehidupan ini.
Dengan
merenungkan kembali perjalanan Nabi Ibrahim A.S. dan keluarganya, mungkin kita
berkaca dan mencoba melihat keadaan
sekarang ini. Kita seringkali mendengarkan, dari para ahli dan pejabat yang
berwenang, bahwa kita mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat baik. Memang dalam kehidupan sehari-hari kita dapat
melihat mobil mewah yang berseliweran di jalan, gedung-gedung atau
bangunan-bangunan yang megah disekitar kita, atau pusat-pusat perbelanjaan yang
ramai dimana-mana, dengan barang-barang
mewah di dalamnya. Jadi mungkin memang ada pertumbuhan ekonomi. Tetapi realitas
lain menunjukkan bahwa diluar sana ada banyak saudara kita yang menderita,
kelaparan, kemiskinan. Bahkan mungkin jumlahnya semakin lama semakin besar. Jadi
barangkali memang ada pertumbuhan ekonomi, tetapi pertumbuhan tidak
menyentuh orang miskin. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh sekelompok kecil anggota masyarakat. Sedangkan kebanyakan rakyat terbenam dalam kemiskinan. Artinya ini adalah
sebuah lingkungan timpang, dan pasti itu
tidak sehat. Yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin. Kemiskinan yang membuat orang menderita
kelaparan, dan kelaparan itu menutup akal sehat dan melemahkan hati
nurani. Kelaparan itu merendahkan
martabat manusia, mendorong orang melakukan apa saja untuk bisa makan.
Kemiskinan itulah yang membuat kita,
langsung atau tidak langsung, berhadapan
dengan berbagai persoalan social dewasa ini.
Perampokan, pencurian dan penipuan terjadi dimana-mana. Kita senantiasa dihadapkan dengan kekerasan yang terjadi diberbagai tempat, bahkan ada yang dilakukan atas nama agama. Kita juga terkoyak
dengan bentrok antara kelompok
masyarakat. Keadaan itu menunjukkan kita
bahwa kita semakin individulistik, egois, tidak lagi saling menghargai, tidak
punya toleransi. Kita mudah sekali
tersulut dan meledak. Ini adalah gambar dari masyarakat yang sakit, yang
kehilangan karakter dan identitas.
Kondisi seperti
terjadi karena tampaknya fondasi bangunan masyarakat kita didasarkan pada gagasan Liberalisme (yang lebih mempercayai individu
atau perorangan, sehingga menyerahkan urusan-urusan public, yang seharusnya
diurus negara, kepada pihak swasta yg bisa berasal dari mana saja); dan, seperti sebuah koin mata uang, disisi
lain dari Liberalisme itu ada induvidualisme (segala hal di dilihat dari sisi
kepentingan individu).
Sejauh ini, kita
tidak memilik gambar yang jelas tentang masa depan kita sebagai bangsa yang berdaulat. Tidak hanya tidak
tersedia cukup lapangan kerja, tetapi juga kita semakin kehilangan penguasaan
terhadap sumber daya alam kita; sementara pelayanan public berada di tangan
swasta (yang lebih memikirkan keuntungan untuk dirinya sendiri). Tidak ada
perlindungan yang memadai terhadap warga negara, di dalam maupun di negara lain.
Bahkan, di dalam negeri, terlihat ada kecendrungan dari orang yang memiliki
kekuasaan melakukan memprovokasi sehingga
masyarakat bentrok sendiri dengan sesama. Tidak ada rasa aman dan keamanan. Dalam berbagai kasus, ketika ada konflik
antara yang memiliki kekuasaan atau yang memiliki kekuatan uang dengan rakyat
biasa, maka yang dikalahkan adalah rakyat biasa. Hal lain yang tampak menonjol justeru adalah penyalah gunaan kekuasan,
nepotisme, kolusi dan korupsi dikalangan atas, dikalangan orang-orang yang
memiliki kekuasaan, yang dipercaya dan diberi mandat untuk mengatur pengelenggaraan kehidupan bersama
ini. Kewenangan dan fasilitas yang diberikan kepada mereka untuk kepentingan
itu, tampaknya lebih banyak digunakan untuk kepentingan diri sendiri; maka yang
kelihatan adalah kehidupan para elit itu yang bergelimangan dengan kemewahan. Efeknya lebih jauh, adalah ketimpangan seperti
yang digambarkan diatas. Jelas bahwa fondasi bangunan masyarakat kita hanyalah
membuahkan ketimpangan, kesenjangan;
yang mengancam keberlanjutan kehidupan dan penghidupan secara menyeluruh.
Sistem ini hanya membangun individu-individu yang egois, yang memiliki watak hanya
melihat segala sesuatu dari sisi kepentingannya sendiri. Ini berbeda
jauh, bahkan bertentangan, dengan konsep
yang di dibangun oleh Nabi Ibrahim A.S.
Konsep yang
dibangun Nabi Ibrahim adalah bahwa kehidupan yang berma’na adalah berkorban. Berkorban itu
adalah melepaskan sesuatu yang sangat dicintai; atau melepaskan
kesenangan-kesenangan pribadi, demi untuk menunjukkan kesetiaan kepada yang
memberi mandat; atau mengorban kepentingan pribadi untuk kepentingan berasama. Sementara
yang ada dan berkembang dalam
lingkungan kita adalah mengorban orang lain, atau mengorbankan kepentingan
orang banyak untuk kepentingan diri sendiri. Maka yang terjadi adalah kepentingan
rakyat (yang memberi mandat) dikorban untuk kepentingan para pemimpin. Kepentingan
yang lemah dikorban untuk kepentingan yang kuat. Seharusnya, kalau mengacu
kepada Nabi Ibrahim A.S., pemimpin itu berkorban untuk kemashlatan
rakyat atau umat; bukan sebaliknya, mengorbankan rakyat untuk kepentingan para
pemimpin.
Dengan
Gambar buram seperti, maka relevan untuk
merenungkan kembali perjalanan Nabi Ibrahim A.S. Nabi yang meletakkan fondasi
agama ini. Agama ini adalah jalan yang benar, yang diredlohi, yang memberikan
tuntunan kepada kita untuk membangun dunia yang lebih baik, dalam arti lebih
adil, dan lebih seimbang. Seharusnya menjadi landasan kita berpijak dan menjadi
tempat kita bergantung. Maka tidak salah
kalau kita mengkaji kembali dan merenungkan perjalanan Nabi Ibrahim. Dan kita
memang diminta untuk senantiasa mengenang dan merenungkan perjalanan Nabi Allah Ibrahim A.S.
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
“Sungguh
bagi kalian terdapat teladan yang baik dalam (diri) Ibrahim dan orang-orang
yang bersamanya…” (al-Mumtahinah: 4)
Pertanyaannya
adalah maukah kita belajar dari apa yang sudah dikembangkan Nabi Ibrahim A.S.
?; dan sejauh mungkin menjadikannya sebagai landasan berpijak dalam membangun
hubungan dengan sesama, atau (lebih jauh) menjadikannya sebagai fondasi bangunan
kehidupan bersama kita sebagai sebuah masyarakat ?. Maukah kita menjalani hidup
yang lebih berma’na ?
باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. انه غفور رحيم
الله اكبر(9 ) الله اكبر ولله الحمدالحمد لله رب العالمين الذى ارسل رسوله رحمة للعالمينوانزل عليه القران هدى للمتقين . اما بعد فاتقواالله عباداللهايْنَمَاكنتم فى كل حين .واطيعواالله ورسوله واستقمواعلى الصّراط االمستقيم وعلى سنة نبٍي حر يصٍ عليكم بالمؤمنين رؤف رحيم ان الله وملأكتهيصلون على النبي يايهاالذين امنوا صلواعليه وسلموا تسليمًااِنْ تبدو اشيئًا اَوْ تخفوه فان الله كا ن بكل شئ عليمًااللهم صل وسلم علي سيد نا محمدٍ وعلى ال سيدنا محد كما صليت على سيدنا ابرا هيم وعلى ال سيدنا ابرا هيم اللهم بارك على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد كما باركت على سيدنا ابرا هيم وعلي ال سيدنا ابراهيم انك حميد مجيدوا رض اللهم عن الخلفا ئِهِ الرا شدين ساداتنا ابى بكرٍ وعمر وعثما ن وعلي وعلى من تبعهم باحسا ن الى يوم الديناللهم سلمنا واغفرلنا ولسائرالمؤمنين والمسلين الآحياء منهم والآموات انك سميعٌ قزيبٌ مجيب الداعواتاللهم اجعل بلد تنا هذه بلدةً طيبةً امنةً يآ تيها رزقها رغدًا من كل مكا نٍاللهم ول علينا خيا رنا ولاتول علينا شرارنا ياارحم الرحمينربنا تقبل منا انك انت السميع العليموتب علينا انك انت اتواب الرحيمربنااتنا فى الدنيا حسنة وفى الاخرة حسنة وقناعذاب النار
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam!