Sabtu, November 30, 2013

MENGENANG ALMAGHFUURULAH GURUTTA KH ABDURRAHMAN AMBO DALLE:



PENGORBANAN SANG MAHA GURU



Salah satu peristiwa yang paling banyak mengandung pro-kontra dalam sejarah DDI adalah ketika Almughfuurulahu Gurutta Abdurrahman Ambodalle memutuskan masuk Golkar pada pertengahan tahun 1970-an (1977). Peritiwa itu menimbulkan gonjangan besar dalam tubuh DDI, orang-orang  bersilang pendapat tentang peristiwa, mungkin sampai sekarang. 

Masa itu adalah masa pemerintahan Orde Baru (Orba), yang sangat refpersif. Atas nama pembangunan, yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, pemerintah Orba memberikan prioritas menjaga stabilitas keamanan, dan itu diiukuti  berbagai kebijakan. Diantaranya adalah  kebijakan penyederhanaan partai politik (Parpol). Hanya ada tiga parpol yang dibolehkan bermain. Golongan Karya (Golkar), partai pemerintah;  Partai Demokrasi Indonesia (PDI),  yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Murba, IPKI dan Parkindo; dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP atau P3), gabungan kelompok-kelompok Islam (NU, Parmusi, PSII dan PERTI). Pemerintah Orba menganganggap model banyak partai, lebih banyak menimbulkan persoalan,   membuat keadaan (politik) menjadi tidak stabil. Sejalan dengan itu, untuk menciptakan stabilitas politik, pemerintah  memberi peran ganda kepada ABRI (mereka dapat jatah kursi di MPR dan DPR tanpa harus ikut pemilu); dan sebebanrnya menjadi parnert Golkar untuk mengontrol Parlemen (DPR-MPR).  Pemerintah juga mengembangkan kebijakan yang disebut massa mengambang, untuk memotong hubungan Parpol (P3 dan  PDI) dengan basis massanya (Struktur organisasi Parpol hanya sampai di Kecamatan,  tidak ada kepengurusan di tingkat desa atau kelurahan);. Hanya Golkar, sebagai partai penguasa, lewat aparat borokrasi dan militer, yang boleh bersentuhan langsung dengan rakyat.

Meskipun kekuasaannya mutlak, tetapi tampaknya Pemerintah tetap  membutuhkan legimitasi, menganggap penting adanya lambang-lambang yang menunjukkkan adanya dukungan dari masyarakat (tampaknya Pemerintah juga mengganggap bahwa tidak lucu jika ada kekuasaan mutlak di zaman modern; harus kelihatan demokrastis). Karena itu mereka pun giat merekruit tokoh-tokoh, terutama yang dianggap memiliki pengaruh  besar dalam masyarakat.

Sikap pemerintah  yang cenderung sewenang-wenang mendapat perlawanan, dan P3 tampil cukup sengit di parlemen (sampai melakukan walk out di Sidang MPR untuk beberapa kasus, misalnya UU Perkawinan). Pokoknya P3 tampil beda. Maka tidak hanya   menjadi symbol kekuatan politik  Islam, tetapi P3 juga symbol perlawanan. Karena itu P3 memperoleh dukungan  yang luas; meskipun tidak bisa menang (konon karena hasil-hasil pemilu di rakayasa). Muncul anggapan dalam masyarakat, ketika itu, kalau tidak ikut atau tidak mendukung P3, seolah-olah orang tidak Islami.  Tokoh-tokoh Islam yang tidak ikut P3 dipertanyakan.

Maka ketika Gurutta menerima tawaran dan masuk Golkar, masyarakat pendukung, murid-murid dan kader-kader DDI pun tidak bisa menerima itu, meskipun Gurutta sudah menjelaskan bahwa itu dilakukan untuk kepentingan DDI.   Umumnya menganggap tindakan itu  telah mencederai masyarakat dan mencoreng nama besar Gurutta. Situasinya memanas. Tampaknya  ada juga pihak-pihak  yang memanfaatkan situasi itu dan melakukan provokasi, sehingga  memicu reaksi keras dari kebanyakan tokoh-tokoh, para kader dan santri DDI, yang menempatkan Gurutta seperti berhadapan dengan murid-muridnya. Bisa di katakan, bahwa saat itu Gurutta di tinggal. Konon santri Pondok Pesantren  Ujung Lare, di mobilisir, melakukan eksodus, sehingga Ujung Lare kosong. Situasi itu tampaknya menekan dan melukai Gurutta, sampai beliau berniat meninggalkan Sulawesi.

Tentu kalau Gurutta pergi, sulit membayangkan apa yang terjadi dengan DDI, dan meskipun Gurutta sudah menyatakan diri masuk Golkar, Pemerintah juga merasa tidak akan memperoleh apa-apa.  Karena itu, mungkin, beberapa tokoh membujuk Gurutta agar tidak pergi.  Golkar pun  turun tangan, menyediakan tempat di Kaballangang, Pinrang, dan membantunya membangun Pesantren Kaballangan. Gurutta mulai lagi membangun DDI dari Kaballangang, dan seiring dengan berjalannya waktu kepercayaan kepada Gurutta pun, pelan tapi pasti,  kembali lagi seperti semula.    

Peritiswa, mungkin sampai sekarang, tetap meninggal tanda tanya besar. Tetapi sebenarnya, kalau kita mau berpikir jernih,  maka peristiwa itu memberikan gambaran tentang karakter kepemimpinan Gurutta, Karakter kepemimpinan Ulama. Gurutta dalam kasus ini menunjukkan pengabdian, totalitas, keikhlasan dan kesiapan untuk berkorban.

Pemerintah, pada masa itu, dengan ujung tombak GOLKAR, sangat berkuasa dan cenderung se-wenang-wenang, bisa melakukan apa saja, menentukan hitam-putih sesuatu. Sementara itu Gurutta, sebagaimana yang kita ketahui bersama, pernah bergabung dengan Kahar Muzakkar dengan DI-TII nya, yang dianggap sebagai pembrontak oleh Pemerintah RI.  Gurutta memang di culik, atau dipaksa bergabung dengan DI-TII. Tetapi faktanya adalah bahwa Gurutta pernah ikut DI-TII, dengan jabatan-jabatan bergensi. Orang bisa menafsirkan fakta itu dari berbagai sudut, dari sudut pandang masing-masing. Tetapi  yang mutlak benar, ketika itu, adalah tafsir pemerintah. Dan karena DI-TII itu adalah pemberontak maka, di mata pemerintah, orang yang pernah tergabung (apapun alasaannya) dalam gerakan DI-TII juga bisa  dikategorikan atau dicap sebagai pemberontak. Dia bisa dijerat dengan UU Subversi.  

Jadi kita bisa membayangkan situasi seperti apa yang dihadapi Gurutta.  Kalau seandainya Gurutta, ketika ditawari, menolak masuk Golkar. Maka  Gurutta berada dalam ancaman serius. Banyak hal yang bisa terjadi. Kalau kita melihat cerita-cerita masa lalu, masa pemerintah Orde Baru, banyak tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok (kegamaan) yang mencoba menolak kebijakan pemerintah  di jebak, dengan permainan intelejen yang canggih, dan habisi. Ingat misalnya kasus, tragedy tanjung periok, September 1984, Ratusan orang jamaah Mushalah as Sa’adah tewas di bantai, termasuk Amir Biki, pemimin kelompok ini (pristiwa ini dipicu oleh provokasi dua orang petugas Koramil yang masuk ke Masjid tanpa melepas alas kaki). Padahal Amir Biki itu adalah sekutu awal Orba. Pembantian penduduk Way Jepara, Lampung, hanya karena ada dugaan bahwa di kampung itu kelompok pengajian yang mau menggantikan Pancasila dengan Islam.

Barangkali tidak seekstrim itu, mengingat karakter Gurutta, orang yang selalu berperasangka baik tergadap orang lain. Tetapi sangat mungkin Gurutta di jebak, dengan sesuatu, yang bisa dikaitkan dengan Kahar Muzakkar atau DI-TII. Bisa apa saja, bisa mulai dari yang ringan-ringan  (misalnya ketika memberikan pengajian, seseorang  bertanya menjurus dan menjebaknya untuk memberikan pernyataan tertentu, yang bisa ditafsirkan bahwa beliau merancang sesuatu, atau  mendukung gerakan tertentu yang bertentangan dengan pemerintah) sampai kepada pembicaraan-pembicraan serius yang terbatas. Pada masa itu semuanya bisa terjadi. Ada berbagai cara (mulai dari yang paling kasar sampai kepada yang sangat halus) dengan scenario tertentu, yang biasa untuk menjebak seorang tokoh. Apalagi, sistem kekuasaannya yang mutlak, menutup semua akses kecuali yang sudah ditentukan oleh pemerintah, yang terbatas, menyulitkan orang mengembangkan diri atau karier kalau tidak memiliki kedekatakan khusus dengan Pemerintah. Maka, untuk membuka akses yang terbatas itu, orang-orang (yang ambisius) dengan mudahnya berkhianat; dan biasanya kekuasaannya memang selalu memberikan umpan (kedudukan-kedudukan atau posisi-posisi tertentu) untuk memancing orang-orang ambisius meninggalkan sarangnya yang telah membesarkannya; atau menempatkannya disitu dan memberinya jaminan kekuasaan untuk mengontrol sarangnya itu.  Jadi ada banyak kemungkinan terjadi, yang bisa menyudutkan Gurutta. Maka, dilihat dari situ,  Gurutta memang tidak mempunyai pilihan lain, selain masuk Golkar.

Kalau saja Gurutta menolak masuk Golkar, dengan posisinya sebagai orang yang pernah bergabung dengan Kahar Muzakkar—rela atau tidak, suka atau tidak sukan—maka Gurutta bisa saja memperoleh stigma tertentu. Bisa dicap sebagai ‘bekas pemberontak’. Jika salah melangkah, atau di dorong untuk salah melangkah maka kemungkinannya, maka ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Kemungkinan yang paling serius adalah dijerat dengan UU Subversive.  Paling ringan adalah di isolasi. Kalau itu terjadi maka itu tidak hanya mengisolasi Gurutta, tetapi juga DDI. Pasti berdampak buruk bagi DDI. Bukan hanya institusi DDI, tetapi juga kader-kader DDI, santri dan warga DDI, akan mengalami kesulitan untuk mengembankan diri.  Bisa dikucilkan dari pergaulan  masyarakat dan Negara. Mungkin agak sulit membayang situasi seperti itu, terjadi pada masa sekarang, di masa keterbukaan. Tetapi di masa lalu banyak kejadian seperti itu terjadi. Kita bisa melihatnya pada kasus-kasus orang-orang yang di cap sebagai PKI, pada sebenarnya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan PKI; bukan hanya dia yang mengalami kematian perdata tetapi juga keluarganya, anak keturunan.

Pilihan masuk Golkar yang penuh resiko itu bukannya tidak diketahui oleh Gurutta. Dan sebenarnya Gurutta sudah mencoba menjelaskan. Tetapi orang-orang tidak bisa memahaminya, karena situasi pada masa itu. Gurutta memilih untuk di cerca, ditinggal, demi untuk sebuah cita-cita. Gurutta mempetaruhkan nama besar dan posisinya dalam masyarakat. Dan memang pada awalnya, konidisi Gurutta seperti terperosok kebawah, ke lantai paling bawah dari bangunan yang pernah didirikannya. Dan kalau dilihat lebih jernih, itu adalah pengorbanan yang sangat besar.

Maka sayapun belakangan faham apa ma’na dari jawaban Ayahanda saya, ketika saya dulu bertanya “kenapa Gurutta masuk GOLKAR ?”; beliau menjawab singkat, “Gurutta itu bukan orang sembarangan, dan tindakan itu juga tidak sembarangan”. Begitulah karakter Gurutta. Dari peristiwa itu bisa kita lihat  adanya totilitas dan keikhlasan, adanya kesiapan melepaskan diri dari sikap mementingkan diri sendiri, menjauhkan diri dari sikap menonjolkan diri. Amaghfuurulahu rela berkorban untuk kepentingan yang lebih besar, untuk murid-muridnya, untuk gerakan pendidikan dan da’wah yang dirintisnya.  Ini adalah karakter  Ulama, karakter kepemimpinan Ulama. Itu adalah jalan para Nabi, dan Ulama memang adalah pewaris para Nabi.   

Jampue, 27 November 2013
Hilmi Ali Yafie
.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!