Membangun
Kemajuan dan Militansi Masyarakat DDI
Oleh: Med HATTA
Gurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle (1900-1996) |
Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI) merupakan salah
satu ormas Islam terkemuka nasional, bahkan terbesar di Indonesia Timur yang
didirikan oleh sekelompok alim ulama sunni Sulawesi Selatan dan Barat di bawah
pimpinan Gurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle (1900-1996), melalui sebuah forum “Tudang
Sipulung (Musyawarah) Alim Ulama” di Watang Soppeng tahun 1947. Dan tokoh yang
disebutkan terakhir ini disebut sebagai founding father dan pemimpin
tertinggi DDI hingga Beliau wafat tahun 1996.
DDI – sesuai namanya – yang menitik beratkan misinya pada bidang pendidikan, dakwah dan sosial kemasyarakatan ini telah mengalami pasang-surut dalam perjalanannya dan mencapai puncak kejayaannya pada era ’80-an hingga tahun 1998. Seperti kata pameo bahwa ketahanan suatu konsep sangat ditentukan oleh sebuah ide dasar dan siapa yang mencetuskannya, maka DDI setelah pemimpin kharismatiknya tiada, sinarnya pun perlahan redup bahkan terpecah menjadi dua belahan besar dan sisanya terkotak-kotakkan, yang mengakibatkan DDI mengalami kemunduran dan tertinggal dari omas-ormas lainnya.
DDI – sesuai namanya – yang menitik beratkan misinya pada bidang pendidikan, dakwah dan sosial kemasyarakatan ini telah mengalami pasang-surut dalam perjalanannya dan mencapai puncak kejayaannya pada era ’80-an hingga tahun 1998. Seperti kata pameo bahwa ketahanan suatu konsep sangat ditentukan oleh sebuah ide dasar dan siapa yang mencetuskannya, maka DDI setelah pemimpin kharismatiknya tiada, sinarnya pun perlahan redup bahkan terpecah menjadi dua belahan besar dan sisanya terkotak-kotakkan, yang mengakibatkan DDI mengalami kemunduran dan tertinggal dari omas-ormas lainnya.
Beruntung Gurutta Ambo Dalle semasa hidupnya
telah membangun sebuah ikatan emosional yang kuat di antara murid-muridnya, sehingga
lahir istilah anak-anak biologis dan idologis yang senantiasa loyal dan
mencintai sang mahaguru. Maka dari murid-murid (Baca: kelompok) militan inilah kemudian
menjadi penggerak perubahan. Semangat mereka bagaikan badai yang tidak dapat
dibendung menuntut segera diadakan penyatuan
dan memajukan DDI seperti masa-masa kejayaannya ketika Gurutta masih hidup,
bahkan lebih men-dunia dari sebelum-sebelumnya.
Berbagai gebrakan yang telah dilakukan oleh
kelompok militan DDI ini, mulai dari membentuk kelompok-kelompok alumni berdasarkan
almamater seperti “Ikatan Alumni Pesantren DDI Kaballangang” (IAPDIKA). “Ikatan
Alumni DDI Abdurrahman Ambo Dalle” (IADAD) dan “Forum Alumni DDI Ujung
Lare” (FADILA), serta puncaknya bergabung dalam sebuah solidaritas nasional
Alumni DDI dan menyelenggarakan sebuah seminar nasional, yang dikenal dengan “Tudang
Sipulung Nasional (TSN) Alim Ulama DDI”, di Pondok Gede, Jakarta (31/ 3/ 2014).
Meskipun belum dilaksanakan muktamar bersama
penyatuan seperti rekomendasi TSN, tetapi setelah muktamar PB DDI di Sudiang
pada 19-21 Des 2014 lalu, dengan memilih secara aklamasi DR. KH. MA. Rusdy Ambo
Dalle sebagai ketua umum PB DDI periode 2014-2019, maka secara de facto
DDI telah dinyatakan ‘bersatu’, karena masih ada beberapa mekanisme
administrasi yang harus disesuaikan oleh kedua belah pihak, yaitu antara KH.
MA Rusdy Ambo Dalle (Ketum PB DDI) dengan AGH. M Faried Wajedy (Rais Am PP DDI
AD) secara laki-laki.
Budaya dan Kekuasaan Melahirkan Militansi DDI
Era Passelle Pasau:
Belajar dari pengalaman masa lalu, maka DDI
modern tidak ada pilihan lain kecuali harus bangkit membangun kemajuannya kembali
untuk bersaing dengan ormas-ormas besar nasional dan internasional, dan meraih
Purnama DDI seperti yang dicita-citakan oleh (almaghfuru-lahu) Gurutta
KH. Abdurrahman Ambo Dalle. Dan – kini – tanggung jawab ini telah berada pada
tangan yang benar, jatuh kepada Passelle Pasau-na Gurutta Ambo Dalle,
putra biologis sekaligus idiologis Beliau langsung, yaitu Dr. KH. MA. Rusdy
Ambo Dalle.
Oleh karena itu, untuk membangun kemajuan DDI
sangat dibutuhkan sebuah konsensus nilai yang ingin dikembangkan atau diterapkan
dalam masyarakat DDI. Konsensus itu berupa ide-ide tentang wacana dan diskursus
untuk menjadi nilai-nilai community of DDI building. Dan itu sudah
diletakkan oleh Gurutta Ambo Dalle selama hidupnya. Ketika nilai-nilai itu
telah kita sepakati bersama maka dalam aplikasinya dibutuhkan tangan-tangan
kekuasaan agar efektif, cepat dan tepat dalam pembentukannya pada masyarakat
dan warga DDI Global yang militan.
Kekuasaan selalu melekat dengan sebuah diskursus
tertentu, khususnya diskursus budaya (Baca: pengetahuan) sebagai sumber kuasa
dan kekuasaan itu sendiri. Menurut pakar sosiolog; kebenaran suatu diskursus
tergantung pada apa yang dikatakan, terutama siapa yang mengatakan, dan kapan serta
dalam kontes apa ia mengatakannya. Dengan demikian, seorang pemimpin yang
berkuasa akan dapat memberi pengaruh signifikan terhadap kekuasaannya. Maka tidak
heran jika siklus perubahan pada tatanan masyarakat hanya bisa dibentuk dari
cita-cita luhur seorang penguasa yang mengabdikan diri untuk masyarakatnya
secara ikhlas.
Kontribusi nilai kebaikan akan mudah dicapai
bila kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin dapat dirasakan sebagai teladan "amar
ma'ruf nahi munkar" tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan mazhab. Kebaikan-kebaikan
formalistik yang mengindikasikan terwujudnya nilai-nilai universal sebagai frame
sebuah ficture komunitas yang lahir dari kedalaman nilai budaya.
Tulisan ini tidak ingin menyebutkan apa yang
harus dilakukan oleh pemimpin masyarakat DDI modern era Passelle Pasau, tetapi
sebagai gambaran Al Quran telah banyak menceritakan type dan karakter pemimpin dan
kekuasaan pada beberapa ayat sucinya, mulai dari penguasa-penguasa local sampai
kepada penguasa dunia atau pemimpin bangsa besar sekaliber Namrud, Fir’aun,
Sulaiman, Zul Karnaen dan teladan pemimpin terbesar Dunia nabi Muhammad SAW.
Mereka telah membangun imperium yang sangat besar dipermukaan bumi, menguasai
seluruh belahan Barat dan Timur dunia, yang belum ada tandingannya hingga kini.
Raja Firaun misalnya, ia telah mencurahkan
segala pengetahuan dan kepiwaiannya membangun sebuah peradaban bangsa yang
sangat tnggi di masanya. Peninggalan-peninggalan sejarah yang pernah dibangun di
hilir sungai Nil - Mesir berupa situs-situs bersejarah seperti struktur kota modern,
oplis di Aswan, ma’bad Karnak, pemakaman raja-raja di Luxor dan beberapa
piramid besar dan kecil yang tersebar diberbagai wilayah Mesir menunjukkan
betapa tinggi peradaban manusia yang bangunnya.
Sungai Nil yang di bendung menjadi irigasi yang
mengairi lembah padang pasir tandus menjadi subur penuh pepohonan dan tanaman-tanaman
produktif yang memberi penghasilan bagi masyarakat Mesir kuno membuktikan bahwa
Firaun adalah seorang raja besar yang mengabdikan diri bagi rakyatnya,
perdagangan yang maju pesat hingga menjangkau hamper seluruh kawasan terutama
wilayah Timur dan Tengah benua Afrika serta kawasan Mediterania bagian Timur
memberikan kontribusi pembangunan ekonomi bagi bangsanya.
Dibidang pengembangan kebudayaan, sastra,
sistem tulis-menulis, seni, teknologi dan arsitektur, Fir’aun telah menunjukkan
keunggulan budaya bangsanya. Belum lagi keadidayaan militernya yang tak
tertandingi serta ditakuti oleh musuh-musuh yang mengancamnya sehingga
masyarakat negeri Mesir kuno aman dan stabilitas perekonomiannya terjamin. Semua
itu menjadi faktor keberhasilan Fir’aun membangun sebuah peradaban bangsa besar
yang pernah ada di muka bumi, yang menginsfirasi lahirnya peradaban-peradaban
manusia modern.
Namun, disayangkan capaian Fir’aun itu tidak
menjadikannya sosok penguasa yang rendah hati dan berlaku adil bagi rakyatnya
justru Fira’un terbentuk menjadi karakter penguasa yang semena-mena dan sombong
atas keunggulan budaya dan kekuasaannya, dan mencapai klimaksnya ia menjadikan
dirinya sebagai sosok tuhan yang harus disembah oleh rakyatnya. Suara rakyat
bukan lagi menjadi suara tuhan tetapi suara Fir’aun itulah sebagai suara tuhan,
wal’iuadzu billah. Sehingga Allah membinasakannya di tengah laut bersama
dengan bala tentaranya.
Karakter yang jauh berbeda dengan Fir’aun, sekitar
4000 tahun sesudahnya, lahir seorang rasul di Jazirah Arabia, nabi besar Muhammad
SAW mulai mengembangkan pengetahuan (risalah)nya tanpa memiliki kekuasaan memadai
di kota Makkah, kecuali hanya keimanan dan budi luhur saja. Maka nilai-nilai
dan risalah perubahan yang diembannya menjadi bahan cemoohan dan olok-olokan dikalangan
mayoritas bangsawan Quraisy, bahkan
menimbulkan kemarahan massal karena dianggap telah mengganggu sensitifitas
tradisi lokal masyarakatnya, dan menodai kepercayaan leluhur mereka.
Oleh karena itu, maka langkah awal yang
dilakukan nabi Muhammad SAW adalah dengan mengkomunikasikan dakwah dan
pengetahuannya di tengah-tengah masyarakat Quraisy Makkah dengan cara tertutup
atau dikenal “da’wah bissir”, Beliau menyampaikan dakwah pembaharuannya dengan
cara berbisik-bisik di antara keluarga, teman-teman dan kerabat-kerabat
terdekatnya. Nabi melakukan itu bukan karena belum datang kepadanya perintah
Allah untuk melakukan dakwah massal, tetapi hal itu lebih disebabkan karena
Beliau tidak mempunyai dukungan kekuasaan yang melekat pada dirinya.
Selama tiga tahun membangun dakwah dengan cara
tertutup semenjak dinobatkan menjadi nabi dan rasul pada usia 40 tahun, tentu
tidaklah mendapatkan dukungan kukuasaan yang memadai melainkan hanya disambut
oleh kelompok orang-orang lemah dan budak-budak sahaja saja. Lalu selanjutnya Allah
memerintahkan kepada nabi melakukan dakwah massal terbuka di kota Makkah, maka
sejak itu pula Muhammad SAW mendapatkan protes dan tekanan keras dari bangsawan
Quraisy yang merasa terganggu dengan cara-cara dakwah massal itu.
Beberapa kali pemuka bangsa Arab mendatangi
paman nabi Abu Thalib meminta agar ia mau menghentikan ocehan keponakannya yang
dianggap menyinggung nilai-nilai traditional leluhur mereka. Namun, negoisasi
itu selalu berakhir tanpa ada respon apapun dari Abu Thalib sampai pada
akhirnya paman nabi yang tercinta itu meninggal dunia di saat-saat nabi masih membutuhkan
ke tokohannya sebagai pelindung aktifitas dakwahnya.
Maka semenjak kepergian Abu Thalib itulah serial cercaan, ancaman,
siksaan, dan berbagai penganiayaan lainnya mulai dilancarkan oleh kaum Quraisy
jahiliyah, dan langsung dirasakan nabi Muhammad SAW dan pengikutnya. Dan
keadaan seperti itu hampir sepuluh tahun dirasakan umat Islam di Makkah sebelum
diputuskan untuk pindah ke Yastrib yaitu Madinah - saat ini. Dan di Madinah,
barulah nabi Muhammad SAW dapat mengekspresikan pengetahuannya dengan memiliki
kekuasaan sebagai Imam dan pemimpin kekuasaan umat Islam pertama Madinah.
Sejarah dua kekuasaan besar di atas
menginspirasi bahwa peran kekuasaan mampu mendorong penciptaan peradaban sesuai
persepsi pemimpin/ penguasa dengan menerapkankan pengetahuan (budaya) sesuai
orientasi yang ingin dicapainya. Atau relasional budaya dan kekuasaan saling
berkontribusi untuk memuluskan perjalanan kekuasaan itu sendiri secara
produktif. Dengan demikian, budaya atau pengetahuan dalam kekuasaan itu haruslah
membawa dampak maslahat yang diformulasikan dalam perbaikan dan pembangunan.
Peran Passelle Pasau Membangun Budaya Militan
DDI:
Jika hal ini ingin ditrasfermasikan kepada peran
yang harus dilakoni Passelle Pasau dalam membangun masyarakat DDI yang militan,
loyal dan mencintai penguasa serta kekuasaannya, secara sederhana ditekankan kepada
tiga hal prinsip:
Pertama: Passelle pasau yang berkuasa harus memenuhi
hajat kebutuhan spiritual bagi masyarakatnya secara proporsional sesuai konsensus
DDI yang telah diletakkan dan diteladankan oleh Gurutta Ambo Dalle;
Kedua: Membangun ormas DDI bersatu, maju, besar
secara nasional dan mampu bersaing dilevel internasional; menjadikan sekolah-sekolah,
pesantren dan lembaga pendidikan tinggi, serta lembaga-lembaga pendukung ormas
DDI lainnya sebagai menara-menara budaya, dakwah dan social kemasyarakatan di
negeri ini dan terpandang di dunia internasional. Dan penguasa passelle pasau
harus menampilkan DDI sebagai ormas yang mandiri secara ekonomi dengan mengembangkan
aset-aset produktif organisasi menjadi sumber-sumber perekonomian masyarakat DDI,
dengan tidak membiarkan adanya kesenjangan sosial dalam peningkatan sumber daya
manusia terutama dalam pemenuhan hak-hak intelektualitas sebagai penopang
kemajuan peradaban luhur.
Ketiga: Passelle Pasau penguasa harus lebih
arif dan bijaksana dalam menanamkan nilai-nilai sosial kemasyarakatan dengan sangat
elegan layaknya passelle pasau benar-benar memahami wacana-wacana universal
diantara perbedaan-perbedan suku, ras dan wawasan dalam struktur masyarakat DDI.
Prinsip-prinsip inilah yang membuat keberhasilan
nabi Muhammad SAW dalam menggunakan kekuasaannya sehingga menciptakan militansi,
loyalitas dan kecintaan pengikutnya dalam menerima dakwanya, dan ini pula yang telah
diteladankan Gurutta Ambo Dalle dalam mengembangkan DDI. Dan tentu saja prinsip-prinsip ini dilupakan
oleh Fir’aun laknatullah ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam!