Sabtu, Januari 24, 2015

MENCIPTAKAN MILITANSI DDI ERA PASSELLE PASAU:

Membangun Kemajuan dan Militansi Masyarakat DDI
Oleh: Med HATTA

Gurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle (1900-1996)
Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI) merupakan salah satu ormas Islam terkemuka nasional, bahkan terbesar di Indonesia Timur yang didirikan oleh sekelompok alim ulama sunni Sulawesi Selatan dan Barat di bawah pimpinan Gurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle (1900-1996), melalui sebuah forum “Tudang Sipulung (Musyawarah) Alim Ulama” di Watang Soppeng tahun 1947. Dan tokoh yang disebutkan terakhir ini disebut sebagai founding father dan pemimpin tertinggi DDI hingga Beliau wafat tahun 1996.  



DDI – sesuai namanya – yang menitik beratkan misinya pada bidang pendidikan, dakwah dan sosial kemasyarakatan ini telah mengalami pasang-surut dalam perjalanannya dan mencapai puncak kejayaannya pada era ’80-an hingga tahun 1998. Seperti kata pameo bahwa ketahanan suatu konsep sangat ditentukan oleh sebuah ide dasar dan siapa yang mencetuskannya, maka DDI setelah pemimpin kharismatiknya tiada, sinarnya pun perlahan redup bahkan terpecah menjadi dua belahan besar dan sisanya terkotak-kotakkan, yang mengakibatkan DDI mengalami kemunduran dan tertinggal dari omas-ormas lainnya.


Beruntung Gurutta Ambo Dalle semasa hidupnya telah membangun sebuah ikatan emosional yang kuat di antara murid-muridnya, sehingga lahir istilah anak-anak biologis dan idologis yang senantiasa loyal dan mencintai sang mahaguru. Maka dari murid-murid (Baca: kelompok) militan inilah kemudian menjadi penggerak perubahan. Semangat mereka bagaikan badai yang tidak dapat dibendung menuntut segera  diadakan penyatuan dan memajukan DDI seperti masa-masa kejayaannya ketika Gurutta masih hidup, bahkan lebih men-dunia dari sebelum-sebelumnya.  


Berbagai gebrakan yang telah dilakukan oleh kelompok militan DDI ini, mulai dari membentuk kelompok-kelompok alumni berdasarkan almamater seperti “Ikatan Alumni Pesantren DDI Kaballangang” (IAPDIKA). “Ikatan Alumni DDI Abdurrahman Ambo Dalle” (IADAD) dan “Forum Alumni DDI Ujung Lare” (FADILA), serta puncaknya bergabung dalam sebuah solidaritas nasional Alumni DDI dan menyelenggarakan sebuah seminar nasional, yang dikenal dengan “Tudang Sipulung Nasional (TSN) Alim Ulama DDI”, di Pondok Gede, Jakarta (31/ 3/ 2014).


Meskipun belum dilaksanakan muktamar bersama penyatuan seperti rekomendasi TSN, tetapi setelah muktamar PB DDI di Sudiang pada 19-21 Des 2014 lalu, dengan memilih secara aklamasi DR. KH. MA. Rusdy Ambo Dalle sebagai ketua umum PB DDI periode 2014-2019, maka secara de facto DDI telah dinyatakan ‘bersatu’, karena masih ada beberapa mekanisme administrasi yang harus disesuaikan oleh kedua belah pihak, yaitu antara KH. MA Rusdy Ambo Dalle (Ketum PB DDI) dengan AGH. M Faried Wajedy (Rais Am PP DDI AD) secara laki-laki.


Budaya dan Kekuasaan Melahirkan Militansi DDI Era Passelle Pasau:

Belajar dari pengalaman masa lalu, maka DDI modern tidak ada pilihan lain kecuali harus bangkit membangun kemajuannya kembali untuk bersaing dengan ormas-ormas besar nasional dan internasional, dan meraih Purnama DDI seperti yang dicita-citakan oleh (almaghfuru-lahu) Gurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle. Dan – kini – tanggung jawab ini telah berada pada tangan yang benar, jatuh kepada Passelle Pasau-na Gurutta Ambo Dalle, putra biologis sekaligus idiologis Beliau langsung, yaitu Dr. KH. MA. Rusdy Ambo Dalle.

Oleh karena itu, untuk membangun kemajuan DDI sangat dibutuhkan sebuah konsensus nilai yang ingin dikembangkan atau diterapkan dalam masyarakat DDI. Konsensus itu berupa ide-ide tentang wacana dan diskursus untuk menjadi nilai-nilai community of DDI building. Dan itu sudah diletakkan oleh Gurutta Ambo Dalle selama hidupnya. Ketika nilai-nilai itu telah kita sepakati bersama maka dalam aplikasinya dibutuhkan tangan-tangan kekuasaan agar efektif, cepat dan tepat dalam pembentukannya pada masyarakat dan warga DDI Global yang militan.

Kekuasaan selalu melekat dengan sebuah diskursus tertentu, khususnya diskursus budaya (Baca: pengetahuan) sebagai sumber kuasa dan kekuasaan itu sendiri. Menurut pakar sosiolog; kebenaran suatu diskursus tergantung pada apa yang dikatakan, terutama siapa yang mengatakan, dan kapan serta dalam kontes apa ia mengatakannya. Dengan demikian, seorang pemimpin yang berkuasa akan dapat memberi pengaruh signifikan terhadap kekuasaannya. Maka tidak heran jika siklus perubahan pada tatanan masyarakat hanya bisa dibentuk dari cita-cita luhur seorang penguasa yang mengabdikan diri untuk masyarakatnya secara ikhlas.

Kontribusi nilai kebaikan akan mudah dicapai bila kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin dapat dirasakan sebagai teladan "amar ma'ruf nahi munkar" tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan mazhab. Kebaikan-kebaikan formalistik yang mengindikasikan terwujudnya nilai-nilai universal sebagai frame sebuah ficture komunitas yang lahir dari kedalaman nilai budaya.

Tulisan ini tidak ingin menyebutkan apa yang harus dilakukan oleh pemimpin masyarakat DDI modern era Passelle Pasau, tetapi sebagai gambaran Al Quran telah banyak menceritakan type dan karakter pemimpin dan kekuasaan pada beberapa ayat sucinya, mulai dari penguasa-penguasa local sampai kepada penguasa dunia atau pemimpin bangsa besar sekaliber Namrud, Fir’aun, Sulaiman, Zul Karnaen dan teladan pemimpin terbesar Dunia nabi Muhammad SAW. Mereka telah membangun imperium yang sangat besar dipermukaan bumi, menguasai seluruh belahan Barat dan Timur dunia, yang belum ada tandingannya hingga kini.

Raja Firaun misalnya, ia telah mencurahkan segala pengetahuan dan kepiwaiannya membangun sebuah peradaban bangsa yang sangat tnggi di masanya. Peninggalan-peninggalan sejarah yang pernah dibangun di hilir sungai Nil - Mesir berupa situs-situs bersejarah seperti struktur kota modern, oplis di Aswan, ma’bad Karnak, pemakaman raja-raja di Luxor dan beberapa piramid besar dan kecil yang tersebar diberbagai wilayah Mesir menunjukkan betapa tinggi peradaban manusia yang bangunnya.

Sungai Nil yang di bendung menjadi irigasi yang mengairi lembah padang pasir tandus menjadi subur penuh pepohonan dan tanaman-tanaman produktif yang memberi penghasilan bagi masyarakat Mesir kuno membuktikan bahwa Firaun adalah seorang raja besar yang mengabdikan diri bagi rakyatnya, perdagangan yang maju pesat hingga menjangkau hamper seluruh kawasan terutama wilayah Timur dan Tengah benua Afrika serta kawasan Mediterania bagian Timur memberikan kontribusi pembangunan ekonomi bagi bangsanya.

Dibidang pengembangan kebudayaan, sastra, sistem tulis-menulis, seni, teknologi dan arsitektur, Fir’aun telah menunjukkan keunggulan budaya bangsanya. Belum lagi keadidayaan militernya yang tak tertandingi serta ditakuti oleh musuh-musuh yang mengancamnya sehingga masyarakat negeri Mesir kuno aman dan stabilitas perekonomiannya terjamin. Semua itu menjadi faktor keberhasilan Fir’aun membangun sebuah peradaban bangsa besar yang pernah ada di muka bumi, yang menginsfirasi lahirnya peradaban-peradaban manusia modern.

Namun, disayangkan capaian Fir’aun itu tidak menjadikannya sosok penguasa yang rendah hati dan berlaku adil bagi rakyatnya justru Fira’un terbentuk menjadi karakter penguasa yang semena-mena dan sombong atas keunggulan budaya dan kekuasaannya, dan mencapai klimaksnya ia menjadikan dirinya sebagai sosok tuhan yang harus disembah oleh rakyatnya. Suara rakyat bukan lagi menjadi suara tuhan tetapi suara Fir’aun itulah sebagai suara tuhan, wal’iuadzu billah. Sehingga Allah membinasakannya di tengah laut bersama dengan bala tentaranya.

Karakter yang jauh berbeda dengan Fir’aun, sekitar 4000 tahun sesudahnya, lahir seorang rasul di Jazirah Arabia, nabi besar Muhammad SAW mulai mengembangkan pengetahuan (risalah)nya tanpa memiliki kekuasaan memadai di kota Makkah, kecuali hanya keimanan dan budi luhur saja. Maka nilai-nilai dan risalah perubahan yang diembannya menjadi bahan cemoohan dan olok-olokan dikalangan mayoritas  bangsawan Quraisy, bahkan menimbulkan kemarahan massal karena dianggap telah mengganggu sensitifitas tradisi lokal masyarakatnya, dan menodai kepercayaan leluhur mereka.

Oleh karena itu, maka langkah awal yang dilakukan nabi Muhammad SAW adalah dengan mengkomunikasikan dakwah dan pengetahuannya di tengah-tengah masyarakat Quraisy Makkah dengan cara tertutup atau dikenal “da’wah bissir”, Beliau menyampaikan dakwah pembaharuannya dengan cara berbisik-bisik di antara keluarga, teman-teman dan kerabat-kerabat terdekatnya. Nabi melakukan itu bukan karena belum datang kepadanya perintah Allah untuk melakukan dakwah massal, tetapi hal itu lebih disebabkan karena Beliau tidak mempunyai dukungan kekuasaan yang melekat pada dirinya.

Selama tiga tahun membangun dakwah dengan cara tertutup semenjak dinobatkan menjadi nabi dan rasul pada usia 40 tahun, tentu tidaklah mendapatkan dukungan kukuasaan yang memadai melainkan hanya disambut oleh kelompok orang-orang lemah dan budak-budak sahaja saja. Lalu selanjutnya Allah memerintahkan kepada nabi melakukan dakwah massal terbuka di kota Makkah, maka sejak itu pula Muhammad SAW mendapatkan protes dan tekanan keras dari bangsawan Quraisy yang merasa terganggu dengan cara-cara dakwah massal itu.

Beberapa kali pemuka bangsa Arab mendatangi paman nabi Abu Thalib meminta agar ia mau menghentikan ocehan keponakannya yang dianggap menyinggung nilai-nilai traditional leluhur mereka. Namun, negoisasi itu selalu berakhir tanpa ada respon apapun dari Abu Thalib sampai pada akhirnya paman nabi yang tercinta itu meninggal dunia di saat-saat nabi masih membutuhkan ke tokohannya sebagai pelindung aktifitas dakwahnya.

Maka semenjak  kepergian Abu Thalib itulah serial cercaan, ancaman, siksaan, dan berbagai penganiayaan lainnya mulai dilancarkan oleh kaum Quraisy jahiliyah, dan langsung dirasakan nabi Muhammad SAW dan pengikutnya. Dan keadaan seperti itu hampir sepuluh tahun dirasakan umat Islam di Makkah sebelum diputuskan untuk pindah ke Yastrib yaitu Madinah - saat ini. Dan di Madinah, barulah nabi Muhammad SAW dapat mengekspresikan pengetahuannya dengan memiliki kekuasaan sebagai Imam dan pemimpin kekuasaan umat Islam pertama Madinah.

Sejarah dua kekuasaan besar di atas menginspirasi bahwa peran kekuasaan mampu mendorong penciptaan peradaban sesuai persepsi pemimpin/ penguasa dengan menerapkankan pengetahuan (budaya) sesuai orientasi yang ingin dicapainya. Atau relasional budaya dan kekuasaan saling berkontribusi untuk memuluskan perjalanan kekuasaan itu sendiri secara produktif. Dengan demikian, budaya atau pengetahuan dalam kekuasaan itu haruslah membawa dampak maslahat yang diformulasikan dalam perbaikan dan pembangunan.  

Peran Passelle Pasau Membangun Budaya Militan DDI:

Jika hal ini ingin ditrasfermasikan kepada peran yang harus dilakoni Passelle Pasau dalam membangun masyarakat DDI yang militan, loyal dan mencintai penguasa serta kekuasaannya, secara sederhana ditekankan kepada tiga hal prinsip:

Pertama: Passelle pasau yang berkuasa harus memenuhi hajat kebutuhan spiritual bagi masyarakatnya secara proporsional sesuai konsensus DDI yang telah diletakkan dan diteladankan oleh Gurutta Ambo Dalle;

Kedua: Membangun ormas DDI bersatu, maju, besar secara nasional dan mampu bersaing dilevel internasional; menjadikan sekolah-sekolah, pesantren dan lembaga pendidikan tinggi, serta lembaga-lembaga pendukung ormas DDI lainnya sebagai menara-menara budaya, dakwah dan social kemasyarakatan di negeri ini dan terpandang di dunia internasional. Dan penguasa passelle pasau harus menampilkan DDI sebagai ormas yang mandiri secara ekonomi dengan mengembangkan aset-aset produktif organisasi menjadi sumber-sumber perekonomian masyarakat DDI, dengan tidak membiarkan adanya kesenjangan sosial dalam peningkatan sumber daya manusia terutama dalam pemenuhan hak-hak intelektualitas sebagai penopang kemajuan peradaban luhur.

Ketiga: Passelle Pasau penguasa harus lebih arif dan bijaksana dalam menanamkan nilai-nilai sosial kemasyarakatan dengan sangat elegan layaknya passelle pasau benar-benar memahami wacana-wacana universal diantara perbedaan-perbedan suku, ras dan wawasan dalam struktur masyarakat DDI.

Prinsip-prinsip inilah yang membuat keberhasilan nabi Muhammad SAW dalam menggunakan kekuasaannya sehingga menciptakan militansi, loyalitas dan kecintaan pengikutnya dalam menerima dakwanya, dan ini pula yang telah diteladankan Gurutta Ambo Dalle dalam mengembangkan DDI.  Dan tentu saja prinsip-prinsip ini dilupakan oleh Fir’aun laknatullah ...  
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!