Catatan Akhir Tahun 2017 :
Penulis : AGH. Helmi Ali |
Tidak terasa kita kini sudah berada
diujung tahun 2017, dan sebentar lagi memasuki tahun 2018. Waktu berjalan
begitu cepat, berbagai peristiwa kita lalui. Ada yang menyenangkan,
menggembirakan, memberi energy; di lain sisi, ada juga yang (tampaknya lebih
banyak) merisaukan, menyesakkan, menguras energy ketika melintas benak kita.
Saya mencatat bahwa ditingkat
tertentu sekarang ini muncul kegairahan ber-DDI, atau mungkin menjadi DDI
kembali (sebagai gerakan pendidikan dan dakwah). Terihat ada semangat baru,
penuh harapan tentang DDI ke depan. Hubungan-hubungan yang dulu kaku, seperti
mencair. Orang-orang dulu memandang saudaranya dan tetangganya dengan nyinyir,
karena persoalan-persoalan masa lalu, lebih banyak bercerita tentang sisi
gelapnya dan keburukannya, mulai membuka diri; menerima kehadirannya dan tidak
lagi banyak mengungkapkan sisi-sisi gelap saudaranya itu. Orang-orang yang dulu
memandang sadaranya, penuh rasa curiga, tidak percaya, mulai menyapa dengan
akrab. Itu tentu saja menggemberikan dan memberi semangat.
Tetapi anehnya, tidak ada complain
tentang itu. Entah kenapa begitu. Mungkin juga dipengaruhi oleh sikap, penampilan
yang sejuk dan bersahaja dari serta pidato pembukaan (pengarahan) Ketua Umum
serta AGH Sanusi Baco. Pada awalnya memang, mungkin karena kebiasaan lama, ada
yang mempersoal kan aturan main, mempertanyakan ‘apakah ini kourom atau tidak.
(Saya sempat menyanggahnya, dengan balik bertanya ‘apakah selama ini pernah ada
acara (rapat-rapat) DDI yang kourum’; keculi Muktamar, barangkali. ‘Daripada
mempersoalkan itu semua, yang bisa bertele-tele hanya untuk mengurusi kata
‘kourum’, kenapa kita tidak focus untuk bermusyawarah’; ‘bukankah yang hadir
ini berasal dari berabagai daerah’). Hanya itu interupsinya.
Selebihnya acara itu berlangsung
mulus. Tentu ada gesekan-gesekan, terutama internal panitia, antar panitia,
antar panitia local dan nasional, tetapi karena kesigapan panitia inti semua
bisa diatasi, dan tidak mengganggu acara secara keseluruhan. Meskipun di sengat
panas, tidur ditempat seadanya, peserta tetap bergairah dan bersemangat. Mereka
berdiskusi sampai larut malam. Diskusi juga tidak banyak melebar, tetap berada
dalam kerangka rancangan acara. Kritik dan saran-saran yang dilakukan
konstruktif dan diterima dengan lapang dada. Pengarah acara, moderator, dan
panitia juga tampil prima; santai tapi prima.
Satu peristiwa pada acara penutupan,
yang menurut saya menarik dilihat. Panitia tidak tahu kalau Majelis Istisyari
(MI) juga hadir. Oleh karena itu acara penutup (dirancang) sepenuhnya
diserahkan kepada Majelis Syuyukh (MS). Tetapi, uniknya, ketika akan mengakhiri
pidato penutupan (dan menyatakan acara ditutup), AGH Farid Wajedi, menyatakan
‘saya kira dari saya cukup sekian, adapun do’a saya kira lebih jika kita
serahkan kapada Ketua MI’. Maka sesudah menyatakan acara (musyawarah) resmi
ditutup, mengucapkan salam, beliaupun turun dari podium. Protocol dengan sikap
(dan dengan basa-basi menarik) mempersilahkan Prof. Rahim naik membacara doa.
Saya terharu. Bagi orang lain mungkin itu sepele, tetapi bagi saya itu, itu
indah dan bermartabat, itu adalah symbol, bagaimana orang saling membuka ruang,
saling memberi jalan; bukan saling mendahului.
Menurut saya, acara Kaballangang itu,
dengan suasana yang tercipta (terlepas dari hasilnya yang juga maksimal),
berhasil memberikan semangat baru dan energy besar bagi siapa yang mengurusi
DDI. Bagi saya itu adalah acara yang bersahaja tetapi sukses, melampaui
ekspektasi. Sangat berbahagia bisa menyaksikannya dan mengharukan bisa menjadi
bagian dari acara itu. Itulah warna dan roh DDI. Saya kira panitia patut diberi
double jempol. Sungguh saya seperti melayang ketika mengingatnya. Tetapi ketika
saya kembali berpijak, muncul pertanyaan dalam benak saya ‘bisakah suasana
seperti itu muncul kembali ?’; atau ‘bisakah semangat dan kegairahan itu
bertahan ?’. Terutama ketika menghadapi moment yang lebih besar seperti
Muktamar. Pertanyaan itu muncul karena realitasnya kita masih terbelit dengan
berbagai persoalan yang menggangu, dan memeras energy ketika memikirkannya.
Kita memang sudah mempunyai SK
Kemenhumham, dengan bentuk sangat sederhana, tetapi mempunyai daya yang sangat
besar untuk eksistensi DDI. SK itu mengukuhkan DDI sebagai bagian dari
perjuangan bangsa Indonesia. Dengan adanya SK itu tidak mungkin lagi ada DDI
yang lain. Dengan SK itu kita bisa memantapkan arah, sesuai dengan mabda’ DDI,
karena SK itu ada berdasarkan sejarah. SK itu kita bisa jadikan landasan
membangun atau memperbaiki struktur (hubungan-hubungan) kelembagaan,
fungsi-fungsi, perinkat dan perangkat organisasi; dengan SK itu kita bisa
meluruskan dan menjernihkan komunikasi berbagai arah dan timbal-balik.
Kita juga mulai mengidnetifikasi dan
mulai bisa melindungi (sebagian kecil) asset DDI. Kita juga sudah membicarakan
bersama aturan main di DDI. Tentu masih perlu dilihat, dikoreksi, apakah ada
point-point yang bertabarakan dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Tetapi apapun itu kita sudah membicarakannya berasama. Kita sudah menunjukkan
bahwa kita bisa duduk bersama, berbicara, saling berbagi, tanpa ada intrik dan
trik, karena semangat kebersamaan dan persaudaraan. Kita juga bisa menempatkan
orang di Ujung Lare dan Kaballangan; yang bersama Mangkoso merupakan pilar yang
menunjang eksistensi DDI. Dua pilar DDI itu (tidak seperti Mangkoso, yang masih
berfungsi), yang salama ini mengalami kemandegan, tidak berfungsi sebagai wadah
tempat menggodog kader, guru-guru masarakat yang memungkin DDI tumbuh dan
berkembang di berbagai daerah, menjadikan DDI mengindonesia.
Tetapi baru terbatas disitu. Kita
belum beranjak jauh dari sekedar menempatkan orang disitu. Sesungguhnya kita
mau mengembalikan fungsi dan peran kedua pesantren; sebagai pilar, sebagai
wadah tempat menggodog kader, guru-guru masyarakat yang memiliki kepekaan,
keteladanan, dan pada akhirnya menjadi ujung tombak dalam upaya membangun
fondasi keagamaan masyarakat dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran DDI. Tetapi
system yang kita bayangkan bisa mensupport kearah itu tampaknya tidak berajalan
sesuai harapan. Ada banyak penyebabnya. Mungkin sistemnya tidak cocok, atau
mungkin memang tidak bagus (karena itu tidak bisa dijalankan). Tetapi sejauh ini
juga terlihat bahwa kita tidak memiliki cukup sumberdaya dan amunisi yang
memadai; totalitas, komitmen; disamping itu terlihat adanya penafsiran dan
persepsi tentang DDI.
Rombak kembali ?. Bisa, pasti bisa.
Tetapi itu tidak bisa dilakukan sepihak, harus dua belah pihak, karena kita
berhadapan dengan orang, manusia yang memiliki martabat (kemanusiaan), karena
itu tidak bisa diperlakukan semena-mena (harus diberi kesempatan, paling tidak
untuk menyatakan pembelaan dan keberatannya). Apalagi DDI ini adalah gerakan
pendidikan dan dakwah, tentu harus berjalan diatas jalur yang dibangun diatas
landasan, tujuan, nilai-nilai atau etika pendidikan DDI itu. Terlepas dari itu,
saya kira memang lebih sulit memperbaiki yang sudah rusak (tidak berfungsi)
ketimbang membangun yang baru sama sekali. Apalagi kerusakannya sudah berjalan
bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun.
Teteapi kita tidak bisa
meninggalkannya begitu saja (karena pikiran bahwa lebih baik membangun yang
baru dari pada memperbaiki yang rusak); karena keduanya itu (bersama Mangkoso)
adalah sejarah DDI. Memutus itu berarti memutus sejarah DDI; dan itu membuat
DDI bisa kehilangan identitas. Kita mempunyai beban sejarah disitu yang harus
dipikul. Jadi harus ditangani, dengan segala macam tantangan dan risikonya.
Pertanyaannya adalah bisakah itu diperbaki seketika ?. Bisakah keduanya,
setelah mengalami kerusakan selama puluhan tahun (sejak kita ditinggalkan
Gurutta) menjadi baik (berjalan sesuai fngsi dan karakternya) dalam satu dua
tahun ?. Itu membutuhkan pemikiran serius yang konstruktif, utuh (menyeluruh)
dan sistematis yang mengacu pada atau sesuai dengan karakter Kabalangang dan
Ujung Lare sendiri. Bukan pikiran sporadis, yang lebih merupakan bagian-bagian
yang terpotong-potong.
Problem lain adalah soal sumberdaya
dan amunisi. Tadi saya mengatakan bahwa dalam hal itu kita kekurangan.
Sesungguhnya yang saya maksud bukan pada kwalifikasinya. Saya kira kalau dari
kawalifikasi, kita tidak kekurangan. Tetapi tampaknya kita kekurangan dalam hal
yang memiliki totalitas dan komitmen penuh (Paling tidak sekarang ini kita
membutuhkan orang-orang memiliki kwalifikasi guru besar dan operator handal,
terbuka, memiliki dada lapang, dengan komitmen penuh dan totalitas).
Ini hanyalah sekadar catatan saja.
Ini juga menjadi bagian pikiran Ketua Umum; kami sering membicarakan hal ini.
Ini bukan pikiran yang buntu, yang tidak punya jalan keluar. Tetapi setumpuk
pikiran yang sedang mencari jalan keluar. Saya mensharenya supaya tidak
menumpuk dalam benak, dan memberikan tekanan berlebihan. Kami tahu banyak kawan
yang memiliki keprihatinan sama, dan memiliki komitmen. Kami sedang
mengidentifikasikannya. Sebenarnya bukan hanya kasus Kaballangan dan Ujung Lare
yang ada. Ada banyak kasus lain. Seringkali ada usulan agar PB berkonsentrasi
saja di dua kasus diatas. Sesungguhnya dengan juga mengurusi yang lain, tidak
berarti mengabaikan atau tidak memprioritaskan keduanya.
Kembali kepada landasan tadi bahwa
kita bekerja dan berhubungan dengan manusia yang juga memiliki ikatan emosional
dan sejarah dengan kita; bukan dengan mesin. Bagi PB posisi keduanya itu sangat
penting, bahkan sentral, sama dengan Mangkoso. Maka pasti menjadi prioritas.
Tetapi kita juga harus mengurusi yang lain; simpul-simpul DDI yang lain yang
tersebar diberbagai daerah. Kita tidak bisa mengabaikan simpul-simpul DDI yang
lain; dengan alasan itu. Memang harus diakui bahwa kami memang terkesan lamban;
dan itu karena keterbatasan kami. Kami memang memiliki banyak kekurangan dan
keterbatasan. Tetapi kami memiliki komitmen. (HA).
p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam!