Minggu, Desember 31, 2017

CATATAN AKHIR TAHUN SEKJEN PB DDI (2017):

Catatan Akhir Tahun 2017 :


Penulis : AGH. Helmi Ali
Tidak terasa kita kini sudah berada diujung tahun 2017, dan sebentar lagi memasuki tahun 2018. Waktu berjalan begitu cepat, berbagai peristiwa kita lalui. Ada yang menyenangkan, menggembirakan, memberi energy; di lain sisi, ada juga yang (tampaknya lebih banyak) merisaukan, menyesakkan, menguras energy ketika melintas benak kita.

Saya mencatat bahwa ditingkat tertentu sekarang ini muncul kegairahan ber-DDI, atau mungkin menjadi DDI kembali (sebagai gerakan pendidikan dan dakwah). Terihat ada semangat baru, penuh harapan tentang DDI ke depan. Hubungan-hubungan yang dulu kaku, seperti mencair. Orang-orang dulu memandang saudaranya dan tetangganya dengan nyinyir, karena persoalan-persoalan masa lalu, lebih banyak bercerita tentang sisi gelapnya dan keburukannya, mulai membuka diri; menerima kehadirannya dan tidak lagi banyak mengungkapkan sisi-sisi gelap saudaranya itu. Orang-orang yang dulu memandang sadaranya, penuh rasa curiga, tidak percaya, mulai menyapa dengan akrab. Itu tentu saja menggemberikan dan memberi semangat.

(Lihat: Sambungan)


Peristiwa terakhir yang menggambarkan suasana seperti itu saya kira adalah pertemuan Kaballangang. Pertemuan yang disebut rapat kerja atau musyawarah kerja nasional (entah benar atau salah istilah yang saya gunakan ini). Saya merasakan ada suasana yang menggairahkan dalam ber-DDI dan menjadi DDI. Acara itu sesungguhnya berlangsung dalam keadaan yang sangat sederhana, di tempat yang sangat sederhana, dengan tata ruang yang juga sangat sederhana. Kondisi seperti sesungguhnya, bagi orang yang terbiasa ‘bermusyawarah di tempat yang enak’, bisa dianggap sangat tidak memadai dan tidak menunjang. Dan saya mengetahui banyak orang yang hadir yang terbiasa menghadiri yang sejenis ditempat yang menyenangkan dan memanjakan. Pokoknya untuk ukuran sekarang, tempat musyawarah kami itu tidak cukup layak.

Tetapi anehnya, tidak ada complain tentang itu. Entah kenapa begitu. Mungkin juga dipengaruhi oleh sikap, penampilan yang sejuk dan bersahaja dari serta pidato pembukaan (pengarahan) Ketua Umum serta AGH Sanusi Baco. Pada awalnya memang, mungkin karena kebiasaan lama, ada yang mempersoal kan aturan main, mempertanyakan ‘apakah ini kourom atau tidak. (Saya sempat menyanggahnya, dengan balik bertanya ‘apakah selama ini pernah ada acara (rapat-rapat) DDI yang kourum’; keculi Muktamar, barangkali. ‘Daripada mempersoalkan itu semua, yang bisa bertele-tele hanya untuk mengurusi kata ‘kourum’, kenapa kita tidak focus untuk bermusyawarah’; ‘bukankah yang hadir ini berasal dari berabagai daerah’). Hanya itu interupsinya.

Selebihnya acara itu berlangsung mulus. Tentu ada gesekan-gesekan, terutama internal panitia, antar panitia, antar panitia local dan nasional, tetapi karena kesigapan panitia inti semua bisa diatasi, dan tidak mengganggu acara secara keseluruhan. Meskipun di sengat panas, tidur ditempat seadanya, peserta tetap bergairah dan bersemangat. Mereka berdiskusi sampai larut malam. Diskusi juga tidak banyak melebar, tetap berada dalam kerangka rancangan acara. Kritik dan saran-saran yang dilakukan konstruktif dan diterima dengan lapang dada. Pengarah acara, moderator, dan panitia juga tampil prima; santai tapi prima.

Satu peristiwa pada acara penutupan, yang menurut saya menarik dilihat. Panitia tidak tahu kalau Majelis Istisyari (MI) juga hadir. Oleh karena itu acara penutup (dirancang) sepenuhnya diserahkan kepada Majelis Syuyukh (MS). Tetapi, uniknya, ketika akan mengakhiri pidato penutupan (dan menyatakan acara ditutup), AGH Farid Wajedi, menyatakan ‘saya kira dari saya cukup sekian, adapun do’a saya kira lebih jika kita serahkan kapada Ketua MI’. Maka sesudah menyatakan acara (musyawarah) resmi ditutup, mengucapkan salam, beliaupun turun dari podium. Protocol dengan sikap (dan dengan basa-basi menarik) mempersilahkan Prof. Rahim naik membacara doa. Saya terharu. Bagi orang lain mungkin itu sepele, tetapi bagi saya itu, itu indah dan bermartabat, itu adalah symbol, bagaimana orang saling membuka ruang, saling memberi jalan; bukan saling mendahului.

Menurut saya, acara Kaballangang itu, dengan suasana yang tercipta (terlepas dari hasilnya yang juga maksimal), berhasil memberikan semangat baru dan energy besar bagi siapa yang mengurusi DDI. Bagi saya itu adalah acara yang bersahaja tetapi sukses, melampaui ekspektasi. Sangat berbahagia bisa menyaksikannya dan mengharukan bisa menjadi bagian dari acara itu. Itulah warna dan roh DDI. Saya kira panitia patut diberi double jempol. Sungguh saya seperti melayang ketika mengingatnya. Tetapi ketika saya kembali berpijak, muncul pertanyaan dalam benak saya ‘bisakah suasana seperti itu muncul kembali ?’; atau ‘bisakah semangat dan kegairahan itu bertahan ?’. Terutama ketika menghadapi moment yang lebih besar seperti Muktamar. Pertanyaan itu muncul karena realitasnya kita masih terbelit dengan berbagai persoalan yang menggangu, dan memeras energy ketika memikirkannya.

Kita memang sudah mempunyai SK Kemenhumham, dengan bentuk sangat sederhana, tetapi mempunyai daya yang sangat besar untuk eksistensi DDI. SK itu mengukuhkan DDI sebagai bagian dari perjuangan bangsa Indonesia. Dengan adanya SK itu tidak mungkin lagi ada DDI yang lain. Dengan SK itu kita bisa memantapkan arah, sesuai dengan mabda’ DDI, karena SK itu ada berdasarkan sejarah. SK itu kita bisa jadikan landasan membangun atau memperbaiki struktur (hubungan-hubungan) kelembagaan, fungsi-fungsi, perinkat dan perangkat organisasi; dengan SK itu kita bisa meluruskan dan menjernihkan komunikasi berbagai arah dan timbal-balik.

Kita juga mulai mengidnetifikasi dan mulai bisa melindungi (sebagian kecil) asset DDI. Kita juga sudah membicarakan bersama aturan main di DDI. Tentu masih perlu dilihat, dikoreksi, apakah ada point-point yang bertabarakan dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Tetapi apapun itu kita sudah membicarakannya berasama. Kita sudah menunjukkan bahwa kita bisa duduk bersama, berbicara, saling berbagi, tanpa ada intrik dan trik, karena semangat kebersamaan dan persaudaraan. Kita juga bisa menempatkan orang di Ujung Lare dan Kaballangan; yang bersama Mangkoso merupakan pilar yang menunjang eksistensi DDI. Dua pilar DDI itu (tidak seperti Mangkoso, yang masih berfungsi), yang salama ini mengalami kemandegan, tidak berfungsi sebagai wadah tempat menggodog kader, guru-guru masarakat yang memungkin DDI tumbuh dan berkembang di berbagai daerah, menjadikan DDI mengindonesia.

Tetapi baru terbatas disitu. Kita belum beranjak jauh dari sekedar menempatkan orang disitu. Sesungguhnya kita mau mengembalikan fungsi dan peran kedua pesantren; sebagai pilar, sebagai wadah tempat menggodog kader, guru-guru masyarakat yang memiliki kepekaan, keteladanan, dan pada akhirnya menjadi ujung tombak dalam upaya membangun fondasi keagamaan masyarakat dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran DDI. Tetapi system yang kita bayangkan bisa mensupport kearah itu tampaknya tidak berajalan sesuai harapan. Ada banyak penyebabnya. Mungkin sistemnya tidak cocok, atau mungkin memang tidak bagus (karena itu tidak bisa dijalankan). Tetapi sejauh ini juga terlihat bahwa kita tidak memiliki cukup sumberdaya dan amunisi yang memadai; totalitas, komitmen; disamping itu terlihat adanya penafsiran dan persepsi tentang DDI.

Rombak kembali ?. Bisa, pasti bisa. Tetapi itu tidak bisa dilakukan sepihak, harus dua belah pihak, karena kita berhadapan dengan orang, manusia yang memiliki martabat (kemanusiaan), karena itu tidak bisa diperlakukan semena-mena (harus diberi kesempatan, paling tidak untuk menyatakan pembelaan dan keberatannya). Apalagi DDI ini adalah gerakan pendidikan dan dakwah, tentu harus berjalan diatas jalur yang dibangun diatas landasan, tujuan, nilai-nilai atau etika pendidikan DDI itu. Terlepas dari itu, saya kira memang lebih sulit memperbaiki yang sudah rusak (tidak berfungsi) ketimbang membangun yang baru sama sekali. Apalagi kerusakannya sudah berjalan bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun.

Teteapi kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja (karena pikiran bahwa lebih baik membangun yang baru dari pada memperbaiki yang rusak); karena keduanya itu (bersama Mangkoso) adalah sejarah DDI. Memutus itu berarti memutus sejarah DDI; dan itu membuat DDI bisa kehilangan identitas. Kita mempunyai beban sejarah disitu yang harus dipikul. Jadi harus ditangani, dengan segala macam tantangan dan risikonya. Pertanyaannya adalah bisakah itu diperbaki seketika ?. Bisakah keduanya, setelah mengalami kerusakan selama puluhan tahun (sejak kita ditinggalkan Gurutta) menjadi baik (berjalan sesuai fngsi dan karakternya) dalam satu dua tahun ?. Itu membutuhkan pemikiran serius yang konstruktif, utuh (menyeluruh) dan sistematis yang mengacu pada atau sesuai dengan karakter Kabalangang dan Ujung Lare sendiri. Bukan pikiran sporadis, yang lebih merupakan bagian-bagian yang terpotong-potong.

Problem lain adalah soal sumberdaya dan amunisi. Tadi saya mengatakan bahwa dalam hal itu kita kekurangan. Sesungguhnya yang saya maksud bukan pada kwalifikasinya. Saya kira kalau dari kawalifikasi, kita tidak kekurangan. Tetapi tampaknya kita kekurangan dalam hal yang memiliki totalitas dan komitmen penuh (Paling tidak sekarang ini kita membutuhkan orang-orang memiliki kwalifikasi guru besar dan operator handal, terbuka, memiliki dada lapang, dengan komitmen penuh dan totalitas).

Ini hanyalah sekadar catatan saja. Ini juga menjadi bagian pikiran Ketua Umum; kami sering membicarakan hal ini. Ini bukan pikiran yang buntu, yang tidak punya jalan keluar. Tetapi setumpuk pikiran yang sedang mencari jalan keluar. Saya mensharenya supaya tidak menumpuk dalam benak, dan memberikan tekanan berlebihan. Kami tahu banyak kawan yang memiliki keprihatinan sama, dan memiliki komitmen. Kami sedang mengidentifikasikannya. Sebenarnya bukan hanya kasus Kaballangan dan Ujung Lare yang ada. Ada banyak kasus lain. Seringkali ada usulan agar PB berkonsentrasi saja di dua kasus diatas. Sesungguhnya dengan juga mengurusi yang lain, tidak berarti mengabaikan atau tidak memprioritaskan keduanya.

Kembali kepada landasan tadi bahwa kita bekerja dan berhubungan dengan manusia yang juga memiliki ikatan emosional dan sejarah dengan kita; bukan dengan mesin. Bagi PB posisi keduanya itu sangat penting, bahkan sentral, sama dengan Mangkoso. Maka pasti menjadi prioritas. Tetapi kita juga harus mengurusi yang lain; simpul-simpul DDI yang lain yang tersebar diberbagai daerah. Kita tidak bisa mengabaikan simpul-simpul DDI yang lain; dengan alasan itu. Memang harus diakui bahwa kami memang terkesan lamban; dan itu karena keterbatasan kami. Kami memang memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan. Tetapi kami memiliki komitmen. (HA).
p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!