Sabtu, Januari 28, 2012

TAFSIR AYAT AHKAM II | AHKAM AT-TAYAMMUM :

Pembahasan III: 
Hukum-Hukum tayammum[48]
By: Med Hatta

Allah berfirman: 

(وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ)

Terjemah Arti: “dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau habis buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu” (QS. An-Nisa: 43).


Ayat tayammum ini, turun pada Abdurrahman bin ‘Auf yang junub sedang dia dalam keadaan terluka, maka diberi kemudahan baginya untuk mengambil tayammum, kemudian hukum ayat ini menjadi umum untuk semua manusia. Dan dikatakan pula, ayat ini turun disebabkan karena para sahabat tidak mempunyai air pada peperangan “al-Marisie” pada peristiwa itu juga ‘Aisyah ra kehilangan kalungnya.

Hadits dikeluarkan Malik dari riwayat Abdurrahman bin al-Qasim dari bapaknya dari Aisyah berkata: “Telah terjatuh kalung Asma maka nabi SAW memerintahkan orang-orang mencarinya, lalu tiba waktu shalat sedang mereka tidak punya wudhu dan tidak ada air maka mereka shalat tanpa ada wudhu, maka Allah menurunkan ayat tayammum” [49]. 


Sebab-sebab Tayammum:
1. Karena sakit, firman Allah: (وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى) “dan jika kamu sakit”: Sakit adalah keadaan tubuh yang tidak fit, keluar dari batas keseimbangan tubuh yang normal, sampai kepada demam dan kelumpuhan, yaitu ada dua kategori: Parah atau ringan, maka apabila sakit parah yang dikhawatirkan akan mati karena tersentuh air dingin, atau akan semakin memperparah penyakitnya, atau takut berakibat buruk pada anggota badan tertentu dengan tersentuh dinginnya air, maka bertayammum menurut kesepakatan ulama.

2. Musafir, firman Allah: (أَوْ عَلَى سَفَرٍ) “atau dalam perjalanan”: Diperbolehkan mengambil tayammum jika dalam perjalanan panjang atau pendak ketika tidak ada air, dan tidak disyaratkan hanya untuk batas meng-qashar shalat. Ini adalah pendapat Malik dan jumhur ulama. Sebagian mengatakan: Tidak boleh tayammum kecuali dalam perjalanan yang mengharuskan qashar shalat, sebagian yang lain mensyaratkan harus perjalanan dalam ketaatan, semua ini adalah pendapat lemah. Wallahua’lam[50].

Sepakat para ulama tayammum diperbolehkan bagi yang musafir, sebagaimana dijelaskan di atas, namun berbeda pendapat pada kasus orang yang menetap. Malik dan pengikutnya membolehkan tayammum pada musafir dan yang menetap, ini juga pendapat Abu Hanifah dan Mohammad. Syafi’i berpendapat: Tidak diperbolehkan bagi yang menetap kecuali khawatir akan ketinggalan waktu shalat, sependapat dengan at-Thabari. Imam Syafi’i berkata juga diikuti oleh al-Laitsi dan at-Thabari: Apabila tidak ada air di dalam pemukiman kemudian takut kehabisan waktu shalat, dan juga orang sakit maka boleh bertayammum, kemudian mengulang...

3. Habis buang air, firman Allah: (أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ) “atau habis buang air”: Yaitu orang menetap (mukim) apabila tidak ada air maka bertayammum. 

4. Menyentuh perempuan, firman Allah: (أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ) “atau menyentuh perempuan”: Ubaidah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud mengatakan: Mencium termasuk bagian menyentuh, maka segala apa yang selain bercinta (ML) live adalah menyentuh, pendapat ini juga dipakai Ibn Umar dan oleh Muhammad bin Yazid, lalu menambahkan: Karena telah disebutkan pada awal ayat apa yang menjadi wajib atas orang yang bercinta (ML) dalam firman Allah: “dan jika kamu junub maka mandilah”, dan Abdullah bin Abbas telah mengomentari: Menyentuh, meraba dan mencium adalah termasuk bercinta, hanya saja Allah SWT mengiaskannya.

Berbeda Pendapat ulama pada hukum ayat ini kepada 5 mazhab:

A. Golongan mengatakan: Menyentuh di sini khusus bersentuhan dengan tangan.

B. Abu Hanifah mengatakan: Menyentuh di sini dikhususkan adalah meraba yaitu bercinta, karena junub wajib mandi sedangkan menyentuh dengan tangan tidak kena hukum itu, bukan suatu hadats dan tiada pula membatalkan wudhu. Maka apabila seseorang mencium isterinya dengan perasaanpun tidak membatalkan wudhunya, berdasarkan hadits diriwayatkan ad-Daraqathni dari Aisyah berkata: Bahwasanya rasulullah SAW mencium sebagian isterinya kemudian keluar shalat tanpa harus mengambil wudhu lagi, Urwah menimpali Aisyah mengatakan: Tidak satupun dicium beliau kecuali kamu, lalu Aisyah tersenyum saja.

C. Kata Malik: Menyentuh dengan bercinta wajib tayammum, sedangkan menyentuh dengan tangan wajib tayammum apabila memakai perasaan. Maka apabila menyentuh tanpa syahwat tidak perlu wudhu, ini juga dipakai Ahmad dan Ishaq, yaitu sesuai makna ayat.

D. Kata Ali bin Ziyad: Jika bersentuhan memakai kain tebal tidak apa-apa, tetapi Kalau hanya kain tipis saja maka wajib wudhu.

E. Kata Abdelmalik bin al-Majechoun: Barangsiapa sengaja menjentuh isterinya dengan tangannya bermaksud menggoda maka wajib wudhu, merasa nikmat atau tidak.

Kata Qadhi Abou al-Waled al-Baji mengomentari 5 pendapat di atas: Yang lebih mendekati kebenaran adalah Mazhab Malik dan para pengikutnya, bahwa yang membatalkan wudhu hanya sentuhan yang menimbulkan kegelian (enak) tidak membatalkan selainnya, maka barangsiapa bermaksud mendapatkan keenakan dengan sentuhannya maka wajib wudhu, menikmati atau tidak menikmati. Ini adalah makna hadits al-Utaibah dari riwayat Isa dari Ibn al-Qasim. Adapun kalau hanya sekedar bersentuhan, telah diriwayatkan Ibn nafi’ dari Malik bahwa itu tidak perlu wudhu dan tidak usah mencuci kemaluannya hingga menyentuh pakai perasaan atau keluar madzi. 

Menurut Abu Ishaq barangsiapa bersentuhan maka batal wudhu, dan ini juga salah satu pendapat Malik dalam “Mudawwanah”. Sedangkan menurut Syafi’i: Apabila seseorang menyentuhkan sesuatu dari badannya kebadan perempuan baik itu tangan atau anggota tubuh lain maka batal wudhu dengannya, ini juga pendapat Ibn Mas’ud, Ibn Umar, az-Suhri dan Rabi’ah.

Adapun al-Auza’i: Apabila menyentuh dengan tangan maka batal wudhu, jika menyentuh selain dari tangan tidak batal, dengan firman Allah (فلمسوه بأيديهم) “maka menyentuhnya dengan tangannya”. Maka ini adalah lima mazhab paling kuat mazhab Malik, yaitu diriwayatkan dari Umar dan anaknya Abdullah... Wallahua’lam..

5. Sebab Tayammum yang lain dan yang paling perinsif, firman Allah: (فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً), “lalu kamu tidak mendapatkan air”: Sebab yang tidak didapatkan oleh musafir bersamanya adalah air, yaitu bisa saja tidak punya dalam jumlah banyak atau tidak mencukupi, atau khawatir ditinggal rombongan, atau kehausan atau sejenisnya. Begitu juga kalau air yang ada diperlukan untuk keperluan dalam perjalanan, maka pada kasus ini boleh tayammum.

Pada kasus ini terdapat perbedaan para ulama, apakah mencari air sebagai syarat shahnya tayammum atau tidak? Pada kenyataannya mazhab Malik mensyaratkan mencari air, dan ini pula pendapat Syafi’i. Namun, al-Qadhi Abou Mohamed bin Nasser berpendapat lain mengatakan bahwa itu bukanlah syarat tayammum, yaitu pendapat Abu Hanifah dan diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa dia pernah dalam sebuah perjalanan sedang dia sudah separuh perjalanan maka dia tidak mengarah ke air, kata Ishaq tidak perlu mengejar air kecuali bila sudah sampai ketempatnya, dan dia membacakan hadits Ibn Umar. Dan yang lebih shah serta masyhur adalah pendapat pertama yang telah dipilih Malik dalam “Muwattha”, dengan firman Allah: (فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً), “lalu kamu tidak mendapatkan air”, hal ini mengharuskan bahwa tayammum tidak dilakukan kecuali setelah berusaha mencari air.

Apabila sudah dipastikan tidak ada air, maka tidak usah memikirkan akan menemukan air pada waktu dekat, atau berharap akan mendapatkannya, atau berfikir akan keduanya, pada kasus ini terdapat tiga opsi:

a. Pertama: Dibolehkan tayammum dan shalat pada awal waktu: Karena apabila ternyata terlepas dari keutamaan memperoleh air maka lebih baik baginya mengejar keutamaan shalat pada awal waktu.

b. Kedua: Bertayammum pada pertengahan waktu, diceritakan pengikut Malik darinya, lalu menunda shalat dengan harapan meraih keutamaan mencari air tanpa kehilangan keutamaan awal waktu shalat, karena keutamaan awal waktu dapat tercapai dengan pertengahannya karena masih mendekatinya.

c. Ketiga: Menunda shalat hingga mendapatkan air pada akhir waktu, karena keutamaan mencari air lebih tinggi dari keutamaan awal waktu...

Allah berfirman: (فَتَيَمَّمُوا) “maka bertayammumlah”: Tayammum yang dikhususkan ayat ini disampaikan secara luas, nabi bersabda: “Kita telah dimuliakan atas orang lain dengan tiga hal, telah dijadikan kepada kita bumi semuanya menjadi mesjid, dan menjadikan tanahnya kepada kita suci...”. Pada pembahasan tayammum ini kita telah menyebutkan sebab turunnya, telah menjelaskan pula sebab-sebab yang membolehkan tayammum dan kita masih akan kembali lagi lebih memperdalam ketika membaca surah an-Nisaa: 43, pada pertemuan berikut, insya Allah...

Pembicaraan kita di sini tentang pengertian tayammum, sifatnya, teknisnya, siapa yang boleh tayammum, syarat-syaratnya, dan sebagainya dari hukum-hukumnya.

Tayammum secara bahasa adalah maksud. Saya bertayammum sesuatu maka saya memaksudkannya, dan saya tayammum tanah maka memaksudkannya. Saya tayammum dengan bidikanku dan panahku yaitu saya memaksudkannya bukan dari yang lain. Kata Ibn as-Sakitte pada firman Allah: (فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا) “maka tayammumlah dengan tanah yang bersih”: Yaitu maksudkanlah hal itu. Kemudian mereka memperluas penggunaan kalimat ini hingga akhirnya menjadi tayammum sebagai menyapu muka dan kedua tangan dengan tanah. Kata Ibn al-Anbari: Telah bertayammum orang itu, Artinya telah menyapukan tanah atas muka dan kedua tangannya.

Tayammum itu lazim bagi setiap muslim yang sudah kena wajib shalat apabila tidak ada air dan telah masuk waktu shalat. Sepakat para ulama bahwa tayammum menghilangkan junub tapi tidak menghilangkan hadats, dan bahwasanya orang tayammum dengan dua sebab itu apabila menemukan air maka Kembali hukum junub sebagaimana kembali berhadats lagi seperti sedia kala, dengan hadits nabi ke Abu Zar: Apabila kamu menemukan air maka basuhkanlah kulitmu...

Firman Allah: (صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ) “dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”: Kreteria tanah tayammum dan anggota-anggota tayammum ini akan kita bahas ketika membaca ayat ke-43 dari surah an-Nisaa nanti, insya Allah...

Hukum-hukum Thaharah Menyempurnakan Ni’mat Allah:
Allah berfirman: (مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ) “Allah tidak hendak menyulitkan kamu”: Yaitu menyusahkan dalam agama, dalilnya firman Allah pada ayat lain: “dan tidaklah dijadikan kepadamu dalam agama dari kesulitan”.

Firman Allah: (وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ) “tetapi Dia hendak membersihkan kamu”: Yaitu dari dosa-dosa sebagaimana telah kita sebutkan dari hadit Abu Harairah dan as-Shanabahi, dan ada pula mengatakan: Membersihkan dari hadats dan junub. Ungkapan lain mengatakan: Agar kamu berhak menyandang predikat orang suci yang telah disandang dengannya oleh ahli taat.

Firman Allah: (وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ) “dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu”: Yaitu dengan memberi kemudahan pada tayammum bagi orang yang sakit dan musafir; dikatakan pula: Ni’mat dengan menjelaskan hukum-hukum syari’at; ada juga mengatakan: Ni’mat dengan diampunkannya dosa-dosa, di dalam khabar dijelaskan: Kesempurnaan ni’mat adalah masuk surga dan bebas dari api neraka.

Firman Allah: (لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ) “supaya kamu bersyukur”: Yaitu agar kamu mensyukiri segala ni’mat-Nya maka kamu menjalankan ketaatan pada-Nya. 

Demikian kita akhiri pembahasan ayat pertama dari ayat thaharah yaitu ayat ke-6 dari surah al-Maaidah, insya Allah, kita akan lanjutkan ayat lain dari surah an-Nisaa: 43 yang akan memperjelas dan menegaskan ayat thaharah di atas, khususnya tayammum....


Ayat Tayammum[51]

Allah berfirman dalam Surah an-Nisaa’: 43:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)

Terjemah Arti: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”

Kamus Ayat Tayammum[52]:
1. (لا تَقْرَبُوا) “janganlah kamu shalat”: Yaitu jangan mendekati sebagai kiasan dari masuk ke dalamnya, atau janganlah kamu memasuki dari mesjid-mesjidnya.
2. (جُنُبًا) “dalam keadaan junub”: Dari mengalami junub dengan bercinta (ML) atau keluar mani
3. (عَابِرِي سَبِيلٍ) “sekedar berlalu”: menyeberangi jalan yaitu bepergian (musafir)
4. (الْغَائِطِ) “tempat buang air”: Tempat yang rendah dari permukaan bumi seperti wadi, yang dimaksud tempat dipersiapkan untuk membuang hajat (buang air), karena orang-orang dipedalaman terpencil dan sebagian warga perkampungan membuang hajat mereka pada tempat-tempat yangg rendah agar tertutup dari penglihatan orang.
5. (لاَمَسْتُمُ النِّسَاء) “menyentuh perempuan”: Kiasan dari bercinta (ML)
6. (فَتَيَمَّمُواْ) “maka tayammumlah”: maka niatkanlah
7. (صَعِيدًا) “tanah”: yang bersih tanah yang suci. Dan (صَعِيدًا): Permukaan bumi.
8. (عَفُوّاً) “Maha Pema'af”: Yang Mempunyai Sifat Pemaaf dan Dia-lah yang menghapuskan segala kesalahan seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
9. (غَفُوراً) “Maha Pengampun”: Yang Mempunyai Pengampunan, sedangkan (المغفرة): Menutupi dosa-dosa dengan tanpa mengadakan perhitungan atasnya.

Sebab-sebab Turun Ayat[53]:
A. Sebab Turun ayat: (لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ) “janganlah kamu shalat”: Riwayat dari Ali ra berkata: Adalah Abdurrahman bin Auf pernah mengundang kami makan, lalu memberikan kami hidangan dan menuangkan khamar, maka kami pun berpesta khamar, dan masuk waktu shalat, mereka mendorong aku menjadi imam lalu aku membaca: (قل: يا أيها الكافرون، لا أعبد ما تعبدون، ونحن نعبد ما تعبدون) “Katakanlah: hai orang-orang kafir, saya tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kami menyembah apa yang kamu sembah”. Maka Allah menurunkan: (يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكارى حَتَّى تَعْلَمُوا ما تَقُولُونَ) “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” [54].
Sedangkan Ibn Jarir meriwayatkan dari Ali bahwa yang imam adalah Abdurrahman, adapun shalat yang dikerjakan adalah Magrib, waktu itu sebelum diharamkan khamar.
B. Sebab Turun ayat: (فَتَيَمَّمُوا) “maka tayammumlah”: Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Malik dari Aisyah ra berkata: Kami telah keluar bersama nabi dalam sebuah perjalanan, hingga kami sampai ke “al-Baid” atau markaz tentara lalu saya merasa telah kehilangan kalung, maka rasulullah SAW pergi mencarinya dan dibantu pula orang-orang yang lain, mereka berada ditempat yang tidak ada air dan mereka pun tidak ada yang bawa air... Maka Allah menurunkan ayat tayammum lalu mereka bertayammum. Maka Asid bin Hadhier, salah seorang komandan pasukan, menyelah: Wah, ini adalah awal berkah dari kamu hai putri Abu Bakar.
Dan dalam riwayat: Semoga Allah memuliakanmu hai Aisyah, tidak terjadi padamu sesuatu yang kamu tidak inginkan kecuali Allah telah menjadikannya kemudahan bagi umat Islam. Selanjutnya Aisyah menambahkan: Lalu nabi mengirimkan tunggangan yang tadinya aku tumpangi, maka kami menemukan kalung itu di balik pelananya[55].


Tafsir Ayat Tayammum:
Firman Allah: (وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا) ”(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi”.

Sebagaimana ayat ini melarang orang-orang yang beriman mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk sehingga mengetahui apa yang diucapkan, seperti dijelaskan di atas, ayat ini juga melarang orang mu’min shalat dalam keadaan junub hingga dia mandi.

Berbeda pendapat dikalangan ulama pada maksud firman Allah: (عَابِرِي سَبِيلٍ) “sekedar berlalu saja”, ada dua pendapat yang masyhur, sebagai berikut:

a. Pertama: Yang dimaksud ayat adalah tidak mendekati mesjid-mesjid, atau duduk di dalamnya bagi orang yang sedang junub, sehingga ia harus mandi, kecuali hanya sekedar lewat sepintas saja. Karena di antara sebagian sahabat ada yang pintu-pintu rumah mereka terbuka ke mesjid nabi SAW, yaitu jalan keluar dan masuk pintu-pintu rumah mereka. Maka pada kasus ini diberi konpensasi hanya sekedar sembari lewat saja kalau sedang junub, tidak dibolehkan berdiam apalagi Shalat di dalam mesjid, kecuali setelah mandi.

b. Kedua: Mengatakan maksud ayat adalah shalat itu sendiri, tidak boleh mengerjakannya bagi orang junub, kecuali setelah mandi, jika dia tidak sedang musafir, maka pada terakhir ini boleh mendatangi mesjid dan shalat di dalamnya, tanpa harus mandi, tetapi mengambil tayammum, sebagai ganti dari mandi dan wudhu sekalian…

Dari kedua Pendapat di atas, nampaknya pendapat pertamalah yang paling jelas dan lebih fokus, karena kasus kedua – adalah kasus musafir – yang juga disebutkan dalam ayat secara terperinci setelah itu. Maka dengan demikian, Tafsir ayat: (عَابِرِي سَبِيلٍ) “melewati”, yaitu bagi orang-orang yang sedang musafir, karena membuat pengulang-ulangan hukum pada satu ayat yang sama adalah hal yang tidak perlu dilakukan olehnya:

Firman Allah: (وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ) “dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan”:

Ayat ini mencakup kasus orang musafir: Apabila seseorang sedang melakukan perjalan atau musafir, lalu terkena hadats besar seperti junub maka wajib mandi, atau hadats kecil maka harus mengambil wudhu, untuk mengerjakan shalat. Hal yang sama terjadi juga bagi orang yang sedang sakit, yaitu terkena hadats besar dan hadats kecil, begitu juga orang yang datang dari tempat buang air yang terkena hadats kecil mengharuskan wudhu. 

Dan termasuk juga pada kasus-kasus ini adalah orang yang menyentuh perempuan. Kasus-kasus ini sudah kita bahas pada ayat al-Maaidah di atas, begitu juga pengertian menyentuh perempuan semua sudah dibahas dengan keterangan yang cukup jelas pada pembahasan ayat al-Maaidah tadi. (Lihat kembali). Adapun yang akan kita jelaskan dan pertegas disini adalah kasus-kasus yang menyebabkan wajib tayammum itu sendiri, dan yang paling penting adalah menjelaskan tata cara melakukan tayammum.

Sebab-sebab yang Mewajibkan Tayammum:
Firman Allah: “kemudian kamu tidak mendapat air”: Semua kasus-kasus yang telah disebutkan di atas ini, baik itu kasus yang mewajibkan mandi atau mewajibkan wudhu untuk mengerjaka shalat, maka hukumnya tidak terlepas dari tiga perkara: Pertama, apabila tidak terdapar air; kedua, apabila ada air tetapi takut mempergunakannya karena alasan tertentu seperti mempunyai riwayat penyakit berbahaya; ketiga, atau air yang ada itu tidak mencukupi kebutuhan lebih dari keperluan mandi dan wudhu. Maka ketiga perkara ini otomatis telah menjadi syarat atau sebab yang mewajibkan tayammum. Ini juga sudah kita bahas sebelumnya. Wallahua’lam.

Firman Allah: “Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)”: yaitu maksudkanlah tanah yang baik lagi suci. Adapun “tanah yang baik”: Yaitu semua jenis dari tanah seperti debu, batu, dinding. Walaupun debu itu dari apa yang ada di atas punggung binatang ternak, atau pada tikar dari partikel-partikel debu yang beterbangan, atau dimana saja disana terdapat debu beterbangan ketika memukulkan kedua tangan dengannya.

Tata Cara Melakukan Tayammum:
Allah berfirman: “sapulah mukamu dan kedua tanganmu”: Dari ayat ini jelas bahwa anggota tayammum hanya ada dua saja, yaitu muka dan kedua tangan, tidak lebih dan tidak kurang. Hal ini berbeda dengan wudhu yang mempunyai anggota empat, seperti yang telah dijelaskan pada ayat wudhu di surah al-Maaidah.

Adapun tata cara tayammum: Bisa melakukan dengan sekali saja meletakkan kedua telapak tangan atas tanah yang suci, kemudian sapukan pada muka, lalu menyapukan langsung pada kedua tangan sampai kedua siku dengan tanah yang sama. Atau melakukan dengan dua kali meletakan telapak tangan atas tanah yang suci, melatakkan pertama untuk menyapu muka, kemudian melatakkan lagi yang kedua untuk menyapu kedua tangan… 

Lalu adapula sebagian ulama yang mensyaratkan menyapu kedua tangan sampai ke siku seperti halnya berwudhu, dan sebagian ulama yang lain mengatakan cukup kedua tangan saja, tidak mesti harus sampai ke siku, karena ayat tayammum tidak menyebutkan sampai ke siku seperti pada ayat wudhu… Penulis tidak ingin menyebutkan perbedaan-perbedaaan masalah fiqhi yang kompleks dibalik kasus ini… Karena agama kita ini cukup mudah, dan di dalam syariat tayammum ini pun sudah tercermin arti kemudahan yang sangat jelas, Allah berfirman menutup ayat tayammum: 

“Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”: Yaitu penegasan yang mengharuskan dengan kemudahan; lembut atas kelemahan; memaafkan dalam keterbatasan; dan mengampuni pada kekurangan dan kekhilapan… Wallahua’lam.

<<<==A[*BERSAMBUNG*]N==>>>

NOTES :
48. Lihat: Al-Qurthubi, (menafsirkan ayat ke-43 surah an-Niasaa).
49. HR: Bukhari.
50. HR: Ibn Majah.
51. HR: Ad-Daraqathni dari Sufyan dari Mas’ar, Syu’bah dari Umar bin Murrah dari Abdullah bin Salamah.
52,53. Lihat: Al-Qurthubi, (menafsirkan ayat ke-43 surah an-Niasaa).
54. Bukhari, kitab tafsir: (Muhammad telah bercerita kepada kami berkata: Kami diberitahukan Abdah, dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, dari Aisyah ra).
55. Lihat: Al-Qurthubi, (menafsirkan ayat ke-43 surah an-Niasaa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!