Senin, Juli 15, 2013

TETEAJI TANAH TUA CIKAL BAKAL SIDENRENG RAPPANG:



Menelusuri Jejak Wanua Tua di Sidenreng


Sidenreng Rappang atau lebih populer disingkat SIDRAP, sebelum menjadi Kabupaten, telah melewati sejarah panjang sebagai kerajaan Bugis yang cukup disegani di Sulawesi-Selatan sejak abad XIV. Jalur kekerabatan Kerajaan Sidenreng berhubungan kental dengan seluruh Kerajaan Federasi Lima Ajatappareng yang meliputi Kerajaan Mallusetasi [Pare-Pare], Kerajaan Sawitto [Pinrang], Kerajaan Barru, Kerajaan Enrekang, kemudian menjalin hubungan politik melalui perkawinan dengan Kerajaan Wajo, Luwu, Bone, Gowa dan Soppeng.


Sejarah MULA RIUKKANA TANAE RI SIDENRENG [sejarah awal pembukaan wanua di Sidenreng] menurut catatan Lontara Panguriseng [buku harian kerajaan], bahwa setelah sepeninggal ‘’delapan bersaudara’’ yang semula membuka wanua ri Ajangna TapparengE [sebelah Barat danau], BOLAPATINA [putri tertua LA MADDAREMMENG] mengunjungi Rappang dengan DATU PATILA [suami] dan melahirkan anak “tiga” orang yaitu: LA MALLIBURENG, WE TIPU ULENG, dan anak KETIGA tidak disebut namanya.

Selanjutnya dituturkan dalam lontara yang sama, LA MALLIBURENG menjadi Raja Sidenreng dan WE TIPU ULENG sebagai Arung Rappang, dengan perjanjian kedua bersaudara: ‘’mate elei Rappeng, mate arawengi Sidenreng’’, dengan terjemahan bebas: apabila Rappang meninggal di waktu pagi maka Sidenreng meninggal di sore hari. Perjanjian ini bermaksud apabila terjadi perang atau serangan dari pihak luar pada Kerajaan Sidenreng maka Kerajaan Rappang akan mendahuluinya. Singkatnya, sejarah Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang berawal dari “TIGA” bersaudara dan merupakan generasi pendahulu yang menurunkan dinasti Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang setelah generasi pertama DELAPAN bersaudara sebagai pembuka wanua awal di Ajang Tappareng, atau disebut wanua AJATAPPARENG [sekarang disebut desa Teteaji] yang menjadi lokasi delapan bersaudara “sidenreng-denreng” [saling beriringan] sehingga di kemudian hari menjadi sebutan untuk Kerajaan SIDENRENG.


Berbagai literatur menyebutkan, eksitensi Kerajaan Sidenreng telah memberi warna dalam percaturan politik dan ekonomi kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Sejarah Sidenreng merupakan salah satu dari sedikit kerajaan yang tercatat dalam kitab LA GALIGO, suatu kitab kuno yang sangat melegenda. Masa La Galigo, menurut Christian Pelras [penulis buku Manusia Bugis], berlangsung sekitar 13 Masehi. Di abad selanjutnya, Kerajaan Sidenreng yang berpusat di wanua Ajatappareng telah berkembang menjadi negeri yang ramai dan cukup dikenal hingga ke benua lain sebagaimana catatan Crawfurd pada 1828 [Descriptive Dictionary; 74, 441] bahwa: “pada kampung-kampung di tepi danau... berlangsung perdagangan luar negeri yang pesat. Perahu-perahu dagang dihela ke hulu sungai Cenrana... yang airnya cukup dalam untuk dilewati perahu-perahu paling besar sekalipun”.

Manuel Pinto, seorang berkebangsaan Portugsi sempat menetap selama delapan bulan di Kerajaan Sidenreng dan merekam suasana tahun 1548 M. Pinto menggambarkan Sidenreng sebagai sebuah negeri yang ramai dengan penduduk sekitar 300.000 orang. Pendapat lain mengasumsikan penduduk di tahun 1548 M yang disebut Pinto terlalu besar. Namun menurut analisa lainnya, keterangan Pinto sangat memungkinkan apabila penduduk dimaksud mencakup wanua Ajatappareng [sekarang Teteaji] dan sekitarnya yang meliputi: Amparita, Lise, PanrengE, dan Massepe sebagai wanua tua, sebelum Pangkajene menjadi pusat kota di masa pemerintahan Belanda. Itulah jejak “wanua tertua” di Sidenreng-Rappang.

Nene' Mallomo
Dalam penjelasan yang sama, Pinto telah menceritakan aktivitas perdagangan di kerajaan Sidenreng yang dikunjungi pedagang dari berbagai belahan dunia termasuk Portugis melalui jalur laut menuju pelabuhan Ajatappareng. Pinto menulis, “sebuah fusta besar [kapal layar Portugis yang panjang dan dilengkapi deretan dayung di kedua sisinya] dapat berlayar dari laut munuju Sidenreng.” [Wicki, Documents Indica, II: 420-2].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!