Senin, Juli 08, 2013

SOSIOLOGI RUKYATUL HILAL DALAM IBADAH PUASA UMAT ISLAM:



Asli Puasa Ramadhan Rukyatul Hilal

Oleh: Med HATTA

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات، وبعد!
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُقال تعالى:
(Maka barang siapa di antara kamu melihat bulan maka berpuasalah)

Rukyat atau Hisab?

Pada masa awal Islam, para "ahlu as-sabiquunal awwalun" (pendahulu) tidak  ada permasalahan mencolok mengenai awal dan berakhirnya bulan suci Ramadhan, mereka cukup konsukuen kepada ayat al-Qurn: "Maka barang siapa di antara kamu melihat bulan maka berpuasalah" (QS: 02: 185). 



Jika mereka tidak melihat lahirnya bulan karena berbagai hal seperti tidak nampak atau terselubung awan tebal, maka mereka mengembalikan kepada hadits nabi SAW: "berpuasa-lah dengan melihat bulan dan akhirlah dengan melihat bulan (Syawal), jika kamu tidak melihanya karena terhalang olehmu maka cukupkan bulan Sya'ban 30 hari, atau cukupkan bulan Ramadhan 30 hari". Inilah dua pedoman utama umat Islam berkaitan dengan Bulan suci Ramadhan. Tidak ada pedoman ketiga .... 

Permasalahan kemudian berkembang sejalan dengan kemajuan sains modern, khususnya setelah penemuan teleskop tercanggih dan observasi besar-besaran ke angkasa luar setelah paruh kedua abad ke-20, maka manusia pun mampu mengawasi benda-benda langit yang sangat jauh termasuk memantau lahir dan matinya hilal (bulan baru). Nah, seberapa besar tingkat akurasi perhitungan hasil teknologi rekayasa ini, dan berapa persen tingkat ketepatannya menghitung dan mengukur perjalanan benda-benda langit?  

Penulis tidak ingin membahas lebih panjang di sini teori bagaimana mereka menghitung dan mempradiksikan lahir dan matinya bulan, dengan mempergunakan teleskop tercanggih mengintai fase-fase bulan dengan ukuran skala derajat tertentu dan angka-angka digital yang panjang seperti halnya memantau janin dalam rahim ibunya dengan alat USG. Fakta mengatakan, hisab atau perhitungan manusia hanyalah sebatas mendekati tingkat ketepatan saja, tidak ada satupun yang benar-benar akurat lebih dari titik 99 %, jauh dari hitungan 100 % atau meragukan.   

Lalu, dapatkah hasil teknologi rekayasa (hisab) ini diterapkan dalam urusan beribadah ketaatan kepada Allah SWT seperti menjelankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan ini? Kongkritnya, prinsif beribadah dalam Islam bukan saja ditentukan oleh derajat ketepatan atau akurasi waktu pelaksanaannya, tetapi yang diutamakan adalah keyakinan hati dan ketenteraman jiwa dalam melaksanakan ibadah tersebut. Tidak boleh ada keragu-raguan dalam menjalankan ibadah sedikitpun. 

Maka perlu ada pedoman jelas yang bukan saja dapat mendeteksi dan memastikan tetapi juga harus meyakinkan hati melalui indra. Bukankah nabi Ibrahim as pernah memohon kepada Allah untuk diperlihatkan secara langsung proses menghidupkan mayat? Ibrahim bukanlah seorang yang tidak beriman, tetapi hanya ingin meyakinkan hatinya saja. Begitu pula nabi Musa as yang memohon melihat Tuhan. Ini suatu bukti bahwa media yang paling akurat untuk meyakinkan hati adalah indra atau penglihatan dengan mata kepala sendiri...

Oleh karena itu, dalam agama terakhir ini Allah mewanti-wanti dan berfirman: "Alif Laam Miim, itulah kitab (al-Qur'an) yang tidak terdapat di dalamnya keraguan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa" (QS: 02: 1-2). Inilah yang akan menjadi kajian kita selanjutnya dalam menafsirkan ayat-ayat puasa ini.....

Jadwal Semua Ibadah Ketaatan Umat Islam Dikerjakan Serentak Dalam Satu Waktu Di Seluruh Penjuru Dunia
Allah berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: "karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (menyaksikan) bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,"
Ayat-ayat hukum di dalam al-Qur'an umumnya digolongkan kepada ayat-ayat "muhkam" (kuat dan jelas), ayat hukum puasa ini adalah "muhkam" bukan "mutasyabih", yaitu arti dan petunjuknya sangat jelas sehingga tidak memerlukan interpretasi lain lagi. Allah memerintahkan berpuasa Ramadhan apabila telah melihat bulan, artinya harus benar-benar melihat bulan. Karena semua perintah ibadah dalam Islam yang berkaitan dengan waktu tertentu selalu berhubungan dengan "Hilal" (lahirnya bulan). Allah firman: 
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Artinya: “mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji...” (QS: 02: 189)
Yaitu hilal (bulan sabit) merupakan waktu-waktu yang telah dibuat untuk manusia menentukan kalendernya termasuk jadwal beribadah seperti puasa, idul fitri dan ibadah haji. Sebagaimana hadits-hadits nabi juga telah menjelaskan secara detail jadwal ibadah-ibadah tersebut, seperti sabda beliau SAW: 
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته ، فإن غم عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين 
Artinya: "Berpuasalah ketika melihat hilal dan akhirilah puasa ketika melihatnya juga, maka jika terselibung atas kamu (tidak dapat melihat hilal) maka genapkanlah bulan Sya'ban 30 hari" . 
Dan lebih tegas lagi nabi SAW melarang berpuasa atau mengakhiri bulan puasa sebelum melihat bulan, nabi bersabda:
لا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا تفطروا حتى تروه 
Artinya: "Janganlah sekali-kali kamu berpuasa sampai kamu telah melihat hilal, dan jangan sekali-kali kamu mengakhiri bulan puasa sampai kamu melihatnya."
Oleh karena itu, kata Ibn al-Arabi dalam tafsirnya "Ahkamul Qur'an":  Sungguh telah keliru besar sebahagian ulama terdahulu yang mempergunakan "hisab",  yaitu dengan memperkirakan fase-fase bulan, kemudian berkesimpulan bahwa kalau tidak keliru nabi memaksudkan hal itu dalam salah satu sabdanya: 
فإن غم عليكم فاقدروا له 
Artinya: "Jika terselubung atas (hilal) maka perkirakanlah (hisab)".
Padahal menurut ulama-ulama penggiat hadits-hadits nabi sendiri, bahwa hadits itu dimaksudkan adalah "fa aqdiru" ya'ni "fa akmilu al-miqdar", yaitu (genapkanlah hitungang), hal ini didukung oleh hadits yang lebih rinci: 
Artinya: "Maka jika terselubung (tidak nampak hilal) olehmu, maka sempurnakanlah puasa itu 30 hari kemudian kamu shalat idul fitri" (HR: Bukhari dan Muslim).
Lalu, ditambahkan oleh Ibn al-Arabi: Bahwa telah keliru pula sebahagian teman-teman kita yang mempergunakan "hisab" itu haya dengan alasan keterpaksaan, padahal itu tidak semestinya....

Teori Hisab Dalam Fiqhi Puasa
Sekali lagi, asli dari melaksanakan ibadah puasa adalah melihat hilal, seperti dalam hadits nabi SAW: (Berpuasalah demi melihat hilal dan akhirilah demi melihatnya, lalu jika terselubung atasmu maka genapkanlah hitungan), pada riwayat lain nabi bersabda: (Jika terselubung atasmu (hilal) maka jadikanlah 30 hari). 

Selanjutnya, adalah Mothraf bin Abdullah bin as-Syakhir, seorang tokoh tabi’in, dan Ibn Quthaibah, seorang pakar Bahsa Arab, keduanya berpendapat bahwa: Hisab bisa juga dipergunakan apabila hilal terselubung oleh sesuatu, yaitu dengan memperkirakan fase-fase bulan dan menerapkannya dalam menentukan puasa Ramadhan, dengan dalil sabda rasulullah SAW: (Jika terselubung atasmu (hilal) maka “perkirakanlah baginya” (keberadaannya), yaitu menjadikan acuan masuknya bulan Ramadhan dengan hasil hitungan fase-fase bulan tersebut. Dan perkirakanlah sempurnanya bulan dengan perhitungan itu, bukan hisab mutlak. 

Kata jumhur (mayoritas) ulama: Maksud dari pada “fa aqdiru lahu” (perkirakanlah baginya), yaitu cukuplanlah hitungannya, sebagaimana telah ditafsirkan oleh hadits Abu Hurairah ra, nabi bersabda: (Maka sempurnakanlah hitungan 30 hari). (Lihat: Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Daarul Fikr, Halaman: 274). 

Sampai disini tidak ada perbedaan di antara ulama dengan adanya dua acuan di atas, yaitu ru’yat dan hisab, keduanya dijadikan media yang paralel untuk menentukan awal Ramadhan, ru’yat sebagai media asli dan hisab menjadi media pendukung pada kondisi tidak dapat melihat hilal, dengan memperkirakan fase-fase hilal dan menyempurnakan hitungan bulan, sehingga dengan demikian umat Islam memasuki bulan Ramadhan dengan yakin dan keluarnya pun dengan keyakinan yang sama. 

Kemudian datang kelompok ketiga, mereka menyetir hadits nabi “fa aqdiru lahu” (perkirakanlah fase-fase bulan), kata ad-Daudi kami tidak mengenal seorang pun dari tokoh pendapat ini kecuali hanya beberapa kelompok tertentu dari pengikut Syafi’i, yang terpengaruh dari perkataan ahli perbintangan, dan hasil hisab mutlak mereka dijadikannya sebagai dasar hukumnya. Ibn Nafi’ mengomentari kelompok ini dari Imam Malik pada Bab al-Imam mengatakan: Kelompok ini tidak mendasari puasa dengan melihat hilal dan tidak mengakhirinya dengan melihat hilal, tetapi mereka berpuasa atas dasar hisab mutlak tersebut, sesungguhnya mereka tidak bisa dijadikan panutan dan tidak bisa diikuti. 

Kata Ibn al-Arabi: Sungguh telah keliru sebahagian sahabat kita yang mengaku dari pengikut Syafi’i, yang mengatakan: Hisab mutlak menjadi dasar masuknya Ramadhan, yaitu keterpaksaan yang tidak memiliki dasar yang memadai... 

Oleh karena itu, pendapat ini mengambil jalannya sendiri dan tidak mendapatkan perhatian khusus dari ulama fiqhi, termasuk empat imam besar mazhab fiqhi Islam. Meskipun beberapa kali ada yang berusaha mengangkat kembali dan mengaikatnya kepada firman Allah dari surah Yunus, ayat ke-5. Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)...” (QS: 10: 5).
Ayat ini jelas sekali bercerita tentang klender perhitungan tahun, yang di dalam ayat lain ditafsirkan al-Qur’an sebagai 12 bulan, Allah berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram...” (QS: 09: 36).
Kembali lagi, ayat ini tidak bisa dipakai untuk membenarkan teori “Hisab mutlak” dalam menentukan puasa wajib. Karena ayat perintah puasa diturunkan secara “muhkam”, sangat jelas kreteria dan syarat-syaratnya, yaitu: "أياما معدودات" (Hari-hari yang telah ditentekan); "شهر رمضان" (pada bulan Ramadhan); "فمن شهد منكم الشهر فليصمه", nabi menafsirkan: (Berpuasalah dengan melihat hilal dan akhirilah dengan melihahatnya); yaitu dari hilal ke hilal. Penulis masih akan membahas ini nanti. Sekarang ingin melanjut tafsir Ayat-Ayat Puasa berikutnya.
Awal Ramdhan 1434 H. Berdasarkan Rukyatul Hilal (Pemantauan Lahirnya Bulan) Diberbagai Belahan Dunia, Serentak Diseluruh Dunia Terjadi Pada Malam SELASA Bertepatan 09 Juli 2013 M
Tanpa bermaksud mempropokasi sebahagian tetangga kita yang meminta untuk menghormati perbedaan awal Ramadhan, tulisan ini hanya semata-mata ingin menyampaikan beberapa fakta riil, sebagai  berikut:
  1. Ayat perintah puasa sangat jelas menganjurkan menyaksikan hilal secara langsung (Ru'yatul hilal)
  2. Nabi Muhammad SAW memerintahkan menggenapkan bulan Sya'ban 30 hari ketika bulan tidak nampak oleh pengamat hilal
  3. Nabi Muhammad SAW melarang berpuasa Ramadhan dan mengakhirinya sebelum melihat bulan atau meggenapkan 30 hari bulan Sya'ban
  4. Tidak ada keterangan yang jelas (baik dari al-Qur'an atau Hadits) menganjurkan "hisab", kecuali hanya sebagian kecil dari ulama yang tidak "populer". Dan hal ini pun sudah sangat langkah dipergunakan di dunia kecuali hanya beberapa tempat terbatas saja
SELAMAT MEMASUKI BULAN SUCI RAMADHAN: SELASA, 01 RAMADHAN 1434 H/ 09 JULI 2013 M. SEMOGA SEGALA AMAL IBADAH KITA DITERIMA DI SISI ALLAH SWT. AMIN!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!