Rabu, Januari 27, 2016

DDI KEMBALI KE MABDA' | PENDIDIKAN dan DAKWAH:



KEMBALI KE MABDA’
Oleh: Helmi Ali Yafie
(Sekjen PB DDI)
Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) pada dasarnya adalah gerakan pendidikan dan da’wah, yang bertumpu pada pendidikan atau sekolah-sekolah yang dikembangkan dengan system (yang sekarang ini dikenal sebagai) pendidikan pesantren, dibawah kepemimpinan Ulama. DDI, yang memulai gerakannya dari pilar-pilar tertentu (Mangkoso-Barru, Ujung Lare-Parepare dan kemudian Kaballangang-Pinrang), mendorong dan menfasilitasi tumbuh dan berkembangnya bentuk-bentuk pendidikan atau sekolah-sekolah DDI seperti yang disebutkan diatas di berbagai  tempat dengan bertumpu pada partisipasi masyarakat. Dari bentuk-bentuk pendidikan seperti  itulah (diharapkan) lahir santri, kader, guru, bahkan ulama yang berkarakter kuat (mandiri dan konsisten), yang pada gilirannya (setelah menyelesaikan pendidikannnya) menyebarkan ajaran dan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah kepada masyarakat, mendampingi dan membimbing masyarakat menuju suatu bangunan atau tatanan masyarakat yang beradab dan berkeadilan (dua istlilah yang disebut terakhir ini digunakan dalam rumusan tujuan pada Anggaran Dasar pertama DDI.







Karakter santri atau kader atau guru (masyarakat) seperti itu dimungkinkan lahir dari proses pendidikan DDI karena system pendidikan pesantren tidak hanya memberikan kepada peserta belajar (santri) tema-tema atau topik-topik tertentu (yang disampaikan baik secara lisan maupun terltulis) tetapi juga menyediakan lingkungan yang memungkinkan orang belajar tentang kehidupan yang didasarkan atas nilai-nilai agama. Apa yang disebut kesederhanaan, kemandirian, kebersamaan, persamaan, persaudaraan, penghargaan kepada sesama, keteladanan, penghargaan dan penghormatan kepada guru, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, dialami oleh santri. Proses mengalami itu menjadi bagian dari proses pembentukan karakter (santri) yang khas. Maka selain berilmu dan memiliki pemahaman mendalam tentang agama, mandiri dan kreatif, santri juga memiliki jiwa ikhlas dan semangat pengabdian (kepada pendidikan dan da’wah untuk kemashlahatan umum) tanpa pamrih,  penghargaan dan pengormatan kepada guru, rasa persaudaraan yang tebal, menghargai perbedaan dan tradisi, memiliki kepekaan dan kedekatan dengan masyarakatnya.
Pendidikan atau sekolah-sekolah DDI (yang dikembangkan dengan system pesantren) itu sendiri, karena juga dikembangkan dengan partisipasi penuh dari masyarakat setempat, tidak terpisah dari masyarakatnya, menjadi bagian dari masyarakat itu; tidak hanya menjadi tempat belajar tetapi juga menjadi sumber inspirasi masyarakatnya.
Gerakan DDI, yang dimotori oleh Almaghfuurulahu AGH Abdurrahman Ambo Dalle,  lahir selain terdorong  untuk menjawab kebutuhan masyarakat (yang terpuruk secara ekonomik dan tertinggal dalam hal pendidikan, akibat dari penjajahan di satu sisi, dan disisi lain ada gerakan keagamaan yang cenderung tidak toleran) khususnya di daerah Sulawesi Selatan, tampaknya juga terinspirasi oleh gagasan (gerakan) pendidikan yang dikembangkan oleh Sayyid Rasyid Ridha di Mesir (1864-1935);  yang  melihat bahwa negeri-negeri Islam terjajah (oleh Negara-negara Barat) karena mengabaikan da’wah dan karena itu tertinggal dalam hal pendidikan. Mungkin karena itu maka ada kemiripan antara nama “Darud Da’wah wal Irsyad” dengan nama (gerakan) pendidikan yang dikembangkan Rasyid Ridla, “ad-Da’wah wal Irsyad”.
II
Pada awalnya Almaghfuurulahu, dengan dukungan Raja Soppeng Riaja (HM Yusuf Andi Dagong), mengembangkan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Mangkoso (1938). Tetapi MAI (sebenarnya dikembangkan dengan system pendidikan pesantren) yang terpusat pada satu daerah, dianggap belum cukup untuk mengemban misi pendidikan yang dicita-citakan oleh Almaghfuurulahu.  Gagasan tentang gerakan pendidikan itu tidak hanya menjadi pemikiran Almaghfuurulahu, tetapi juga oleh banyak Ulama lainnya di Sulawesi Selatan. Tampaknya itu yang mendorong adanya pertemuan Ulama dan tokoh di Soppeng (1947). Pertemuan itu kemudian sepakat mendukung Almaghfuurulahu Gurutta untuk memimpin sebuah gerakan yang bertumpu pada pendidikan atau sekolah-sekolah seperti yang disebutkan diatas (dikembangkan dengan system pendidikan pesantren) yang menyebar diberbagai tempat, yang diberi nama Darud Da’wah wal Irsyad (nama ini diusulkan oleh Syekh Abdurrahman Firadus). Almaghfuurulahu Gurutta pindah ke Pare-Pare, mendirikan sekolah DDI di Ujung Lare, Pare-Pare, yang kemudian berdampingan dengan Mangkoso sebagai titik awal gerakan DDI. Dari dua tempat itu Almaghfuurulahu Gurutta menyebarkan santrinya yang dianggap mumpuni, dan bersama dengan masyarakat setempat, memabangun sekolah-sekolah DDI di berbagai tempat. Menurut cerita Gurutta Ali Yafie, ketika itu masih berusia belia dan menjadi sekretaris DDI, setelah DDI diproklamirkan Almaghfuurulahu Gurutta mengajaknya (ditemani oleh H. Abdullah Giling bergantian dengan Musa, sebagai driver) berkeliling ke berbagai daerah di pelosok Sulawesi Selatan untuk memperkenalkan DDI, dan memperoleh sambutan luar biasa. Maka dalam waktu yang relatif singkat muncul permintaan dari berbagai daerah dan Almaghfuurulahu Gurutta pun mengirim santrinya yang dianggap mumpuni.  Dengan cara seperti itu gerakan DDI berkembang dan menyebar, bahkan sampai ke luar daerah Sulawesi, seperti (Almaghfuurulahu mengirim H. Mahmud Pase dan Hj. Hafsah ke Benteng, Tanjung Pinang, Riau pada tahun 1953).
DDI pun tumbuh, berkembang terus membesar, tanpa adanya rintangan berarti. Ketika Almaghfuurulahu Gurutta di culik Kahar Muzakkar (pertengahan atau akhir tahun 1950-an), dibawa masuk hutan, dan kembali lagi memimpin DDI setelah keluar dari hutan (awal atau pertengahan tahun 1960-an), DDi tetap berjalan dengan normal, tanpa ada konflik yang berarti. Hal ini tampaknya didukung oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya yang menonjol adalah orang-orang yang mengurusi DDI berasal dari akar tradisi dan budaya yang sama, yakni budaya dan tradisi santri. Sikap saling mendahulukan, rasa persaudaraan, penghargaan kepada perbedaan, penghormatan dan penghargaan kepada guru, sangat menonjol serta semangat pengabdian tanpa pamrih dan keihlasan sangat kuat. Gerakan DDI tumbuh dan berkembang karena tradisi dan budaya itu.
Tetapi kemudian terjadi perubahan. Ada satu masa dalam perjalanannya, DDI terjebak dalam struktur organisasi, yang biasa digunakan oleh organisasi politik, yang hirarkis dan kaku. Hal itu mulai terasa pada akhir tahun 1970-an ketika sumber rekruitmen sudah beragam. Sebenarnya sejak awal sudah dikenalkan dengan struktur organisasi, tetapi lebih sederhana dan tidak kaku, lebih melayani tradisi dan budaya yang dibangun dan berkembang dalam proses pendidikan DDI. Struktur awal DDI, karena sifatnya yang seperti itu, memperkuat basis gerakannya, bukan melemahkannya. Struktur kaku itu muncul setelah  DDI bersentuhan dengan berbagai kepentingan yang datang dari luar, baik bersifat  perorangan maupun kelompok. Hal itu berjalan beriringan dengan kebijakan pemerintah (Orde Baru) yang refresif yang berkuasa pada masa itu. Atas nama pembangunan, pemerintah membatasi ruang dan gerak orang perorang serta organisasi sosial dan politik. Pokoknya Pemerintah mengontrol seluruh elemen masyarakat sipil. Kebijakan itu melahirkan budaya ketergantungan (pada pemerintah). Masyarakat seperti hanya memiliki satu channel (hubungan atau kedekatan dengan kekuasaan) untuk memperoleh kesempatan untuk eksis dan berkembang. Maka orang-orang pun mencari tempat atau batu pijakan, untuk meraih kesempatan, mencari gantungan ke atas, agar diakui keberadaannya oleh kekuasaan yang ada, dan itu artinya kesempatan besar untuk berkembang lebih jauh, berpengaruh dengan kedudukan terhormat dalam masyarakat. Apapun, yang dianggap potensial, diupayakan untuk dijadikan sebagai tunggangan menuju kesitu. Salah tunggangan yang paling menggiurkan adalah organisasi yang memiliki nama besar seperti DDI, karena memiliki basis legitimasi (keagamaan dan kepemimpinan Ulama) dalam kuat. Dan itu seperti gayung bersambut. Karena Pemerintah sendiri, meskipun sudah sangat berkuasa,  tetap membutuhkan legitimasi (Ulama) untuk mengukuhkan kekuasaannya.
Masa pemerintah Orde Baru yang panjang itu, dengan pendekatan seperti itu, telah melahirkan cara pandang baru terhadap organisasi kemasyarakatan (genererasi baru?) yang kemudian dominan dalam kepemimpinan organisasi masyarakat, di Indonesia. Kepemimpinan yang lebih banyak mencari batu tempat berpijak untuk meraih tempat bergantung pada kekuasaan dengan kecenderungan mengabaikan basisnya. Mereka menciptakan ketakutan-ketakutan (karena kemampuan mamanfaatkan dan memanipulasi hubungan-hubungannya dengan kekuasaan) untuk memperkuat posisinya. Lebih jauh mereka mendorong struktur dan mekanisme organisasi, untuk menguatkan gaya kepemimpinan itu. Efeknya adalah organisasi dibuat sibuk untuk (hanya) membicarakan pemimpin (yang salah satu syaratnya adalah kedekatan dengan kekuasaan). Basis dan proses rekruitmen pun menjadi kacau, dan sesungguhnya membuat fondasi organisasi kabur seperti tertutup debu. Gaya ini mematikan, atau paling tidak membuat basisnya tidak berkembang (kalaupun berkembang, kearah lain, jauh dari fondasinya). Pada kasus DDI, pesantren-pesantren DDI tidak berkembang (kwantitas dan kwalitas), bahkan mungkin banyak yang mati. Kurikulum DDI juga (mungkin) sudah tidak terpakai sekarang. Gaya kepemimpinan ini kemudian, secara pelan tetapi meyakinkan, menyingkirkan kepemimpinan yang menguatkan dan memberdayakan basis dan masyarakatnya. Tampaknya paradigma kepemimpinan (masa) itu tampaknya masih terlihat kuat sampai sekarang. Memang pada masanya hanya sedikit (pemimpin)  bisa melepaskna diri dari situasi itu, yang memiliki paradigma berbeda.
III
Cengkaraman struktur yang kaku dalam tubuh DDI semakin jelas dan kuat setelah wafatnya Almaghfuurulahu Gurutta. DDI yang lahir dari gerakan pendidikan yang mencerdaskan dan membangun karakter yang kuat, tidak ubahnya seperti organisasi politik. Peristiwa-persitiwa penting, seperti muktamar, yang seharusnya dijadikan ajang refleksi, melihat kembali jalan-jalan yang sudah ditempuh, untuk memperbaiki langkah, merancang program yang memperkuat basis gerakan DDI (pesantren atau sekolah DDI), diabaikan; orang-orang lebih memusatkan perhatian untuk membicarakan pemimpin atau pengendali organisasi. Orang-orang yang datang ke muktamar seperti memasuki arena pertarungan perubutan kekuasaan. Memang orang-orang masih membicarakan pesantren dan sekolah-sekolah DDI, tetapi pada kwantitias (jumlah sekolah disebutkan dengan penuh kebanggaan), tetapi tidak ada yang berbicara tentang kwalitas. Tidak ada yang mempertanyakan “apakah sekolah DDI masih disebut sekolah DDI; apa bedanya sekolah DDI dengan sekolah yang lain; apakah sekadar papan nama yang membedakannya dengan yang lain?” Secara keseluruhan dapat dikatakan basis gerakan terabaikan. Bahkan mungkin banyak (pesantren yang dulu pernah menjadi pilar DDI, mati). DDI seperti kehilangan roh. Tentu ada yang risau dengan keadaan itu, dan mencoba mempertanyakannya. Tetapi perbedaan dikelola dengan kacamata kekuasaan sehingga bukannya menyelesaikan masalah, malah memperparah keadaan. Puncaknya adalah DDI terbelah. Mungkin simbol dari hilangnya roh gerakan pendidikan dalam tubuh DDI.
Kalau kita melihat pringkat dan perangkat organisasi DDI mengalami kemajuan. DDI bisa disebut merambah keberbagai daerah. Pengurus Cabang, Pengurus Ranting dan Anak Ranting ada diberbagai daerah. Tetapi kalau sifat dasar DDI (sebagai gerakan pendidikan), maka DDi mundur jauh kebelakang. Memang ada (institusi pendidikan) yang tetap mempertahankan sifat dasar itu, tetapi hanya ada ditempat tertentu. Dan itulah yang menolong DDI, sehingga tidak kehilangan identitas sama sekali. Artinya struktur DDI yang kaku sungguh tidak membuat DDI lebih baik, bahkan mengkerdilkannya. Struktur seperti hanya cocok untuk Parpol, atau sejenisnya. Parpol memang bertujuan untuk mencari massa, maka logis jika parpol punya kaki diberbagai daerah, bahkan di tempat yang terpencil sekalipun, tanpa harus (menunjukkan) ada aksi atau kegiatan berkelanjutan dan sistematis. Tetapi itu tidak berlaku bagi organisasi atau gerakan pendidikan, seperti DDI.  Hal paling mendasar bagi gerakan pendidikan adalah kegiatan pendidikan yang berkelanjutan dan mencerdaskan yang dikembangkan dengan system tertentu. Itulah kaki, atau basis gerakan pendidikan, bukan pengurus ranting, atau anak ranting, atau pengurus cabang. Dengan kata lain, pengurus wilayah atau cabang, pengurus ranting atau anak ranting baru bisa eksis kalau disitu ada aktivitas pendidikan yang berkelanjutan dan dikembangkan dengan system tertentu. Kalau tidak maka pengurus wilayah, cabang, dan seterusnya hanya berguna dalam forum-forum tertentu yang terkait dengan (suara dalam) proses pemilihan pemimpin dan pelanggengan kekuasaan;  dan sesungguhnya tidak relevan bagi  gerakan pendidikan.
IV
DDI kini telah kembali menyatu, setelah sekian lama robek dan terbelah. Tentu masih ada tarik menarik antar (kelompok-kelompok) kepentingan dalam tubuh DDI. Tetapi keinginan untuk mengembalikan roh, watak DDI sebagai gerakan pendidikan dan da’wah cukup kuat. Sesungguhnya, suara-suara untuk kembali ke mabda’ sudah sejak lama terdengar, tetapi baru beberapa tahun belakangan terdengar lebih lantang dan kuat.  Bukan suatu pekerjaan mudah, karena DDI sudah sekian lama terjebak dalam format organisasi politik dengan struktur yang kaku, dengan aturan main yan dirancang mobilisasi massa dalam rangka meraih dan mempertahankan dominasi atau kekuasaan, (dan sesungguhnya manifulatif), yang dianggap sebagai satu-satu alat yang  dibolehkan atau sumber  legalitas dari organisasi. Untuk kembali ke mabda’ maka paradigma atau cara pandang terhadap DDI perlu berubah. Bahwa organisasi DDI pada dasarnya bukan oranisasi politik, atau sejenisnya, yang ada untuk mobiliasasi massa, untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan, yang harus tunduk kepada struktur atau aturan-aturan untuk kepentingan kekuasaan. Tetapi sebuah gerakan pendidikan dan da’wah yang ada untuk mencerdaskan dan membangun karakter yang kuat; untuk membebaskan orang dari ketidak tahuan, dari dukungan struktur yang menindas dan budaya yang membelenggu; yang bertumpu pada bentuk pendidikan tertentu, yakni pesantren, dibawah kepemimpinan ulama; karena (pesantren) itu menjadi tumpuan, menjadi basis gerakan, maka harus diperkuat; bukan dilemahkan dan ditempatkan dipingiran menjadi pelengkap saja;  tetapi ditempatkan kembali pada posisi strtegis, ditempat dimana ia bisa menentukan arah perjalanan DDI. Struktur atau aturan-aturan DDI seharusnya lebih melayani dan memperkuat itu.
Jampue, 15 Januari 2016
Helmy Ali yafie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!