Sabtu, Mei 21, 2016

DOKTRIN BUDAYA YAHUDI:

Doktrin & Tradisi Keilmuan Keluarga Yahudi
By: Syarifuddin Abdullah
Orang Yahudi, kapan pun dan di manapun berdomisili, selalu mempraktekkan dan menanamkan etos dan tradisi keilmuan untuk setiap anggota keluarganya. Doktrin menanamkan minat belajar ini dibuat sesederhana mungkin, sehingga setiap anggota keluarga dapat melakoninya dengan senang hati, tanpa rasa tertekan.



Berdasarkan hasil observasi melalui obrolan lepas dengan sejumlah warga Yahudi, artikel ini akan coba memberikan uraian singkat tentang lima doktrin pendidikan di lingkungan setiap keluarga Yahudi, yaitu: 

Pertama, sebagai komunitas agamis, tentu saja doktrin pertama yang ditekankan dalam setiap keluarga Yahudi adalah bahwa setiap anak Yahudi sudah memahami doktrin dasar keagamaan Yahudi dan harus selesai ketika anak-anak berusia belasan tahun. Karena itu, setiap anak-anak Yahudi umumnya sudah selesai pendidikan dasar agamanya di lingkungan keluarga ketika mereka masih berusia sekolah dasar.
Kedua, pendidikan tentang sejarah Yahudi sepanjang masa sejak Nabi Ibrahim, periode kejayaan, periode keterasingan, dan perlunya orang Yahudi memperjuangkan kebangkitan, antara lain doktrin untuk mendukung Negara Israel.

Ketiga, belajar matematika sebagai dasar ilmu logika. Dalam pengertian bahwa matematika bukan sekedar pandai berhitung, tapi lebih penting adalah bagaimana berpikir logis. Karena itu bidang matematika ini difokuskan pada doktrin bahwa semua persoalan harus melewati proses. Tidak ada hasil sim salabim;

Keempat, untuk bisa survive di manapun, setiap anak Yahudi diwajibkan menguasai tiga Bahasa yaitu bahasa Ibrani, bahasa di mana dia berdomisili, dan bahasa yang menjadi bahasa yang digunakan dan dipahami sebagian besar penduduk bumi (saat ini adalah Inggris). Dengan doktrin ini, semua generasi Yahudi siap dan matang untuk go global.

Kelima, setiap anak Yahudi sejak dini dicekokin doktrin untuk menjadi the best di bidang yang dipilihnya. Kalau mau jadi sastrawan, jadilah sastrawan unggulan. Kalau mau jadi politisi, jadilah politisi unggulan. Kalau memilih bidang matematika, jadilah matematikawan unggulan, dan begitu seterusnya. Mungkin karena itulah, kalau mengambil 10 pakar terbaik dalam disiplin ilmu apa saja di tingkat global sekarang ini, mungkin separuhnya dalah keturunan Yahudi.

Kelima doktrin tradisi keilmuan keluarga Yahudi di atas menghasilkan generasi yang siap bersaing di bidang apapun, kapanpun. Karena doktrin itu sudah berlangsung berabad-abad, maka hampir semua lini kehidupan di tingkat global saat ini, didominasi oleh keturunan Yahudi.

Kalau diilustrasikan, bila ada keluarga Yahudi yang berdomisili di Semarang misalnya, maka anak-anaknya pasti sudah memiliki pengetahuan dasar tentang agama Yahudi (tidak perlu belajar di sekolah formal); si anak Yahudi itu juga akan lebih paham tentang sejarah bangsa Yahudi dibanding guru formalnya; si anak Yahudi akan terbiasa berpikir logis, bukan klenis mistis; si anak Yahudi itu selain menguasai bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia, juga menguasai bahasa Yahudi (sebagai bahasa paling wajib) dan tentu saja Bahasa Inggris.

Nah, kalau satu-satu dari lima doktrin pendidikan di lingkungan keluarga Yahudi di atas, coba diujikan kepada keluarga di Indonesia, hasilnya amat jauh panggang dari api, sebagai berikut.

Pertama, mestinya kalau warga Indonesia itu Muslim, maka materi tentang Rukun Iman dan Rukun Islam sudah selesai di rumah. Tapi umumnya keluarga Indonesia menyerahkan pendidikan agama anak-anaknya ke sekolah formal atau kepada guru mengaji. Saya sering bertemu orang Muslim dewasa di Indonesia, yang belum tahu cara bertayammum dengan benar. Ini menunjukkan bahwa pendidikan keagamaan di lingkungan keluarga Muslim tidak berjalan baik.

Kedua, sebagai bangsa Indonesia, setiap tamatan SMP mestinya sudah tahu terminal-terminal dalam periode sejarah Indonesia. Hal itu tidak bisa dicapai, karena sejarah Indonesia belum dikemas dalam bentuk penggalan-penggalan periodik yang mudah dicerna. Seorang ayah dan ibu juga tidak tahu apa yang harus diajarkan kepada anak-anaknya. Jangan heran, banyak S-1 di Indonesia belum memahami terminal-terminal penting perjalanan sejarah Bangsa Indonesia.

Ketiga, pendidikan matematika/logika dasar dalam arti berpikir logis di lingkungan setiap keluarga di Indonesia belum menjadi primadona. Sebaliknya, anak-anak malah dilibatkan dalam kegiatan yang bernuansa klenis-mistis. Jangan heran, hampir semua warga Indonesia sampai dewasa dan menjadi orangtua pun tetap doyan klenis-mistis.

Keempat, pendidikan bahasa. Salah satu kelemahan utama ilmuwan Indonesia di berbagai bidang adalah penguasaan bahasa. Sering terjadi, seorang pakar Indonesia menguasai substansi lebih baik daripada pakar negara lain, tapi karena bahasanya belepotan, akhirnya gak bunyi di tingkat global.

Kelima, doktrin be the best. Keluarga Indonesia belum terbiasa mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi the best di bidang apapun yang dipilihnya. Anak-anak bahkan cenderung diarahkan untuk tidak bercita-cita terlalu tinggi, cukup menjadi pekerja atau pegawai saja.

Nah, kalau dikaitkan dengan Konsep Pendidikan sebagai Gerakan Semesta, harus rela menerima kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia masih memerlukan perjalanan marathon. Kita bahkan belum memiliki konsep pendidikan di lingkungan keluarga, yang bisa diadaptasi dengan mudah oleh semua keluarga di Indonesia. Buku-buku ajar lebih berorientasi pada keuntungan materil dari pencetakan bukunya.

Beberapa kali saya menyampaikan materi artikel ini melalui ceramah-ceramah, dan saya malah dituding pencinta Yahudi. Ya, wes lah. Padahal, yang saya sampaikan adalah metodenya, bukan substansi dari lima doktrin keilmuan keluarga Yahudi tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!