Selasa, Oktober 25, 2016

KASUS PERKELAHIAN SANTRI PPMI SHOHWATUL IS’AD 2016:



KRONOLOGIS PEMBINAAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN MODERN ISLAM (PPMI) SHOHWATUL IS’AD
By: Kesantrian

Pada bulan Juli 2016, Pimpinan PPMI Shohwatul Is’ad (Panitia Penerimaan Santri Baru), para santri dan orang tua/wali santri baru Tahun Pelajaran (TP) 2016-2017 telah melakukan penandatanganan kesepakatan pembinaan santri di PPMI Shohwatul Is’ad, setiap santri yang melanggar ketentuan pondok dikenakan pembinaan sesuai klasifikasi jenis pelanggarannya yang sudah di atur di dalam Tata Tertib Santri (TIBSAR).
.
Pada tanggal 22 September 2016 (sekitar pkl. 21.15 WITA), Ust. Rasyidi (pembina) melakukan pengontrolan rutin (menjelang jam istirahat santri) ke kamar-kamar asrama dan pada saat itu pembina menemukan ananda Miqdad Muhammad Kamil (korban) dipojokkan (tidak kekerasan) oleh teman-teman sekamarnya (Utsman 1), maka pembina memanggil mereka semua ke kantor asrama untuk diberikan pengarahan.

Lalu, pembina menanyakan pada mereka perihal kegaduhan yang terjadi di Kamar Utsman 1 pada jam istirahat itu, dan mengapa mereka seperti telah memojokkan korban? Maka mereka menjelaskan bahwa sesungguhnya mereka hanya ingin mengingatkan selalu pada korban untuk mematuhi peraturan kamar yang telah mereka sepakati tentang kebersihan di dalam kamar, karena korban – menurut mereka – tidak disiplin dalam hal menjaga kebersihan dan kerapihan kamar terutama pada saat-saat menjelang penilaian kamar oleh ustadz-ustadz.

Pengarahan pembina bersama beberapa orang santri penghuni Kamar Utsman 1 di kantor asrama tersebut berlangsung sekitar 30 menit dan pada akhirnya mereka bersepakat agar korban harus masuk membersihkan kamar terlebih dahulu sebelum teman-temannya yang lain menyusul. Mereka juga menyepakati bahwa jika korban masih lalai lagi dari kewajibannya membersihkan kamarnya maka akan dihukum membersihkan kantor asrama.

Pada tanggal 22 September 2016 sekitar (pkl. 21.45 WITA), saat korban masuk sendirian ke dalam kamarnya tersebut untuk merapihkannya sebelum teman-temannya yang lain menyusul sesuai kesepakatan mereka bersama pembina, ternyata di dalam kamar Utsman 1 (TKP) sudah menunggu 2 orang santri (pelaku) dari kamar yang berbeda yaitu (Ri dan Z), dan setelah mereka berbicara sedikit kedua pelaku langsung memukul korban berkali-kali yang mengakibatkan memar biru pada lengan kiri korban.

Pada tanggal 23 September 2016 (Jum’at pagi), terjadi lagi pemukulan atas korban yang sama oleh 5 orang temannya yang lain kecuali pelaku Z, sisanya pelaku baru masing-masing berinisial (S, Rd, AF dan W) di Kamar Utsman 3, mengakibatkan tambahan luka memar pada lengan kiri, lebam di pipi dan rasa sakit akibat cekikan pada korban.

Kami memang menyayangkan, bahwa kedua kejadian tersebut di atas tidak diketahui oleh pembina-pembina asrama terutama kepala kesantrian, karena pertama, kedua kasus itu terjadi di dalam kamar yang semestinya menjadi ruang privasi santri yang mengisi kamar tersebu, kedua, pembina-pembina asrama – pada saat-saat jelang jam istirahat santri seperti itu – sedang sibuk-sibuknya mengarahkan santri-santri yang masih berada di luar asrama untuk segera masuk ke kamar masing-masing.

Ketiga, antara korban dan pelaku maupun teman-teman mereka yang semestinya menjadi saksi mata sama-sama tidak melaporkannya, dan keempat, kondisi para santri di dalam asrama maupun di luar asrama pada hari-hari itu berjalan normal seperti biasanya dan tidak ada kesan yang mencurigakan seperti adanya kasus pemukulan tersebut. Bahkan korban bersama teman-temannya terlihat senang melaksanakan berbagai aktifitasnya di dalam kampus dan melakukan eskul renang pada hari jumat siang itu.

Hingga pada saat korban menyapu di kantor asrama (Jum’at sore), salah seorang santri memperlihatkan luka memar pada lengan korban kepada Kepala Kesantrian (pembina) yang kebetulan ada di sana. Maka pembina itupun langsung memeriksa dan menanyakan sebabnya, namun – menurut pembina – korban berusaha menutupi kejadian sebenarnya dan mengatakan bahwa ia habis jatuh di kolam renang saat melakukan eskul renang sore itu.

Tetapi pembina (ust. Rasyidi) merasa tidak puas dengan jawaban korban, maka sebagai Kepala Kesantrian ia berusa menyelidiki kasus sebenarnya dan – akhirnya – mengetahui bahwa korban telah mengalami pemukulan ramai-ramai oleh teman-temannya sendiri secara beruntun sebanyak dua kali seperti telah di sebutkan di atas.

Maka pembina itupun segera mengambil tindakan dan memanggil nama-nama yang di duga tersangka pelaku (Ri, Z, S, Rd, AF dan W) ke kantor asrama untuk dimintai keterangan (infestigasi) dan menulis berita acara kejadian perkara (BAKP). Dan pada saat itu pula pembina berusaha menghubungi beberapa kali orang tua korban namun tidak dapat tersambung.

Pada tanggal 24 September 2016 (Sabtu pagi setelah pengajian subuh), Pembina menghubungi kembali orang tua korban dan menyampaikan perihal kejadian yang telah menimpa anaknya, maka orang tua korban bergegas segera datang ke pesantren dan tiba di TKP setelah shalat Dhuhur. Di TKP tersebut orang tua korban bertemu dengan para pelaku dan menanyakan sebab pemukulan serta kronologis kejadiaannya. Setelah itu orang tua korban sedikit memberikan nasehat kepada para pelaku, dan saat itupun para pelaku meminta maaf kepada korban dan orang tua korban.

Menjelang Adzan Ashar, orang tua korban berpamitan sekaligus meminta izin membawa pulang anaknya (korban) ke rumahnya di Makassar. Tetapi, di luar dugaan kami, dalam perjalanannya pulang ke Makassar orang tua korban singgah di kantor Polsek Kec. Ma’rang melaporkan perkara pemukulan anaknya di PPMI Shohwatul Is’ad oleh teman-teman santrinya sehingga mengakibatkan luka memar pada lengan, lebam pada pipi dan rasa sakit akibat cikikan pada korban.

Dalam laporannya tersebut orang tua korban meminta kepada pihak Polsek agar menangguhkan dulu pemeriksaannya sampai dikabulkan tuntutan yang akan disampaikannya pada pihak PPMI Shohwatul Is’ad, yaitu agar memberhentikan tetap 5 orang pelaku pemukulan tersebut dari pesantren, dan jika tuntutan itu tidak dikabulkan oleh pihak pesantren maka proses hukum berlanjut.

Pada Malam Sabtu (24/9), Direktur PPMI Shohwatul Is’ad bersama beberapa orang pembina bersilaturrahim ke rumah kediaman orang tua korban  untuk menyampaikan rasa keprihatinan pesantren atas pemukulan terhadap korban oleh teman-temannya sendiri. Namun pihak keluarga korban menyampaikan bahwa perkaranya sudah dicatatkan pada pihak yang berwajib/polsek, meskipun status laporannya masih ditangguhkan sementara sampai pihak pesantren mengabulkan tuntutan kami tersebut.

Dan pada malam itu juga, petugas dari Polsek Ma’rang berkenjung ke pesantren menanyakan perkara tersebut yang ditemui oleh ust. Abdul Gofar Nawawi dan memberikan keterangan yang diperlukan.

Pada tanggal 25 September 2016 (Ahad pagi), Direktur pondok menggelar rapat pimpinan (Rapim) ISTIMEWA yang dihadiri oleh seluruh unsur pimpinan dan Dewan Kiai. Dalam rapim tersebut dihadirkan semua pelaku dan infestigasi ulang atas pemukulan yang mereka lakukan terhadap korban (semi rekonstruksi perkara kejadian). Dan hari itu Rapim Istimewa memutuskan:

  1. Memulangkan ke orang tuanya atas dua orang pelaku (Ri dan Z)
  2. Memberikan skorsing 2 minggu atas 3 orang pelaku (S, Rd dan AF)
  3. Memberikan surat peringatan atas 1 orang pelaku (W)

Pada hari Ahad (sore), hasil Rapim dikomunikasikan pada Ketua Yayasan, dan Beliau – setelah berbagai pertimbangan – menyarankan agar tidak ada satu santri pun yang dikeluarkan, tetapi semuanya diberikan pembinaan. Dan ketua yayasan berjanji segera mengutus penasehat hukum yayasan ke pondok, yaitu Bpk. H. Faisal Abdullah, SH (yang juga sebagai pengawas yayasan) untuk membantu menyelesaikan perkara dengan cara hukum.

Pada tanggal 27 September 2016, pesantren menerima utusan dari BABINSA, mereka memberikan nasehat agar perkara santri diselesaikan dengan cara kekeluargaan dan tidak usah ada santri yang dikeluarkan.

Pada tanggal 28 September 2016 (Rabu malam), pihak keluarga korban (Bapak, Ibu dan di temani oleh Paman korban seorang Provam di Polda Makassar) datang kepondok membawa korban, mereka ditemui oleh direktur, kepala kesantrian dan penasehat hukum yayasan. Dalam pembicaraan kedua belah pihak tidak mengambil keputusan resmi. Dan pihak keluarga korban tetap bertahan pada keputusannya yaitu pesantren harus mengekeluar 5 orang pelaku atau pihak keluarga menempuh jalur hukum.

Pada tanggal 29 September 2016 (Kamis pagi), pihak pondok mengadakan Rapim yang dihadiri oleh unsur-unsur pimpinan, Dewan Kiai dan Penasehat Hukum Yayasan. Hasil Rapim memutuskan: Bahwa 5 orang pelaku (Ri, Z, S, Rd dan AF) dipulangkan ke orang tua masing-masing dengan status “tergantung” atau bersyarat, yaitu jika orang tua korban memaafkan mereka maka akan dipanggil kembali ke pondok dan jika tidak dimaafkan maka keputusan rapim berlaku mutlak kepada mereka.

Adapun tenggang waktu diberikan kepada masing-masing orang tua/wali pelaku untuk berkonsulidasi dengan pihak keluarga korban adalah 1 bulan, yaitu terhitung dari hari yang ditetapkannya. Dan pada hari itu juga hasil keputusan rapim disosialisasikan kepada keluarga para pelaku, kecuali – Khusus – kepada keluarga korban, Rapim memutuskan agar disampaikannya langsung oleh ust. Indra Wijaya (penghubung), dan – menurut yang disebutkan terakhir ini -  bahwa yang bersangkutan baru bisa dikomunikasi via telepon pada keesokan harinya (30/9).

Penghubung juga meminta kepada orang tua korban agar segera membawa kembali korban ke pesantren untuk mengikuti pelajarannya seperti biasa, meski tidak langsung dikabulkan karena alasan masih dalam proses pemulihan kesehatan fisik, psikis dan trauma korban. Dan korban diantarkan setelah beberapa hari kemudian.

Pada tanggal 30 September 2016, orang tua dua pelaku (Ri dan Z) datang ke pondok untuk menerima surat keputusan Rapim dan mengambil kedua pelaku ke rumah masing-masing.

Pada tanggal 01 Oktober 2016 orang tua pelaku (S), wali pelaku (Rd) dan wali pelaku (AF) datang ke pondok menerima keputusan Rapim dan wali (kakek dan nenek) dari pelaku (S) mengambil cucunya ke rumahnya, kecuali wali dari pelaku (Rd) dan wali dari pelaku (AF) keduanya keberatan memulangkan kedua pelaku yang terakhir disebut ini ke rumah masing-masing dan keduanya – terutama – wali dari pelaku (AF) berkeras ingin tetap pelaku (AF) tinggal belajar di pesantren serta bersedia menenggung segala konsukwensinya.

Pada tanggal 05 Oktober 2016 (siang), keluarga korban datang membawa korban untuk kembali masuk belajar di pesantren, tetapi akhirnya ditarik lagi pulang ke rumah setelah mengetahui masih ada 3 orang pelaku yang tetap tinggal di pesantren. Dan pada malam harinya direktur serta beberapa orang pembina berkunjung ke rumah keluarga korban untuk menyampaikan kondisi sebenarnya, bahwa sesungguhnya pengurus pesantren telah mengambil keputusan memulangkan 5 orang pelaku, tetapi ternyata tidak semua orang tua pelaku menerima keputusan itu.

Bahkan mereka berkeras ingin tetap anaknya belajar di pesantren dan menyatakan siap menghadapi jika keluarga korban ingin menempuh jalur hukum. Dan akhirnya direktur – dengan sikap pribadi – menyampaikan kepada orang tua korban bahwa kondisinya sekarang sudah sangat kompleks dan kami telah menempuh berbagai cara tapi hasilnya tetap seperti ini, maka terserah jika bapak ingin melanjutkan tuntutannya ke jalur hukum atau melaporkan ke pihak yang berwajib/kepolisian.

Pada malam yang sama - tidak diatur sebelumnya - keluarga pelaku Z datang pula silaturrahim di kediaman keluarga korban sekaligus bermaksud meminta maaf. Meski keluarga korban memaafkan pelaku Z dari pemukulannya tapi tidak pada keputusan mengeluarkannya dari pesantren.

Pada tanggal 10 Oktober 2016, keluarga korban meminta surat pindah untuk korban dan pengembalian uang pangkal dari pihak pesantren, maka pihak pesantren mengabulkannya dan langsung menerbitkan surat pindah untuk anaknya (korban) serta mengembalikan uang pangkal sebanyak Rp. 10.000.000,- setelah konsultasi terlebih dahulu dengan penasehat hukum dan ketua yayasan.

Pada tanggal 15 Oktober 2016, pondok menerima 1 berkas surat lengkap yang ditandatangani oleh an: Muhammad Kamil, yang tidak lain adalah orang tua korban. Pada bagian pojok atas surat tersebut tertera tempat, hari dan tanggal pengirimannya (Makassar, Senin, 10 Oktober 2016), dan isi surat secara keseluruhan bernada “masukan, saran, kekecewan dan penyesalan” pada pesantren, yang ditembuskan kepada 17 pihak, masing-masing:

  1. Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
  2. Menteri Agama Republik Indonesia
  3. Gubernur Sulawesi Selatan
  4. Kepala Kepolisian Daerah Prov. Sulawesi Selatan
  5. Sekretaris Daerah Provensi Sulawesi Selatan
  6. Kepala Dinas Pendidikan Provensi Sulawesi Selatan
  7. Kepala Kanwil Kementerian Agama  Provensi Sulawesi Selatan
  8. Bupati Pangkep
  9. Ketua DPRD Kabupaten Pangkep
  10. Kepala Polres Kabupaten Pangkep
  11. Sekretaris Daerah Kabupaten Pangkep
  12. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pangkep
  13. Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pangkep
  14. Camat Kecamatan Ma’rang Kabupaten Pangkep
  15. Kepala Polsek Kec. Ma’rang Kabupaten Pangkep
  16. Orang Tua/Wali Santri PPMI Shohwatul Is’ad
  17. Media Massa (Cetak/Elektronik)
Pada tanggal 25 Oktober 2016, Kepala Kemenag Kab. Pangkep bersama dengan dua orang stafnya datang ke pesantren untuk mengklarifikasi isi surat dari bapak Muhammad Kamil tentang PPMI Shohwatul Is’ad yang ditembuskan ke kantornya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!