Senin, Oktober 24, 2016

PPMI SOHWATUL IS'AD MEWUJUDKAN INSAN ULUL ALBAB:

Membangun Pemimpin Yang Berkarakter Ulama
Oleh: Med HATTA
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات، والصلاة والسلام على رسول الله محمد صلى الله عليه وسلم تسليما كثيرا، وبعد!
ABSTRAKSI
Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh peran ulamanya, setidaknya seperti itulah yang disimpulkan oleh Syeikhul Islam Ibn Taimiyah. Tidak dipungkiri, bahwa terjadinya multi-krisis yang dialami negeri ini adalah akibat dari hilangnya peran strategis ulama dari pentasnya dan ketidak pedulian sebagian mereka memberi petunjuk atau nasehat pada masyarakat serta mengarahkannya kejalan yang benar. Maka rusaklah tatanan sosial pada berbagai aspek kehidupan bangsa. 


Bagaimana dengan Indonesia, adakah ulama negeri ini telah mengambil perannya sebagaimana mestinya? Sebagai ilustrasi data ICW menyebutkan bahwa di tahun 2015 semester I (lalu) tercatat 550 kasus korupsi dengan kerugian sampai 3,1 triliyun rupiah[[1]], dari pihak penegak hukumpun – notabene domain ulama – yang semestinya mengadili malah tidak luput dari kubangan kasus korupsi, ditambah lagi para pejabat terjerat kasus gratifikasi seksual dengan pelacur ternama. Maka pantas saja bila negara ini terus stagnan dalam keterpurukan, ketinggalan dengan negara lain, seakan-akan tak mengenal kedinamisan menuju kesejahteraan yang lebih baik. 
Jika ulama negeri ini masih tetap bungkam atau kehilangan peran demikian, maka pastilah umatnya pun sesat, sengsara, pendidikan tak maju, kesejahteraan tidak merata, dan tak sedikit yang masih berada dalam kubangan kemiskinan, dan kriminalitas pun meningkat.  Sebuah sumber menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2013 tercatat angka kriminalitas di Indonesia mencapai angka 342.084 kasus, artinya setiap 1 menit 32 detik (92 detik) terjadi 1 tindak kejahatan[[2]]. Ada apa gerangan? Nampaknya bangsa kita mengalami “degradasi mental” ulama dan pemuda yang diakibatkan krisis keteladanan tiap individu. 

Dalam makalah ini, penulis tidak ingin menoleh kebelakang, tetapi hanya ingin memfokuskan pembahasan pada pembentukan karakter ulama masa kini untuk membangun peimimpin masa depan. Diskursus mengenai peran ulama dalam membangun sebuah negara tidak akan pernah dikenal habisnya. Quote “ulama adalah tiang negara,,, runtuhnya sebuah negara akibat lemahnya peran ulama” tampak sudah mendarah daging dalam segala bentuk perjuangan ulama dimana pun ia berada.
MEMBANGUN PEMIMPIN YANG BERKARAKTER ULAMA
Penulis tidak ingin membahas lebih detail tentang siapakah itu ulama, cukup untuk menjelaskan kemuliaan, keagungan tanggungjawab dan pentingnya peranannya dengan apa yang telah digelarkan Allah SWT padanya - diberbagai tempat di dalam Alquran – sebagai: “Alkhasyah”, orang yang paling takut kepada Allah; “Arruf’ah” paling tinggi derajatnya dan “Almarja’ Ilaihim” sebagai refrensi bagi setiap permasalahan umat.
Begitu pula apa yang telah dikhususkan baginda rasulullah SAW terhadapnya sebagai “Pewaris Nabi”, maka apabila telah terjadi fitnah di tengah-tengah masyarakat, krisis mengkecamuk di dalam negeri dan orang-orang membutuhkan seorang tokoh penyelamat dan pemimpin, lalu mereka tidak menemukan lagi seorang nabi dan rasul maka hendaklah menuju kepada pewarisnya (ulama), karena para ulama itu adalah penyambung lidah dari rasul-rasul Allah. Dan kehormatan itu tidak dimiliki oleh selainnya. Apa sebabnya? Allah berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
Artinya: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Azzumr: 9)
Pemimpin berkarakter ulama atau kita akan istilahkan disini “ulama pemimpin”, adalah pemimpin yang tidak hanya mempelajari, mentadabburi, tetapi lebih dari itu adalah mengamalkan Alquran sebagai sumber acuan umat Islam dalam menjalankan pemerintahan. Ia adil, tawadhu’, bijaksana serta memiliki sifat-sifat terpuji lainnya, maka pasti akan dicintai oleh masyarakat.
Karakter pemimpin seperti disebutkan itu, yang mau turun langsung ke masyarakat; tanggap memberikan solusi pada setiap krisisnya; meringankan bebannya dan bekerja keras untuk mereformasi system yang tidak menguntungkan masyarakat, pasti ia akan dikelilingi oleh massa besar yang akan mendukung setiap langkah-langkahnya, maka dengan demikian mudah memperoleh dukungan serta dapat bersaing meraih kekuasaan. Jika ia tampil dipanggung kekuasaan pasti selalu mencari nasehat dalam setiap keputusannya, maka tercipta stabilitas masyarakat dan negara.
Para ulama sejatinya adalah pemimpin agama, hakim, tokoh masyarakat, pemimpin dalam pemerintahan dan penentu kebijakan. Oleh karena itu ulama pemimpin tidak cukup hanya mengajar dan berceramah di kampus dan di masjid-masjid saja, tetapi harus lebih global mencakup semua bidang sosial, maka mereka akan menjadi imam, teladan, pemimpin bangsa dan pewaris nabi dalam menyampaikan ajaran suci[[3]].
Kepemimpinan bukanlah sekedar kontrak sosial antara pemimpin dan masyarakatnya tetapi juga merupakan ikatan perjanjian antara dia dan Tuhan. Menurut Prof. Dr. Quraisy Sihab, syarat pemimpin harus mempunyai tiga aspek yang kuat, yaitu IESQ (Intelligence, Emotional, Spiritual Quotient) dan AQ (Adversity Quotient)[[4]].
Diakui, Indonesia saat ini tengah mengalami krisis kepemimpinan yang Berkarakter ulama, situasi politik negeri ini sekarang sama seperti Turki sekitar 20 tahun yang lalu, dimana faham sekularisme, liberalisme, dan materialisme masih merajalela. Pada periode itu perempuan Turki masih dilarang memakai jilbab, karyawan tidak boleh sembahyang ditempat umum serta . Tetapi saat ini, ketika Turki dipimpin oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan seorang pemimpin yang berkarakter ulama, karena penghafal Alquran, berhasil menerapkan konsep-konsep Islam dengan cara yang cerdas. “Sehingga sekulerisme di negaranya yang menjadi acuan saat itu bisa diruntuhkan, seperti yang masih dianut Indonesia saat ini”.
MANUSIA DITAKDIRKAN MENJADI PEMIMPIN
Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً ، قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ، قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang pemimpin di muka bumi”. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (pemimpin) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah: 30)
Manusia memang diciptakan Allah sebagai pemimpin sebagaimana pada ayat Alquran di atas. Akan tetapi, pemimpin seperti apa yang dikehendaki oleh Allah SWT dan umat manusia. Pemimpin yang dikehendaki oleh Allah SWT dan umat manusia adalah pemimpin berkarakter ulama yang senantiasa memegang teguh kepada Alquran dan Hadist. Bukan pemimpin yang membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah seperti dugaan para Malaikat sebelumnya.
Pentingnya ulama pemimpin dan kebutuhan masyrakat terhadapnya menunjukkan bahaya hilangnya peran mereka atau tersisihnya. Karena kekosongan yang dapat diperankan pemimpin yang berkarakter ulama tidak dapat diisi oleh selainnya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan demikian penulis menekankan satu hal prinsif, yaitu: Hendaklah ulama yang memiliki jiwa pemimpin berani tampil mengisi kekosongan yang ada, dan mengambil alih lowongan kepemimpinan dengan tangannya sendiri, ia harus selalu dekat dengan rakyat sebelum terjadi fitnah maupun saat terjadinya, dan tidak menunggu kesempatan itu datang sedang ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Apabila pemimpin berkarakter ulama ini terlambat maju selangkah maka akan maju orang-orang yang tidak layak mengisi peran yang semestinya diisi oleh mereka tersebut. Seharusnya suatu bangsa itu dipimpin oleh pemimpin yang dapat memberi petunjuk dan mengarahkan mereka. “Sehingga jika rakyat tidak menemukan karakter ulama maka mereka akan memilih pemimpin abal-abal (tidak berkarakter), dan jika rakyat bertanya padanya maka ia akan menjawab mereka tanpa pertimbangan matang, maka jadilah ia sesat dan menyesatkan[[5]]”.  
PESANTREN MENCETAK PEMIMPIN
Bisakah pesantren mencetak pemimpin? Atau pertanyaan lain senada yang sesuai dengan tema KTI kita yaitu: Bisakah kepemimpinan itu dipelajari?, yaitu dalam kaitannya kita sekarang membahas tema: “Membangun Pemimpin Yang Berkarakter Ulama”.
Untuk menjawab pertanyaan ini penulis kolaborasikan dengan pengalaman pribadi sebagai salah satu pembina di kampus PPMI Shohwatul Is’ad, yang menitik beratkan visinya pada: Terwujudnya insan ulul albab yang berkomitmen terhadap kemajuan umat. Dan saat ini tengah mempersiapkan sekitar 400 santri pilihan sebagai calon-calon ulama, interpreneurship dan pemimpin masa depan, insya Allah. Hemat penulis bahwa:
1.     Terdapat sekitar 2% dari manusia terlahir sebagai pemimpin secara natural tanpa membutuhkan pengaruh luar. Dalam sejarah umat ini kita dapat menemukan beberapa sampel dari kategori ini seperti: Khalid bin Walid dan ‘Amr bin ‘Ash. Umar bin Khattab ra berkata: “Tidaklah pantas ‘Amr bin ‘Ash berjalan di muka bumi kecuali sebagai pemimpin”.
2.     Sebagaimana terdapat sekitar 2% dari manusia yang tidak dipersiapkan menjadi pemimpin secara prinsif, mungkin karena memiliki kepribadian lemah, terkebelakang mental, cacat fisik tertentu atau idiot. Sebagaimana sabda nabi SAW pada Abu Dzar ra: “engkau sangat lemah tidak mampu mengayomi atas dua orang”. Atau jika kamu berdua sama seseorang maka dialah pemimpin bukan kamu, meskipun Abu Dzar merupakan salah satu sahabat yang tinggi kedudukan dan keutamaannya.
3.     Adapun sisanya sekitar 96% dari manusia berbakat untuk menjadi pemimpin, jika mereka memperoleh pelatihan yang cukup dan skil yang memadai.
Dengan demikian, Pesantren dapat mengambil peran strategis dalam mencetak pemimpin masa depan dengan menciptakan peluang; kolaborasi berbagai pihak dan media; menjaring kader-kader yang potensial, inovatif dan kreatif; menetapkan target dan menyiapkan pusat pelatihan untuk tujuan tersebut. Dan semua faktor itu terpenuhi dengan sangat memadai di dalam lingkungan pesantren. Maka pesantren telah memberikan andil besar dalam mencetan dan membangun pemimpin sesuai karakter yang diinginkan berdasarkan visi-misi pesantrennya. Dan tentu saja pemimpin yang diridhai Allah SWT dan dibutuhkan oleh bangsa dan negara adalah pemimpin yang berkarakter ulama – yang notabene – domainnya pesantren.
Berbicara soal cetak-mencetak pemimpin tentu tidak ada hubungannya dengan anggapan sebagaian masyarakat tentang kemunculan satrio piningit yang ditunggu-tunggu. Yang tiba-tiba datang membebaskan semua krisis dan problematika masyarakatnya, atau rekayasa manusia supermen yang dapat menolong bangsa yang lemah menjadi kuat dan yang hina menjadi mulia. Akan tetapi kita hanya berusaha untuk mempersiapkan SDM yang mampu mengemban tanggungjawab dan memacu semangat kepemimpinannya serta memberi peluang masa depan yang gemilang.
MEMBIDIK KARAKTER ULAMA
Tidak syak lagi, bahwa calon pemimpin masa depan haruslah memiliki karakter atau dalam Islam disebut dengan akhlak. Karakter dan akhlak adalah dua kata yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama, meski di Indonesia – saat ini – kalimat akhlak lebih populer disebut dengan istilah karakter. Konsep karakter (akhlak) dalam Islam merupakan pakem hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta dan manusia dengan manusia itu sendiri. Pada prinsipnya karakter yang diinginkan oleh Islam adalah karakter yang senantiasa konsisten dan tetap dalam tekad atau teguh dalam pendirian, yang terpatri pada jiwa para ulama. (Lihat: QS. Father: 28)
Maka apabila ingin menumbuhkan karakter yang tak lekang, maka harus menggunakan acuan yang tak lekang pula dan universal. Itu hanya ada pada konsep akhlak dalam Islam yang referensinya adalah Alquran dan hadist, yang pada akhirnya akan tercipta para pemimpin berkarakter ulama (yang menguasai petunjuk Alquran dan Hadits serta mengamalkannya) dari generasi-generasi muda. Dalam perspektif Islam ada 4 sifat prinsifil pemimpin yang berkarakter ulama, yaitu sebagaimana karakter yang telah diteladankan oleh rasulullah SAW selama hidupnya: Pertama, Shidq (benar, jujur); kedua, Amanah (terpercaya); ketiga, Tabligh (komunikator); dan keempat, Fathanah (cerdas)[[6]].
Nah, di tengah kondisi negara kita yang saat ini mengalami krisis kepemimpinan yang berkarakter itu, maka diperlukan berbagai upaya serius yang harus dilakukan oleh umat dan lembaga-lembaga Islam, yaitu terkait mempersiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan. Di antaranya dan yang paling urgen telah  kami rintis di PPMI Shohwatul Is’ad semenjak 10 tahun belakangan ini, yaitu dunia pendidikan.
Tanpa mengecilkan peran lembaga keluarga dan masyarak yang (juga) mempunyai andil yang sama dalam mempersiapkan generasi calon pemimpin, lembaga pendidikan, terutama pondok pesantren, diharapkan menjadi industri strategis dalam mencetak generasi pemimpin yang unggul dan memiliki karakter ulama seperti yang diinginkan Allah SWT dan dibutuhkan oleh bangsa dan negari yang kita cintai ini.
Hal inilah yang tengah kami perankan di PPMI Shohwatul Is’ad mulai dari didirikan oleh founding father Drs. KH. Masrur Makmur Latanro, M.Pd.I., tahun 2006. Memang belum nampak jejak alumni kami diberbagai level, karena faktor usia yang masih seumur jagung, tetapi sesuai visi yang kami bidik: “Terwujudnya Insan Ulul Albab (yang memiliki keseimbangan spritual, intlektual dan moral) yang Berkomitmen Pada Kemajuan Umat”, insya Allah, dalam jangka 10-20 tahun ke depan kami akan menyumbangkan generasi-generasi ulul albab kami, bukan saja dilevel daerah tetapi juga dikancah-kancah nasional dan global. Tentu pesantren-pesantren yang lain juga berharap demikian.
Pola pendidikan yang diterapkan yayasan PPMI Shohwatul Is’ad, selain telah mempersiapkan sarana-prasarana dan berbagai fasilitas yang mendukung kenyamanan santri di dalam lingkungan pesantren (service bintang lima), yayasan juga telah menjaring tenaga-tenaga pendidik (SDM/Asatidz) yang handal guna mencapai tujuan mempersiapkan santri-santri calon pemimpin yang berkarakter ulama. Para asatidz itulah diposisikan sebagai figur yang diharapkan mampu mendidik santri dan mengisinya dengan karakter yang diinginkan tersebut.
Para Asatidz di pesantren sebagai pendidik/pembina dituntun menjalankan enam peran ganda yang sudah di atur di dalam Tata Tertib (TATIB), SOP, Pedoman Mu’amalat/Ke-Shohid-an, dan arahan-arahan langsung atau tidak langsung dari Ketua Yayasan/Pendiri, yaitu:
Pertama, ustadz terlibat aktif dalam proses pembelajaran dengan melakukan interaksi dengan santri dalam mendiskusikan materi pembelajaran (dilakukan di ruang kelas yang yaman dan pada halaqah/kelompok wali usrah yang diaktifkan tiga waktu dalam sehari).
Kedua, menjadi contoh teladan (role mode) kepada santri dalam berprilaku dan berbicara (Pedoman Mu’amalat/Ke-Shohid-an).
Ketiga, mendorong santri aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif.
Keempat, mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan ustadz dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan santrinya.
Kelima, membantu dan mengembangkan emosi serta kepekaan sosial santri agar menjadi lebih takwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar (soft skill) yang berguna bagi masa depan. (Pengajian dan halaqah/kelompok wali usrah)
Keenam, menunjukkan rasa kecintaan kepada santri, sehingga ustadz dalam membimbing santri yang sulit tidak mudah putus asa.
Disadari, bahwa pemimpin yang berkarakter seperti yang diinginkan tidak lahir begitu saja, ia lahir dari proses pembinaan dan pendidikan sebelum seseorang menjadi pemimpin. Keberhasilan pendidikan karakter akan menghasilkan stocks pemimpin nasional yang berkarakter, dengan demikian akan menghasilkan wajah bangsa dan negara yang berkarakter pula.
Untuk itu, semua pihak baik keluarga, masyarakat, lembaga formal, informal dan nonformal harus berbagi tanggungjawab dalam mempersiapkan pemimpin berkarakter ulama tersebut. Indonesia saat ini sudah seharusnya dipimpin oleh pemerintah yang baik dan mampu mengembangkan good governance dengan nilai-nilai transparency, independenci, accountability, responsibility, fairness dan social awareness.
KARAKTER ULAMA dan ULUL ALBAB
PPMI Shohwatul Is’ad, di dalam visinya memang tidak membidik secara langsung karakter ulama seperti yang telah dibahas di atas, tetapi lebih menekankan pada terwujudnya insan ulul albab. Sebenarnya uluma dan ulul albab adalah dua kalimat yang berbeda tetapi sesungguhnya spirit keduanya merupakan untaian setali tiga uang. Kalimat “albab” sendiri adalah bentuk jama’ (plural) dari kata bahasa Arab “lubbun” yang secara etimologi (bahasa) artinya ‘aql (intellect/ reason) atau intelektualitas yang bersumber dari hati yang terdalam. (Lihat: Lisanul Arab, I: 729).
Adapun makna terminology ulul albab telah disimpulkan dengan indah sekali oleh tokoh-tokoh tafsir dan bahasa dunia, seperti:
·        Ibn Jarir Atthabari (Jami’ Albayan), ulul albab: “ashabal ‘uqul alkabirah”, orang-orang yang memiliki pemikiran yang besar (great minds).
·        Arrazi (Tafsir Alkabir), sebagai: “dzul ‘uqul alkaamilah”, orang yang memiliki akal yang sempurna (complete intellects).
·        Ibn Katsir (Tafsir Alquran alkarim: “al’uqul attammah azzakiyah”, akal yang sempurna dan suci (pure and consummate intellects).
·        Mahmud Allusi Albaghdadi (Ruhul Ma’ani): “al‘uqul alkhalishah”, akal yang murni (unadulterated intellects).
·        Assyaukani (Fath Alqadir): “al’uqul asshahihah alkhalishah”, akal yang benar dan murni (right and unadulterated/uncontaminated).
·        Prof. Hamka (Tafsir Alazhar): “orang-orang yang mempunyai inti pikiran yang dalam”.
Jelas bahwa ulul albab adalah orang-orang yang berpikir dan bertindak dengan didasarkan pada kesucian dan kemurnian suara hatinya yang terdalam. Insan yang ulul albab adalah mereka yang tidak pernah mendustai kata hatinya yang terdalam. Pemimpin yang berkarakter ulul albab berarti orang yang memimpin dan menjalankan roda kepemimpinannya didasarkan kepada kemurnian, ketulusan, kesucian hatinya yang terdalam. Allah berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ * الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam menjadi siang adalah tanda bagi orang yang ulul albab. (yaitu) mereka yang ingat Allah baik di saat berdiri dan duduk dan berbaring dan mereka memikirkan dalam penciptaan langit dan bumi, Tuhan kami: “tiada yang sia-sia terhadap apa yang telah engkau ciptakan”, Mahasuci Engkau, maka jauhkanlah kami dari api neraka”. (QS. Al Imran: 190-191)
Pemimpin yang memiliki karakter ulul albab, memiliki indikasi melalui penjelasan dalam ayat di atas, yaitu: Pertama, memiliki kecerdasan intelektual, mempunyai kematangan emosional dan spiritual; kedua, jujur dengan suara hatinya yang terdalam; ketiga, selalu ingat kepada Allah SWT di saat bagaimanapun; keempat, mengambil pelajaran dibalik apa yang ditetapkan Allah terhadap semua ciptaan Nya; kelima, mensucikan Allah dan mengagungkan namaNya dan keenam, selalu membawa manfaat dan kemaslahatan dunia dan akhirat.
Pemimpin yang berani melawan kata hatinya sudah pasti akan menjadi pengkhianat terhadap amanah yang dibebankan padanya. Tetapi sebaliknya, pemimpin yang berpijak dari kesucian hatinya yang terdalam (lubbun) akan menjalankan amanah kepemimpinan dengan sebaik-baiknya. Dan karakter inilah yang dicita-citakan oleh pendiri PPMI Shohwatul Is’ad sebagaimana dituangkan dalam visi-misi pesantrennya.
SYARAT MUTLAK PEMIMPIN BAGI UMAT ISLAM
Indonesia merupakan negara terbesar keempat dunia dengan populasi penduduk mencapai sekitar 230 juta jiwa, dan mayoritas besar di antaranya adalah umat Islam (sekitar 87%). Agama Islam (juga) telah meletakkan syarat-syarat kepimpinan bagi umat Islam untuk menjamin kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran negari atau pemerintahannya. Dan sekaligus menegaskan kewajiban mutlak memilih pemimpin dari kalangan Muslim. Tidak non-Muslim.
Alasannya, karena Islam mengharamkan segala bentuk ketaatan (wala’) kepada ahli kitab (non-muslim) yang akidah mereka memiliki akar “kemiripan” dengan Islam, dan lebih melarang lagi segala jenis wala’ pada orang-orang kafir dan ahli makshiat yang tidak jelas bentuk akidahnya sama sekali. Allah berfirman:
يَـأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَـرَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِى الْقَوْمَ الظَّـلِمِينَ - فَتَرَى الَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ يُسَـرِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَن يَأْتِىَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُواْ عَلَى مَآ أَسَرُّواْ فِى أَنفُسِهِمْ نَـدِمِينَ
Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka kerana itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka”. (QS. Almaaidah: 51-52)
Ayat di atas menjelaskan kerjasama dalam gerakan Islam dengan orang-orang non Islam dan kafir di atas dasar politik akan lebih menjauhkan lagi orang-orang Islam daripada mereka. Oleh karena itu, tidak ada jenis ketaatan apapun pada selain muslim, dan umat Islam mutlak harus dipimpin oleh pemimpin muslim pada semua level pemerintahan yang didominasi oleh mayoritas mutlak penduduk muslim, termasuk Provensi DKI Jakarta.
Syarat-syarat lain kepemimpinan dalam Islam adalah: Adil, berilmu, kuasa, cakap, cerdas dan masih ada syarat-syarat sekunder lainnya. Dan semuanya itu tercakup pada kreteria pemimpin yang berkarakter ulama dan ulul albab yang telah dibahas di atas. Adakah calon-calon pemimpin yang memenuhi karakter itu di Indonesia?
Sesungguhnya di negeri kita tercinta ini bukan tidak ada tipe pemimpin yang memiliki karakter ulama dan ulul albab yang diinginkan oleh masyarakat itu. Kita tahu bahwa mayoritas penduduk Indonesia pemeluk agama Islam. Dan tidak sedikit pula dari jutaan umat Islam di Indonesia yang memiliki kemmpuan lidership yang berkarakter ulama. Namun permasalahannya kemudian, mampukah  kandidat-kandidat pemimpin yang berkarakter ulama tersebut menembus sistem perpolitikan Indonesia dan menduduki kursi kekuasaan Negara?
Adalah salah satu agenda besar bangsa Indonesia adalah pesta demokrasi Pemilu yang dilaksanakan lima tahun sekali. Jutaan rakyat Indonesia terlibat langsung dalam menentukan nasib bangsa. Semua orang yang sudah memiliki persyaratan memilih, berduyun-duyun menuju TPS untuk memilih pemimpinnya, terlepas dia mengenal atau tidak siapa orang yang dia pilih itu.
Semenjak lahirnya undang-undang nomor 23 tahun 2003 yang mengatur tentang pemilihan eksekutif secara langsung oleh rakyat, banyak yang berpendapat bahwa ini lebih demokratis. Rakyat lebih berdaulat dan presiden terpilih akan mendapatkan legitimasi politik yang besar dari rakyat. Namun sayang, untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat tersebut para calon eksekutif negeri menempuh jalan politik yang kurang baik.
Mereka berkampanye dengan menebar ribuan pamplet dan benner di seluruh peloksok NKRI, membagi-bagikan kaos, membagi-bagikan uang (money politic), atau yang lebih gandrung sekarang ialah membuat film-film pendek pencitraan baik dari para calon pemimpin tersebut. Sehingga biaya untuk menjadi pemimpin terkesan sangat mahal.
Untuk menanggulangi biaya kompanye yang sedemikan mahal, para calon akan melakukan apa pun untuk mendapatkan bantuan dana. Termasuk mengadakan kontrak-kontrak gelap dengan para investor asing. Misalnya, jika ia menang menjadi pemimpin terpilih, maka ia akan mempermudah perijinan bagi investor asing itu untuk penambangan pasir, emas, minyak bumi dan lain-lain. Kasarnya, para calon pemimpin itu menjual tanah airnya sendiri.
Sialnya, sampai detik ini cara yang demikian relative berhsil. Karena banyak dari rakyat Indonesia belum mampuh membaca karakter dari calon pemimpinnya tersebut. Mereka hanya mampu meraba-raba melalui performen, retorika, atau apa saja yang sudah diberikan kepada mereka. Mereka tidak mampu membaca niat terselubung dari calon pemimpinnya itu. Mereka tidak sadar, satu suara yang mereka berikan sangat menentukan kemajuan dari bangsanya. Akibatnya, bangsa kita semakin hari semakin terpuruk.
Sistem pemilu yang seperti ini sesungguhnya telah menutup keran guna terjaringnya seorang pemimpin yang memiliki karakter ulama. Seseorang yang sudah tertanam dalam dirinya sebuah karakter ke-ulama-an, tidak akan melakukan tindakan-tindakan kotor. Maka dari itu, jika sistemnya tidak dirubah, maka keinginan untuk mendapatkan kepemimpinan yang berkarakter ulama, hanya isapan jempol belaka.
Kongkritnya, selain membangun pemimpin yang berkarakter ulama yang akan menjalankan roda kepemimpinan bangsa dan negara yang berkarakter, kita bangsa ini juga harus membenahi sistem pemilihannya. Sebab cara pemilu yang berkembang semenjak tahun 2004 realitanya telah menjadi episentrum kegagalan pemimpin kita. Selain itu, kita juga harus memperketat peraturan dalam berkampanye, seperti mengatur anggaran biaya kampanye dan atau hal-hal lain yang dapat memicu ketidak adilan.
NAH, SIAPAKAH PEMIMPIN YANG BERKARAKTER ULAMA?
Sekarang kita telah mengetahui bahwa pemimpin itu adalah pribadi-pribadi unggul yang memiliki tiga karakter dasar yaitu: Ilmu, Akal dan Quwwa (Power). Maka saatnya kita membedah ketiga karakter tersebut. Sbb:
PERTAMA: ILMU
Seseorang disebut berilmu/alim adalah orang yang dapat memadukan ilmu dan hikmah, tidak hanya terbatas pada tsaqafah (wawasan). Wawasan hanyalah media menuju ilmu. Dan ilmu pada dasarnya adalah rasa takut kepada Allah. Karena itulah Allah berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Artinya: ”Yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah para ulama”. (QS. Father: 28).
Ibn Mas’ud pun mengatakan: Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu adalah rasa takut kepada Allah.
Bagaimana rasa takut itu bisa muncul? Tentu saja rasa itu muncul sesudah mengenal-Nya, mengenal keperkasaan-Nya, mengenal kepedihan siksa-Nya. Jadi ilmu itu tidak lain adalah ma’rifat kepada Allah. Dengan mengenal Allah, akan muncul integritas pribadi (al ‘adalat wa alamanat) pada diri seseorang, yang biasa pula diistilahkan sebagai taqwa.
Jelaslah, bahwa pemimpin – apapun levelnya – adalah pribadi unggul yang “pembelajar”. Dalam bahasa Alquran:
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
 Artinya: “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu tetap mempelajarinya”. (QS. Al Imran: 79)
Pemahaman dan penguasaan akidah, teknik dan strategi pemerintahan menjadi kewajiban dari karakter ini. Dan tente aspek kepemimpinan dan manejemen merupakan tuntutan tak terelakkan.
KEDUA: AKAL (Ulul Albab)
Insan ulul albab adalah orang-orang yang berpikir dan bertindak dengan didasarkan pada kesucian dan kemurnian suara hatinya yang terdalam. Pemimpin yang berkarakter ulul albab berarti orang yang memimpin dan menjalankan roda kepemimpinannya didasarkan kepada kemurnian, ketulusan, kesucian hatinya yang terdalam. Sebagaimana disifatkan Allah SWT:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
Artinya: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Azzumr: 9)
Pemimpin yang memiliki karakter ulul albab, adalah memiliki kecerdasan intelektual, mempunyai kematangan emosional dan spiritual, jujur dengan suara hatinya yang terdalam, selalu ingat kepada Allah SWT di saat bagaimanapun, mengambil pelajaran dibalik apa yang ditetapkan Allah terhadap semua ciptaan Nya, mensucikan Allah dan mengagungkan namaNya dan selalu membawa manfaat dan kemaslahatan dunia dan akhirat.
KETIGA: QUWWAH (Power)
Karakter ini telah disimpulkan dengan sangat cermat pada satu ayat di dalam Alquran. Allah berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu belanjakan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dirugikan”. (QS. Alanfal: 60)
Apabila karakter-karakter prinsif (yang kita istilahkan sebagai karakter uluma ulul albab) di atas kita jadikan syarat utama dalam memilih pemimpin di negeri ini, maka pastilah kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran akan menyebar luas di seantoro negeri NKRI yang kita cintai. Dan Indonesia akan berjaya, disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa dunia.
Kalifah Umar bin Khattab berkata: "Kita adalah umat yang diberi kemuliaan dengan Islam, maka barangsiapa yang mencari selain dari Islam, Allah akan memberi kehinaan kepadanya".
PENUTUP
Sesungguhnya model kepimpinan melalui teladan yang telah diperankan oleh rasulullah SAW dan para sahabatnya dengan meletakkan dunia ditangan mereka dan meletakkan akhirat di hati mereka adalah asas penolakan pengaruh materialis, sekularis, liberalis, paragmatis dan semua unsur luar yang mencemarkan kesucian Aqidah dan pegangan Umat Islam.
Sebagai penutup penulis ingin menyimpulkan secara acak beberapa sifat utama yang harus dimiliki oleh pemimpin yang berkarakter ulama dari kajian kita di atas, di antaranya sebagai berikut:
1.            Seorang pimpin mestilah sentiasa mengharapkan akhirat dengan ikhlas kerana Allah semata-mata. Mempunyai hati yang bersih, jauh dari segala penyakit jiwa yang akan meruntuhkan amal dan usahanya seperti riya’, gila kuasa, cinta pangkat kebesaran dan pengaruh atau terpedaya dirinya dan lain-lain penyakit jiwa yang merusakkan pimpinan.
2.            Mempunyai sifat “Asshiddiq” (benar di dalam segala kata-kata, sikap dan perbuatan).
3.            Mempunyai akal yang kuat, hikmah, cerdik cendiakawan dan arif bijaksana, berpengalaman, mempunyai pandangan yang tajam, pembacaan yang luas, mampu mengetahui pelbagai perkara dari berbagai sudut.
4.            Berani, muruah, tidak penakut dan tidak membabi buta.
5.            Mempunyai sifat sabar yang tinggi
6.            Keteguhan, tawakal dan tidak ragu.
7.            Tawadhu’ (merendah diri), tidak membanggakan diri kepada menusia.
8.            Mempunyai sifat pemaaf, menahan kemarahan dan ihsan kepada oerang bawahan yang berbuat jahat terhadapnya.
9.            Mestilah berkarakter dengan sifat “Alhilm” (tidak mudah marah), penyantun, pengasih dan lemah lembut.
10.       Bersifat “Al‘iffah”(suci hati, jiwa dan amal) dan “Alkiram” (bersifat pemurah dan tidak bakhil).
11.       Sederhana dalam segala perkara
12.       Menepati janji dan memenuhi sumpah setia.
13.       Warak dan zuhud
14.       Memelihara perkara-perkara yang dimuliakan Allah (Hurumatillah).
15.       Jauh dari sifat “Almannu” (mengungkit) dan menyebut-nyebut kebaikkan diri sendiri.
16.       Kesejahteraan hati, tidak melayani orang yang mengumpat dan mengadu domba antara sesame manusia.
17.       Menjauhi sikap putus asa
Semua kepribadian dan sifat-sifat yang disebutkan di atas harus dimiliki oleh setiap pemimpin dari berbagai level dan tingkatannya, seperti pemimpin organisasi, lembaga, politik, daerah, negara dan lain-lain. Mereka wajib untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat tersebut serta memeliharanya, disamping memelihara karakter Islami secara utuh yang wajib bagi setiap muslim. Wallahua’lam.
DAFTAR PUSTAKA
1.             Alquran Alkarim
2.             Kitab Hadits (Shahih Bukhari dan Muslim)
3.             Kitab-kitab tafsir populer
4.             Kamus Lisanul Arab
5.             Mustafa Masyhur, Alqaidu alqudwah ‘ala thariqid Dakwah
6.             Jamal Hasan Sa’ad Madiy, Alqiyadatul Muasharah
7.             Sohih Bukhari dan Muslim
8.             Kitab Assultah attanfiziyyah fi biladil Islami 
9.             Quraisy Shihab, Membumikan Alquran 2 hal. 281
10.        Ahmad Arrasyid, Almunthalaq
11.        Zubaedi, 2011 :171
12.        Ahmad Fahmi, Majallah Albayan
13.        Ibn Muflih, Al Adabus Syar’iyah 2/235-236
14.        Majmu’ Alfatawa
15.        Mohamed Quthb, Waqi’unal Mu’ashir
16.  Ahmad Muhammad Salim, Tajedidu Ilmil Kalami qiraatun fi fikri Badi’izzaman Sa’id Annursi
17.        Al Mesbar Studies & Research Centre, Indonesia (Islamis – Syi’ah – Shufi)
Kumpulan Bahan Ajar: Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren.



BACA JUGA:

1.       ALQURANPETUNJUK KESUKSESAN HIDUP DUNIA & AKHIRAT


2.       MASRUR MAKMURKLARIFIKASI BERITA PENGUNDURAN DIRINYA


3.       MASRUR MAKMURLATANRO MENAMBAH LAGI KOLEKSI AWARDNYA


4.       UANG PANAIMAHAL (R)


5.       MASRUR MAKMUR LATANRO BALON BUPATIENREKANG 2018


6.       BALON BUPATI ENREKANG 2018 MASRURMAKMUR DAN PROGRAMNYA


7.       KIAI ENTERPRENEURSHIP


8.       MASRUR MAKMUR LATANRO SAFARI RAMADHAN1437 H





[3] (المنطلق، محمد أحمد الراشد) 
[4] Quraisy Sihab, Membumikan Alquran 2 hal. 681 
[5] Potongan Hadits Shahih  dari riwayat Imam Bukhari pada Kitab Ilmu, No. 100.
[6] Zubaedi, 2011 :171.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!