Sabtu, April 22, 2017

JEJAK PERJUANGAN ULAMA PEREMPUAN INDONESIA



PROLOG

Nasib (Ulama) Perempuan

Oleh: Helmy Ali Yafie

Di Sulawesi Selatan, ada seorang perempuan yang bernama Hj. Hafsah Laodji, asal Rappang, Sulawesi Selatan, yang aktif mengajar di madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren Darud Da’wah wal Irsyad[1], mulai dari sejak akhir tahun 1940-an, sampai pada akhir hayatnya, pertengahan tahun 1990-an. Hj. Hafsah, mulai mengajar di MAI Mangkoso, Sulawesi Selatan; ketika madrasah itu membuka kelas perempuan. Lalu pindah ke Pare-Pare, dan mengajar di Madrasah DDI Ujung Baru. Pada pertengahan tahun 1950-an, bersama suaminya, H. Mahmud Pase, dia pergi ke Kepulauan Riau, Sumatera, untuk membuka sekolah DDI disana. Dia baru kembali lagi ke Sulawesi pada pertengahan tahun 1960-an. Seterusnya dia tinggal di Pare-Pare mengajar di Pesantren DDI Ujung Lare, sampai akhirnya hayatnya. Hj. Hafsah adalah seorang perempuan yang memiliki kedalaman keilmuan yang tidak terukur. Dia sungguh-sungguh alim (berilmu), menguasai ilmu-ilmu dan wacana keagamaan klasik. Tidak kalah dengan orang-orang, laki-laki, yang memperoleh gelar guru besar dalam dunia keilmuan tradisional Islam yang pernah ada di Sulawesi Selatan[2]. Dia adalah seorang Ulama. Atau dia memenuhi seluruh kwalifikasi yang dibutuhkan untuk disebut sebagai ulama dalam dunia Islam; dari sisi ilmu dan karakter. Dia memang bukan tipe yang tampil di podium berbicara dengan semangat yang berapi-api. Dia lebih memusatkan perhatian untuk mengajar atau mendidik. Dia mengabdikan diri untuk mendidikan anak-anak perempuan, dengan sepenuh hati, total dan ikhlas. Dia cenderung pendiam dan rendah hati. Berbicara ketika ditanya; kecuali ketika mengajar. Dia mengajar di beberapa tempat, mendidik banyak murid, tidak hanya di Sulawesi Selatan, bahkan di Riau. Dia memiliki banyak murid, perempuan dan laki-laki. Tetapi anehnya, namanya tidak banyak disebut, bahkan di Pare-Pare dan Mangkoso, tempat dia pernah mengabdi dalam waktu yang relatif lama. Sepanjang yang saya ketahui, tidak ada buku tentang dia, atau buku yang menyebut namanya. Jangankan dalam encyclopedia, atau buku, sampai kini belum ada skripsi, apalagi disertasi yang di tulis yang menyebutkan namanya. Padahal banyak orang yang pernah menjadi muridnya, yang kini menyandang gelar Sarajana atau Doktor.
 (Lihat: Sambungan)


Para penulis, atau sarjana, atau para mahasiswa yang menulis tentang tokoh agama, atau ulama atau cendekiawan Bugis, tampaknya lebih menyukai menulis (guru-guru mereka) yang berjenis kelamin laki-laki. Entah kenapa begitu. Mungkin karena di bawah sadarnya menganggap bahwa perempuan itu, sebagus apapun kwalitasnya, tetap tidak bisa menandingi laki-laki, atau, jika ada perempuan menonjol, menganggap bahwa itu adalah kasus khusus, berada di luar kelaziman. Boleh jadi juga karena tradisi menulis para sarjana yang masih kurang. Tetapi memang juga Ulama perempuan tidak banyak meninggalkan jejak, melalui karya tertulisnya. Mungkin juga itu sebabnya, tidak banyak dikenal orang.
Bukan hanya Hj. Hafsah, tampaknya banyak yang lain, perempuan yang memikili kedalaman ilmu yang tidak terukur, yang telah mengabdikan diri untuk kaumnya, umat, agama dan bangsa, yang mengalami nasib seperti itu, terabaikan, lalu akan terlupakan bahwa dia sesungguhnya pernah tampil di panggung sejarah paling tidak untuk kaumnya. Dalam buku ini, ada seorang perempuan yang juga memiliki kedalaman ilmu yang tidak terukur dan mengabdi untuk kaumnya, untuk umat, agama dan bangsanya. Bahkan, kalau prestasi itu diukur dengan gebrakan melakukan sesuatu yang tidak biasa di tempat tertentu, maka perempuan ini sungguh-sungguh luar biasa. Yang saya maksudkan adalah Nyai Khoiriyah Hasyim Asy’ary. Nyai Khoiriyah ini pernah mukim di Makkah, dan membangun madrasah khusus untuk anak perempuan disana, pada tahun 1940-an.  Kalau dilihat dari nama belakangnya, sesungguhnya dia bukan orang sembarangan. Dia adalah putri dari Kiai Hasyim Asy’ary. Pendiri dan tokoh sentral Nahdlatul Ulama. Seharusnya dia terkenal. Tetapi ketika saya mencari-cari namanya dalam Ecyclopedia NU, saya tidak menemukan namanya. Saya tidak tahu kenapa bisa begitu. Tetapi bagi saya itu merupakan keanehan.

Perempuan dalam Panggung Sejarah Islam.
Di masa lalu, pada masa-masa awal Islam, perempuan memperoleh tempat dan penghargaan yang sangat baik. Banyak di antara mereka yang menjadi ulama dan intelektual dengan keahlian yang beragam[3]. Kapasitas keilmuannya kurang lebih sama dengan laki-laki. Nama-nama, perjalanan hidup dan karya-karya mereka terekam dalam banyak buku[4]. Jumlahnya memang tidak sebanyak laki-laki. Ignaz Goldziher[5],  menyebut paling tidak lima belas persen ulama ahli hadits adalah perempuan.[6]  Bahkan, kalau menurut Rood Roded, sekitar delapan belas persen[7]. Perlu diketahui bahwa masa itu, masa awal kedatangan Islam, masyarakat baru keluar dari sebuah masa penuh kegelapan, yang disebut masa jahilyah[8], yang sangat merendahkan perempuan. Perempuan, pada masa jahiliyah, tidak memperoleh banyak kesempatan dan penghargaan. Maka jumlah yang disebutkan di atas, ketika baru memperoleh ruang dan kesempatan, adalah sesuatu yang luar biasa. Satu atau dua orang perempuan ulama saja sebenarnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa perempuan tersebut memiliki potensi dan kwalitas intelektual yang setara dengan laki-laki.
  Para ulama perempuan pada awal Islam tersebut telah tampil sebagai tokoh agama, pakar dalam ilmu pengetahuan, tokoh politik dengan moralitas yang terpuji. Aktifitas mereka tidak terbatas di dalam ruang domestik (rumah) melainkan juga dalam ruang publik politik. Mereka, bersama-sama dengan ulama laki-laki, membangun peradaban Islam. Kehadiran mereka di ruang publik bersama kaum laki-laki tidak pernah dipersoalkan[9]. Keulamaannya atau kepakarannya diakui. Aisyah bint Abu Bakar, misalnya, atau Umm Salamah bint Abi Umayyah, atau Hafsah binti Umar, atau Fatima binti Qais, menjadi guru dan tempat bertanya para sahabat laki-laki[10].  
Pada periode berikutnya sejarah mencatat nama-nama perempuan ulama yang cemerlang. Banyak sekali orang-orang besar yang lahir dan dididik oleh seorang perempuan. Sayyyidah Nafisah (762-824/145-208 H), cicit Nabi SAW., yang menjadi guru Imam Syafi’e, dan Imam Ahmad bin Hambal[11]. Sebelumnya ada Sukainah bint Husain (w. 735/177 H.) juga cicit Nabi SAW., yang disebut-sebut menguasai seni dan sastra, guru para penyair besar pada zamannya.[12] Bisa dikatakan pada masa-masa itu tokoh-tokoh besar silih berganti lahir dengan bimbingan para perempuan ulama.[13]
Tetapi pada masa-masa berikutmya, perempuan ulama seperti tenggelam di bawah panggung sejarah yang di dominasi oleh laki-laki. Tokoh dan ulama perempuan dipinggirkan dan dilupakan. Entah apa yang terjadi, tetapi yang jelas sistem patriarkhis kembali dan sangat dominan. Memang pada umumnya karakter perempuan ulama cenderung tidak menonjolkan diri, menghindari kekerasan dan konfrontasi. Hal itu tampaknya memberi keleluasaan bagi cara pandang laki-laki untuk lebih dominan. Lalu kemudian, atas nama kasih sayang, perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan, secara pelan tapi pasti terjadi peminggiran terhadap perempuan. Tindakan tersebut dilakukan agar perempuan tidak menjadi sumber "fitnah" (kekacauan sosial).  Dr. Muhammad al-Habasy, sarjana Suriah, dalam bukunya: “Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah” mengatakan bahwa peminggiran kaum perempuan itu didasarkan pada argumen prinsip “Sadd al-Dzari’ah” (menutup pintu kerusakan). Keikutsertaan atau keterlibatan kaum perempuan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, baik sebagai pelajar maupun guru, dipandang mereka dapat menimbulkan “fitnah” dan “inhiraf” (penyimpangan) moral. Ini dua kata sakti yang membelenggu aktualisasi diri kaum perempuan. Jargonnya: “Demi melindungi” dan “Menjaga Kesucian Moral”. Dunia sepertinya telah kehilangan cara bagaimana “Melindungi tanpa Membatasi”. Tindakan selanjutnya adalah “membuat aturan-aturan yang membatasi gerak tubuh perempuan di ruang-ruang sosial, budaya dan politik” secara Terstruktur, Sistemik dan Massif[14].      
Cara pandang seperti itu tampaknya seiring sejalan dengan gaya kepemimpinan para penguasa dunia kaum muslimin pada masa itu, yang korup dan mengabaikan penegakan keadilan dan hukum. Gaya kepemimpinan yang melahirkan konflik-konflik internal tak berkesudahan, melemahkan kekuatan kaum muslimin dan pada akhirnya mendatangkan kehancuran peradaban di hampir seluruh wilayah kaum Muslimin. Tentara Mongol berhasil meruntuhkan kekuasaan Islam, di timur, tahun 1256 M[15], disusul kehancuran peradaban Islam di Andalusia tahun 1492 M[16]. Sejumlah peneliti mengatakan bahwa peminggiran kaum perempuan dari ruang publik dan dalam dunia ilmu pengetahun, juga menjadi salah satu sebab dari kehancuran peradaban Islam. Dan itu terjadi karena kebijakan negara tidak memihak, bahkan membekukan aktivitas intelektual perempuan. Maka marjinalisasi dan subordinasi berlangsung sistematis, massif dan terstruktur. Akibatnya yang lebih jauh adalah hilangnya kritisisme terhadap kekuasaan. Dunia pemikiran dan keilmuan menjadi mandek dan pada akhirnya membekukan peradaban. Hanya pengulang-pengulangan dan peniruan yang terjadi terus menerus. Kritik-kritik atas pikiran terlarang dan dipandang kriminal. Keadaan ini berlangsung selama berabad-abad, selama kurang lebih enam abad.
Baru pada awal abad 20 muncul upaya-upaya yang menggugat keterpinggiran perempuan. Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873 M)[17] adalah orang pertama yang membawa pembaruan pemikiran Islam, mengkritik pandangan-pandangan konservatif yang merendahkan dan memarjinalkan kaum perempuan. Dia mengkampanyekan kesetaraan dan keadilan gender serta menyerukan dibukanya akses pendidikan yang sama bagi kaum perempuan. Menuliskan gagasan dan kritik-kritik tersebut dalam bukunya yang terkenal; “Takhlish al-Ibriz fi Talkish Paris” dan “al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin”. Dia memberi pengaruh terhadap tokoh-tokoh pembaharu dalam dunia Islam pada masanya. Tetapi yang paling menonjol dan kontroversial dalam isu-isu perempuan adalah Qasim Amin (1863-1908)[18]; yang, pada tahun 1899, menulis bukunya yang terkenal; “Tahrir al-Mar’ah” (pembebasan perempuan), dan “al-Mar’ah al-Jadiddah” (Perempuan Baru).
Berawal dari pemikiran dan gerakan mereka itu lahirlah para ulama dan aktifis perempuan di banyak negara muslim. Pengetahuan mereka dalam bidang ilmu-ilmu agama (Islam) sangat mendalam dan luas. Beberapa di antaranya adalah Huda Sya'rawi[19], Aisyah Taymuriyah[20],  Malak Hifni Nashif[21], Nabawiyah Musa[22], Zainab al-Ghazali[23], Aisyah Abdurrahman bint Syathi[24], Asma Barlas[25], Aminah Wadud[26], Fatima Mernisi[27], Nazhirah Zainuddin (1908-1976)[28]. Dan masih banyak yang lagi yang lain.  Munculnya kembali perempuan ulama itu, mendorong kembalinya posisi perempuan ke tengah panggung sejarah. Pengaruhnya cukup luas menyebar ke berbagai negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia. 
Perempuan (Ulama) Di Panggung Sejarah Indonesia
Di Indonesi, hal yang kurang lebih sama terjadi. Memang tidak cukup banyak catatan yang menyebutkan keberadaan perempuan ulama pada masa-masa awal Islam di Indonesia. Hanya ada catatan sejarah tentang beberapa perempuan, yang berilmu, yang pernah tampil sebagai raja di Aceh. Tetapi itu sudah cukup menggambarkan kejayaan perempuan di masa lalu. Ada seorang ratu bergelar Paduka Sri Sulthanah Safiatuudin Tajul-‘Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fil-‘Alam. Dia memerintah antara 1641-1675. Safiatuudin Tajul-‘Alam, artinya kemurnian iman, mahkota dunia. Konon sang ratu dapat berbicara dalam empat bahasa asing, selain bahasa Aceh dan bahasa Melayu; yakni bahasa Spanyol, bahasa Belanda, bahasa Arab, dan bahasa Persia[29]. Sesudah Safiatudin, ada dua ratu yang naik tahta yang juga cakap, dalam arti berilmu pengetahuan. Tetapi pada periode berikutnya, Sulthanah Sri Ratu Kamalat Syah, di turunkan dari tahta kerajaan, pada 1699, berdasarkan fatwa haram bagi pemimpin perempuan dari Mufti Makkah[30]. Sejak saat itu tidak pernah ada lagi raja perempuan di Aceh.  Meskipun begitu, di Aceh, tetap muncul perempuan berilmu yang mandiri dan kuat, bahkan ada yang menjadi panglima perang (melawan Penjajahan Belanda)[31]. Di Aceh memang perempuan juga menjadi tumpuan keluarga dan negara. Mereka tidak hanya bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga untuk anak dan suami mereka, melainkan juga di luar rumah berjuang untuk kaumnya dan masyarakatnya. Tetapi di tempat lain, tidak banyak catatan yang menunjukkan keberadaan perempuan, khususnya perempuan ulama. 
Boleh jadi ada banyak perempuan ulama atau perempuan berilmu, tidak tercatat dalam sejarah[32]. Tampaknya memang ada problem dengan penulisan sejarah. Reni Nuryanti, yang menulis tentang Rohana Koedoes dalam buku ini, mengkritik tentang kelangkaan penulisan tentang Ulama perempuan di Indonesia. Kajian sejarah tentang tema perempuan katanya belum banyak diminati. Kajian tentang sejarah perempuan, pada umumnya justeru banyak dilakukan oleh sosiologi dan antropologi. Tampaknya sejarawan pada umumnya beranggapan bahwa tema terkait dengan perempuan kurang menarik. Salah satu buku penting, Sejarah Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian, yang menjadi pegangang sejarah Indonesia selama bertahun-tahun untuk menelaah gerakan perempuan di tulis oleh seorang antropolog, Cora Vreede-De Steers. Tulisan itu menarik, tetapi minim kritik. Sumbernya juga terbatas pada arsip-arsip dan buku-buku sezaman[33]. Christin Dobbin mengatakan bahwa karya-karya besar yang di kaji telah mengabaikan perempuan.[34]  Kuntowijoyo juga mengeluhkan minat para parsana menulis sejarah perempuan, di kalangan perguruan tinggi[35].
Sementara Ruth Indiah Rahayu, juga dikutip Reni Nuryanti, mengatakan bahwa perempuan dalam (penulisan) sejarah cenderung bias. Kalau pun ada yang ditampilkan, umumnya hanya yang berdarah biru. Landasan penulisannya juga lebih banyak merupakan personafikasi keagungan sang tokoh. Ruth mengatakan: ‘Nyatanya perempuan yang ditampilkan dalam sejarah Indonesia masih berpusat pada ketokohan yang berasal dari kelas darah biru dan yang diyakni memiliki takdir kemuliaan (keadiluhungan).[36] Apa yang dikatakan Ruth juga berlaku dalam penulisan Ulama Perempuan. Maka tidak heran jika tokoh seperti, Hj. Hafsah Laodji, tidak masuk hitungan. Memang muncul tokoh perempuan ulama seperti Rohana Kudus dan Rahmah el Yunusiyah, di panggung sejarah, tidak hanya terlibat dalam dunia pendidikan untuk perempuan, yang juga aktif dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia, tetapi tidak mendapatkan perhatian yang cukup memadai  Itu juga merupakan bentuk peminggiran perempuan. Karena tidak adanya catatan atau tulisan yang memadai sebagai sumber pengetahuan, maka gebrakan ulama perempuan yang memperjuang kepentingan perempuan, tidak cukup memiliki gaung. Kehadiran Nyai Khoiriyah, salah seorang perempuan ulama dari kalangan Nahdliyin, misalnya, yang pernah aktif dalam forum-forum bahtsul masail NU, pada tahun 1950-an, tidak banyak diketahui orang, karena kurang informasi tentang dia. 
Faktanya, sesudah masa-masa itu, tidak terdengar ada perempuan ulama untuk beberapa waktu lamanya. Boleh jadi, sesudah masa Rohana, atau Rahmah, ada perempuan ulama dengan perspektif perempuan, yang melakukan sesuatu yang mendasar, tetapi tidak cukup mendapat perhatian dan tempat dalam penulisan sejarah yang,  kata Ruth India Rahayu, bias laki-laki. Maka keberadaan perempuan ulama yang memang ada untuk membela dan memperjuangkan kepentingan perempuan tidak banyak diketahui. Kebekuan itu terutama terjadi setelah Orde Baru yang otoriter dan refresive berkuasa,  sejak pertengahan tahun 1960-an, mengkrangkeng perempuan dalam sebuah konsep bernegara yang disebut oleh Julia Suryakusuma ‘Ibuisme Negera’[37].
Kebekuan gerakan perempuan ulama yang memperjuangkan hak-hak perempuan baru mulai pecah pada paruh terakhir pemerintahan Orde Baru. Kalau ditelusuri ke belakang, gerakan itu merupakan bagian dari sejarah masyarakat Islam dalam merespon Orde Baru, yang dimotori oleh kelompok ulama-intelektual Islam modernis[38] dan tradisionalis[39] Islam. Tetapi itu juga tidak bisa dilepaskan dari munculnya gerakan NGO, yang berorientasi pada penguatan hak-hak politik sipil di samping hak-hak ekonomi-sosial, pada akhir tahun 1980-an. Pada masa itu muncul NGO yang berbasis Islam dan Pesantren, seperti P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) berakselarasi dengan gerakan masyarakat sipil. Hefner menyebutnya sebagai kebangkitan Muslim sipil di Indonesia.[40]  Pada awalnya juga merespon isu-isu demokratisasi, penegakan HAM dan keadilan sosial. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya merespon gagasan dan gerakan keagamaan yang meminggirkan perempuan, dengan isu gender dan kesetaraan perempuan.  Perkembangan itu tampaknya juga setelah gerakan NGO itu bersentuhan dengan wacana dan gerakan feminisme Islam di tingkat global yang dikembangkan oleh para perempuan ulama yang disebutkan tadi, seperti Riffat  Hassan, Amina Wadud, Fatima Mernissi, dan lain-lain, serta organisasi-organisasi perempuan yang mengusung feminisme dengan perspektif Islam seperti Sisters Islam Malaysia, Jurnal Zaman di Iran, dan lain-lain[41]. Itu juga tidak terlepas dari perubahan sikap gerakan dan pemikiran feminis Barat yang sekuler, yang mulai menghargai keragaman gerakan perempuan yang muncul di berbagai belahan dunia, tanpa membedakan ras, bangsa dan agama[42].   
Di lingkungan perguruan tinggi muncul pusat-pusat Studi Wanita (PSW) di beberapa perguruan tinggi Islam (baca Institute Agama Islam Negeri; sekarang UIN) yang mengkaji tema-tema ketidak adilan gender dalam teks-teks keagamaan. Di lingkungan NGO yang berbasis Islam dan pesantren, selain P3M dengan Fiqhunnisanya—yang menjadi cikal bakal Rahima—muncul YKF-NU[43], Yasanti[44], LSPPA[45], KPI[46], dan sebagainya. Hal itu juga terkait dengan sikap pemerintah Orde Baru yang kemudian lebih akomodatif terhadap Islam, di paruh akhir kekuasaannya. Hal itu ikut memberikan energi kepada aktivis dan masyarakat Islam bisa dialihkan kepada hal-hal yang lebih produktif untuk pengembangan wacana agama yang lebih emansipatoris; termasuk refleksi kritis terhadap tafsir teks-teks keagamaan, yang memunculkan wacana feminism Islam di Indonesia.
Fiqhunnisa P3M, yang dipimpin oleh Masdar F. Mas’udi dan Lies Marcoes, kemudian Farha Ciciek, selain mengembangkan wacana keagamaan kritis, juga menyelenggarakan pendidikan dengan melibatkan pesantren di Indonesia, terutama di Jawa. Dari proses pendidikan Fiqhunnisa lahirlah beberapa orang (kader) ulama perempuan, seperti Djudju Zubaedah[47] (Cipasung), Syafiq Hasyim, dan lain-lain. Pada masa-masa itu juga mulai muncul tokoh-tokoh, perempuan muda, dari kalangan pesantren, seperti Ruqqayah Ma’shum, Nur Rofi’ah dan Badriya Fayumi[48]. Fiqhunnisa, karena sebuah kecelakaan[49], kemudian berpisah dengan P3M, menjadi Rahima[50]. Rahima aktif menyelenggarakan pendidikan untuk ulama perempuan yang direkruit dari kalangan pesantren dan majelis taklim. Gerakan pendidikan Rahima kemudian memunculkan perempuan-perempuan ulama seperti Nyai Shinto Nabila (Magelang), Umdah el Baroroh (Pati), Nyai Luluk Farida Muchtar (Malang), Afwah Mumtazah (Kempek Cirebon), Nyai Raihanah Faqih (Kediri), Neng Hannah (Bandung), Nyai Khotimatul Husna (Yogyakarta), Nyai Ida Mahmudah Achmad (Banyuwangi), Nyai Umi Hanik (Demak), Nyai Kokom Komariyah (Garut), Nyai Khotim Suryani (Lamongan), Nyai Roudalatul Miftah (Sumenep), dan lain-lain[51]. Kemudian muncul Fahmina Institute[52] yang, selain melakukan pendidikan, juga mengembangkan wacana keagamaan yang kritis. Belakangan muncul Alimat[53]. Tiga NGO itu lalu menggagas KUPI, Kongres Ulama Perempuan Indonesia dengan mengusung tema ”Peran Ulama Perempuan Indonesia dalam Meneguhkan Nilai Keislaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan. Dalam penyelenggaraannya ARAFAH (Alimat, Rahima dan Fahmina) kemudian bekerjsama dengan AMAN Indonesia, PEKKA[54], Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab), dll, menjadi fasilitator untuk penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan yang pertama di Indonesia di pondok pesantren Kebon Jambu, Babakan, Ciwaringin, Cirebon, yang dipimpin oleh Ibu Nyai Hj. Masriyah Amva. Kongres ini diharapkan menjadi tonggak kebangkitan kembali Ulama Perempuan di Indonesia, untuk merespon ketidak adilan bagi perempuan, khususnya merespon gagasan dan gerakan keagamaan yang meminggirkan dan memasukkan perempuan ke dalam wilayah domestik semata, yang semakin kuat setelah Reformasi di Indonesia. 

Perempuan Ulama atau Ulama Perempuan
Setelah muncul kembali kegairahan dalam (upaya membangun) gerakan ulama perempuan yang memiliki pemihakan jelas penegakan hak-hak perempuan, yang berujung pada (rencana penyelenggaraan) kongkres ulama perempuan, ada sedikit perdebatan di kalangan aktivis; tidak hanya soal definisi ulama perempuan, tetapi juga dalam hal penamaan. Tentang definisi ulama perempuan, sebagian besar mengembalikannya kepada pengertian ulama yang lazim dikenal di Indonesia, yakni orang yang memiliki pengetahuan dan penguasaan mendalam pada bidang ilmu-ilmu agama. Dilihat dari penguasaan cabang-cabang ilmu keislaman, sebutan ulama biasanya dikaitkan dengan pengetahuan yang menjadi keahlian seseorang, seperti ulama fiqih, ulama hadist, ulama tasawwuf, ulama tafsir, dan lain-lain.[55] Pengertian itu sesungguhnya tidak membedakan laki-laki atau perempuan. Tetapi karena cara pandang dominan yang bias, maka pada umumnya gelar itu lebih identik dengan laki-laki. Dimunculkannya istilah Ulama Perempuan juga sekaligus konter terhadap cara pandang dominan tersebut. Ulama perempuan adalah istilah yang khas, karena lahir ketika pandangan dominan hanya mengakui keulamaan laki-laki; khas juga karena tampil sebagai bentuk perlawanan terhadap gerakan dan wacana keagamaan yang meminggirkan perempuan. Istilah itu menunjukkan bahwa sesungguhnya banyak perempuan yang memikili seluruh persayaratan untuk disebut sebagai ulama, yang tidak kalah dengan ulama laki-laki; bahwa banyak perempuan yang menguasi ilmu-ilmu agama, wacana Islam klasik, dengan penguasaan sumber-sumber Islam klasik yang sangat meyakinkan sesuai  dengan standar yang berlaku, yang mengemban misi kenabian; yakni menegakkan keadilan dan kemanusiaan, serta menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Pantas untuk disebut sebagai perwaris para nabi. 
Sebahagian lagi, melihat bahwa pengertian itu sebaiknya lebih diluaskan, dengan mengacu kepada arti dari akar kata ulama,[56] yakni orang yang berpengetahuan, atau ahli ilmu. Dengan demikian sebutan ulama bukan hanya ditujukan kepada mereka yang dalam dan luas ilmu dan pengetahuan agama saja, tetapi juga bagi yang menguasai ilmu pengetahuan pada umumnya[57]. Sehingga sebutan ulama bisa berarti sarjana atau intelektual dalam arti lebih luas, sebagaimana yang masih berlaku sampai sekarang di dunia Arab.[58] Tetapi perdebatan itu tidaklah bersifat mendasar dalam arti menunjukkan dua pandangan yang saling bertolak belakangan.  
 Dalam konteks sekarang, ketika keberadaan ulama perempuan masih dipertanyakan, muncul pertanyaan istilah mana yang lebih tepat digunakan.  Sebagian menganggap bahwa istilah yang lebih tepat adalah ulama perempuan; sedangkan yang lain menganggap bahwa yang tepat adalah perempuan ulama. Yang pertama bersifat lebih ideologis, sedangkan yang kedua bersifat biologis. Istilah pertama lebih menekankan pada karakter keulamaan yang mempunyai perspektif perempuan. Jadi yang disebut ulama perempuan itu adalah orang, seorang ulama, yang memiliki perspektif perempuan, tidak penting apakah dia berjenis kelamin perempuan atau berjenis kelamin laki-laki. Siapa saja yang memiliki kwalifikasi keulamaan, yang memiliki perpektif perempuan, melihat persoalan dari kacamata perempuan, maka dia bisa disebut ulama perempuan. Konsekwensinya adalah, perempuan yang memiliki kwalifikasi ulama, tetapi menggunakan kacamata laki-laki dengan pendekatan laki-laki, tidak bisa digolongkan ulama perempuan. Jadi tidak sembarang orang, perempuan, yang bisa masuk ke dalam golongan ini.
Sedangkan perempuan ulama, lebih menekankan jenis kelaminnya. Perempuan yang memiliki kwalifikasi keulamaan, meskipun cenderung melihat persoalan dengan kacamata laki-laki, tetap bisa disebut sebagai perempuan ulama. Artinya semua orang, perempuan, yang memiliki kwalifikasi keulamaan, adalah perempuan ulama. Laki-laki, yang memiliki kwalifikasi keulamaan, dan memiliki perspektif perempuan, memiliki keberpihakan kepada perempuan, tidak masuk ke dalam golongan ini.
Banyak yang cenderung pada istilah pertama, yakni ulama perempuan. Karena istilah itu, lebih bersifat ideologis, tidak muncul dalam ruang hampa. Istilah itu muncul untuk merespon persoalan peminggiran perempuan pada umumnya, dan perempuan yang memiliki kwalifikasi keulamaan pada khususnya, dari dari wilayah publik. Istilah itu muncul pada masa ketika perempuan memperoleh perlakuan tidak adil, mengalami kekerasan dan pelecehan, yang lebih banyak disebabkan oleh budaya partriakhi yang diperkuat oleh pandangan keagamaan yang bias laki-laki.
Kalau melihat isi buku ini, yang banyak bercerita tentang ulama perempuan yang tampil merespon persoalan-persoalan ketidak adilan bagi perempuan, maka istilah yang pertama lebih tepat digunakan.

Tentang Buku Ulama Perempuan
Buku Ulama Perempuan ini memuat bebarapa tulisan tentang ulama perempuan, dari berbagai masa dan berbagai daerah di Indonesia, yang telah melakukan aksi pembelaan dan pemberdayaan kepada kaumnya, kaum perempuan. Mereka tampil untuk merespon peminggiran yang mengakibatkan keterbelakangan perempuan, karena cara pandang masyarakat yang bersumber dari budaya patriarkhi dan struktur sosial yang melemahkan, yang dominan.  Mereka melakukan itu karena pemahaman keagamaan mereka. Mereka pada umumnya memang lahir dari lingkungan keagamaan yang kuat. Pada umumnya mereka terinsipirasi oleh nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama yang menekankan pada seruan untuk menegakaan keadilan,  dan kesetaraan. Ada yang memang lahir dari proses pendidikan yang sistematis, tetapi ada juga yang belajar sendiri. Roehana Koedoes, misalnya, memang belajar agama pada orang tuanya, tetapi dia lebih banyak belajar sendiri dan dibentuk oleh pengalamannya.  Beberapa orang di antaranya sudah dikenal, seperti Rahmah El Yunusiyah, Rohana Kudus, Teungku Fakinah. Karena cukup banyak tulisan tentang mereka. Tetapi lebih banyak yang tidak dikenal umum sebelumnya, karena kecendrungan penulisan (sejarah) yang bias laki-laki. 
Ada satu kesamaan di antara para perempuan ulama itu. Pada umumnya mereka tampil karena keprihatinan atas nasib perempuan, yang tidak memperoleh penghargaan dan kesempatan sebagaimana laki-laki. Mereka, terutama yang berasal dari masa lalu, mengalami diskriminasi itu. Mereka muncul dari ruang sempit, ketika gerak perempuan dibatasi, bahkan hak-haknya terpasung dalam belenggu adat dan pandangan keagamaan yang bias. Beruntung mereka bisa bergeliat, dalam keadaan yang penuh dengan keterbatasan, menempa diri sendiri, menuntut ilmu, mendalami ajaran agama, belajar dari pengalaman dan realitas sekitarnya. Itulah yang tampaknya memberikan mereka kepercayaan diri untuk tampil dengan keyakinan dan keteguhan yang tidak tergoyahkan, memperjuangkan kepentingan kaumnya. Pada umumnya mereka secara jelas mengatakan terpanggil, karena nilai-nilai ajaran agama yang difahaminya, untuk tampil menjawab persoalan peminggiran perempuan dengan aksi kongkrit.
Rohana Kudus yang menghadapi perlakuan adat yang tidak adil terhadap perempuan, dalam bentuk perjodohan dan poligami, mengembangkan pendidikan keterampilan bagi perempuan di kampungnya di Koto Gadang, untuk menguatkan kaumnya dalam menghadapi tekanan adat tersebut. Rohana Kudus—entah belajar dari mana, karena dia sendiri tidak pernah duduk di bangku sekolah, mengenyam pendidikan formal karena tidak dibolehkan oleh adat—mengembangkan teori pendidikan yang sangat menarik. Baginya perempuan harus kembali kepada jati dirinya sendiri; tidak perlu menjadi laki-laki. Perempuan bisa tampil di ruang publik; tetapi juga tidak bisa melupakan kodratnya (hamil, mengandung dan melahirkan), dan mengabaikan tugas-tugas dalam rumah tangga (terutama dalam mendidik anak).  Peran-peran itu harus terintegrasi dalam diri perempuan, untuk bisa disebut sebagai perempuan sejati. Itu yang harus dipahami perempuan. Dan menurutnya, itu tuntutan agama, pengabdian kepada Tuhan, sebagai hamba. Untuk sampai kepada pemahaman, mediannya adalah pendidikan, tidak perlu pendidikan formal; tetapi pendidikan yang menjawab kebutuhan. Karena itu dia mengembangkan Sekolah Kerajinan Amai Setia (di Koto Gadang) dan kemudian Roehana School (di Bukittinggi), yang memiliki karakter sama[59]. Bagi Roehana Koedoes pendidikan (yang dikembangkan) itu bisa memberikan rasa percaya diri, yang bisa membebaskan perempuan dari tekanan; adat dan pandangan keagamaan, tanpa kehilangan karakter sebagai perempuan dan minangkabau.Rahmah el Yunusiyah, lebih beruntung. Dia tumbuh dalam keluarga dan di lingkungan yang terdidik. Di kampungnya, di Padang Panjang, anak perempuan memang sudah memperoleh perlakuan yang lebih baik. Boleh sekolah. Tetapi dia juga menempa dirinya sendiri. Sebab sekolah yang dia temui adalah sekolah laki-laki, yang dikembangkan dengan cara pandang laki-laki, yang tidak menjawab kebutuhan atau persoalan perempuan. Dalam sekolah seperti itu perempuan tidak memperoleh banyak kesempatan. Tetap saja sekolah didominiasi oleh laki-laki. Oleh karena itu dia membangun sekolah khusus untuk perempuan, yang mirip dengan apa yang dikembangkan oleh Rohana Kudus. Uniknya model sekolah Rahmah, bahkan diadopsi oleh Universitas al Azhar, Cairo, Mesir.
Pengalaman Nyai Khoiriyah mirip Rahmah. Meskipun ada pembatasan yang ketat terhadap anak perempuan, dia bisa tumbuh menjadi perempuan ulama, karena berada dalam lingkungan yang terdidik. Di masanya, di kampungnya, di Jombang, anak laki-laki bebas menuntut ilmu, sedangkan anak perempuan tidak. Maka dia banyak belajar sendiri. Beruntung orang tuanya, Kiai Hasyim Asy’ary, adalah pimpinan pesantren, seorang ulama besar, tokoh sentral NU pada masanya, yang tetap memperoleh penghormatan sampai sekarang. Sehingga dia bisa memenuhi ambisinya untuk menjadi orang yang berilmu. Kemudian dalam perkembangan, dia mengembangkan pesantren khusus putri, untuk merespon keterbelakangan perempuan dalam hal pendidikan, di kampungnya, di Jombang. Yang unik dari Nyai Khoiriyah, dia pernah ke Makkah dan mendirikan madrasah khusus untuk anak perempuan disana, Madrasat lil Banat, di negeri yang didominasi oleh cara pandang laki-laki. Dan seperti Rahmah dia juga memperoleh penghargaan di negeri itu atas jasanya tersebut [60]. Nyai Khoiriyah juga bisa menembus wilayah yang didominasi (ulama) laki-laki. Dia menjadi salah satu rois Syuriyah PBNU, dan aktif terlibat dalam forum Bahtsul Masail, setelah kembali dari Makkah. Dia masuk ke wilayah, bukan karena nama belakangnya, tetapi karena keilmuan (yang  memperoleh pengakuan); karena lembaga dan forum itu mempunyai tradisi tertentu yang lebih menimbang kwalifikasi keilmuan di atas segalanya dalam merekruit anggotanya, sehingga sulit ditembus oleh siapapun, kecuali yang memenuhi persyaratan.  
Pengalaman Tuang Guru Nene Haji Muna dari Negeri Ori, Maluku, mirip Roehana. Meskipun bisa berguru pada orang-orang pandai, ulama yang ada di negerinya, dia tidak memeperoleh pendidikan formal. Dia berkembang dengan menempa diri sendiri, melalui proses belajar dari pengalamannya, belajar dari realitas sekitarnya. Dari proses situ dia mampu menemukan dan mengembangkan sebuahnya pendekatan atau metode pendidikan yang khas untuk perempuan yang  efektif[61].  Dia menerapkan suatu cara yang sekarang dikenal dengan istilah learning by doing. Sesungguhnya, dengan apa yang telah dilakukannya itu, dia  bisa disebut seorang penemu. Sayangnya tidak ada catatan yang relative lengkap, menyeluruh,  tentang Tuang Guru Nene Haji Muna.     
Barangkali untuk masa sekarang, apa yang ada dalam pikiran Rohana Kudus, Rahmah el Yunusiyah, Nene Haji Muna dan Nyai Khoiriyah, adalah sesuatu yang sederhana. Tetapi untuk zamannya itu adalah lompatan yang jauh ke depan.
Nyai Siti Maryam, atau Nyai Sepo, dari Bilapora, Sumenep, Madura, yang juga menghadapi persoalan yang kurang lebih sama (perjodohan, perkawinan usia dini, dan poligami)[62]. Selalu mengatakan bahwa ‘anak jangan dinikahkan dulu, selesaikan dulu SMAK-nya. Atau Ibu. Hj. Masyitah, yang rela pergi ke Pulau Tambelan[63], dan mengabdi disana selama kurang lebih 20 tahuan. Begitu juga dengan Khotim, atau Khotimahatul Husna, mengikuti nuraninya pergi ke dusun Kepanjen, Dukuh Bintaran, Desa Jambidan, Banguntapan, Bantul, DI Yogyakrta. Memulai gerakannya dengan membangun Kelompok Bermain Flamboyan, untuk anak-anak yang tidak mendapat kesempatan  mengecap pendidikan karena keterbatasan biaya. Kemudian dari  situ dia merengkuh orang-orang, perempuan, yang lebih dewasa, terutama ibu para anak-anak didiknya untuk membangun kesadaran masyarakat, agar memiliki kepedulian terhadap pendidikan bagi perempuan dan anak-anak. Ibu Nafis dari Krapyak, dengan cinta, kelembutan dan ketelatenannya mengasuh santri perempuan para penghafal Qur’an; mempersiapkan masa depan yang lebih baik bagi mereka. Atau Nyai Arikhah dari Pesantren Be-Songo, Semarang, yang mengembangkan pesantrennya dengan konsep pemberdayaan perempuan yang berorientasi pada pelestarian alam yang bertumpu pada keseimbangan ekosistem.  Atau Yulianti dengan konsep pendidikan Prenting; sebuah konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan (dalam) keluarga.

Catatan Ahir

Pada dasarnya, ulama perempuan yang ada dalam buku ini tampil untuk menjawab persoalan perempuan dengan misi dan konsep yang jelas. Sebagian memang tidak menyatakan secara tegas tentang konsep pendidikannya (dalam tulisan yang disajikan dalam buku ini). Tetapi hal itu bisa dilihat dengan jelas dari  apa yang sudah dilakukannya. Mereka menghendaki anak perempuan, atau perempuan, menjadi pintar, mandiri dan memiliki daya kritis terhadap realitasnya, sebagai perempuan, dan anggota masyarakat. Mereka menghendaki agar perempuan tampil secara maksimal, dengan potensi yang mereka miliki. Sehingga bisa mengabdikan diri sebagai hamba Tuhan, anggota masyarakat dan bangsa.
Mereka sadar akan tantangan yang dihadapinya, yakni dunia yang dikuasi oleh cara pandang laki laki, yang melahirkan tafsir agama yang merendahkan perempuan. Kesadaran itu muncul, kebanyakan dari pengalaman dan realitas yang dihadapinya; dengan refleksi atas ajaran agama yang dianutnya. Beruntung orang-orang seperti Rahmah el Yunusiyah, Nya Khoiriyah, Bu Nafis, Nyai Wahid Hasyim, dan lain-lain yang lahir dari keluarga terdidik. Sehingga, meskipun ruangnya terbatas, mereka masih bisa menempa diri sendiri dalam ruang sempit. Tetapi perempuan seperti Roehana Koedoes, Ibu Masyitah, atau Tuang Guru Nene Haji Muna, dan lain lain, harus berjuang keras, untuk bisa melepaskan diri dari kungkungan adat dan tradisi. Mereka tidak menunggu datangnya kesempatan itu, tetapi mereka membuka ruang, mencari kesempatan, dengan melalui cela yang sempit sekali pun. Itu hanya mungkin karena tekad yang besar, dan semangat pantang menyerah.
Secara keseluruhan ulama perempuan itu, karena tidak memperoleh banyak kesempatan, karena perlakuan masyarakat, karena adat yang membelenggu dan kungkungan pandangan keagamaan yang bias, lebih banyak mengembangkan kapasitas diri mereka sendiri. Belajar sendiri, dan berusaha sendiri. Kata kuncinya, barangkali, adalah kemauan (untuk belajar dari pengalaman, mendalami dan memberi atau menangkap ma’ana baru dari realitas dengan berefleksi, mentautkannya dengan nilai dan ajaran agama, yang memungkinkan tumbuhnya), empati (kepada sesama), keteguhan dan keyakinan (untuk bertindak) yang tidak tergoyangkan. Itu gambar yang saya peroleh dari ulama perempuan yang ada dalam buku ini.*[]
Wallahu a’lam bisshawab.
Jakarta, 10 April 2017.







[1] Darud Da’wah wal Irsyad, disingkat DDI, adalah sebuah gerakan pendidikan dan da’wah yang bertumpu pada pendidikan pesantren, yang berpusat di Sulawesi Selatan, yang kemudian pada perkembangan berikutnya menyebar ke berbagai daerah di luar Sulawesi Selatan. Pendidikan pesantren, di Sulawesi Selatan, pada mulanya dikenal dengan nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) atau sekolah Arab; baru pada tahun 1960-an istilah pondok pesantren menggantikan istilah MAI atau sekolah Arab.  Gerakan DDI dimulai dari MAI Mangkoso (sekarang salah satu daerah di Kecamatan Sopengriaja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan), yang dipimpin oleh KH. Abdurrahman Ambodalle, pada tahun 1938. Setelah beberapa tahun, berawal dari pengiriman guru-guru dan santri dari MAI berceramah atau menjadi imam untuk memenuhi permintaan masyarakat, kemudian muncul dan berkembang MAI atau semacamnya dalam waktu yang hampir bersamaan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. MAI-MAI itu, selain untuk merespon kelangkaan pendidikan bagi rakyat (akibat penjajahan), juga ada untuk merespon gerakan keagamaan tidak toleran terhadap perbedaan dan tradisi. Dalam perkembangan berikutnya secara rutin MAI-MAI berkumpul untuk mengevalusai perkembangan gerakan pendidikan mereka. Dalam sebuah pertemuan besar yang dihadiri tokoh-tokoh dan ulama Sulawesi Selatan, pada tahun 1947, di Soppeng, diproklamirkan sebuah organisasi untuk menaungi (gerakan) MAI-MAI itu yang muncul dari Mangkoso itu, dan diberi nama Darud Da’wah wal Irsyad. Organisasi itu dipimpin oleh KH. Abdurrahman Ambodalle,  Sang Maha Guru yang menggagas dan memulai gerakan pendidikan dan da’wah tersebut. Sejak saat itu Madrasah DDI muncul di berbagai daerah, bahkan di luar Sulawesi Selatan. DDI kemudian mengindonesia.    
[2] Di Sulawesi Selatan, seorang yang memiliki kedalaman ilmu (agama) dengan karakter kuat—ahli ilmu agama, mempunyai integritas kepribadian tinggi, berakhlak mulia, memiliki kharisma, dan sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakat—yang diakui oleh masyarakat, karena ikhlas dalam setiap prilakunya,  diberi gelar ‘gurutta’ atau atau ‘anregurutta’ (bahasa Bugis), ‘gurunta’ atau ‘anronggurunta; (bahasa Makasar). Gurutta atau guruntta artinya guru kita; anregurutta atau anronggurunta disejajarkan dengan  istilah mahaguru kita, sekarang. Salah seorang yang memperoleh pengakuan seperti itu adalah Anregutta Ambdurrhman Ambodalle, pemimpim Darud Da’wah wal Irsyad. Pada umumnya yang memperoleh pengakuan semacam itu adalah laki-laki. Sepanjang yang saya ketahui, belum ada perempuan yang memperoleh pengakuan secara luas sebagai ‘gurutta’ atau ‘anregurutta’.   
[3] Makna “ilmu pengetahuan”, tidak terbatas hanya menunjuk pada ilmu pengetahuan keagamaan atau “al-Ulum al-Diniyyah”, melainkan semua disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran (al-thibb), fisika (fiziya), matematika (al-riyadhiyat), astronomi (al-falak) dan sastra (al-Adab). Lihat, Husein Muhammad, Perempuan Ulama di atas panggung Sejarah, 2017.   
[4] Ibn hajar, seorang ahli hadist terkemuka, dalam bukunya ‘Al-Ishabah fi Al-Shahabah’, menyebutkan 500 orang perempuan ahli Hadist. Nama-nama yang sama juga di tulis oleh sejumlah ulama. Imam Nawawi, dalam ‘Tahzib al-Asma wa al-Rijal’, Khalid al-Baghdadi dalam ‘Tarikh Bahgdad’, Ibnu Sa’ad dalam ‘Al-Thabaqat’, dan al-Sakhawi dalam ‘al-Dhaw al-Lama’ li Ahli al-Qarn al-Tasi’, dan lain-lain. Imam al-Dzahabi, ahli hadits masyhur, penulis buku “Mizan al-I’tidal”, menyebut 4000 Rijal Hadits, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dia mengatakan: “Ma ‘Alimtu min al-Nisa Man Uttuhimat wa La Man Turika Haditsuha” (Aku tidak mengetahui ada perempuan yang cacat dalam periwayatannya dan tidak pula ada yang tidak dipakai haditsnya). Katanya lagi: “Tidak ada kabar yang menyebutkan bahwa riwayat seorang perempuan adalah dusta”. Belakangan Umar Ridha Kahalah menulis buku khusus tentang ulama-ulama Perempuan di dunia Islam dan Arab: “A’lam al-Nisa fi ‘Alamay al-‘Arab wa al-Islam” (Ulama Perempuan di Dunia Islam dan Arab). Buku ini yang terdiri dari 3 jilid/volume ukuran tebal ini merekam dengan indah nama-nama perempuan ulama berikut keahlian.
[5] Ignaz Goldziher (1850-1921), adalah orientalis pertama yang mengkaji Hadist. Dia seorang Yahudi-Hongaria. Sesungguhnya dia adalah seorang tokoh yang penuh kontraversi. Karyanya yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam), menjadi semacam “kitab suci” bagi para orientalis saat ini.
[6] Husen Muhammad, Ibid.
[7] Ahmad bin Hambal (w.241), salah seorang imam mahzab fikhi, menulis satu jilid khusus dalam kitab Musnad-nya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sahabat perempuan. Dalam itu tercatat 125 orang sahabat perempuan dari 700 orang sahabat perawi hadist pada tabaqah pertama (al rawi al a’la) atau sekitar 18 % dari jumlah seluruh al rawi al a’la. Lihat Rood Roded, Kembang Peradaban, Citra Wanita di mata penulis Biografi Muslim, Mizan, 1995.
[8] Jahiliyyah, dalam konsep agama Islam, menunjukkan masa dimana penduduk Makkah, berada dalam keadaan ketidaktahuan (kebodohan). Jahiliyyah adalah bentuk kata kerja yang berasal dari kata jahala, yang memiliki arti ‘menjadi bodoh’, ‘bodoh’, ‘bersikap bodoh’, atau ‘tidak peduli’. Lebih jauh istilah memiliki arti ‘ketidak tahuan akan petunjuk ilahi’. Keadaan itu merujuk pada situasi masyarakat Arab pra-Islam, sebelumnya datangnya Nabi Muhammad SAW. Pengertian khusus Dari istilah Jalilyyah adalah keadaan seseorang yang tidak memperoleh bimbingan dari Islam dan Al Qur’an.
[9] Dr. Asma al-Murabit, direktur Pusat Studi Islam dan Gender, Maroko menulis: Kuliah keilmuan Islam diikuti oleh mahasiswa laki-laki dan perempuan. Kami tidak menemukan, dalam generasi Islam awal, para cendikia yang tidak belajar kepada perempuan, kecuali beberapa saja. Pendidikan diberikan untuk laki-laki dan perempuan secara sama, dan tidak ada pemisah (segregasi) ruang antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini jarang sekali seorang ulama laki-laki yang tidak belajar kepada perempuan ulama”. www.annisae.m).
[10] Al-Dzahabi, dalam “Siyar A’lam al-Nubala” (riwayat hidup ulama-ulama cerdas), 750H (1350M) mengatakan: Aisyah,  disebut sebagai “A’lam al-Nas wa Afqah al-Nas wa Ahsan al-Nas Ra’yan fi al-‘Ammah” (orang paling pandai, paling faqih dan paling baik di antara semua orang) “tidak kurang dari 160 sahabat laki-laki mengaji pada Siti Aisyah”); Sebagian ahli hadits lain menyebut: murid-murid Aisyah ada 299 orang: 67 perempuan dan 232 laki-laki. Umm Salamah binti Abi Umayyah mengajar 101 orang: 23 perempuan dan 78 laki-laki. Hafshah binti Umar: 20 murid: 3 perempuan dan 17 laki-laki. Hujaimiyah al-Washabiyyah: 22 murid laki-laki. Ramlaha bint Abi Sufyan: 21 murid: 3 perempuan dan 18 laki-laki. Fatimah binti Qais: 11 murid laki-laki. (Muhammad al-Habasy, Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah, hlm. 16)
[11] Nafisah bint Hasan al Anwar, 762-824/145-208, dikenal cerdas, sumber pengetahuan keislaman (Nafisah al-‘Ilm), pemberani, sekaligus ‘abidah zahidah (tekun menjalani ritual dan asketis). Sebagian orang bahkan mengkategorikannya sebagai Waliyullah perempuan dengan sejumlah keramat. Ia adalah guru Imam al-Syafi’i dan kemudian Imam ahmad bin Hanbal. Imam al-Syafi’i adalah ulama yang paling sering bersamanya dan mengaji kepadanya, padahal ia seorang ahli fiqih besar
[12] Sukainah bint al-Husain (w. 735 M), cicit Nabi SAW, tokoh perempuan ulama terkemuka pada zamannya. Pemikirannya cemerlang, budi pekertinya indah, penyair besar, guru penyair Arab tekemuka: Jarir al-Tamimy dan Farazdaq. Ayahnya, Imam Husain bin Ali, menyebut putri tercintanya ini: “Amma Sukainah fa Ghalibun ‘alaiha al-Istighraq ma’a Allah” (hari-harinya sering berkontempelasi). Ia sering memberikan kuliah umum di hadapan publik laki-laki dan perempuan, termasuk para ulama, di masjid Umawi. Ia dikenal juga sebagai tokoh kebudayaan. Rumahnya dijadikan sebagai pusat aktifitas para budayawan dan para penyair.
[13] Ibn Arabi (1165-1240), yang dianggap sufi terbesar, sepanjang masa, menimba ilmu dari tiga orang perempuan. Pertama, Fakhr al-Nisa. Sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Kepadanya dia mengaji kitab hadits  Sunan al-Tirmidzîy”. Kedua, Qurrah al-Ain. Pertemuannya dengan perempuan ini terjadi ketika Ibn Arabi tengah asyik tawaf, memutari Ka’bah. Katanya, “Hubunganku dengannya sangat dekat. Aku mengaji kepadanya. Aku memandang dia seorang perempuan yang sangat kaya pengetahuan ketuhanan”. Ketiga adalah Sayyidah Nizham (Lady Nizham), yang biasa dipanggil “Ain al-Syams” (mata matahari), dan “Syaikhah al-Haramain” (Guru Besar untuk wilayah Makkah dan Madinah). Ibn Arabi mengatakan: “Ia adalah matahari di antara ulama, taman indah di antara para sastrawan. Wajahnya jelita, tutur bahasanya lembut, otaknya sangat cemerlang, kata-katanya bagai untaian kalung yang gemerlap penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun. Jika dia bicara semua yang ada menjadi bisu”.
Ibnu Asakir  (1105)., sejarawan Damaskus terkemuka dan bergelar “Hafizh al-Ummah” adalah murid dari banyak ulama perempuan Dia belajar pada Syuhdaaah bin al-Abri, perempuan ulama, guru sejumlah ulama besar, antara lain Ibn al-Jauzi dan Ibn Qudamah al-Hanbali. Umma Habibah al-Ashbihani, adalah salah seorang guru al-Hafiz Ibn Mundzir. Fathimah bin ‘Ala al-Din al Samarqandi adalah faqihah jalilah, ahli fiqh besar, suami Syeikh Ala al-Kasani, penulis buku “Al-Badai’ al-Shanai’
Tokoh cemerlang lain dalam dunia keilmuan Islam dan mujtahid besar adalah Ibn Hazm (994-1064) dari Andalusia, juga belajar dari kaum perempuan. Dia belajar membaca al-Qur’an sekaligus mengafalnya, menulis, dan memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan dasar, dari perempuan. Dalam bukunya “Thauq al-Hamamah” (Kalung Merpati), ia menceritakan : “Aku sering bertatap muka dengan para perempuan dan aku mengetahui banyak rahasia-rahasia mereka, karena aku dididik di pangkuan mereka. Aku tumbuh besar di tangan mereka. Aku tak mengenal laki-laki kecuali setelah aku menjadi dewasa. Para perempuanlah yang mengajari aku Al-Qur’an, puisi-puisi dan kaligrafiuan.
[14] Husein Muhammad (2017).
[15]Tentara Mongol, 1256 menghancurkan kekuasaan Dinasti Abbasiyah—yang memang sudah melemah karena penguasa yang korup, mengabaikan penegakan keadilan dan hukum, serta konflik-konflik internal yang tidak berkesudahan—dengan meluluh-lantakkan Bagdad (Ibukota Dinasti Abbasiyah) yang dianggap sebagai pusat kebudayaan Islam di Timur pada masa itu.
[16] Dinasti Umayyah yang berkuasa di Andalusia, Spanyol, 92 H/711 M hingga tahun 797 H/1492 M, juga mengalami nasib yang sama, dihancurkan oleh persekutuan kerajaan-kerajaan Eropa. Menurut para ahli sejarah, kehancuran Andalusia, karena melemah akibat dari gaya hidup yang mewah dan korup dari penguasa, hilangnya semangat jihad, penegakan hukum dan keadilan terabaikan, serta konflik-konflik internal.
[17] Rifa’ah Rafi’ Al Thahthawi, seorang pemikir pendidikan Mesir, yang dilahirkan di kota Thahtha tahun 1801. Ayahnya keturunan Husein cucu Nabi Muhammad SAW. Al Thathawi berhasil menamatkan pelajarannya di Al Ahzar dan ia mengembalikan karir kependidikannya sebagai tenaga pengajar di Al Ahzar dan tahun 1824 (Harun Nasution; 1975:43)
[18] Qasim Amin, lahir di Iskandriyah, Mesir, dari Ayah yang berdarah Turki dan Ibu Mesir. Masa kecilnya dihabiskan di Iskandriyah, lalu pindah ke Kairo dan masuk ke Perguruan Tinggi, mengambil jurusan Hukum. Dia sempat melanjutkan studi di Paris, dan menjalin hubungan dengan Jamaludin Al Afghani dan Muhammad Abduh yang ketika itu di asingkan di Paris. Dia sempat menjadi penterjemah bagi Muhammad Abduh. Dia kembali ke Mesir, 1885, menjadi Hakim, lalu menjadi Wali Kota di Bani Suef, sebuah propinsi di Mesir. Dia juga menulis buku ‘Al Mashruriyyun’ (Le Egyptian) dalam bahasa Prancis, sebagai konter terhadap tulisan seorang tokoh Prancis, Duc Dh’arcouri yang mengecam budaya Mesir.
[19] Huda Sya'rawi (1879-1947) Pengagas Gerakan Feminis pertama di Mesir; Presiden pertama Persatuan Feminis Mesir (The Egyptian Feminist Union/ EFU), yang didirikan pada 1923, sampai masa akhir hanyatnya (1947).
[20]Aisyah Taymuriyah (1884-1902) adalah Penulis dan Penyair Mesir.
[21] Malak Hifni Nasif (1886-1918), seorang feminis Mesir, yang telah memberikan kontribusi besar terhadap gerakan dan pemikiran dalam wacana politik perempuan Mesir pada awal abad 20.
[22] Nabawiyah Musa (1886- 1951), salah seorang pelopor pendidikan untuk perempuan di Mesir.
[23] Zainab al-Ghazali (1917-20015), dikenal sebagai pejuang di Mesir, pendiri The Muslim Women's Association (Jamaa'at al-Sayyidaat al-Muslimaat). Pernah dipenjara, di masa pemerintahan Jamal Abd. Naser,  karena bergabung dengan Ikhawanul Muslimin
[24] Aisyah Abdurrahman bint Syathi (1913-1998), terkenal dengan kajian dan tafsir sastera tematik. Dia antara lain menulis, at-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur’ân al-Karîm 
[25] Asma Barlas, lahir di Pakistan, (1950), tetapi karena mengkritik sistem hukum yang patriarkhis, dia diusir dari Pakistan oleh pemerintahan Ziaul Haq (1988) dan pindah ke Amerika. Dia menulis buku Believing Woman in Islam; Unreading Patriarchal Interpretation of The Qur’an; untuk mengkonter anggapan bahwa Islam adalah agama patriarchis.
[26] Aminah Wadud, lahir pada  1952, di  Bethesda, Maryland, Amerika;  keturunan Afrika-Amerika. Dia  tidak hanya dikenal sebagai seorang yang akademis, tetapi juga aktifis yang secara intensif melakukan advokasi bagi pembelaan hak-hak perempuan dalam pendidikan Dia menullis buku “Qur’an and Woman”, yang erat kaitanya dengan pengalaman dan pergumulan orang-orang perempuan Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender
[27] Fatima Mernissi (1940-2015), asal Maroco, dianggap sebagai feminis Islam terkemuka, yang sangat berpengaruh dan menginspirasi. Dia menulis tidak kurang dari 15 judul buku, hampir semuanya tentang isu perempuan dalam Islam dan kritik atas dominasi laki-laki. Beberapa bukunya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, adalah: The Veil and Male Elite, (1997), diindonesiakan dengan judul Menengok Kontroversi Keterlibatan Wanita dalam Politik; Women and Islam: A Historical and Theological Enquiry, diterbitkan di Indonesia dengan judul Wanita dalam Islam; The Forgotten of Queen in Islam, diterbitkan judul Ratu-ratu Islam yang Terlupakan (1994). Islam and Democracy, (1994) terbit dengan judul Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan.
[28] Nazhirah Zainuddin (1908-1976),  lahir di Aleppo, Irak, kemudian bermukim di Mesir. Namanya dapat disejajarkan dengan tokoh feminis Muslim Mesir lainnya seperti Malak Hifni Nashif, Aisyah Taimuriyah, Nabawiyah Musa, May Ziyadah dan Huda Sya’rawi, Mohammad Abduh, Qasim Amin dan Sa’ad Zaghlul. Husein Muhammad memberikan apresiasi khusus untuk Nazhirah, karena berani melancarkan kritik terhadap pemikiran keagamaan konservatif yang memasung hak-hak kaum perempuan. Nazhirah menulis sebuah buku "al-Sufur wa al-Hijab". Melalui buku ini Nazhirah mengkritik keras pandangan ulama pada masanya, terutama para ulama besar al Azhar, tentang Hijab, Jilbab dan isu-isu perempuan yang lain. Argumen-argumennya mengambil sumber-sumber otoritatif Islam; Al Qur-an dan hadits n-Nabi saw. sambil melakukan kajian atas kitab-kitab Tafsir klasik seperti tafsir Baidhawi, Khazin, Nasafi, Thabari, kitab-kitab fiqih klasik dan lain-lain. Ulama perempuan kelahiran Aleppo ini juga banyak mengutip sekaligus menganalisis pikiran-pikiran tokoh besar lainnya seperti Muhyiddin ibnu Arabi. Kemampuannya memahami kitab-kitab klasik tersebut tidak diragukan lagi. Dia mengajak para ulama untuk melakukan reinterpretasi dan rekonstruksi atas wacana keagamaannya dengan melihat fakta-fakta perkembangan dan perubahan sosial, budaya dan politik yang tidak bisa dilawan. Nabawiyah Musa, ulama perempuan Mesir, juga menarik. Ia menuntut dibukanya akses pendidikan bagi kaum perempuan negerinya.
[29] Perempuan Aceh Tempo Doeloe Yang Perkasa, Kabari, Maret, 2008; Sebelum Sulthana Safiatuddin (1612-1675) menjadi sulthana, Aceh dipimpin oleh suaminya, Sultan Iskandar Tsani, (1637-1641). Ketika Iskandar Tsani wafat sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat dengan sang raja. Terjadi debat, bahkan kericuhan, dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Tetapi  seorang Ulama Besar, Nurudin Ar-Raniri, menengahi persoalan dengan menolak seluruh argument kaum Ulama, sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana. Lihat, Kronik Perempuan-perempuan Pejuang Aceh di Kalyanamedia.
[30] Ketika Sri Ratu Kamalat Syah (1688-1699) diangkat sebagai raja—yang memerintah sesudah Ratu Zakiatuudin Inayat Syah (1678-16-88) dan Ratu Nurul Alam Naqiatudin Syah (1675-1678)—terjadi lagi perselisihan pendapat, tetapi kali antara Lembaga Panglima Tiga Sagi dan Majelis Orang Kaya, tentang keabsahan wanita menjadi sultanah. Isu ini sebenarnya telah diselesaikan dengan fatwa Syeikh Abdur Rauf Singkel pada zaman Sultanah Tajul Alam Safiatuddin; tetapi dimunculkan kembali oleh pihak yang tidak suka dengan pemimpin perempuan, yang diwakili oleh Majelis Orang Kaya. Tetapi pada akhirnya Ratu tetap dilantik menjadi sultanah, karena kekuasaan untuk mengangkat seseorang menjadi sultanah ada di tangan Lembaga Panglima Tiga Sagi; dan dianugerahi gelar Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah. Penolakan Majelis Orang Kaya berdasarkan hadist: Khasira qaumun allazina wallau umuurahum imraatan (Rugilah suatu kaum yang menyerahkan urusan publiknya kepada perempuan). Tetapi Lembaga Panglima Tiga Sagi mengatakan bahwa fakta sejarah menunjukkan beberapa kerajaan Islam  sebelumnya diperintah perempuan, misalnya Sultanah Syajaratul al-Daur yang memimpin kerajaan Mameluk di Mesir dan Sultanah Raziah di Delhi, India; bahkan pada zaman keemasan Pasai terdapat seorang ratu perempuan yang bernama Sultanah Nahrasiyah. Tetapi Majelis Orang Kaya tetap mencari celah agar Zainatuddin turun dan tahtanya. Di antara upaya yang mereka lakukan adalah dengan minta fatwa ke Makkah tentang boleh tidaknya seorang wanita menjadi sultanah. Setelah ditunggu beberapa lama, muncullah fatwa yang dinantikan. Mufti Makkah mengeluarkan fatwa haram bagi perempuan menjadi pemimpin. Fatwa ini memicu perdebatan di kalangan para ulama yang pada akhirnya memaksa Zainatuddin turun dari tahta kesultanannya. Sesungguhnya menurut peraturan yang ada, wewenang  untuk mengangkat dan menurunkan sultan ada pada  Lembaga Panglima Tiga Sagi. Tetapi pada masa itu pengaruh lembaga ini tidak lagi sekuat pada masa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin; juga karena pengaruh gerakan Panglima Polem. Tetapi ada juga analisis yang mengatakan bahwa keadaan ekonomi dan politik yang tidak stabil membuat banyak yang tidak puas dengan kepemimpinan sang Ratu. Tetapi yang jelas Kamalat Syah turun tahta pada bulan Oktober 1699, sesudah adanya fatwa Mufti Makkah.  Kamalat Syah diganti oleh suaminya yang bernama Sayyid Hasyim Jamalulail (asal Hadramaut; konon keturunan Rasulullah SAW). Setelah diangkat menjadi Sultan Aceh, Sayid Hasyim Jalamulail diberi gelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalulail. Tetapi dia tidak lama memerintah Aceh. Dia turun tahta pada tahun 1702, karena sudah ketuaan, dan mangkat dua minggu setelah turun tahta pada tahun yang sama. 
[31] Di luar para Ratu itu juga ada Laksamana Malahayati, Cut Nya Dien, Teungku Fakinah (1856 -1933) dan lain-lain. Yang terakhirnya juga adalah seorang ulama perempuan.
[32] Menurut Azyumardi Azra, bukannya tidak ada perempuan ulama dalam peradaban Islam, tetapi sejarah mereka adalah sejarah gelap sehingga tidak banyak yang dapat diketahui dalam dan informasi tentang mereka sangat sedikit; Azra, Biografi Sosial-Intelektual Ulama Perempuan: Pemberdayaan Histografi, Dalam Jajat Burhanudin (ed), Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta, 2002.
[33] Buku Sejarah Perempuan, yang ditulis oleh Cora Vreede-De Streus, meskipun disebut minim kritik, banyak dipuji orang; bagus sebagai langkah awal untuk memahami gerakan dan kemajuan perempuan  di Indonesia. Streus mengkaji keterpurukan perempuan yang dibelenggu oleh adat, salah satunya adat Minangkabau.
[34] Christin Dobbin dalam sebuah seminar, pada tahun 1979, yang diselenggarakan Perhimpunan Indonesia-Australia (Australian-Indonesian Assosiation) Cabang Victoria bekerjasama dengan Pusat Studi Asia Tenggara (Center for Southeast Asian Studies) Universitas Monash, Australia, mengkaji dan mengurai tiga karya penting, yakni: The Emergences of the Modern Indonesian Elite, the Huge, karya Robert van Niel; Road to the Exile: The Indonesian Nasionalist Movement, 1927-193, Singapore, 1979, karya John Engleson; Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistence, 1944-1946, Itacha and London, Cornell University Press, 1972, karya Benedict R. Anderson.  Dalam kesempatan itu Dobbin mengatakan bahwa karya-karya yang dia bahas itu telah mengabaikan perempuan sebagai bagian dari proses historis di masa awal pergerakan nasional dan relovolusi Indonesia.
[35] Kuntowijoyo, mengatakan bahwa sampai dia selasai menulis buku Metodologi Sejarah (1994), dia belum melihat ada disertasi yang secara khusus membahas sejarah perempuan Indonesia. Baru ada beberapa skripsi S1 maupun S2 sudah tampak menaruh perhatian pada tema itu. Padahal menurut Kuntowijoyo, di negara maju seperti Amerika, kajian tentang perempuan sudah menjadi spesialisasi tersendiri. Hal ini dapat terlihat dalam American Hostorical Association (AHA) dan Teaching Woman History yang merupakan buku panduan untuk pengajaran sejarah perempuan di SLTA dan tahun-tahun pertama di Universitas. Kuntowijoyo, ibid., hlm. 113. Contoh tulisan S1 (skripsi) adalah tulisan Fatia Nadia, mahasiswa UGM, Tenaga Kerja Wanita di Perkebunan Teh Malaber—Afdelingen Cianjur Regentshapen Priangan tahun 1880-1900. Sedangkan contoh tesis (S2), juga dari UGM, Soedarmono, Munculnya Kelompok Pengusaha Batik di Laweyan pada Awal Abad XX, 2005. Keterangan lanjut, Lihat Kuntowijoyo, ibid., hlm. 120-121 dan 126.
[36]  Ruth Indiah Rahayu, Kontruksi Historiografi Feminisme dari Tutur Perempuan, Makalah Workshop Historiografi Nasional dan Historiografi Alternatif, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007, hal. 6. Lebih lanjut lihat Ismail Sofyan, dkk, Wanita Nusantara dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Agung Offset, 1994)
[37] Menurut Julia Suryakusuma, Orde Baru menafsirkan peran perempuan, yang disebutnya Ibuisme Negara, berlandaskan tradisi priyayi Jawa yang kawin dengan tradisi petite bourguasi kolonial Balanda. Orde Baru menafsirkan bangunan social kenegaraan seperti sebuah lembaga keluarga, dimana peran Ibu adalah melengkapi status kekuasaan Bapak. Bapak adalah entitas kuasa yang memerintah sebuah Negara, dan Ibu berperan melayani kelangsungan entitas kuasa tersebut. Bepak berperan mengontrol peran Ibu sampai ke tingkat seksualitas melalui system kenegaraan.  Kerangka sosiologis Ibu dan Bapak dalam system kenegaraan yang di konstruksi Suryakusuma tersebut menjelaskan mengapa Orde Baru menciptakan organisasi perempuan seperti Dharma Wanita dan PKK.
Konsep Orde Baru,  kalau menurut Ruth Inda Rahayu, tidak hanya hasil perkawinan tradisi priyayi Jawa dengan petite bourguise Belanda, tetapi juga  mereproduksi teks, praktek dan makna militerisme ala Jepang, yang bertumpu pada tradisi bushido samurai Jepang (mengabdi atas dasar kesetiaan dan disiplin tinggi kepada penguasa tanah air),  terhadap perempuan (yang hanya berkewajiban untuk menyenangkan,  dalam arti seksualitas, dan melangsung keturunan untuk menjaga keberlanjutan dinasti samurai; kurang lebih sama dengan konsep koncowingking dalam tradisi jawa); yang dikenalka oleh Jepang ketika menduduki Indonesia pada awal tahun 1940-an, melalui unit-unit perang yang diciptakan nya seperti Heiho, Peta, Keibodan dan Sinendan—untuk mengahadapi perang Asia Timur Raya—yang  kemudian, setelah Jepang angkat kaki dari Indonesia, membentuk unit militer seperti Tentara Pelajar (Jawa Tengah) dan Tentara Republik Indonesia Pelajar (Jawa Timur) pada pada waktu menghadapi agresi militer Belanda pada tahun 1947. Ideologi itu menciptakan sarana prakteknya dalam bentuk organisasi Dharmawanita yang miirip dengan Fujinkai (organisasi perempuan buatan Jepang), yang mereproduksi teks tentang Lima Tugas wanita dari serat Centhini (Isteri sempurna disimbolkan dengan Lima Jari Tangan: Jari telunjuk melambangkan  isteri tidak boleh memerintah suami; jari tengah, pananggul, melambangkan isteri berkewajiban mengunggulkan derajat dan martabat suami; jari manis, artinya isteri harus bersikap manis terhadap suami; jari kelingking berarti isteri harus pandai mengelola keuangan pemberian suami) yang dimaknai dan disebut sebagai Panca Dharma Wanita (yakni : isteri yang sempurna berkewajiban mendampingi suami, melahirkan dan merawat anak, mengatur keuangan rumah tangga, boleh bekerja asalkan hanya untuk mencari nafkah tambahan, boleh berorganisasi selama bersifat social). Lihat Ruth Indah Rahayu, Militerisme Orde Baru dan Ideologi Koncowingking.
[38] Tokoh utama kelompok modernis adalah Nurcholis Madjid, yang kemudian menjadi salah satu tokoh reformasi di Indonesia.
[39] Tokoh utama kelompok tradisionalis adalah Abdurrahman Wahid, ketika itu adalah Ketua Umum PBNU, juga menjadi salah satu reformasi di Indonesia; dan menjadi Presiden (keempat) Republik Indonesia (1999-2001).
[40] Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Idonesia, Princeto & Oxford: Princeton  University Prees, 2000
[41] Margot Badran, Feminism in Islam: Secular and Religious Convergences, Oxford: Oneworld, 2009. p. 242-252
   [42] Daniz Kandiyoti, ‘Reflections on the Politics of Gender in Moslim Societies: From Nairobi to Beijing’, in Mahnaz Afkhami (ed.,), Faith and Freedom; Womens’ Human Rights in the Muslim World, Syrcuse, NY: Syracuse University Press, 1995, p. 24.
[43] Yayasan Kesejahteraan Fatayat Nahdatul Ulama
[44] Yayasan Annisa Swasti
[45] Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak
[46] Koalisi Perempuan Indonesia
[47] Wafat pada 2011
[48] Nyai Ruqoyah Ma’shum adalah pimpinan Pondok Pesantren Al Ma’shumi, Prajekan, Bondowoso, adalah seorang ulama perempuan yang hidup di tengah komunitasnya, bergelut dengan persoalan-persoalan keseharian komunitasnya, melakukan pendidikan dan penyadaran dengan berangkat dengan realitas sekitarnya. Nyi Ruqayah memiliki penguasaan yang sangat baik atas wacana keilmuan klasik, dengan artikulasi yang sangat baik juga (mungkin karena apa yang dibicarakan selalu bersandar pada realitas sekitarnya); Nyi Ruqayah, berkembang seperti sekarang ini, karena ditimpa oleh pengalaman yang bersifat sangat pribadi.  Sedangkan Nur Rofi’ah dan Badriyah Fayumi adalah intelektual kampus,  juga memiliki basis Pesantren yang sangat kuat, yang aktif di dunia NGO dan gerakan perempuan. Mereka menguasai keilmuan Islam klasik; yang memiliki keberpihakan. Wawancara dengan  AD Eridani, 3  Mei 2010
[49] Direktur P3M, yang ketika itu menjadi simbol gerakan yang membangun wacana keagamaan kritis, melakukan poligami yang justeru ditentang oleh wacana keagamaan tersebut.
[50] Rahima, Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak hak Perempuan pada awalnya dimotori oleh Farha Ciciek, Husein Huhammad, Syafiq Hasyim, dan Muhyidin Abdussomad; pada perkembangan berikutnya dimotori oleh AD Eridani, Masrchah, Nur Rofi’ah dan Hindun Anisah
[51] Pada dasarnya mereka adalah orang orang yang sudah memilikikwalitas sebagai ulama. Rahima hanya memperkuat mereka dengan cara pandang baru yang lebih kritis terhadap teks teks keagamaan, dan melengkapinya dengan metode analisis sosial.
[52] Fahmina, Bersama Tradisi untuk Kemanusiaan dan Keadilan, dimotori oleh Husein Muhammad, Faqihuddin Abd. Kadir dan Marzuki Wahid. Tiga tokoh pesantren yang malang melintang dalam gerakan penegakan demokratisasi di Indonesia.
[53] Alimat, gerakan Kesetaraan dan Keadilan Keluarga Indonesia, terinspirasi oleh gerakan Mushawah Internasional, adalah gerakan dengan isu perlindungan terhadap keluarga, yang melibatkan tokoh-tokoh perempuan dari berbagai organisasi keagamaan seperti Fatayat NU, Aisyiah, dan beberapa NGO, yang mengusung isu hak-hak perempuan seperti Fahmina, Rahima, PEKKA, dan lain-lain. Alimat ini diinisiasi oleh Kamala  Chandra Kirana, salah seorang tokoh gerakan perempuan Indonesia, yang ketika itu adalah Ketua KOMNAS Perempuan. Saat ini Alimat diketuai oleh Badriyah Fayumi.  
[54] NGO Perempuan, yang bergerak pada isu perempuan kepala keluarga  
[55] Ulama adalah jama dari kata ‘alim, isim fa’il dari ‘alima, yang berarti orang yang berpengetahuan, atau ahli ilmu.  Seorang ulama berarti seorang yang banyak ilmunya. Dari makna aslinya ulama berarti orang yang menguasai pengetahuan yang banyak, tentang berbagai bidang, baik agama maupun umum. Dari pengertian ini berkembang di kalangan umat Islam Tradisional, ulama diartikan sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam, mempunyai integritas kepribadian yang tinggi dan mulia, berakhlak mulia, memiliki kharisma, dan sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakat. Secara tradisional ulama sering digambarkan sebagai orang yang kuat dan luas pengetahuan agamanya; sanggup melaksanakan ilmu pengetahuannya dengan ibadat dan amal perbuatan yang nyata, kuat takwanya kepada Allah, diakui oleh masyarakat, ikhlas dalam setiap prilakunya, tanpa pamrih pribadi, sehingga karenanya stabil dan konstan pengaruhnya dengan karisma yang menonjol. Gambaran ulama seperti tampaknya dipengaruhi oleh penegasan al Qur’an dan hadist nabi yang masing-masing mengatakan “sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hambaNya hanya ulama ”(Al Fatir, 28) dan bahwa sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi” (riawayat Abu Daud dan at Tirmizi). Namun di kalangan masyarakat Ilmiyah terdapat satu kecenderungan atau pandangan bahwa sebutan ulama bukan hanya ditujukan kepada mereka yang luas dan dalam ilmu dan pengetahuan agama saja, tetapi juga menguasai ilmu pengetahuan pada umumnya. Sehingga sebutan ulama bisa berarti sarjana dalam arti lebih luas, sebagaimana yang masih berlaku sampai sekarang di dunia Arab. Lihat Ecyclopedia Islam.
[56] Ibid.
[57] Ketika ilmu dan teknologi mengamali perkembangan yang sangat pesat,  begitu juga dengan issue-isue yang berkembang dalam masyarakat karena globalisasi, maka penafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan baik dan konfrehesif, sudah berada diluar kemampuan seorang ulama agama. Untuk menghasilkan penafsiran yang baik dan konfrehensif dibutuhkan sekelompok ulama, yang terdiri dari ulama yang menguasi bahasa arab, ulama al Qur’an, ulama Hadist, ulama filsafat, ulama teologi, ulama hukum, ulama pendidikan, ulama ekonomi, ulama perbandingan agama, , ulama pelestarian alam, ulama sejarah, ulama kesehatan, ulama sains, ulama etika, dan lain sebagainya. Dengan demikian penggunaan sebutan ulama bukan hanya untuk mereka nbelum popular. Yang mengakar dalam masyarakat adalah dalam pengertian tradisional, yakni ulama yang menguasai ilmu-ilmu agama. Dilihat dari penguasaan cabang-cabang ilmu keislaman, sebutan ulama biasanya dikaitkan dengan pengetahuan yang menjadi keahlian seseorang, seperti ulama fiqih, ulama hadist, ulama tasawwuf, ulama tafsir, dan lain-lain. Pada dasarnya inti pengertian ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam, baik pengetahuan yang datang dari Allah maupun pengetahuan yang bersumber dari manusia atau pengalaman sebagai kebulatan pengetahuan yang berdiri diatas asas sikap iman.  AL Qur’an menyebutkan ulama sebagai orang yang taqwa kepada Allah. Sikap ini membuatnya taat dan patuh atas segala perintahNya dan menjauhi segala larangan NYa.  Nabi sendiri seperti telah disinggung, mengatakan bahwa ulama itu sebagai pewaris para Nabi yang berugas melanjutkan perjuangan, meneruskan tugas da’wah dalam arti yang luas, terutama tugas amar ma’ruf nahi mungkar. Ibid.
[58] Ibid.
[59] Sekolahnya itu mengembangakan kurikulum sederhana, yang dibagi dalam empat bidang: (1) Kerajinan. Kerajinan bagi perempuan adalah sangat penting bagi perempuan Melayu. Bagi Masyarakat Melayu keterampilan menjadi salah satu tolok ukur kepiawian bagi perempuan. Selain itu dengan keterampilan pada akhirnya pintu gerbang yang memandirikan perempuan. Tidak hanya itu, kegiatan menyulam, khususnya untuk motif terawang, menjadi khas Koto Gadang, pada masa itu dicari-cari oleh orang Eropa. Kegiatan itu menghidupkan budaya setempat. Itu menjadi jalan untuk menciptakan lapangan kerja. (2) Baca tulis, huruf Arab dan Latin, dimaksudkan untuk membuka pengetahuan. (3) pendidikan Rohani yang bertumpu pada akidah dan akhlak, diberikan agar perempuan tidak kehilangan kesejatian dirinya, sebagai penganut Islam. Sehebat apapun perempuan, kata Roehana, kalau tidak mempunyai pijakan agama yang kuat,,  akan kehilangan kesejatian dirinya; sebagai makhluk ciptakan Tuhan, dengan kodratnya yang  tertentu; (4) Pengajaran untuk mengurus tangga, diberikan agar perempuan cakap dalam mengurus rumah tangga, terutama dalam hal mengasuh anak 

[60] Raja Arab Saudi pernah mengundang Nyai Khoiriyah, memberikan tanda penghargaan, berupa cincin khas kerajaan,  mendirikan sekolah khusus perempuan (Madrasah lil banat). Sekarang ini ada lembaga yang disebut Jam’iyah al Khoiriyah, yang dipimpin oleh Putri binti Abdul Azis Faishal. Tampaknya itu adalah kelanjutan dari madrasah yang didirikan oleh—dan (dengan penggunaan nama Khoiriyah) sekaligus penghargaan atas jasanya dalam pendidikan bagi perempuan untuk—Nyai Khoiriyah.
[61] Nene Haji Muna menyelengakan dua  bentuk pengajaran, dengan dua pendekatan pendidikan yang relative berbeda. Bentuk pertama, diperuntukkan bagi  murid yang baru belajar agama. Pada tahuap ini   dia mengajarkan tata cara membaca qur'an,  mulai  dari mengenali huruf atau kata,  sampai kepada tajwid.  Bentuk pendidikan  kedua, diperuntukkan bagi murid yang sudah menyelesaikan pendidikan tahap pertama dan memasuki masa baligh,   lebih fokus pada Fiqhi perempuan. Kebanyakan tema dalam proses pendidikan tidak dilakukan dalam klas (di rumah), tetapi pada waktu-waktu tertentu dibawa ke suangi atau ke pantai.  Konsekwensinya, murid-murid dalam proses pendidikan,  tinggal atau menginap di tempat pengajian Haji Muna.   Murid-muridnya perempuan yang sudah  memasuki haid diajak  ke sungai, sambil membawa cucian.  Pada kesempatan itulah dia memberikan pelajaran tentang hadast besar dan tata cara mandinya diajarkan. Saat itu juga hukum haidh dan rukunnya diajarkan. Begitu juga doa-doanya. Tidak sekadar itu,  Haji Muna juga mengajarkan tentang reproduksi perempuan. Dengan cara itu, ketika mandi dan mencuci, murid-muridnya  menjadi  faham betul  perubahan fisik serta tanggung jawab perempuan yang telah memasuki masa baligh. Nene Haji Muna   juga  membawa murid-muridnya ke  pantai pada waktu-waktu tertentu. Menjelang subuh, misalnya. Disana dia mengenalkan  mengenalkan fajar pertama  dan fajar kedua. Pada saat itu juga Tuang Guru Nene Haji Muna mengajarkan doa-doa ketika menyaksikan fajar tersebut.  Dengan cara belajar seperti itu membuat pelajaran agama langsung tertanam dalam ingatan para muridnya. Proses  belajar seperti itu  adalah perenungan Nene Haji Muna; yang sebelumnya, di masa, di kampung, sama sekali  tidak dikenal orang.
[62] Di Madura, pernikahan usia dini, ketika anak-anak (perempuan) masih bau kencur, umum sekali bahkan sampai sekarang masih terjadi. Ada begitu banyak faktor yang menjadi latar belakangnya. Di antaranya yang menonjol adalah: Pertama, faktor ekonomi. Menikahkan anak perempuan sedini mungkin dianggap bisa meringankan beban ekonomi keluarga. Karena setelah menikah, anak perempuan sudah lepas dari tanggung jawab orang tuanya dan menjadi tanggung jawab suaminya. Apalagi bagi keluarga yang memiliki banyak anak. Lepasnya tanggung jawab finansial terhadap satu anak akan banyak menolong ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak perempuan dianggap tidak memberikan banyak keuntungan. Karena toh dia akan menikah dan dibawa pergi oleh suaminya selepas menikah. Bagi orang tua, yang penting anak perempuan bisa membaca, menulis, berhitung, dan mengaji. Terlebih lagi bagi anak perempuan lulusan pondok. Anak perempuan, kalau sudah lulus SMP, meskipun usianya masih belasan tahun, sudah dianggap memiliki bekal cukup untuk menjadi seorang isteri karena sudah mempelajari kitab kitab fikih dasar seperti Fathul Qaribd, Fathul Mu’in, dan juga sudah mempelajari Qurrotul Uyun. Itu dianggap sudah cukup sebagai bekal berumah tangga
[63] Pulau Tambelan, di lepas pantai pantai barat Kalimantan Barat, di utara Khatulistiwa Propinsi Kepulauan Riau. Pulau Tambelan adalah pulau terjauh dalam wilayah Kabupaten Bintan, atau Indonesia. Pulau ini terletak di laut China Selatan; salah satu dari ribuan pulau yang ada di laut China Selatan. Jarak tempuh dari Ibukota Kabupaten, Tanjung Pinang,  Pulau Bintan, Kepulauan Riau, adalah sekitar 185 mill laut atau sekitar 300 km; Kapal Perintis ke Pulau Tambelan dari Tanjung Pinang, adalah dua kali sebulan. Tetapi, karena cuaca, kondisi laut, bisa jadi tidak ada kapal ke Pulau ini selama berbulan-bulan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!