Kamis, November 17, 2011

JIHAD DAN TERORIS

Hayo Berjihad!
By: Med HATTA
Allah berfirman:

"Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar" (QS: 4: 95).
Iya, mari kita berjihad, bukan membunuh dan melakukan kriminal "teroris"....
Jihad adalah memerangi jiwa, menekan hawa nafsu, akal dan pikiran (dari perbuatan syubhat dan nafsu birahi). Memerangi kriminalitas dan penyeludupan...

Saya bukanlah yang pertama mempopulerkan seruan jihad, tetapi telah diserukan oleh tokoh-tokoh besar pendahulu kita dan diteladani oleh tokoh-tokoh selanjutnya seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Al Fairuzbadi, dan lain-lain...

Ibnu Taimiyah menegaskan dalam Fatwa Besar-nya (4/ 608): "Jihad itu dapat dilakukan dengan tangan sendiri, hati, dan seruan dengan fakta logis, serta demonstrasi, berdebat, dan bertindak praktis".

Dan ini adalah tahapan-tahapan memberantas kemungkaran yang telah dianjurkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: "Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah menindaknya dengan tangannya sendiri, jika tidak sanggup maka dengan lidahnya, dan jika itupun tidak sanggup maka dengan hatinya, dan itulah serendah-rendahnya iman".

Kata 'tidak sanggup' dalam hadits nabi di atas bukanlah berarti kekuatan fisik, karena Rasulullah SAW sendiri dalam kafasitasnya sebagai utusan Allah yang mengajak umat menyembah kepada Allah semata, melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah yang disekitarnya penuh dengan berhala-berhala, namun beliau sama sekali tidak menyentuh satupun dari berhala-berhala itu apalagi membuangnya, padahal nabi sanggup melakukan hal itu dengan tangan beliau sendiri, tetapi beliau ingin mengajarkan kepada kita arti kesanggupan yang sebenarnya, dan menjelaskan bagaimana menyeimbangkan antara realitas dan fakta (perintah).

Lebih jauh, kesanggupan yang dimaksudkan dalam hadits nabi adalah diplomasi islam yang berdasarkan kepada runtutan prioritas sesuai dengan skala kemashlahatannya. Untuk menghindarkan maraknya kerusakan, dan untuk mencapai kemashlahatan yang lebih besar. Adapun Pasal VII dari Piagam PBB adalah hal yang paling terakhir.

Di Makkah pun nabi SAW tidak pernah menindak siapapun karena kemashlahatan yang lebih prioritas adalah memerangi orang-orang musyrik dengan apa yang dimiliki: "Perangilah mereka dengannya sebagai peperangan dahsyat" (ayat Alqur'an), yaitu: Paksakanlah kepada mereka dengan kekuatan Alqur'an. Allah SWT telah memerintahkan kepada rasul-Nya Muhammad SAW untuk memerangi kaum kafir dan orang-orang munafiq di Madinah, sedangkan rasulullah SAW pada saat itu dalam keadaan sangat kuat dan terhormat, namun beliau tidak memerangi mereka dengan senjata; sehingga "tidak seorangpun pernah berkata bahwa Muhammad membunuh sahabatnya" (hadits Shahih), tetapi nabi memerangi mereka demi untuk kemashlahatan umat Islam....

JIHAD: Adalah kalimat yang sering kita definisikan sebagai perang. Padahal sesungguhnya di dalam Alqur'an dan Hadits maknanya jauh lebih luas daripada itu. Jihad dalam pengertian umum adalah untuk menekan nurani, dan tidak dikhususkan untuk menekan jiwa. Di dalam hadits Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas'ud ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tiada seorang nabi-pun yang diutus oleh Allah SAW kepada umat sebelumku kecuali terdapat di dalam umatnya pendukung setianya dan golongan yang mengikuti sunnahnya serta mematuhi perintahnya, kemudian tergantikan sesudah mereka dengan golongan-golongan yang mengatakan apa yang tidak diperbuatnya, dan melakukan apa yang tidak diperintahkannya, maka barangsiapa yamg memerangi mereka dengan lidahnya ia beriman dan memerangi mereka dengan hatinya ia beriman..." (Hadits).

Alqur'an dan Hadits terang-terangan menganjurkan jihad dengan harta sebelum jihad dengan jiwa, bukan karena harta lebih utama dari jiwa, tetapi -Wallahu a'lam - karena syariat tidak menginginkan pertumpahan darah (dan janganlah kamu bunuh diri karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih bagimu). Adapun jihad nafsi itu dibolehkan karena kondisi tertentu (dharurat) sebagaimana dalam qaedah: Melaksanakan dharurat khusus untuk mencegah dharurat umum, atau kemashlahatan umum lebih utama daripada kemashlahatan khusus.

Oleh karena itu, Allah Yang Maha Pengasih tidak menganggap bunuh diri sebagai jalan pendekatan kepada-Nya, akan tetapi apa yang pantas di hati seorang muslim untuk berekspresi yang tulus dari memberikan yang terbaik apa yang ia miliki - yaitu dirinya sendiri - merupakan suatu tindakan ibadah kepada-Nya, sabda Rasulullah SAW: "Barang siapa mati tidak berperang dan tidak terjadi peristiwa pada dirinya ia mati dalam kategori munafiq", ketika ditanya tentang tentara jihad beliau bersabda: "Barangsiapa berperang demi untuk mengangkat kalimat Allah lebih tinggi maka ia di jalan Allah"....

Prinsif dasar dalam syariat bahwa membunuh jiwa yang tidak berdosa merupakan dosa besar, dan tiadalah membunuh seorang mukmin itu dibenarkan kecuali hanya untuk menjaga kehidupan umat Islam, sebagaimana pembunuhan retribusi (qishash) hanya untuk kelangsungan kehidupan umat muslim. Jika membunuh seorang mukmin sebagai pembunuhan Islam maka ini membawa kepada dua kesalahan, dan sebaliknya jika menyelamatkan Islam terjadi atas keselamatan umat muslim maka menghasilkan dua manfaat sekaligus.

Jika tidak ada jalan lain untuk membela agama dan dunia sekaligus kecuali harus mengorbankan jiwa maka termasuk melakukan serendah-rendahnya kesalahan, dengan demikian kita dapat memahami hadits nabi SAW dalam sabdanya: "Janganlah kamu mengharapkan bertemu musuh, mohonlah kepada selamatan, tetapi jika terpaksa kamu harus bertemu maka bersabarlah, dan ketehuilah bahwa surga itu berada dibawah pedang". Hal ini juga terdapat pada banyak ayat Alqur'an dan hadits-hadits yang menganjurkan perang.

Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam bukunya "Assiyasatus Syar'iyah" (H. 159): Demikian Allah membolehkan bunuh diri demi untuk kemashlahatan kemanusiaan yang lebih besar, sebagaimana firman Allah: "Fitnah lebih besar daripada pembunuhan", yaitu bahwa pembunuhan sekalipun terdapat keburukan dan kerusakan tetapi fitnah yang dilakukan oleh orang-orang kafir akibatnya lebih besar daripada pembunuhan itu. Barangsiapa yang tidak mencegah orang-orang muslim menegakkan agamanya, tidak membahayakan kekafirannya kecuali hanya terhadap dirinya sendiri.

Dan jika kita mampu melaksanakan jihad tanpa bunuh diri maka tidak boleh mengorbankan jiwa kita sendiri. Karena jihad dengan jiwa hanyalah sarana belaka, dan syariat telah menjadikannya sebagai jalan yang paling terakhir....

Sungguh sangat disayangkan kaum tertentu meruntuhkan suatu tujuan untuk membangun dari puingnya sebuah sarana sederhana, dan mengklaim telah melakukan suatu kebaikan, lalu mengajarkan kepada kita keutamaan bunuh diri di jalan Allah, tetapi mereka melupakan bahwa menyelamatkan jiwa di jalan Allah jauh lebih utama. Mereka berapi-api mengobarkan di tengah-tengah umat seruan kriminal yaitu saling bunuh satu sama lain...

Sa'ad bin Abu Waqqash ketika ditanya: Bukankah Allah telah berfirman:  
Artinya: "Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah"? (QS: 8: 39)
Lalu Sa'ad ra berkata: "Sungguh kami telah berperang untuk menghindarkan fitnah, sedankan kamu dan kawan-kawanmu ingin berperang untuk menyebarkan fitnah". Dan nada serupa diungkapkan pula oleh Abdudullah bin Omar ra....

Anda jika memperhatikan seruan-seruan perang di dalam Alqur'an dan Sunnah pasti menemukan dalam bentuk jama' (plural), atau menganjurkan kepada penguasa, dalam artian seruan perang itu ditujukan kepada umat yang mempunya kekuasaan secara kolektif, dan bukan kepada invidu atau perorangan. Demikian pula dengan segala hal yang didasarkan kepada hukum jama'ah, tidak boleh dilakukan secara individual yang akan memecah-belah umat. Demi menjaga kesatuan yang merupakan bagian daripada agama, dan (tangan Allah selallu bersama dengan jama'ah)...

Dan anda jika menengok kepada sejarah politik pada masa Rasulullah SAW dan masa Khulafa ar-Rasyidin, mereka menerapkan syariat perang untuk menghilangkan kekisruhan yang terjadi di dalam masyarakat dan menjelaskan agama Islam, mereka tidak memaksakan masyarakat masuk Islam. Karena perang hanya kepada orang yang memerangi kita apabila ingin menyebarkan agama Islam. 

Sebagaimana telah diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah dalam bukunya "Assiyasatus Syar'iyah" (H. 158), mengkolaborasikan antara dua firman Allah: "Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah" dan: "Tidak ada paksaan dalam agama", menurut beliau bahwa yang paling utama memprioritaskan memerangi negara-negara pembangkan, dan selanjutnya memerangi orang-perorang di dalam masyarakat. Karena perang pada masa itu merupakan sarana ampuh untuk menyebarkan Islam kepada bangsa-bangsa lain...

Jika anda ingin menerapkan pemahaman ini di era sekarang, tentu media perang sudah tidak cocok lagi, bahkan bisa mendapatkan hasil sebaliknya. Karena mayoritas bangsa-bangsa sekarang ini berpegang teguh pada asas kebebasan berkeyakinan"Tidak ada paksaan dalam agama", sedangkan memeranginya akan membuat mereka benci terhadap Islam. 

Disamping itu media jihad dengan senjata akan berdampak negatif terhadap agam Islam dan masyarakat muslim, dan hal seperti ini bukanlah termasuk jihad untuk meninggikan kalimat Allah, sebaliknya jihad dengan kalimat yang benar mempergunakan berbagai media modern untuk menyerukan kepada masyarakat secara langsung, akan membawa dampak besar dan pengaruh langsung....

Okey... memusuhi pembangkan adalah tuntutan kemanusia sebelum menjadi tuntutan agama Islam, tidak seorangpun yang membantah hal itu. Namun yang dipermasalahkan adalah cara dan media yang dipergunakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!