Sambungan :
Pembahasan Pertama
Shalat Wustha
By: Med Hatta
Allah berfirman:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ
Terjemah Arti: “peliharalah semua shalat(mu)”.
Suatu perintah kepada segenap umat Islam, ayat ini memerintahkan agar memelihara semua shalat yang lima waktu: (Maghrib, Isya, Subhu, Dzuhur dan ‘Ashar). yaitu tepat pada waktu-waktu yang telah ditentukannya dan memenuhi segala syarat-syaratnya.
Definisi Shalat Wusthaa:
Allah berfirman:
وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى
Terjemah Arti: “dan (peliharalah) shalat wusthaa”
Kalimat (الوسطى) adalah feminim dari (الأوسط), yaitu: “Yang di tengah-tengah”, maka yang berada di tengah-tengah sesuatu itu adalah bagian yang terbaik dan tercantiknya, seperti dalam firman Allah: “dan Kami jadikan kamu umat yang di tengah-tengah (yang terbaik)” (QS: Al-Baqarah: 143).
Allah menyebutkan shalat wusthaa secara terpisah setelah sebelumnya menyebutkannya secara keseluruhan bersama shalat-shalat yang lain, sebagai kemuliaan khusus baginya, seperti dalam contoh pada firman Allah: “Ketika Kami mengambil dari para nabi sumpah-sumpah mereka dan dari kamu (Muhammad) serta dari Nuh” (QS: Al-Ahzab: 7), dan contoh lain dari firman Allah: “Di dalamnya terdapat buah-buahan dan kurma serta delima” (QS: Ar-Rahman: 68).
Kemudian berbeda pendapat para pakar tafsir dalam mendefinisikan shalat wusthaa, al-Qurthubi merangkumnya menjadi 10 pendapat, sebagai berikut:
PERTAMA: Shalat Wusthaa adalah Dzuhur, karena berada di tengah-tengah siang dari dua tinjauan: Pertama, bahwasanya siang merupakan pertama setelah fajar; kedua, bahwa dimulai dari Dzuhur karena merupakan shalat yang pertama dikerjakan dalam Islam. Tokoh-tokoh pendapat ini adalah: Zaid bin Tsabit, Sa’id al-Khuderi, Abdullah bin Umar dan Aisyah ra. Dalil yang menyokong pendapat ini adalah perkataan Aisyah dan Hafshah ketika kedua isteri nabi tersebut menulis: “Peliharalah semua shalat (mu) dan shalat Wusthaa serta shalat ‘Ashr”. Dan dalil lain mengatakan: Shalat Dzuhur diapit oleh sebelumnya dua shalat dan sesudahnya dua shalat juga, lalu Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Muwatta’-nya dan juga Abu Daud at-Thayalisi dalam Musnadnya dari Zaid bin Tsabit berkata: “Shalat Wusthaa adalah shalat Dzuhur” ….
KEDUA: Shalat Wusthaa adalah shalat ‘Ashr, karena diapit sebelumnya dua shalat siang dan sesudahnya dua shalat malam. Tokoh-tokoh pendapat ini adalah: Ali bin Abu Thalib, Ibn Abbas, Ibn Umar, Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khuderi. Pendapat ini dipilih oleh Abu Hanifah dan pengikutnya, Syafi’i dan mayoritas ahli atsar. Diikuti pula Abdelmalek bin Habib, dikuatkan Ibn al-Arabi dalam kitab Qabasnya dan Ibn ‘Athiyah dalam tafsirnya, mengatakan: Bahwa pendapat ini dikatakan oleh jumhur ulama dan saya juga termasuk di dalamnya, mereka mendasarkan pendapat ini dari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan selainya, namun saya menyebutkan satu di antaranya dari hadits Ibn Mas’ud mengatakan: “Rasulullah SAW bersabda: “Shalat Wusthaa adalah shalat ‘Ashr” . Lanjut Ibn ‘Athiyah: Kami telah menjelaskan lebih detail dari kitab Qabas, syarah Muwattha’ Malik bin Anas.
KETIGA: Shalat Wusthaa adalah shalat Maghrib, pendapat ini diperkuat oleh Qabishah bin Abu Dzaaib dan kelompoknya, dengan dalil bahwa shalat Maghrib berada di tengah-tengah pada jumlah rakaatnya, tidak lebih sedikit dan tidak lebih banyak serta tidak di qashar dalam perjalanan. Dan juga rasulullah SAW tidak mendahulukan pada waktunya dan tidak menundanya, Maghrib juga diapit oleh dua shalat jahr dan dua shalat sirr. Kemudian tokoh pendapat ini menukil hadits dari Aisyah ra dari nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya seafdhal-afdhalnya shalat adalah shalat Maghreb…”
KEEMPAT: Shalat Wusthaa adalah shalat Isya, karena berada di antara dua shalat yang tidak di qashar, ia juga datang pada waktu tidur dan disunatkan mengakhirkannya karena sulit mengerjakannya, oleh karena itu ditegaskan dalam ayat agar memeliharanya.
KELIMA: Shalat Wusthaa adalah shalat Subhu, karena diapit sebelumnya dua shalat malam yang di jahar-kan dan sesudahnya dua shalat siang yang di sirr-kan, lalu ketika waktunya juga sudah masuk orang-orang masih tidur. Mengerjakannya sulit pada musim dingin karena menggigil, dan sulit juga mengerjakannya di musim panas karena waktu malam lebih singkat. Tokoh-tokoh yang mengatakan pendapat ini, yaitu: Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Abbas, dituliskan di dalam kitab Muwattha’ sebagai ulasan, dan dikeluarkan juga oleh at-Tirmizi dari Ibn Umar dan Ibn Abbas sebagai komentar . Pendapat ini juga diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, yaitu pendapat Malik dan pengikutnya juga, sebagaimana imam Syafi’i juga condong pada pendapat ini seperti diungkapkan darinya oleh al-Qusyairi, namun mentarjih pendapat Ali yang mengatakan shalat ‘Ashr. Dalil yang diusung pendapat ini adalah firman Allah: “Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'”, menyetir makna ayat, yaitu tidak ada shalat wajib yang disertakan qunut selain shalat shubuh. Abu Rajaa mengatakan: Bahwa pernah Ibn Abbas meng-imami kami shalat shubuh di Bashrah maka ia qunut sebelum ruku’ sambil mengangkat kedua tangannya. Setelah selesai shalat Ibn Abbas berkata: Inilah shalat wusthaa yang telah diperintahkan Allah SWT untuk dikerjakan bersama qunut. Anas juga berkata: Bahwa rasulullah SAW qunut pada shalat shubuh sebelum ruku’...
KEENAM: Shalat wusthaa adalah shalat jum’at, karena dikhususkan untuk berkumpul dan mendengarkan khutbah padanya, serta dijadikan sebagai hari raya. Tokoh pendapat ini adalah Ibn Habib dan Makki al-Andalousi. Muslim meriwayatkan dari Abdullah bahwasanya rasulullah SAW bersabda kepada kelompok yang lalai dari shalat jum’at: “Aku pernah berencana menyuruh orang lain menggantikanku mengimami orang-orang, kemudian aku akan pergi membakar rumah setiap orang yang lalai dari shalat jum’at”.
KETUJUH: Shalat wusthaa adalah shalat shubuh dan ‘ashr sekaligus. Pendapat ini dipelopori oleh Syeikh Abu Bakar al-Anbari, dengan dalil hadits rasulullah SAW bersabda: “Silih berganti datang kepada kalian malaikat malam dan malaikat siang”, Dan diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah mengatakan: Pernah kami duduk di sisi rasulullah SAW, tiba-tiba Beliau melihat kepada bulan yang sedang purnama dan bersabda: “Kalian akan melihat Tuhan sebagaimana kalian melihat kepada bulan itu, kalian pasti akan melihat-Nya jika kalian mampu mengerjakan shalat sebelum terbit matahari dan sesudah terbenamnya , yaitu shalat ‘ashr dan fajar”. Kemudian Jarir membacakan ayat: “Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu sebelum terbit matahari dan sesudah terbenamnya”. Lalu ‘Imarah bin Ruaibah meriwayatkan berkata: Saya pernah mendengarkan rasulullah SAW bersabda: Seseorang tidak akan masuk neraka yang shalat sebelum terbit matahari dan setelah terbenamnya”, yakni shalat fajar dan shubuh. Dan dari ‘Imarah juga rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mengerjakan shalat pada kedua waktu dingin maka akan masuk surga” .
KEDELAPAN: Shalat wusthaa adalah shalat Isya dan shubuh, berkata Abu Daud ketika sakit menjelang meninggalnya: Dengarkanlah dan sampaikanlah kepada gerasi yang akan datang, peliharalah atas kedua shalat ini – yakni berjama’ah – yaitu shalat Isya dan shubuh, jika kamu mengetahui apa yag ada di dalamnya maka kamu akan mengerjakan keduanya meskipun capai kedua siku dan kedua lututmu, keterangan senada disampaikan juga oleh Umar dan Utsman...
KESEMBILAN: Shalat wusthaa adalah shalat lima waktu secara keseluruhannya, pendapat ini dikatakan oleh Mu’az bin Jabal, dengan dalil firman Allah SWT: “peliharalah semua shalat(mu)”, umum untuk semua shalat wajib dan sunnah, kemudian mengkhususkan shalat wajib lima waktu dengan menyebutkannya.
KESEPULUH: Shalat wusthaa adalah tidak ditentukan waktunya, adalah pendapat Nafi’ dari Ibn Umar, dan dikatakan pula oleh ar-Rabi’ bin khaitsam, Allah SWT menyembunyikannya pada shalat lima waktu, sebagaimana menyembunyikan lailatul qadr pada bula Ramadhan , begitu juga menyembunyikan waktu pada hari jum’an dan waktu mustab pada tengah malam untuk berdo’a dan qiyamul lail pada kegelapan untuk bermunajat pada alam rahasia. Dalil yang menguatkan pendapat bahwa ia disembunyikan dan tidak ditentukan, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya pada abad terakhir, dari al-Barraa bin ‘Azib berkata: Ayat ini turun berbunyi: “Peliharalah semua shalat-mu dan shalat ‘ashr” maka kami telah membacanya seperti itu, lalu Allah menasakhnya maka turun ayat: “Peliharalah semua shalat(mu) dan shalat wusthaa”. Maka seseorang berkata: Ia adalah shalat ‘ashr? Al-Barra menjawab, saya telah menyampaikan kepada kamu proses turun ayat dan bagaimana Allah menasakhnya, maka wallahua’lam setelah ditentukan lalu dinasakh penentuannya dan menjadi samar, maka tercabutlah penentuan itu, wallahua’lam. Pendapat ini dipilih oleh Muslim karena menempatkannya di akhir bab pada kitab shahihnya da telah dikatakan juga oleh lebih dari satu dari para ulama kontemporer. Ini adalah pendapat shahih, Insya Allah, karena sudah banyak sekali pertentangan dalil dan tidak ada satupun yang datat dikuatkan, maka tidak tersisa kecuali harus memelihara semua shalat dan mengerjakannya tepat pada waktu-waktunya serta memenuhi segala syarat-syaratnya, wallahua’lam.
Mendirikan Shalat dengan Khusyu’:
Allah berfirman:
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Terjemah Arti: “Berdirilah untuk Allah dengan khusyu'”.
Maksud ayat adalah berdirilah dalam shalatmu, berbeda pendapat para ulama dalam mendefinisikan kalimat (قانتين) “qanitin”, maka berkata as-Sya’bi: yaitu dengan taat, hal senada dikatakan juga oleh Jabir bin Zaid, ‘Athaa dan Sa’id bin Jabir. Dan berkata ad-Dhahhak: Semua kalimat qunut di dalam al-Qur’an semua bemakna taat, demikian pula dikatakan oleh Abu Sa’id dari nabi SAW bersabda: Bahwasanya setiap pemeluk agama ada suatu hari mereka berdiri dengan durhaka, maka dikatakan bahwa umat ini mereka berdiri untuk Allah dengan taat, berkata Mujahid: Makna (قانتين) “qanitin”, yaitu khusyu’, dan qunut itu adalah ruku’ berlama-lama, khusyu’, memelihara pandangan dan menjaga anggota tubuh.
Sedangkan ar-Rabi’ mengatakan: Qunut adalah berdiri lama, demikian pula dikatakan oleh Ibn Umar lalu membacakan firman Allah: “Adapun orang yang qunut sepanjang malam, bersujud dan berdiri” . Lalu rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik shalat adalah qunut berlama-lama”, seperti kata sya’ir: “Qunut untuk Allah memohon kepada Tuhannya.... dan sengaja memisahkan diri dari manusia”.
Larangan Berbicara di dalam Shalat:
Tentu saja semua pendapat di atas adalah benar dan semuanya didukung oleh dalil yang menguatkannya. Namun, yang menarik untuk dicermati adalah pendapat as-Suddi yang mengatakan: (قانتين) “qanitin”, yaitu dengan berdiam, sebagai dalil bahwa ayat ini turun untuk melarang berbicara dalam shalat, dimana hal itu masih dibolehkan pada awal Islam.
Dan inilah yang kami anggap lebih shah, dengan hadits riwayat Muslim dan selainnya dari Abdullah bin Mas’ud berkata: Pernah kami memberi salam kepada rasulullah SAW sedang Beliau mengerjakan shalat dan menjawab kami, tetapi setelah kami pulang dari negeri an-Najjasyi, kami pun memberi salam lalu Beliau tidak menjawa kami, maka kami bertanya: Wahai rasulullah, kami dulu pernah memberi salam kepadamu dalam keadaan shalat dan engkau menjawab kami? Maka bersabda: Bahwasanya shalat merupakan perbuatan (taat).
Zaid bin Arqam meriwayatkan dan berkata : Dahulu kami berbicara di dalam shalat, seseorang boleh menyapa temannya yang ada di sampingnya dalam keadaan shalat sampai turun ayat: “Berdirilah untuk Allah dengan khusyu'”, yaitu memerintahkan kepada kami berdiam dan melarang berbicara. Lalu dikatakan: Bahwa asli dari pada qunut menurut bahasa adalah disiplin mengerjakan sesuatu.
Oleh karena asli qunut adalah disiplin pada sesuatu maka bisa dikatakan orang yang disiplin pada sesuatu adalah lama melakukan qunut, demikian juga orang yang lama berdiri, banyak membaca, berdo’a dalam shalat, maka telah memperpanjang kekhusyu’an dan berdiam lama, semua itu dikategorikan pelaku-pelaku qunut.
Hukum-hukum Berbicara di dalam Shalat:
Abu Umar mengatakan: Sepakat semua umat Islam bahwa berbicara dengan sengaja di dalam shalat adalah membatalkan shalat. Hanya saja ada riwayat dari al-Auza’i mengatakan: Barangsiapa berbicara di dalam shalat untuk menyelamatkan jiwa seseorang atau hal-hal lain yang sangat darurat seperti itu maka tidak membatalkan shala, pendapat ini lemah, dengan pertimbangan: Firman Allah: “Berdirilah untuk Allah dengan khusyu'”, kata Zaid bin Arqam: Dahulu kami berbicara di dalam shalat, seseorang boleh menyapa temannya yang ada di sampingnya dalam keadaan shalat sampai turun ayat: “Berdirilah untuk Allah dengan khusyu'” (Hadits). Dengan demikian, barang siapa terpaksa berbicara karena ingin menyelamatkan jiwa dan harta atau kasus penting semacamnya maka hendaklah mengulangi shalatnya dan tidak meneruskan. Inilah yang kami pandang lebih shahih pada kasus ini, Insya Allah.
Berbeda pendapat para ulama fiqhi tentang berbicara di dalam shalat karena lupa, maka imam Malik, Syafi’i dan pengikut keduanya berpendapat bahwa berbicara di dalam shalat karena lupa tidak membatalkan shalat, kecuali Malik menambahkan: Bahwa sengaja berbicara untuk membenarkan shalat tidak batal, pendapat ini juga dikatakan oleh Rabi’ah dan Ibn al-Qasim.
Sahnoun meriwayatkan dari Ibn al-Qasim dari Malik mengatakan: Apabila sekolompok orang mengikuti seorang imam shalat dua rakaat lalu salam karena lupa maka makmun mengucapkan tasbih (mengingatkan), tetapi tidak menyadarkannya, kemudian seseorang yang ikut shalat dibelakangnya angkat berbira mengatakan: Kamu belum menyempurnakan shalatmu, maka imam berpaling bertanya kepada makmun: Apakah benar yang dikatakan itu? Mereka menjawab benar. Sahnoun berkata: Maka kasus seperti ini adalah sang imam melanjutkan shalatnya dan makmun pun ikut menyempurnakan sisa shalat bersamanya, yang berbicara dan yang tidak berbicara secara sama-sama dan tidak apa-apa bagi mereka. Dan mereka melakukan itu seperti yang pernah terjadi kepada nabi SAW pada peristiwa Zil-yadain .
Abu Hanifah dan pengikutnya begitu juga at-Tsauri berpendapat mengatakan: Bahwa berbicara di dalam shalat adalah membatalkan shalat dalam keadaan apapun, termasuk lupa atau sengaja untuk memperbaiki shalat dan sebagainya... Pendapat ini dikatakan oleh Ibrahim an-Nakhi’i, ‘Athaa, al-Hassan, Hammad bin Abu Sulaiman dan Qatadah. Adapun pengikut Abu Hanifah berdalih bahwa hadits Abu Hurairah tentang peristiwa Zil-yadain tersebut adalah telah di nasakh dengan hadits Ibn Mas’ud dan Zaid bin Arqam...
Imam Syafi’i dan pengikutnya berpendapat: Barang siapa sengaja berbicara sedang ia mengetahu belum sempurna shalat dan berada di dalamnya maka batal shalatnya, tetapi apabila berbicara karena tidak lupa atau menyangka telah menyempurnakan shalatnya sendiri maka ia hanya perlu menyempurnakannya...
Kami cenderung memilih pendapat ketiga yang dikatakan oleh Sahnoun dari pendapat imam Malik yang masyhur, berdasarkan hadits Abu Hurairah tentang peristiwa Zil-yadain, wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam!