Syariat Islam Rahmatan lil-‘Alamin
By: Med Hatta
Allah
berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ....
Artinya: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka …” (QS: Al Baqarah: 187).
Islam Sempurna
Jika kita
mempelajari sejarah syariat Islam, kita pasti akan menemukan suatu sistem yang
sangat padu dan kokoh, terprogram dengan sangat rapih dan teliti. Tidak ada
satupun yang terlewatkan di dalam Alquran kecuali semuanya sudah dikemas dengan
jelas dan sangat rinci. Allah berfirman: “Tiadalah Kami tinggalkan
sesuatupun dalam al-Kitab...” (Lihat: QS. Al An’am: 38).
Mencengangkan,
semua hukum syariat Islam di dalam Alquran, umumnya diturunkan secara bertahap,
pelan tetapi pasti dan sangat efektif, yaitu merupakan ciri khas syariat ini
sebagai rahmatan lil-‘alamin. Tidak ada satu hukum pun di dalam Islam
yang diturunkan secara ekstrim terutama yang berhubungan dengan ibadah fisik
dan merubah tradisi umat, pasti semuanya melalui fase-fase penerapan yang
logik, kondisif sesuai dengan situasi masyarakat yang menerimanya.
Termasuk di
dalam kategori ini adalah hukum perintah puasa yang juga melalui
tahapan-tahapan yang runtun dan indah, sehingga sampai sekarang tidak ada
seorang muslim pun di dunia ini yang tidak meresa bersuka cita dengan datangnya
bulan puasa, bahkan mereka antusias menantikannya setiap tahun. Selain itu,
mereka juga masih berlomba melaksanakan puasa Syawal, puasa senin-kamis, puasa
nazar dan puasa-puasa sunnah lainnya di luar Ramadhan.
Contoh, ketika
Allah menurunkan ayat-ayat perintah puasa di dalam Alquran, awalnya di antara
umat islam pertama masih kaku dalam menjalankan ibadah puasa itu disebabkan
oleh interpretasi mereka memahami ayat pertama: “sebagaimana telah
diwajibkan atas umat sebelum kamu” (Lihat: QS. Al Baqarah: 183), yaitu
mereka menirukan tata cara umat-umat ahli kitab terdahulu melaksanakan ibadah
puasanya, seperti berpuasa di siang hari lalu makan, minum dan bercinta (berhubungan
suami-isteri) di malam hari sampai tertidur, jika terbangun ditengah malam maka
mereka tidak boleh makan, minum dan menyentuh isterinya lagi karena sudah
dihitung berpuasa sampai malam berikutnya.
Maka nabi SAW
melihat kondisi ini sangat berat bagi umatnya sehingga terjadi sebuah kasus
pada seorang Anshar bernama Sharmata, dia berpuasa hingga Magrib lalu
mendatangi isterinya, setelah shalat Isya’ ia terlelap tidur sehingga tidak
sempat makan minum lagi sampai Shubuh dan melanjutkan puasa, maka rasulullah
SAW menegur dan bersabda: “Saya melihat kamu telah melakukan hal yang sangat
berat”, lalu mejelaskan kepada nabi apa yang telah di alami sampai
tertidur.
Demikianlah
keadaan itu berlangsung sampai benar-benar terjadi sebuah kasus baru yang
sangat serius, hal ini terjadi pada diri seorang sahabat terkenal Umar bin
al-Khattab ra; Adalah Umar bin al-Khattab mencampuri isterinya setelah shalat
Isya' kemudian mandi lalu menangis menyesali dirinya dan pergi menghadap kepada
rasulullah SAW mengakui perbuatannya mengatakan: Wahai rasulullah saya
benar-benar meminta ampun kepada Allah dan kepadamu dari perbuatanku yang
ceroboh ini, tadi waktu pulang kerumah habis shalat Isya' saya mendapati isteri
saya baru berdanda dan memakai wangi-wangian dia menggodaku, maka akupun tidak
tahan dan terjadilah apa yang terjadi. Maka apakah engkau dapat memberikan
kemudahan kepada saya?
Maka nabi
bersabda: "Aku tidak bisa memutuskan hal itu ya Umar, tunggulah semoga
Allah memberikan solusi terbaik untuk kamu", tidak lama kemudian datang
lagi seorang sahabat lain mengadukan hal sama seperti Umar, maka turun ayat
menjelaskan kasus Umar dan sahabatnya, yaitu firman Allah:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ....
Terjemah Arti: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu…” (QS: Al Baqarah: 187).
Making
Love
(Bercinta suami-istri) Pada Malam Ramadhan
Kalimat
"Arrafatsu" pada ayat, yaitu arti halus dari Making Love atau bercinta
dengan berhubungan intim suami isteri. Kata Ibn Abbas: Sesungguhnya Allah Yang
Maha Hidup lagi Maha Mulia mengistilahkan semua apa yang di sebutkan di dalam
al-Qur'an dari berhubungan intim, bersentuhan, bercumbuh, memasuki, making
love dan bercinta, semuanya dimaksudkan berhubungan intim suami isteri. Dan
az-Zujaj mengatakan: "Arrafatsu" (bercinta) adalah sebuah
kalimat yang mencakup segala sesuatu yang diinginkan laki-laki dari seorang
wanita. Adapun sebab turunnya ayat tema ini sudah dijelaskan pada kasus Umar bin
al-Khattab dan sahabatnya di atas. (Lihat juga: Tafsir al-Baghwi, Halaman:
207).
Pada saat
ayat Alquran menegaskan: "Dihalalkan bagi kamu", kalimat
"dihalalkan" menggambarkan suatu perbuatan yang dahulu diharamkan
kemudian diamendemen. Maka hukum yang tinggal adalah "Allah SWT telah
menghalalkan bagi kamu mencapuri isteri-isteri kamu pada malam hari
puasa". Sekali lagi “pada malam hari puasa”, bukan pada siang hari
puasa. Karena bercinta atau berhubungan intim suami-istri pada siang hari puasa
adalah termasuk dosa besar, dan kepada pelakunya berlaku hukuman denda atau
“kafarat”, dengan tiga tahapan, sbb:
- Pertama, pelaku harus memerdekakan hamba sahaya atau budak perempuan yang beriman, tak boleh yang lain. Sahaya itu juga harus bebas dari cacat yang mengganggu kinerjanya.
- Kedua, jika tidak mampu, pelaku harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
- Ketiga, jika tidak mampu lagi, ia harus memberi makanan kepada 60 orang fakir, masing-masing sebanyak satu mud (kurang lebih sepertiga liter).
Belum selesai
hukum Making Love pada bulan Ramadhan di atas, lalu sambungan ayat
berikutnya mengemas – dengan sangat romantis – pasangan suami-istri diibaratkan
sebagai pakaian: "mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka".
Kata "pakaian"
adalah identik dengan busana, kemudian diistilahkan kepada percampuran antara
pasangan suami isteri sebagai pakaian, karena bergabung satu tubuh ketubuh yang
lain, solid dan saling menutupi serupa dengan pakaian. Dan dikatakan pula bahwa
disebut setiap satu dari pasangan suami isteri sebagai pakaian, karena menyatu
keduanya saat tidur pada satu pakaian sehingga menjadi setiap orang dari
keduanya menyatu pada pakaian yang dikenakannya. Menurut ar-Rabi' bin Anas:
Isteri itu adalah kasur bagimu dan kamu adalah selimut baginya...
Alquran
Mengamendement Hukum Tata Cara Puasa Umat-Umat Ahli Kitab Terdahulu
Allah
berfirman: "Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka"
Allah Yang
Maha Mengetahui melihat tingkahmu mengkhianati diri sendiri dengan makan, minum
dan mencampuri isteri pada malam hari puasa, sebagaimana juga Allah mengetahui
bahwa kondisi seperti itu sangat berat bagi kamu. Oleh karena itu Dia
memberikan keringanan bagimu dengan mengamendemen (mencabut) hukum itu. Selain
itu Allah juga telah mengampuni dan memaafkan kamu atas pengkhianatan terhadap
diri sendiri mencampuri isterimu pada malam hari puasa. “Maka sekarang
campurilah mereka..."
Sugesti Bercinta
(Making Love) Bagi Pasangan Suami-Istri Pada Malam Ramadhan:
Setelah
tuntas hukum tentang bercinta pada bulan Ramadhan di atas, Alquran, lalu,
memberikan sugesti kepada setiap pasangan suami-istri untuk bercinta sepuasnya
pada malam bulan suci Ramadhan tanpa harus takut dosa. Dan bukan itu saja, ayat
di atas (juga) mengisaratkan waktu mustajab untuk meminta keturunan dan jodoh pada
malam-malam Ramadhan, Allah berfirman: "dan mintalah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu,,,"
Para pakar
tafsir besar dunia seperti Ibn Abbas, Mujahid, al-Hakam bin Oyainah, Ikrimah,
al-Hassan, as-Suddi, ar-Rabi', dan ad-Dhahhak menafsirkan ayat ini mengatakan:
Maksudnya minta anak (yang belum memiliki keturunan) pada malam hari puasa,
karena permintaan akan mudah dikabulkan, dengan dalil ayat ini bersambung dari
firman Allah: "Maka sekarang campurilah mereka...". Menurut Ibn
'Athiyah, mengutip dari perkataan Hasan: Yaitu mintalah jodoh yang sudah
ditentukan atasmu di Lauhil Mahfudz, agar segera dipertemukan (khusus
bagi yang belum menikah).
Wallahua'lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam!