Refleksi: Darud Da'wah wal Irsyad (02)
Oleh: Helmi Alie[•]
Pertama, ada seorang Guru Besar, yang berfungsi sebagi ideolog, yang sangat berwibawa (karene memiliki visi yang jelas, komitmen kuat atau memegang janji, konsisten, dan total menjalan misinya) yang memiliki daya rekat luar biasa. Itu tampaknya yang mengikat orang pada gerakannya. Salah satu ucapan Gurutta Ambodalle (panggilan akrab AG.KH. Abdurrahman Ambo Dalle) yang biasa dikutip orang dalam berbagai kesemapatan adalah: "appunnakku appunnanna to DDI, appunnanna DDI tannia appunnakku" (kurang lebih artinya: 'milikku ada miliki DDI juga, sedangkan milik DDI bukanlah milikku'). Itu bukanlah sekadar slogan. Itu ditunjukkan, wujud dalam prilaku Gurutta, sampai akhir hayatnya; seluruh apa yang dia miliki digunakan untuk kepentingan DDI; sedangkan milik DDI tidak disentuh untuk kepentingan dirinya sendiri. Upacan dan tindakannya terayun bersama dalam langkah-langkahnya yang mantap. Maka orang-orang percaya penuh kepadanya. Gurutta juga rendah hati, pemurah, memiliki empaty dan kasih sayang. Selalu berprasangka baik. Tidak berarti bahwa Gurutta tidak bisa dan tidak pernah marah, tetapi tidak pernah berkepanjangan, dan tidak pernah kedengaran mencerca. Itu bisa dicheck pada murid-muridnya atau orang-orang yang pernah bersentuhan langsung dengannya.
Mereka, para operator itu, juga sudah saling faham kapasitas dan karakter masing-masing; mungkin karena memiliki akar (keilmuan) yang sama, tumbuh dalam lingkungan dan tradisi yang kurang lebih sama. Mereka saling mendukung dan saling menghormati. Mereka sangat solid. Tidak terdengar pernah ada intrik diantara mereka. Gurutta juga sangat menghormati mereka, memperlakukan mereka setara; meskipun kebanyakan adalah mantan muridnya. Gurutta, selalu meminta pandangan kepada mereka, dan menggunakan gagasan mereka. Tentu Gurutta adalah kata akhir, tetapi selalu ada diskusi, sharing, melalui pertemuan-pertemuan yang rutin dilakukan; selalu ada musyawarah untuk sebuah kebijakan atau keputusan yg menyangkut gerakan atau organisasi.
Ketiga, ada fungsi yang se-mata-mata memberikan dukungan logistik. Mungkin istilah sekarang adalah supporting sistem (minus dukungan informasi, metode, dan gagasan; karena peran ini sudah dalam team Gurutta, yang disebut tadi). Fungsi ini juga terlihat sangat menonjol perannya, menentukan perjalanan DDI. Tetapi uniknya, tdk berada dalam struktur organisasi DDI; paling tidak, tak menjadi dari bagian kepengurusan DDI.
- Tulisan terkait: Mengenang 74Th Deklarasi DDI
- Tulisan Terkait: Catatan Akhir Tahun 2017 Sekjen PB DDI
- Tulisan Terkait: Jejak Perjuangan Ulama Perempuan Di Indonesia
Pada masa DDI awal, di Parepare, ada beberapa orang, yang juga dikenal mensupport DDI habis-habisan, tetapi tidak masuk dalam kepengurusan. Paling tidak ada dua nama yg paling sering disebut oleh orang dekat Gurutta. Yakni, Jaksa Zainudin dan Haji Laumma. Jaksa Zainudin, seorang jaksa (asal Makasar) yang bertugas di Parepare, sejak zaman peralihan (mungkin sekitar pertengahan 1940-an). Sedangkan Haji Laumma adalah salah satu saudagar terkemuka dan kondang pada masanya, di Parepare. Keduanya mendukung penuh dan membantu DDI sesuai posisi dan kapasitasnya, tanpa pamrih. Haji Laumma dengan dukungan logistik, sedangkan jaksa Zainuddin dengan promosi.
Kenapa bisa begitu..? Entahlah. Tetapi tampaknya bagi orang-orang seperti Puang Mangung, Jaksa Zainudin dan Haji Laumma, DDI itu adalah wilayah para ulama, wilayah Gurutta, bukan wilayah mereka; wilayah mereka diluar untuk memberikan dukungan. Jadi mereka membiarkan Gurutta dan teamnya mengatur perjalanan dan langkah-langkah DDI. Sedangkan mereka mempersiapkan diri memberikan dukungan (logistik) secara penuh. Tanpa klaim dan komplain, tanpa merasa perlu namanya tercantum dalam kepengurusan DDI. Itu mungkin sebabnya struktur organisasi zaman dulu tampak ramping. Tetapi efektif (dengan dukungan dari orang-orang yang berfungsi supporting sistem, seperti yang digambarkan diatas).
Gurutta dan orang-orang sekitarnya, bekerja seperti para musisi yang bergabung dalam sebuah pagelaran musik; dimana para musisi bermain bersama dengan karakter dan alat musik masing-masing; dan Gurutta, yang juga memainkan alat musik tertentu, bertindak sebagai dirigen. Masing-masing orang, termasuk Gurutta, pada bagian-bagian tertentu diberikan kesempatan untuk bermain solo, tetapi dengan alur tertentu, sehingga tidak merusak irama musik secara keseluruah. Maka tak ada suara fals. Yang tercipta dari komposisi itu adalah sebuah harmoni, yang mistis dan mempesona, sehingga orang-orang yang melihat dan mendengarnya, pada bagian-bagian tertentu, ikut menghentakkan kaki dan menggoyangkan tangan, atau bahkan berdendang, mengikuti irama yang mengalir dinamis tetapi mendatangkan rasa aman dan nyaman.
Gurutta memang (men-cita-citakan) ikut mengambil bagian aktif dalam pembangunan spiritulitas masyarakat, pandangan keagamaan masyarakat. Dengan pandangan keagamaan yang mendatangkan rasa damai, nyaman dan aman. Pandangan keagamaan yang mendorong kemandirian, kreatifitas, tetapi dalam kerangka saling membantu; tentu untuk kebaikan, terutama yang menyangkut kepentingan bersama. Menakjubkan melihat AD/ART DDI versi awal, yang dibuat pada akhir tahun 1940-an atau mungkin awal 1950-an. AD/ART itu sudah menggunakan kata-kata (dalam rumusan visinya) 'tatanan masyarakat yang berperadaban'. Mungkin bukan Gurutta sendiri yg merumuskannya; tetapi pasti atas persetujuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam!