Jumat, Mei 16, 2008

DR. MOHAMED ABED ALJABRI MUFASIR III

DR. ALJABRI & BUKUNYA: MENGENAL AL QUR ‘AN
Oleh: Med HATTA
Prolog:
Setelah sebelumnya penulis menyoroti buku DR. Mohamed Abed Aljabri tentang «Wawasan Al Qur’an Al Hakim: Tafsir Penjelasan Berdasarkan Periode Turunya Wahyu», kali ini kembali mengupas bukunya yang lain yaitu: “Mengenal Al Qur’an”. Sebenarnya yang terakhir ini merupakan bagian pertama (Juz I) dari peroyek besar DR. Aljabri dengan serialnya: «Pengantar Pengenalan Al Qu’an». Kalau kesempatan yang lalu penulis hanya focus pada garis-garis besar dan metodeloginya saja, kini berusaha menyelami sebagian subtansi buku tersebut dan tetap pada metode awal yaitu komentar dan kritik.


Bedah Buku:
DR. Mohamed Abed Aljabri menamakan proyeknya “Pengantar Pengenalan Al Qur’an: Juz I, Mengenal Al Qur’an”, bagian ini dimaksudkan untuk menjelaskan sejarah Al Qur’an. Penulisnya membagi kepada tiga bagian: Pertama, focus pada sejarah sebelum Al Qur’an; Kedua, kronologi pembentukan Al Qur’an; Ketiga, Qishah-qishah Al Qur’an dan perkembangan da’wah Mohammad, sebagaimana penjalasan berikut:

I. SEJARAH PRA AL QUR’AN:
Pada bagian ini DR. Aljabri khusus mengupas kasus sejarah sebelum datangnya Al Qur’an. Penulis konsentrasi menyoroti kasus ini pada dua poin penting yang ditekankan DR. Aljabri dalam bagian ini, yaitu: Deklarasi nabi baru dan risalah ilahiyah(wahyu).

Deklarasi nabi baru: Yang dimaksudkan tabsyir yaitu pemberitaan akan datangnya Nabi Muhammad SAW, kepada agama-agama terdahulu sebelum Islam, hal ini masih kontrapersial dikalangan sebagian umat Islam dan ahli kitab (Yahudi dan Kristen) yang mengingkari adanya pemberitaan seperti ini, menurut Aljabri.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kasus ini bukan saja sekedar pemberitaan akan datangnya seorang “ummi” yang disebut Ahmad atau Muhammad, seperti yang dipahami oleh kebanyakan ahli tafsir, bahkan menyangkut adanya kekuatan agama tauhid yang mengancam eksestensi teori trinitas yang dipelopori oleh kelompok gereja dibawah naungan Imperium Bizantine.

Keyakinan Aljabri ini didasari oleh fakta-fakta yang ia dapatkan setelah membongkar kitab-kitab Yahudi dan Kristen -- penulis tidak bermaksud memaparkan fakta-fakta hasil temuan Aljabiri disini – berkesimpulan bahwa sekelompok penganut Kristen di pelopori oleh Ariyus mengadakan revolusi menantang Imperium Gereja Bizantine pada abad ke-14 Miladiyah dan mendirikan sebuah aliran baru dalam Kristen. Aliran ini, menurut Aljabri, memunculkan kembali konsep nabi “pingitan” yang diberitakan oleh sebagian kitab-kitab Injil – langsung atau tidak langsung. Hal ini mengilhami seruan banyak pendeta memberitakan akan datangnya nabi baru dalam waktu dekat. Begitu juga kelompok yang menamakan dirinya “Hunafa” yang mencari agama kebenaran yang tersebar jazirah arab.

Risalah ketuhanan (wahyu): Sebelum memasuki bahasan ini, DR. Aljabri terlebih dahulu mengomentari kasus “nabi ummi” dan pengertian “ummiyah” dengan pembahasan yang sangat sederhana, yaitu kasus yang tidak asing lagi banyak ditulis ulama jaman sekarang. DR. Aljabri sependapat dengan tokoh-tokoh modern dari orientalist dan Islam, berargumen bahwa arti yang sering ditempelkan kalimat “ummi” dengan istilah “tidak bisa membaca dan menulis”, adalah tidak berdasar dalam bahasa arab yang benar dan tidak ada rujukan sejarahnya yang benar. Kalimat “ummi atau ummiyah” ini tidak digunakan oleh bangsa arab sebelum islam, ia hanya di arabkan, teradopsi dari asli Yahudi yang mengistilahkan kepada kelompok lain yang tidak memiliki kitab suci sebagai “ummi”.

Kalimat “ummi” menurut Aljabri berasal dari suku kata “ummah”, sebagaimana pendapat Al Farra juga, bukan dari asal “umm” seperti pendapat Az Zujaj dan pengikutnya. Banyak sekali fakta yang menunjukan keterampilan bangsa Arab dalam hal baca-tulis, sebagaimana tidak dapat disangsikan kemapuan nabi Muhammad SAW soal baca-tulis ini.

Dengan demikian, kata Aljabri, mu’jizat Rasulullah SAW, bukan karena Beliau membawa Al Qur’an sebagai ummi yang tidak bisa baca dan menulis, tetapi mu’jizatnya disini yaitu diturunkannya Al Qur’an kepada seorang ummi dari bangsa ummiyah yang tidak pernah sebelumnya mengenal kitab suci. Maka menjadilah bangsa arab dengan mu’jizat Al Qur’an ini sebagai ummat yang memiliki kita suci, setelah sebebelumnya bangsa ummiyah tidak memiliki kitab suci.

Kemudian setelah itu, Aljabri beralih membahas masalah Wahyu dan pengertianya serta tuduhan-tuduhan bangsa Quraisy menggugat wahyu tersbut. Menurut Aljabri, pengertian wahyu dalam konteksnya sebagai Al Qur’an tidak pernah dikenal dalam komunitas bangsa arab, baik dari segi bahasa maupun budaya, bahkan pengertian nabi pun tidak populer dikalangan mereka. Kedua istilah tersebut muncul bersamaan dengan datangnya Islam.

Lebih lanjut, Aljabiri memaparkan teori ke-nabi-an dan pengertiannya menurut umat Islam dari berbagai alirannya: Mu’tazilah, Asya’irah, Filosof, Sufi dan Syi’ah. Kemudian menjelaskan pengertian wahyu menurut Yahudi dan Kristen dan perbedaan pengertian wahyu dalam Islam dengan Yahudi dan Kristen.

II. KRONOLOGI PEMBENTUKAN AL QUR’AN:
Adapun bagian kedua dari buku ini, dikhususkan DR. Aljabri membahas kronologi pembentukan Al Qur’an. Metodenya diarahkan pada format tertentu yang akan mengantarkannya ke tofik kajiannya mengenai konsep Al Qur’an bercerita atas dirinya sendiri, dengan memperhatikan periode waktu ayat-ayat yang dikandungnya.

DR. Aljabri melihat bahwa-sanya Al Qur’an awal yang diturunkan, menyebutkan dirinya dengan sebutan “Az Zikr” dan “Al Hadits”, saat itu tidak turun dari Al Qur’an kecuali hanya Surah-surah pendek. Dan setelah sistem dakwah berkembang ke periode massal (terang-terangan) dan sudah mulai berhadapan dengan kaum musyrik, serta bertambah banyak turun Surah-surah Al Qur’an hingga mencapai tiga puluh-an Surah, barulah muncul sebutan “Al Qur’an”, yang memproklamirkan dirinya sebagai Ungkapan; sifatnya dibaca dan didendankan dengan penuh perasaan. Secara otomatis pula sifat “Az Zikr” dan “Al Hadits” yang tadinya hanya cerita dan berita-berita berubah menjadi fonemena suara yang bernada merdu.

Eksestensi Al Qur’an semakin permanent datang membawa pencerahan, maka melampau pencerahan akal manusia : “Kalau sekiranya kami menurunkan Al Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihat tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”. (Q.S: 59/ 21).

Menjadilah Al Qur’an sebagai simbol bagi wahyu Muhammad, sedangkan “Az Zikr” dan “Al Hadits” menjadi bagian dari sifat Al Qur’an, atau lebih spesifik “Az Zikr” menjadi bagian khusus dari Al Qur’an, dimaksudkan merangkum semua ayat-ayat tentang qishah-qishah dan berita-berita (baik atau buruk), menurut DR. Aljabri.

Sedangkan sebutan “Kitab” muncul bersamaan Surah Al A’raf: “Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman”. (Q.S: 7/ 2). Menurut DR. Aljabri, sebutan ini independent menamakan dirinya sendiri sebagai “Kitab”, yaitu Surah terpanjang diturunkan di Makkah.

Penamaan Al Kitab terhadap Al Qur’an mempunyai makna simbolis tertentu yaitu isyarat perubahan status arab dari bangsa ummiyah, yang tidak memiliki kitab suci menjadi umat yang memiliki kitab suci. Dan pada waktu yang bersamaan menepis kecongkakan Yahudi dan Nashrani yang bangga sebagai «Ahli Kitab». Surah Al A’raf ini – khususnya – lanjut DR. Aljabri, mengokohkan eksestensi arab dipentas sejarah sebagai bangsa besar memiliki latar belakang ke-nabi-an dan risalah-risalah yang diturunkan dari langit, kaum-kaum bangsa arab yang dinobatkan nabi adalah, ‘Aad, Tsamud, Madyan dan lain-lainnya.

Kemudian DR. Aljabri menyimpulkan kronologi sejarah pembentukan Al Qur’an ini ke dalam tiga fase, yaitu: Pertama, Al Qur’an sebagai bacaan yang dilantunkan dan mu’jizat; kedua, Az Zikr sebagai qishah dan ketiga, Al Kitab sebagai manifestasi dari aqidah, syariat dan akhlak. Selanjutnya mejelaskan disini dua fase yang disebutkan pertama (Al Qur’an dan Az Zikr), adapun fase ketiga (Al Kitab) dijanjikan akan diterbitkan secara khusus pada juz II dari serial proyeknya tersebut.

Adapun Al Qur’an sebagai lantunan dan mu’jizat, DR. Aljabri menjelaskan beberapa masalah yang digaris bawahinya, seperti: Huruf-huruf tujuh dan qiraat, pengumpulan Al Qur’an dan kontraversi mengenai penambahan dan pengurangannya, susunan mashhaf, dan susunan periode turunnya wahyu. Kesemuanya ini diuraikan DR. Aljabri dengan sentuhan sangat sederhana sekali, tidak menyelesaikan permasalahannya dan tidak membawa pencerahan-pencerahan baru. Bahkan hanya mengulangi pendapat-pendapat yang sudah disinggung kitab-kitab ulum Al Qur’an, dengan cenderung mengambil pendapat yang masyhur – yang diperkuat jumhur ulama – dalam kasus-kasus ini.

Kesannya, ia menguraikan permasalahan-permasalahan ini hanya ingin mendemonstrasikan sekelumit yang mendasari wawasannya terhadap Al Qur’an, termasuk mendukung keotentikan mashhaf utsmani dan apa yang telah disepakati dari qiraat-qiraat mutawatir. Dan terakhir menetang isu-isu yang bersumber dari syi’ah yang mengatakan adanya pengurangan dari Al Qur’an, DR. Al jabri menegaskan bahwa keyakinan syia’ah tersebut hanya dilatar belakangi oleh kepentingan politik sebagai protes.

Khusus mengenai susunan Surah, DR. Aljabri memberikan perhatian besar pada kasus ini, menurutnya konsep penyusunan Surah harus mengikut kronologi pembentukan Al Qur’an. Ia membanding-bandingkan beberapa daftar susunan Surah yang terdapat pada kitab-kitab ulum Al Qur’an dari sumber Ibnu Abbas dan Jabir bin Zaid serta yang lainnya, begitu juga daftar dari sumber orientalist, kemudian berfatwa: “Al Qur’an adalah bersifat open book, tersusun dari surah-surah independen yang terbentuk berdasarkan step wahyu, dan surah-surah itu sendiri terbentuk dari ayat-ayat yang terpaut – pada banyak kasus – dengan kondisi-kondisi terpisah yaitu asbab annuzul. Oleh karena itu sangat tidak mungkin menganalisa Al Qur’an seperti bangunan kokoh terpakem pada susunan tertentu”. (Lihat: halaman 243).

Untuk mencapai format ideal tentang kronologi pembentukan Al Qur’an, adalah pendekatan historis, kerena susunan Surah yang ada sekarang (rujukan Al Azhar dan lembaga-lembaga Islam yang lain) memang diperlukan tetapi itu tidak cukup. “Diperlukan karena tidak mungkin menuliskan sejarah tanpa materi sejarah itu sendiri”, dikatakan tidak cukup karena riwayat-riwayat tersebut tidak mengkonter tujuan yang diharapkan. Maka harus mengola logika untuk lebih memperkaya materi-materi yang telah disampaikan lewat riwayat ma’tsur tersebut.

Lebih lanjut DR. Aljabri menjelaskan: “Pada kondisi ini, saatnya diperlukan merevisi susunan Surah yang berlaku sekarang -- yang sifatnya hanya sebagai hasil ijtihad yang dilandasi oleh teori perkiraan lalu menetapkan ( ) – untuk merelevan antara dua acuan yang ada yaitu: perjalanan sejarah nabi dan kronologi pembentukan Al Qur’an sendiri”. (Lihat: Halaman, 244-245).

Atas dasar ini pula DR. Aljabri mengajukan sebuah pengelompokan untuk periode Makkiyah dari susunan Al Qur’an pada format selaras dengan perjalanan sejarah nabi, dan dijadikannya lima periode: Pertama, periode da’wah secara sembunyi-sembunyi ; Kedua, da’wah terang-terangan dan penghancuran patung-patung serta komprontasi dengan Quraisy, periode ini menurutnya ditandai dengan pembacaan Nabi SAW Surah An Najam didepan Ka’bah.

Adapun periode ketiga, adalah desakan Quraisy terhadap orang-orang Islam dan menghalangi nabi untuk menyerang patung-patung mereka, serta hijrah pertama orang-orang Islam ke Ethopia ; Keempat, penahanan nabi dan keluarganya di sya’b Abu Thalib. (DR. Aljabri menjelaskan susahnya membedakan Surah-surah yang diturunkan pada periode ini). Dan terakhir periode kelima, yaitu pembebasan nabi dari tahanan rumah dan ditawarkan kepada nabi sendiri memimpin kabilah-kabilah. Surah-surah yang dapat direkam pada periode ini adalah: Ath Thariq, Al Jin, Al Qamar, Shaad, Al A’raf, Al Israa.. Dan seterusnya.

Mengenai kemu’jizatan Al Qur’an, DR. Aljabri hanya menerangkan segelintir kecil tentang beberapa pengertian mu’jizat Al Qur’an, ia tidak membahasnya lebih detail. Selebihnya beralih mengukuhkan Al Qur’an sebagai mu’jizat besar dan satu-satunya dimiliki Muhammad SAW, dan menapikan terbelahnya bulan atau peristiwa isra’ dan mi’raj sebagai mu’jizat secara hakikat.

Dan dari sini ia pindah lagi membela kebenaran wahyu Muhammad dan tidak mengadopsi dari ahli kitab. Kemudian menggaris bawahi bagian ini dengan berbicara tentang perkembangan hubungan dengan ahli kitab pada Al Qur’an periode Makki, ia tidak mencatat adanya hubungan serius hanya sebatas perhatian saja. Setelah Al Qur’an periode Madani, baru mulai muncul perselisihan dengan Yahudi di Madinah dan berakhir dengan pengisolasian terhadap Yahudi dari Madinah. Selanjutnya terjadi ketegangan dengan Nashrani “Utusan Nijran”.

III. QISHAH-QISHAH AL QUR’AN DAN PERKEMBANGAN DA’WAH MUHAMMAD:
Bagian ketiga dari buku ini yang merupakan juga fase kedua dari kronologi pembentukan Al Qur’an, yaitu Al Qur’an sebagai Az Zikr atau qishah-qishah. DR. Aljabri disini tidak memaksudkan seperti apa terbayang dari temanya, yaitu menceritakan qishah-qishah para nabi seperti dalam kandungan Al Qur’an. Tetapi tujuannya memperkenalkan da’wah Muhammad melalui qishah-qishah Al Qur’an.

Menurut DR. Aljabri, qishah-qishah tersebut “merupakan sebuah fenomena terbuka lebar yang memungkinkan kita menerawang sisi penting dari cakupan da’wah Muhammad… Yang kami maksudkan hubungannya dengan pengalaman para nabi-nabi terdahulu menghadapi kaumnya, dan disisi lain sebagai tantangan menjadikan Al Qur’an sebagai sebuah pentas da’wah argementatif bersifat abadi menghadapi audience –nya mengajak mereka meninggalkan hal-hal negatif dari pengalaman tersebut. Serta merupakan materi pokok dari materi-materi kronologi pembentukan Al Qur’an”. (Lihat: Halaman, 257).

DR. Aljabri telah mencanankan beberapa landasan untuk mencapai tujuannya tersebut: Salah satunya, Memposisikan qishah-qishah Al Qur’an sebagai bagian dari obyek perumpamaan, dan fokus hanya pada materi yang menyangkut Al Qur’an saja, tanpa memperhatikan dari hakikat sejarah; Karena tujuan utama dari qishah-qishah tersebut hanya perumpamaan belaka tidak harus mencocokan ketepatan sejarahnya.

Dan sebagai landasan terakhir adalah menguraikan qishah-qishah Al Qur’an berdasarkan susunan turun, bukan berdasarkan susunan mashhaf. Dan uraian tersebut tidak dimaksudkan rangkaian waktu peristiwa terjadinya qishah, tetapi menguraikan qishah-qishah sebagaimana disinyalir Al Qur’an mulai pembukaan Surah-surah yang mengandung qishah-qishah. Karena Al Qur’an menurutnya, “bukan kitab qishah-qishah, tetapi kitab da’wah yang mempergunakan qishah untuk tujuan da’wah”. (Liha: halaman, 260).

Dapat dikategorikan qishah-qishah Al Qur’an menurut orientasinya kepada tiga kategori:

Pertama: Menyorot dan memberikan perhatian pada bencana yang ditimpakan kepada kaum-kaum yang telah mendustakan rasul-rasulnya, sasarannya adalah musuh-musuh da’wah Muhammad dari Quraisy. Dimaksud dari kategori pertama ini menakut-nakuti mereka dan meperingatkannya agar tidak mengalami bencana serupa seperti ditimpakan kaum-kaum tersebut. Dan kebanyakan kategori ini menampilkan qishah-qishah “Ahlul Quraa” -- yaitu: Aad, Tsamud, Madyan dan lain-lainnya – dengan nabi-nabi mereka.

Kedua: Kategori khusus memberikan pujian-pujian terhadap nabi-nabi dan menyampaikan sanjungan kepada mereka, serta menampakan keistimewaan yang dimiliki setiap mereka melalui ayat-ayat.. Tujuannya menegaskan eksestensi kenabian dan kerasulan merekan.

Ketiga: Kategori ini lebih focus menyorot periode Madinah, yaitu perdebatan dengan Yahudi dan Nashrani tentang pandangan mereka kepada Allah SWT, dan memperlihatkan kedurhakaan mereka serta penyelewengan mereka dari agama Ibrahim.

-- BERSAMBUNG ................
Artikel yang berhubungan:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!