(Pertemuan Ke-2)
Oleh: Med HATTA
Mukaddimah:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات، وبعد!
1. Allah berfirman dalam Surah an-Nisaa’: 43:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
2. Allah berfirman dalam (Surah al-Maaidah: 6):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٦)
Terjemah Arti: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau habis buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Pentingnya Thaharah (Bersuci) dalam Islam:
Setiap pemerhati nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, akan nampak jelas baginya betapa perhatian Islam terhadap kesucian dan kebersihan, bagaimana tidak, Allah SWT sangat menyukai orang-orang yang bersih, dalam surah al-Baqarah (222), Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri”. Sedangkan nabi Muhammad SAW menjadikan kesucian separuh dari iman, sebagaimana dalam hadits diriwayatkan imam Muslim, nabi bersabda: “Kesucian itu separuh dari iman”.
Dua ayat dari dua surah yang berbeda di atas; yaitu ayat ke-43 dari surah an-Nisaa dan ayat ke-43, dan ayat ke-6 dari surah al-Maaidah, semuanya membahas hukum “thaharah” (bersuci) dari ketiga kategorinya: Wudhu’, mandi junub, dan tayammum. Ayat an-Nisaa, oleh ahli tafsir hukum, disebut menyempurnakan dan menegaskan hukum ayat al-Maaidah. Dengan demikian ayat al-Maaidah lebih detail dan rinci dari ayat an-Nisaa, serta lebih kongkrit dari segi menjelaskan hukum. Oleh karena itu, kita akan mendahulukan pembahasan ayat al-Maaidah sebelum membahas ayat an-Nisaa di sini, sebagai berikut:
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ
Terjemah Arti: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat,”
Firman Allah: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ): “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat”:
Ketahuilah bahwasanya Allah SWT membuka surah al-Maaidah ini dengan firman-Nya: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ), “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”, demikian itu karena telah terjalin perjanjian prasetia antara Tuhan dan hamba, yaitu perjanjian “rububiyah” dan “ubudiyah”. Sebagai manifestasi dari ayat kesaksian, Allah berfirman: “Bukankah Aku sebagai Tuhanmu, hamba menjawab: Ya, kami menyaksikan”. Maka Allah berfirman pada awal al-Maaidah: “penuhilah aqad-aqad itu”, meminta kepada hamba untuk memenuhi perjanjian “ubudiyah” yang pernah dilafadzkannya agar memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat.
Sebagaimana diketahui bahwa kenikmatan di dunia terbatas pada dua hal: Kelezatan pada makanan dan kelezatan pada pernikahan, maka Allah SWT menjelaskan mana yang halal dan yang haram dari makanan-makanan dan hubungan-hubungan pernikahan, lalu ketika kebutuhan kepada makanan lebih tinggi dari pada kebutuhan terhadap pernikahan, dengan demikian, mendahulukan penjelasan makanan atas pernikahan. Ketika Allah telah menjelaskan semua itu, lalu seakan-akan Dia mengatakan: Sesungguhnya Aku telah memenuhi aqad rububiyah yang dibutuhkan di dunia dari manfaat dan kelezatan-kelezatan, maka giliranmu pula di dunia untuk memenuhi aqad ubudiyah.
Selanjutnya, ketika ketaatan paling tinggi setelah iman adalah shalat, dan shalat itu tidak mungkin dikerjakan kecuali harus dengan thaharah, maka pada ayat ke-6 dari al-Maaidah ini menyebutkan syarat-syarat wudhu’...
Tafsir Ayat Wudhu:
Allah berfirman: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا), “Hai orang-orang yang beriman”, yaitu memanggil orang-orang yang beriman saja, karena hanya merekalah yang diharapkan bisa konsukwen melaksanakan hukum-hukum Allah, terutama pada hukum thaharah (bersuci) dengan tiga kategorinya: Wudhu, mandi junub dan tayammum, seperti berikut:
Pembahasan I: Hukum-Hukum Wudhu’
Firman Allah: (إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ), "apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat”: Kata imam al-Qurthubi[2]: Ulama berbeda pendapat dalam memahami maksud firman Allah ini kepada beberapa mazhab :
1) Mazhab pertama: Mengatakan lafadz ini berlaku umum pada setiap kali hendak mengerjakan shalat, baik punya wudhu’ atau tidak punya wudhu’, maka baginya harus mengambil wudhu setiap hendak mengerjakan shalat, dan adalah Ali ra melakukan hal itu sambil membacakan ayat ini, riwayat ini disebutkan oleh Abu Mohammad ad-Darami dalam musnadnya. Sedangkan Ibn Sirin mengatakan: Adalah semua khalifah mengambil wudhu setiap kali hendak mengerjakan shalat.
2) Mazhab kedua: Hukum ayat ini hanya berlaku khusus kepada nabi SAW: Berkata Abdullah bin Handzalah bin Abu ‘Amer al-Ghasil: Bahwasanya nabi SAW telah memerintahkan berwudhu’ setiap kali hendak mengerjaka shalat maka nabi merasakan hal itu sulit, lalu memerintahkan dengan bersiwak dan membebaskannya dari wudhu’ kecuali orang yang berhadats (tidak mempunyai wudhu’).
Kata ‘Alqamah bin al-Faghwaa dari bapaknya – dia adalah salah seorang sahabat, dan pernah menjadi guide rasulullah SAW ketika pergi ke Tabuk: Ayat ini diturunkan sebagai keringanan kepada rasulullah SAW, karena Beliau tidak mengerjakan suatu pekerjaan kecuali harus selalu berwudhu, Beliau tidak mau berbicara dengan siapapun, tidak mau membalas salam dan seterusnya, maka Allah menyampaikannya dengan ayat ini bahwa wudhu’ itu hanya untuk mengerjakan shalat saja bukan untuk semua pekerjaan.
3) Mazhab ketiga: Yang dimaksudkan dengan ayat mengambil wudhu untuk setiap shalat adalah untuk mencari keutamaan, golongan ini menjadikan hal ini sebagai sunnah, dan adalah banyak dari sahabat termasuk Ibn Umar mengambil wudhu setiap kali mereka hendak mengerjakan shalat sebagai mencari keutamaan, dan rasulullah SAW mengerjakan hal seperti itu sampai Beliau menjama’ antara shalat lima waktu pada hari pembebasan kota Makkah dengan satu wudhu’, dimaksudkan memberitahukan kepada umat nabi SAW[3].
Ada pula mazhab lain yang mengatakan: Bahwa fardu mengambil wudhu adalah memang untuk setiap kali shalat (pada awalnya-pen) kemudian dihapuskan pada hari pembebasan kota Makkah. Kata al-Qurthubi: pendapat ini salah oleh dua riwayat berikut:
a) Dari Anas ra mengatakan: Adalah rasulullah SAW mengambil wudhu’ setiap kali hendak mengerjakan shalat, sedangkan umatnya tidak demikian.
b) Hadits Suwaid bin an-Nu’man: Bahwa nabi SAW pernah mengerjakan shalat Ashar di waktu Maghrib dengan satu wudhu, waktu itu di perang khaibar, yaitu tahun ke-6, dan ada mengatakan: Tahun ke-7, sedangkan pembebasan kota Makkah terjadi pada tahun ke-8, dan ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam Muwattha’nya, dan dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim.
Maka jelas dari dua hadits ini bahwa kewajiban wudhu untuk setiap kali shalat itu tidak ada sebelum pembebasan kota Makkah. Sebuah hadits dikeluarkan Muslim: Dari Buraidah bin al-Hashib bahwasanya rasulullah SAW mengambil wudhu setiap kali hendak mengerjakan shalat, maka ketika hari pembebasan Makkah Beliau SAW mengerjakan beberapa shalat dengan satu wudhu, dan menyapu kedua khof (sepatu panjang atau kos kaki terbuat dari kulit), lalu Umar ra bertanya: Engkau telah berbuat sesuatu hari ini yang tidak pernah engkau lakukan sebelumnya, maka nabi bersabda: “Saya sengaja melakukannya hai Umar”. Kenapa Umar menanyakan dan meminta penjelasan Beliau? Ada mengatakan bahwa: Umar menanyakannya karena nabi mengerjakan sesuatu berbeda dari kebiasaan Beliau sejak shalatnya di Khaibar, Wallahua’lam[4].
Hadits lain, diriwayatkan oleh at-Tizmizi dari Anas bahwasanya nabi SAW selalu berwudhu setiap kali mengerjakan shalat baik suci atau tidak suci, Hamid berkata: Saya menanyakan kepada Anas: Dan kalian sendiri bagaimana mengerjakannya? Anas menjawab: Kami mengerjakan satu wudhu saja[5]. Telah diriwayatkan pula dari nabi SAW bersabda: “Wudhu di atas wudhu itu cahaya”, maka rasulullah SAW senantiasa memperbaharui wudhu setiap kali hendak mengerjakan shalat. Dan adalah sesorang memberi salam ketika nabi sedang buang hajat dan tidak membalasnya sampai selesai mengambil tayammum baru kemudian nabi membalas salam dan bersabda: “Saya tidak biasa menyebut nama Allah kecuali saya dalam keadaan suci[6].
4) Pendapat lain dari as-Suddi dan Zaid bin Aslam: Arti ayat إذا قمتم إلى الصلاة “apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat”, yaitu dari tidur. Dan ayat dalam ta’wil ini menunjukkan adanya penyederhanaan kalimat (taqdim dan ta’khir), opsinya adalah: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat dari tidur, atau habis buang air atau menyentuh perempuan - sentuhan ringan -, maka basuhlah. Maka selesailah hukum hadats bagi yang berhadats kecil.
Kemudian menambahkan dari firman Allah: “dan jika kamu junub maka mandilah” dan ini adalah hukum yang lain, kemudian Allah menyebutkan untuk kedua hukum sekaligus berfirman: “dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau habis buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)” [7].
5) Pendapat Jumhur Uluma: Arti ayat apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat sedang kamu dalam keadaan hadats, jadi tidak ada di dalam ayat ini taqdim dan ta’khir, tetapi ayat mengatur hukum bila terdapat air sampai firman Allah: “maka mandilah” dan termasuk di sini bersentuhan ringan dari arti firman Allah “jika kamu dalam keadaan hadats”. Kemudian tokoh pendapat ini menyebut setelah membacakan firman Allah: “dan jika kamu junub maka mandilah”, ini mengatur jika tidak terdapat air dari kedua jenis hukum sekaligus, dan menyentuh perempuan di sini adalah bercinta (ML), dan harus menyebutkan junub hal tidak terdapat air sebagaimana menyebutkan bila terdapat air, Dan ini adalah tafsir imam Syafi’i dan sejawatnya, dan pendapat ini sejalan dengan pendapat-pendapat sahabat, seperti: Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibn Umar, Abu Musa al-Asy’ari, dan lain-lain...
Al-Qurthubi berkomentar: Kedua penafsiran di atas terbaik dalam memahami ayat, wallahua’lam, dan arti apabila kamu bangun - apabila kamu hendak, sebagaimana firman Allah: “Apabila kamu membaca al-Qur’an maka minta berlindunglah”, yaitu apabila kamu hendak, karena wudhu dalam keadaan shalat itu tidak mungkin[8].
Anggota-anggota Wudhu:
Allah berfirman: (إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ), “apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basulah mukamu”, Allah SWT menyebutkan empat anggota wudhu’: Wajib membasuh muka, demikia juga membasuh kedua tangan, wajib menyapu kepala menurut kesepakatan, dan ulama berbeda dalam kasus kedua kaki, penjelasannya menyusul. Allah SWT tidak menyebutkan selain yang empat ini menunjukkan bahwa selain dari pada itu adalah bagian dari adab dan sunnah-sunnah[9].
Adapun keempat anggota wudhu, sebagai berikut:
I. Membasuh Muka (Wajah):
Muka (wajah) menurut bahasa dari kata “al-muawajahah” (bertatap muka), yaitu bagian dari badan yang mempunyai anggota-anggota tertentu, memiliki panjang dan lebar. Kemudian khusus untuk muka (wajah) mempunyai hukum-hukum, sebagai berikut:
a) Ukuran panjang: Dari permukaan dahi sampai kepada ujung dagu, dan lebarnya dari telinga sampai ke telingan yang lain, ini bagi yang tidak memiliki berjenggot (klimis).
b) Bagi yang berjenggot: Jika dagu ditumbuhi oleh bulu-bulu, maka tidak terlepas dari hukum tipis atau lebat, kalau dagu ditumbuhi rambut-rambut tipis, maka harus menyampaikan air kepada kulit dagu.
c) Jika jenggot tebal, maka hukumnya menjadi hukum rambut kepala dan harus diusap-usap jenggot. Kata Ibn Abdelhakam: Mengusap-usap jenggot wajib pada wudhu’ dan mandi. Kata Abu Umar: Diriwayatkan dari nabi SAW bahwasanya Beliau mengusap-usap jenggotnya dalam wudhu dari bagian muka semuanya secara lembut[10].
Sedangkan Ibn Khoweiz membantah dan mengatakan: Bahwa ahli fiqhi sepakat bahwa mengusap-usap jenggot bukanlah wajib dalam wudhu, kecuali sedikit, diriwayatkan dari Sa’id bin Jabier, mengatakan: Apa alasan orang mengusap jenggotnya sebelum tumbuh, karena apabila sudah tumbuh dia tidak mengusapnya, dan apa alasan orang yang tidak berjenggot membasuh dagunya sedangkan tidak membasuhnya bagi orang yang mempunyai jenggot?
Kata at-Thahawi: Tayyammum wajib menyapu kulit sebelum ditumbuhi bulu pada muka kemudian selanjutnya hukum itu gugur pada semuanya. Demikian juga wudhu. Kata Abu Umar: Siapa yang menjadikan membasuh jenggot semuanya wajib ia menjadikannya bagian dari muka, karena muka berasal dari kata “al-muwajahah”, sedangkan Allah memerintahkan membasuh muka secara mutlak tidak mengkhususkan orang yang mempunyai jenggot dari yang klimis: Maka wajib membasuhnya dengan dalil al-Qur’an karena jenggot itu menggantikan dari kulit muka.
Al-Qurthubi mengomentari[11]: Pada kasus ini ada beberapa pendapat, Hadits diriwayatka dari nabi SAW bahwa Beliau membasuh jenggotnya[12], maka terjadi beberapa spekulasi, Ibn al-Munzir menceritakan dari Ishaq bahwa orang yang meninggalkan mengusap-usap jenggotnya dengan sengaja maka harus diulang, dan diriwayatkan oleh Tirmizi dari Utsman bin Affan bahwasaya nabi SAW selalu mengusap-usap jenggotnya[13]. Abu Umar berkata: Bagi yang tidak mewajibkan membasuh bagian jenggot maka ia menganggap bahwa asli perintah membasuh kulit, maka wajib membasuh apa yang nampak pada permukaan kulit, dan apa yang ada dibawah jenggot tidak perlu dibasuhnya, dan membasuh permukaan jenggot sebagai ganti dari padanya.
d) Niat[14]: Para jumhur ulama mengharuskan niat pada wudhu’, berdasarkan sabda rasulullah SAW: إنما الأعمال بتانيات “sesungguhnya segala perbuatan harus disertai dengan niat”. Kata Bukhari: Termasuk di dalamnya iman, wudhu’, shalat, zakat, haji, puasa, dan hukum-hukum yang lain, dan Allah berfirman: قل كل يعمل عاى شاكلته“Katakanlah semuanya bekerja sesuai karakternya”, yakni berdasarkan niatnya.
Dan sabda nabi SAW: “akan tetapi jihad dan niat”, lalu sebagian Syafi’i berkata: Tidak perlu niat, ini adalah pendapat Hanafiyah, mengatakan: Tidak wajib hukumnya niat kecuali pada amalan fardu yang dimaksudkan dan janganlah menjadikan syarat untuk selainnya, adapun yang menjadi syarat untuk shahnya amalan tertentu maka tidak diwajibkan niat padanya yang setara dengan amalan yang diperintahkan itukecuali ada dalil yang menyertainya. Sedangkan thaharah itu syarat, maka orang yang tidak wajib shalat tidak dikenakan fardu thaharah, seperti orang haid dan nifas[15].
Ulama Maliki dan Syafi’i berargumen dengan firman Allah SWT: إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم “apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat, maka basulah mukamu”, maka ketika Allah mewajibkan membasuh maka adalah niat telah menjadi syarat pada shahnya perbuatan itu, karena fardu dari sisi Allah haruslah menjadi wajib pada amalan yang diperintahkan Allah dengannya.
Maka jika dikatakan: Bahwa niat tidak diwajibkan atasnya maka tidak wajib kepada yang dimaksudkannya yaitu mengengerjakan perintah Allah, dan sebagaimana diketahui bahwa orang yang mandi sambil menahan dingin atau hal lain, ia berniat melaksanakan kewajiban. Benarlah hadits: Bahwasanya wudhu itu menghapuskan dosa, jika itu bisa dilakukan tanpa niat maka tidak akan menjadi penghapus, dan Allah berfirman: وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين “Dan tidaklah diperintahkan kamu kecuali untuk menyembah Allah ikhlas dalam menjalankan agama-Nya” [16].
II. Membasuh Dua Tangan sampai Kedua Siku:
Firman Allah: وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ “dan tanganmu sampai dengan siku”, orang-orang berbeda dalam membatasi “sampai dengan siku”, maka ada golongan mengatakan: Benar sampai dengan siku, karena setiap kalimat setelah (إلى) apabila sejenis dari kalimat sebelumnya maka termasuk kedalamnya (Sibawiyah[17] dll..)
Ada pula mengatakan tidak termasuk kedua siku pada wajib dibasuh, kedua riwayat ini disandarkan dari Malik, riwayat kedua diprakarsai oleh Asyhab, dan yang pertama oleh kebanyakan ulama dan yang paling shah, sesuai riwayat dari ad-Daraqathni dari Jabir bahwasanya nabi SAW apabila berwudhu Beliau mengedarkan air atas kedua sikunya.
III. Menyapu Kepala:
Firman Allah: (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ) “dan sapulah kepalamu”, kalimat (المسح) “menyapu” dipergunakan dalam bahasa Arab pada banyak pengertian, bisa berarti (الجماع) “bercinta”, dikatakan: (مسح الرجل المرأة إذا جمعها) “laki-laki meremas-remas perempuan apabila bercinta dengannya”. Dan (المسح), “memotong”, seperti (مسح الشئ بالسيف وقطعه به), “dia menyentuh sesuatu dengan pedang dan memotongnya dengannya”, dan lain sebagainya...
Dan yang dimaksud (المسح) “menyapu” di sini adalah mengedarkan tangan atas bagian yang disapu secara khusus, dan apabila mempergunakan alat maka berarti memindahkan alat ke tangan dan mengedarkannya kepada bagian-bagian yang disapu, yaitu sesuai yang dimaksudkan firman Allah surah al-Maaidah yang sedang dikaji ini[18].
Adapun (الرأس) “kepala”, adalah sebutan yang telah diketahui manusia secara pasti dan di antaranya adalah muka (wajah), maka ketika Allah SWT menyebutnya sebagai salah satu anggota wudhu dan telah menetapkan muka (wajah) untuk disapu, maka tinggallah sebagian kepala yang harus disapu, seandainya Allah tidak menyebut muka disapu maka wajiblah menyapu semua kepala, termasuk padanya rambut-rambut kepala, kedua mata, hidung dan mulut.
Imam Malik sebelumnya telah mengisyaratkan kewajiban menyapu kepala dengan keterangan yang disebutkan ini, karena ditanya tentang orang yang meninggalkan membasuh sebagian kepalanya dalam wudhu’ maka menerangkan: Lihatkah kamu apabila seseorang meninggalkan membasuh sebagian mukanya apakah itu dibolehkan?
Lalu Malik menjelaskan seperti dijelaskan di atas bahwa kedua telinga adalah bagian dari kepala, dan hukum keduanya adalah hukum kepala. Berbeda dengan az-Zahri, mengatakan: Kedua telinga bagian daripada muka maka keduanya disapu bersamanya, berbeda juga dengan as-Sya’bi, mengatakan: Saya tidak dapat menerima kalau kedua telinga itu dari muka tetapi keduanya bagian dari kepala, dan ini juga pendapat al-Hassan dan Ishaq... [19]
Hukum-hukum dalam Menyapu Kepala:
A. Para ulama sepakat bahwa siapa yang menyapu kepalanya semuanya maka sangat baik dan telah mengerjakan yang selazimnya. Dan imam Syafi’i berkata: Firman Allah (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُم) "dan sapulah kepalamu”, bisa berarti sebagian kepala dan menyapu semuanya, lalu sunnah menunjukkan bahwa membasuh sebagiannya dibolehkan, yaitu bahwasanya nabi SAW menyapu ubun-ubunnya...
B. Jumhur ulama membolehkan membasuh kepala sekali saja sudah cukup, dan imam Syafi’i mengharuskan membasuh kepala tiga kali, berdasarkan riwayat dari Anas, Sa’id bin Jabier, dan ‘Athaa. Sedangkan Ibn Sirin menyapu kepala dua kali. Kata Abu Daud: Hadits-hadits Utsman yang shah semuanya menunjukkan bahwa membasuh kepala hanya sekali: Lalu mereka menyebutkan wudhu tiga kali, sebagian hadits-hadits itu mengatakan menyapu kepalanya dan tidak menyebutkan jumlah.
C. Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan dari mana memulai dengan menyapu kepala, sebagai berikut[20]:
1) Imam Malik mengatakan: Dimulai dari bagian depan kepala, kemudian menarik dengan kedua tangannya kebagian belakang kepala, lalu mengembalikan keduanya kebagian depan kepala, sesuai hadits Abdullah bin Zaid dikeluarkan oleh Muslim. Pendapat ini pula dipakai oleh Syafi’i dan Ibn Hanbal.
2) Al-Hassan bin Hay mengatakan: dimulai dari bagian belakan kepala, dari hadits ar-Rabi’ binti Mu’awwiz bin ‘Afraa, yaitu hadits yag berbeda-beda lafadznya. Ada juga memulai dari pertengahan kepala.
Kata al-Qurthubi: Dan yang paling shah dalam kasus ini adalah hadits Abdullah bin Zaid, dia juga membolehkan sebagian kepala saja tetapi dari bagian depannya. Diriwayatkan dari Ibrahim dan as-Sya’bi keduanya berkata: Dari bagian mana saja kepala kamu sapu maka itu sudah boleh. Dan Umar menyapu ubun-ubunny saja.
D. Kesepakatan para ulama bahwa yang paling baik dilakukan adalah menyapu kepala dengan kedua tangan sekaligus, dan membolehkan menyapu dengan satu tangan. Namun, mereka berbeda pada orang yang menyapu kepala dengan satu jari sehingga menyebar bahwa boleh melakukan hanya untuk kepala saja, maka masyhur bahwa hal itu boleh melakukan, yaitu pendapat Sufyan at-Tsauri, berkata: Bahwa menyapu kepala dengan satu jari diperbolehkan. Lalu ada pula mengatakan hal itu tidak boleh, karena bertentangan dengan ketentuan menyapu dan seakan-akan mempermainkan, kecuali hal itu darurat karena sakit maka tetap harus memperhatikan bagian-bagian yang harus disapu. Berkata Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Mohammad: Tidak boleh menyapu kepala dengan kurang dari tiga jari tangan[21].
E. Kedua telinga adalah bagian dari kepala menurut Malik, Ahmad, at-Tsauri, Abu hanifah, dan selain mereka, kemudian mereka berbeda pendapat tentang memperbaharui air:
a) Imam Malik dan Ahmad berpendapat: Kedua telinga disapu dengan air yang baru bukan dari air yang dipakai menyapu kepala, sebagaimana dilakukan oleh Ibn Umar, pendapat ini didukung juga oleh Syafi’i dalam memperbaharui air, dan berkata: Adalah sunnah untuk keduanya bukan bagian dari muka dan kepala, karena kesepakatan ulama pada kasus bahwa tidak dicukur pada apa yang ada atas keduanya dari bulu-bulu ketika haji. Pendapat Abu Tsaur pada kasus ini sama dengan pendapat Syafi’i.
b) Kata at-Tsauri dan Abu Hanifah: Keduanya disapu bersama dengan kepala dengan satu air, dan diriwayatkan dari kelompok beberapa ulama salaf dari sahabat dan tabi’in seperti pendapat ini.
c) Kata Daud: Bahwa menyapu kedua telinga adalah baik, dan jika tidak maka tidak apa-apa, karena keduanya tidak ada disebutkan di dalam al-Qur’an[22].
d) Ada pula yang berpendapat: Telinga adalah sebutan dari kepala, dan telah disebutkan oleh banyak hadits shahih dalam kitab an-Nasaai dan Abu Daud serta selain keduanya: Bahwasanya nabi SAW menyapu zahir dan batin kedua telinga, dan Beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam dua telinganya, Pemilik pendapat ini menunjukkan bahwa kedua telinga tidak disebutkan dalam al-Qur’an karena keduanya bukan fardu seperti menyapu muka dan kedua tangan, hanya ditetapkan sebagai sunnah menyapu keduanya dengan sunnah rasul.
Dan para ahlul ilmi tidak menyukai bagi orang yang berwudhu meninggalkan menyapu kedua telinganya dan memasukkannya sebagai orang yang meninggalkan sunnah dari sunnah-sunnah nabi SAW. Serta ulama tidak menganjurkan mengulang-ulang menyapu telinga kecuali Ishaq yang mengatakan: Bahwa orang yang meninggalkan menyapu kedua telinganya tidak boleh baginya, Ahmad berkata: Bahwa yang meninggalkan menyapu kedua telinga saya harap untuk mengulanginya[23].
F. Dalil-Dalil Tentang Membasuh Telinga:
1. Kedua telinga bagian dari muka, hadits dari nabi SAW bahwasanya beliau berdo’a dalam sujudnya: (سجد وجهي للذي خلقه وصوره وشق سمعه وبصره) “Saya sujudkan mukaku kepada (Allah) yang menciptakannya dan membentuknya, dan melengkapi pendengarannya dan penglihatannya”, maka nabi menambahkan telinga kepada muka menunjukkan keduanya masuk hukum muka. Dan didalam Mushnaf Abu Daud dari hadits Utsman: Maka dia membasu batin dan zahir kedua telinganya sekali, kemudian membasuh kedua kakinya, lalu mengatakan: Mana yang bertanya tentang wudhu? Beginilah saya melihat rasulullah SAW berwudhu.
2. Zahir kedua telinga dibasuh bersama muka, sedangkan batinnya disapu bersama kepala, karena Allah SWT memerintahkan membasuh muka dan memerintahkan menyapu kepala, maka apa yang ada dimukamu dari kedua telinga maka wajib membasuhnya, karena it bagian dari pada muka, dan apa yang tidak berada dimuka maka wajib menyapunya karena itu bagian dari kepala. Pendapat ini bertentangan dengan atsar dari nabi karena Beliau SAW menyapu zahir dan batin kedua telinganya berdasarkan hadits Ali, Utsman, Ibn Abbas, ar-Rabi’, dan selainnya.
3. Kedua telinga bagian dari kepala, sebagaimana sabda nabi SAW dari hadits as-Shanaabahi: “Apabila nabi menyapu kepalanya maka keluar dosa-dosa dari kepalanya sehingga keluar dari kedua telinganya”[24].
IV. Menyapu Kedua Kaki sampai Kedua mata Kaki:
Firman Allah: (وَأَرْجُلَكُمْ) “wa Arjulakum” (dan kakimu), Nafi’, Ibn ‘Amer dan al-Kisai membaca: (وَأَرْجُلَكُمْ) “wa Arjulakum” dengan “nashab” (baris atas), dan riwayat al-Walid bin Muslim dari Nafi’ membaca: (وَأَرْجُلَكُمْ) “wa Arjulukum” dengan “rafa” (baris dhammah) dan ini juga bacaan al-Hassan dan al-A’masy Sulaiman. Sedangkan Ibn Katsir, Abu ‘Amr dan Hamzah membacanya: (وَأَرْجُلَكُمْ) “wa Arjulikum” dengan baris kasrah/ bawah[25].
Hukum-Hukum Menyapu Kedua Kaki:
Dari perbedaan-perbedaan bacaan di atas, berbeda pula para sahabat dan tabi’in mengeluarkan pendapatnya, sebagai berikut[26]:
1. Bagi yang membaca dengan “nashab” (baris atas), menjadikannya umum (اغسلوا) dan mendasari pendapatnya bahwa yang fardu dalam kasus kedua kaki adalah membasuh bukan menyapu, dan inilah pendapat jumhur dan mayoritas ulama, yaitu sifat wudhu yang telah diperagakan oleh nabi SAW dengan perkataan dan perbuatannya, Beliau pernah melihat orang-orang berwudhu meninggalkan tumitnya: Nabi mencela dan memanggil dengan suara yang tinggi bersabda: (ويل للأعقاب من النار أسبغوا الوضوء) “Binasalah orang yang berwudhu meninggalkan tumit itu dari neraka, maka basulah pada wudhu”. Kemudian Allah SWT memberi batas kepada kedua mata kaki sebagaimana juga berfirman pada kedua tangan sampai kepada kedua siku menunjukkan atas wajib membasuh keduanya, wallahua’lam.
2. Bagi yang membaca dengan bari bawah menjadikan huruf (الباء) sebagai ‘amil, Ibn al-Arabi mengatakan: Para ulama sepakat bahwa yang wajib adalah membasuh keduanya, saya tidak mengetahui ada yang menolak pendapat ini kecuali hanya at-Thabari dari ahli fiqhi Islam, dan ada juga selainnya dari golongan ar-Rafidhah, dan at-thabari sangat getol membaca ayat ini dengan baris di bawah[27].
Al-Qurthubi berkomentar: Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra mengatakan: Wudhu itu membasuh dua anggota dan menyapu dua anggota, dan diriwayatkan pula bahwa adalah al-Hajjaj telah berkhutbah dengan bersemangat dan menguraikan wudhu mengatakan: Basuhlah mukamu dan kedua tanganmu, dan sapulah kepalamu dan kedua kakimu, karena tiada satupun dari anak cucu Adam lebih dekat dari kotorannya dari kedua kakinya, maka basulah batin dan zahir keduanya, lalu Anas bin Malik mendengar dan mengatakan: Maha Benar Allah dan telah berbohong al-Hajjaj.
Allah berfirman: (وامسحوا برؤوسكم وأرجلكم) “dan sapulah kepalamu dan kedua kakimu”. Berkata: Adalah nabi SAW apabila menyapu kedua kakinya Beliau membasahi keduanya, dan diriwayatkan dari Anas juga mengatakan: Al-Qur’an turun dengan perintah menyapu, sedangkan sunnah memerintahkan dengan membasuh, dan adalah Ikrimah menyapu kedua kakinya dan berkata: Tidak ada perintah pada kedua kaki dibasuh tetapi pada keduanya adalah perintah menyapu, dan ‘Amer as-Sya’bi berkata: Jibril menurunkan al-Qur’an dengan menyapu, tidakah anda melihat bahwa tayammum itu menyapu padanya apa yang dibasuh, dan meniadakan apa yang disapu.
Kata Qatadah: Allah menfardukan dua yang dibasuh dan dua yang disapu. Sedangkan Ibn Jarir at-Thabari berpendapat: Bahwa yang wajib pada keduanya adalah pilihan antara membasuh dan menyapu, dan menjadikan kedua bacaan sebagai dua riwayat yang sama. An-Nuhas mengatakan: Dan yang paling baik dikatakan pada kasus bahwa menyapu dan membasuh adalah keduanya wajib semua, maka menyapu wajib bagi yang membaca ayat dengan baris bawah, sedangkan membasuh wajib bagi yang membaca dengan baris “nashab” (baris atas), dan kedua bacaan tersebut setara dengan dua ayat.
Kata Ibn ‘Athiyah: Golongan yang membaca dengan “kasrah” (baris bawah) berpendapat bahwa menyapu kedua kaki adalah membasuh[28].
Kata al-Qurthubi: Menurutku, dan adalah yang paling benar: Bahwa kalimat (المسح) berarti ganda: Bisa berarti menyapu, dan juga berarti membasuh. Kata al-Harawi: Al-Azhari mengatakan kepada kami, Abu Bakar Mohamed bin Utsman bin Sa’id ad-Dari mengatakan kepada kami dari Abu Hatem dari Abu zaid al-Anshari berkata: (المسح) dalam bahasa Arab dapat berarti membasuh dan menyapu... Wallahua’lam.
Firman Allah: (إِلَى الْكَعْبَيْنِ) “Sampai dengan Kedua Mata Kaki”:
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kedua mata kaki, dan jumhur memastikan bahwa keduanya adalah dua tulang yang menonjol pada kedua bagian samping kaki, dan al-Ashma’i menentang pendapat ini dan mengatakan: Bahwa mata kaki itu terdapat pada punggung kaki, ia mengatakannya pada kitab “as-Shahhah”. Dan diriwayatkan dari Ibn al-Qasim, yang juga dikatakan Mohamed bin al-Hassan, berkata Ibn ‘Athiyah: Saya tidak mengetahui ada orang yang menjadikan batasan wudhu sampai kepada bagian ini, tetapi Abdelwahab pada kitab “at-Talqin” menuliskannya dengan kalimat yang didalamnya terdapat percampur-adukan dan leganda fiksi[29].
Imam Syafi’i mengatakan: Saya tidak mengetahui ada orang menentang bahwa kedua mata kaki adalah dua tulang pada persendian betis, kata at-Thabari dari Yunus dari Asyhab dari Malik: Mata kaki adalah yang keduanya menjadi wajib wudhu, yaitu dua tulang yang lengket pada bagian betis, mengapit bagi tumit, dan mata kaki bukanlah berada pada permukaan kaki.
Kata al-Qurthubi mengomentari: Inilah pendapat yang benar dari tinjauan bahasa dan sunnah, karena mata kaki dalam ucapan Arab diambil dari ketinggian dan dari istilah itu juga disebut al-Ka’bah, dan ka’ab bagi wanita apabila telah mekar buah dadanya...[30]
Hukum-Hukum Menyapu Kedua Kaki:
Berkata Ibn Wahab: Menyelah-nyelah jari-jari kaki sangat disukai dan hendaklah melakukan itu juga pada jari-jari tangan, berkata Ibn al-Qasim dari Malik: Barangsiapa yang tidak menyelah-nyelah jari-jari kedua kakinya maka itu tidak dibolehkan atasnya, dan berkata Mohammad bin Khalid dari Ibn al-Qasim dari Malik tentang orang yang berwudhu di sungai hanya menggerak-gerakan kedua kakinya: Sesungguhnya ia tidak dibolehkan sampai mebasuh keduanya dengan kedua tangannya. Lalu Ibn al-Qasim mengatakan: Jika ia sanggup membasuh salah satunya dari kakinya yang lain maka itu boleh.
Saya mengatakan (al-Qurthubi-pen): Yang shahih bahwa tidak dibolehkan pada keduanya kecuali membasuh keduanya seperti bagian kaki yang lain karena itu termasuk bagian kaki, sebagaimana pada jari-jari tangan termasuk bagian dari tangan, serta tidak dianggap dengan melakukan pada jari-jari kedua tangan sedangkan melalaikan pada jari-jari kedua kaki, karena manusia diperintahkan membasuh kaki semuanya seperti juga diperintahkan membasuh tangan semuanya.
Telah diriwayatkan dari nabi SAW bahwasanya Beliau apabila berwudhu menggosok-gosok jari-jari kedua kakinya dengan jari kelingkingnya, sebagaimana juga diketahui bahwa Beliau SAW membasu kedua kakinya, dan ini menunjukkan keumumam.
Dan adalah Malik pada akhir hayatnya menggosok-gosok jari-jari kedua kakinya dengan kelingkingnya atau dengan sebagian jari-jarinya sebagai pengamalan hadits yang didengarkannya: Abu Abderrahman al-Habali dari al-Mustaurid bin Syaddad al-Qurasyi berkata: Saya melihat rasulullah SAW berwudhu maka Beliau menyelah-nyelah antara jari-jari kedua kakinya[31]. Berkata Ibn Wahab: Malik mengatakan kepada saya: Sesungguhnya inilah yang paling tepat, dan saya tidak mendengarkannya kecuali baru-baru ini saja. Lalu berkata lagi Ibn Wahab: Dan saya dengar setelah itu ia ditanya tentang menyelah-nyelah jari-jari pada wudhu maka memerintahkan hal itu.
Dan Huzaifah telah meriwayatkan bahwasanya nabi SAW bersabda: Selah-selahlah antara jari-jari maka tidak akan diselah-selahnya api neraka, dan ini adalah sebuah nash tentang ancaman atas orang yang meninggalkan menyelah-nyelah. Maka benarlah apa yang telah kita katakan – kata al-Qurthubi ...[32]
Faedah-Faedah Yang Dapat di Ambil dari Kandungan Ayat wudhu:
1) Runtun antara anggota-anggota wudhu: Yaitu menyertakan bagi orang yang berwudhu pekerjaan demi pekerjaan sampai selesai tanpa ada spasi di antara selah-selahnya, dan tidak memisahkan dengan pekerjaan lain yang bukan bagian dari padanya. Berbeda pendapat para ulama pada masalah ini: Berkata Ibn Abi Salamah dan Ibn Wahab: Yang demikian itu termasuk bagian dari fardu wudhu dalam mengingat dan melupakan, maka barang siapa yang memisahkan antara anggota-anggota wudhunya dengan sengaja atau lupa maka tidak dibolehkannya. Adapun Ibn Abdelhakam mengatakan: Dibolehkannya bagi yang lupa dan sengaja.
Sedangkan kata Malik pada kitab al-Mudawwanah dan kitab Mohammad: Bahwa hukum runtun dijatuhkan, itu juga pendapat Syafi’i. Berkata Malik dan Ibn al-Qasim: Jika memisahkannya karena sengaja tidak dibolehkan, dan dibolehkan bagi yang lupa, kata Malik pula dari riwayat Ibn Habib: Dibolehkannya pada anggota yang dibasuh, dan tidak dibolehkan pada anggota yang disapu. Kata al-Qurthubi: Dari pendapat-pendapat di atas saya mendasarkan pendapat saya[33]:
a) Pertama: Bahwasanya Allah SWT memerintahkan perintah secara mutlak, mau runtun atau memisah-misahkan, dan yang dimaksudkan adalah membasuh pada setiap anggota-anggota wudhu ketika hendak mengerjakan shalat.
b) Kedua: Wudhu merupakan ibadah yang mempunyai rukun-rukun yang berbeda-beda maka wajib padanya runtun seperti shalat, dan inilah pendapat yang paling benar, wallahua’lam[34].
2) Tertib pada anggota-anggota wudhu: Berbeda pendapat para ulama fiqhi tentang hukum tertib pada anggota-anggota wudhu ini, sebagai berikut:
a. Al-Abhari berpendapat: Tertib itu sunnah, karena kenyataan mazhab membolehkan terbalik pada anggota wudhu bagi orang yang lupa, hanya berbeda pendapat bagi orang yang sengaja; ada yang mengatakan boleh dan harus tertib untuk selanjutnya, kata Abu bakar al-Qadhi dan pengikutnya: Itu tidak boleh karena sia-sia.
Pendapat inilah dipakai Imam Syafi’i dan para pengikutnya, dan didukung juga Ahmad bin Hanbal, Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam, Ishaq dan Abu Tsaur, serta dipilih pula oleh Abu Mash’ab dan sahabat Malik menyebutnya dalam “Mokhtashar”nya, yang diceritakannya dari ulama Madinah dan Malik termasuk diantaranya, tentang orang yang mendahulukan dalam wudhu kedua tangannya atas mukanya, tidak tertib dalam wudhu sebagaimana susunan ayat, maka harus mengulangi, dan tidak shalat dengan wudhu itu.
b. Imam Malik dalam berbagai riwayatnya berpendapat, dan yang paling populer mengatakan: Huruf (الواو) pada ayat tidak menunjukkan penyusulan dan tertib, pendapat ini didukung oleh pengikut-pengikutnya, dan terima juga oleh Abu Hanifah dan pengikutnya, at-Tsauri, al-Auza’i, al-Laitsi bin Sa’ad, al-Mazni dan Daud bin Ali.
c. Ilkiya at-Thabari mengatakan kenyataan firman Allah: (فاغسلوا وجوهكم وأيديكم) “maka basulah mukamu dan kedua kakimu”, mengharuskan pemisahan dan tertib sebagaimana pendapat yang shahih dari Mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab mayoritas ulama.
d. Abu Umar mengatakan: Bahwasanya Imam Malik cenderung meneruskan wudhu sebagaimana adanya untuk segera mengerjakan shalat, dan tidak melihat tertib itu wajib atasnya, ini adalah kesimpulan mazhabnya. Ali bin Zaid telah meriwayatkan dari Malik berkata: Barangsiapa yang membasuh kedua tangannya kemudian mukanya, lalu mengingat tertibnya maka mengulangi membasuh kedua tagannya, tetapi jika tidak mengingat hingga shalat maka mengulangi wudhu dan shalat, Ali menyambung: Kemudian Malik berkata setelah itu: Tidak perlu mengulang shalat tetapi mengulang wudhu...
e. Dan yang paling shah pada kasus ini: Bahwa tertib patut pada empat sisi: Pertama, memulai dengan apa yang telah dimulai Allah dengannya, sebagaimana sabda nabi SAW ketika menunaikan haji: “Kami memulai dengan apa yang telah dimulai Allah dengannya”; kedua, kesepakatan ulama salaf yang mereka menjaga tertib; ketiga, mensejajarkan wudhu dan shalat; dan keempat, meneladani rasulullah SAW pada hal itu[35].
3) Wudhu dapat diganti dengan tayammum apabila habis waktu: Pendapat ini hanya dipakai oleh Imam Malik yang mengatakan boleh tayammum pada kasus ini, karena tayammum pada konsepnya untuk memelihara waktu shalat, dan jika tidak demikian maka wajib menunda shalat sampai menemukan air. Adapun mayoritas ulama tidak membolehkan tayammum dalam kasus seperti ini, dengan firman Allah: “lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah”, sedangkan pada kasus ini terdapat air, maka hilang syarat keharusan tayammum, dengan demikian tidak boleh tayammum[36].
4) Menghilangkan najis tidak wajib: Sebagian ulama berargument dengan ayat ini mengatakan bahwa menghilangkan najis hukumnya tidak wajib, karena firman Allah: (إذا قمتم إلى الصلاة) “apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat”, ayat ini tidak menyebutkan istinja (menghilangkan najis) tetapi hanya memerintahkan wudhu, jika menghilangkan najis itu wajib maka yang pertama diperintahkan adalah istinja. Ini adalah pendapat Mazhab Abu Hanifah, yaitu riwayat dari Asyhab dari Malik.
Ibnu Wahab berkata dari Malik: Menghilangkan najis wajib pada keadaan ingat dan lupa; dan ini juga pendapat Syafi’i; kata ibn al-Qasim: Wajib menghilangkannya bagi yang ingat tetapi tidak bagi yang lupa; kata Abu Hanifah: Wajib menghilangkannya pada kadar tertentu.
Dan paling shahih pendapat Ibn Wahab: Karena nabi SAW pernah bersabda tentang pemilik dua makam: “Sesungguhnya keduanya benar-benar telah disiksa dan keduanya tidak disiksa karena dosa besar, adapun yang pertema disiksa karena suka menebar gosif, dan yang kedua tidak bersih setiap habis buang air”. Jadi tidak disiksa kecuali hanya meninggalkan wajib, dan tidak ada keterangan dari al-Qur’an, karena Allah SWT hanya menjelaskan dari ayat wudhu sifat-sifat wudhu secara khusus, dan tidak mencakup hukum menghilagkan najis dan yang lainnya[37].
5) Menyapu kedua Sepatu (khof[38]): Ayat ini juga menunjukkan hukum menyapu kedua sepatu khof. Imam Malik pada kasus ini mempunyai tiga riwayat:
a) Pertama: Tidak membolehkannya secara mutlak, sebagaimana pendapat kelompok Khawarij. Pendapat ini ditolok dan tidak shah.
b) Kedua: Menyapu kedua khof dalam keadaan musafir (bepergian), tidak menyapu bagi yang menetap, karena kebanyakan hadits menganjurkan menyapu dalam keadaan musafir. Dan ada pula hadits tentang sepatu membolehkan menyapu bagi orang yang menetap, hadits dari Huzaifah mengatakan: “Tahukah kamu saya dan rasulullah SAW pernah berjalan, lalu Beliau mengambil sepatu orang dibelakang dinding, maka berlalu sebagaimana dilakukan orang lain pergi buang air maka saya mengawasinya, lalu Beliau memberi isyarat padaku maka saya datang dan berdiri dibelakangnya hingga selesai – menambahkan riwayat – Lalu Beliau berwudhu dan menyapu atas kedua khofnya” [39].
c) Ketiga: Hadits Syarih bin Hanai berkata: Saya mendatangi ‘Aisyah menanyainya tentang menyapu atas kedua khof, maka berkata: Pergilah ke Ibn Abu Thalib lalu tanyailah dia: Karena dia pernah melakukan perjalanan bersama rasulullah SAW, maka kami pun pergi menanyainya dan berkata: Rasulullah SAW menjadikan tiga hari dan tiga malam bagi yang musafir dan sehari-semalam bagi yang menetap. Yaitu menyapu bagi yang musafir dan yang menetap[40].
Hukum-hukum khof yang lain:
A. Menurut Malik disapu atas kedua khof bagi musafir tanpa batasan waktu[41]. Kata Ibn Wahab saya telah mendengarkan Malik berkata: Tidak ada warga kami yang membatasi waktu tentang kasus ini, Abu Daud meriwayatkan dari hadits Ubay bin Imarah bahwa dia bertanya: Ya, rasulullah apakah saya boleh menyapu kedua khof? Bersabda: Ya tentu, bertanya lagi: Seharikah? Bersabda: Sehari, bertanya lagi: Dua hari? Bersabda: Dua hari, bertanya lagi: Tiga hari? Bersabda: Ya sampai engkau kehendaki, pada riwayat lain (Ya, terserah kamu)[42].
B. Menurut Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, an-Nu’man dan at-Thabari: Disapu bagi yang menetap sehari-semalam, dan bagi yang musafir tiga hari-tiga malam, berdasarkan hadits Syarih.
C. Sepakat para ulama menyapu kedua khof atas wudhu, dengan hadits al-Mughirah bin Syu’bah yang mengatakan: “Pernah suatu malam saya dan nabi SAW berjalan-jalan , pada waktu itu saya hendak membuka kedua khofnya maka bersabda: Biarkan saja keduanya karena saya memasukkan keduanya suci dan menyapu keduanya”.
Cempaka Putih: 17 Januari 2012
Med HATTA
Artikel yang berhubungan:
1. Materi Pertemuan Minggu Ke-2: Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Semester IV (2011/ 2012), Fakultas Syari’ah Prodi Fiqh dan Ushul Fiqh, Institute of Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah, Kedoya – Jakarta Barat.
2. Mohamed bin Ahmed al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Darul Fikr.
3,4. Lihat: Al-Qurthubi, refrensi sebelumnya.
5. Hadits sanad: Hasan shahih.
6. HR: Ad-Daraqathni
7. Kata Al-Qurthubi: Sepakat dengan tafsir ini Muhammad bin Muslimah dari sahabat imam Malik ra dan selainnya.
8,9,10. Lihat: Al-Qurthubi, refrensi sebelumnya.
11. Al-Qurthubi: Mengambil dari pendapat Ibn al-Arabi.
12. HR: At-Tirmizi dll...
13. Sanad Hasan-shahih.
14,15,16. Lihat: Al-Qurthubi, refrensi sebelumnya.
17. (سيبويه), seorang ulama bahasa terkenal, banyak membacanya: “Sibawaih”, tetapi ulama hadits membacanya: “Sibawiyah”, karena “waih” dalam bahasa Persia artinya setan.
18,19,20,21,22,23,24. Lihat: Al-Qurthubi, refrensi sebelumnya.
25. Hadits dikeluarkan Malik.
26,27,28,29,30. Lihat: Al-Qurthubi, refrensi sebelumnya.
31. HR: Malik dari Ibn Wahab dari Ibn Lahi’ah dan al-Laits bin Sa’ad dari Yazid bin ‘Amr al-Ghifari dari Abu Abderrahman al-Habali dari al-Mustaurid bin Syaddad al-Qurasyi.
32,33,34,35. Lihat: Al-Qurthubi, refrensi sebelumnya.
36,37. Lihat: Al-Qurthubi, (menafsirkan ayat ke-43 surah an-Niasaa).
38. Al-Khof: Sejenis sepatu kulit panjang yang diikatkan dikaki, lazim dipakai orang musafi, atau lapisan kaki terbuat dari kulit atau bahan lain seperti sintesis yang dipakai sebelum memasang sepatu laksana kos kaki.
39. HR: Muslim.
40. Lihat: Al-Qurthubi, (menafsirkan ayat ke-43 surah an-Niasaa).
41. Pendapat ini juga dipakai oleh al-Laits bin Sa’ad.
42. Kata Abu Daud: Hadits ini berbeda-beda sanadnya dan tidak kuat.
18,19,20,21,22,23,24. Lihat: Al-Qurthubi, refrensi sebelumnya.
25. Hadits dikeluarkan Malik.
26,27,28,29,30. Lihat: Al-Qurthubi, refrensi sebelumnya.
31. HR: Malik dari Ibn Wahab dari Ibn Lahi’ah dan al-Laits bin Sa’ad dari Yazid bin ‘Amr al-Ghifari dari Abu Abderrahman al-Habali dari al-Mustaurid bin Syaddad al-Qurasyi.
32,33,34,35. Lihat: Al-Qurthubi, refrensi sebelumnya.
36,37. Lihat: Al-Qurthubi, (menafsirkan ayat ke-43 surah an-Niasaa).
38. Al-Khof: Sejenis sepatu kulit panjang yang diikatkan dikaki, lazim dipakai orang musafi, atau lapisan kaki terbuat dari kulit atau bahan lain seperti sintesis yang dipakai sebelum memasang sepatu laksana kos kaki.
39. HR: Muslim.
40. Lihat: Al-Qurthubi, (menafsirkan ayat ke-43 surah an-Niasaa).
41. Pendapat ini juga dipakai oleh al-Laits bin Sa’ad.
42. Kata Abu Daud: Hadits ini berbeda-beda sanadnya dan tidak kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam!