Rabu, Januari 25, 2012

ULUMUL QUR'AN II

(Pertemuan Ke-2)
TURUNNYA AL-QUR’AN & PENGUMPULANNYA
DALAM SATU MASHHAF[1]
Oleh: Med HATTA

Mukaddimah:

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات، وبعد!

Al-Qur’an al-Karim adalah ni’mat langit ke bumi, merupakan tali penghubung antara hamba dan penciptanya, diturunkan melalui ar-Ruh al-Amin Jibril as kepada rasul yang mulia Muhammad SAW dengan benar untuk menjadi peringatan bagi semesta alam, petunjuk dan penolong, sebagaimana firman Allah pada ayat ke-174, surah an-Nisaa’:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا (١٧٤)
Artinya:“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran)”.

Proses dan Tata Cara Turunnya Al-Qur’an:
Proses dan cara turunnya al-Qur’an kepada sebaik-baik makhluk Muhammad SAW merupakan suatu hal yang dramatis bagi seorang mukmin dan sering mengundang pertanyaan, bagaimana cara turunnya al-Qur’an al-Karim, tahapan-tahapan apa saja yang dilalui selama turunnya dan apakah ia turun secara utuh kepada rasulullah SAW atau turun secara bertahap dalam tenggang waktu yang lama?

Sepakat para pakar ilmu pengetahuan bahwa al-Qur’an al-Karim telah diturunkan dari sisi Allah SWT kepada rasul-Nya Muhammad SAW atas tahapan-tahapan yang berkesinambungan, dan tidak turun secara utuh (sekaligus). Adalah orang-orang kafir Quraisy menggembosi bahwa al-Qur’an itu turun sekaligus, sebagaimana diberitakan al-Qur’an prihal mereka, firman Allah pada ayat ke-32, surah al-Furqan:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا
Artinya:“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar)”.

Adapun proses dan tata cara turunnya wahyu kepada rasulullah SAW, para ulama telah menyebutkan beberapa proses atau cara, kami akan sebutkan di antaranya, sebagai berikut:

1. Nabi didatangi wahyu seperti dentuman lonceng yang keras atasnya, sebagaimana hadits diriwayatkan Bukhari dari Aisyah ra bahwasanya al-Harits bin Hisyam ra bertanya kepada rasulullah SAW berkata: Wahai rasulullah bagaiman engkau didatangi wahyu? Maka bersabda: “Adakalanya datang kepadaku seperti dentuman lonceng, yang lebih kencang atasku, lalu memekakkan aku maka akupun tersadarkan darinya apa yang dikatakan”.
Kata Aisyah ra: Saya telah menyaksikan nabi diturunkan kepadanya wahyu pada suatu hari yang sangat dingin, lalu nabi merasa terkejut, dan dijidatnya bersimbah keringat.
2. Adakalanya nabi didatangi wahyu dengan penyamaran oleh seorang laki-laki yang melafadzkan kepadanya firman Allah, sebagaimana pada hadits Bukhari di atas, yaitu nabi telah ditanyai tentang tata cara turunnya wahyu, maka bersabda: “Adakalanya Malaikat menyamar kepadaku sebagai seorang laki-laki dan membacakannya kepadaku maka aku mengecamkannya”.
Sungguh malaikat telah menyamarkan diri sebagai seorang laki-laki dalam berbagai bentuk, sebagaimana dalam kisah kedatangannya dalam wajah Duhiah al-Kalbi dan dalam wajah seorang Arab badwi dan bentuk-bentuk yang lain, semuanya tertera dalam kitab shahih.
3. Adakalanya wahyu datang dengan kalam Allah dalam keadaan sadar, sebagaimana pada hadits Israa yang panjang, diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab shahihnya, tidak perlu disebutkan di sini... yang paling penting untuk diyakini dan dipercayai dalam konteks ini, bahwasanya lafadz-lafadz al-Qur’an, yang dibaca dan yang tertulis, adalah semuanya dari sisi Allah SWT, Tidak ada campur tangan Jibril selain hanya sebatas menyampaikannya kepada rasulullah SAW. Dan tidak juga nabi Muhammad SAW ikut campur selain hanya menghafalkannya dan menyampaikannya kemudian menjelaskan dan mengaplikasikannya, Allah berfirman pada ayat ke-192 s/d 194 dari surah as-Syu’araa:

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٩٢) نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ (١٩٣) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (١٩٤)
Artinya:“Dan sesungguhnya al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”.

Jadi yang berbicara adalah Allah, pengatar adalah Jibril dan yang menerima adalah rasul Tuhan semesta alam, maka barangsiapa yang berkeyakinan selain ini, sungguh telah sesat dengan sesesat-sesatnya...

Hikmah Turunnya al-Qur’an Secara Bertahap:
Para ulama ulumul Qur’an sepakat bahwa al-Qur’an tidak diturunkan secara spontanitas, tetapi turun secara bertahap, selama dari lebih 20 tahun. Maka mereka merumuskan dalam satu konsep: “Turunya al-Qur’an Secara Bertahap”, yaitu “terpisah-pisah”.

Lalu para ulama tersebut menyebutkan proses turunnya al-Qur’an secara terpisah-pisah itu pada beberapa hikmah atau tujuan, di antaranya: 

1. Agar menguatkan hati nabi SAW untuk menghadapi apa yang diterimanya dari kaumnya, sebagaimana firman Allah, ayat ke-32 dari surah al-Furqan: (كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا) “demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil”. Maka firman Allah: dan Kami membacanya secara tartil, yaitu menunjukkan bahwa proses turunnya sedikit demi sedikit untuk memudahkan dihafal, memahami dan mengaplikasikan dengan perintahnya.
2. Untuk mengconter tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kaum musyrik, dan mematahkan segala alibi-alibi mereka satu demi satu, seperti dalam firman Allah pada ayat ke-33, surah al-Furqan: (وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا) “tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”.
3. Memudahkan menghafal al-Qur’an atas nabi SAW dan para sahabatnya, firman Allah pada ayat ke-106, surah al-Israa’: (وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلا) “dan al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian”.
4. Bertahap untuk sahabat dan umat pada saat itu dalam menerapkan hukum al-Qur’an, karena tidak mudah atas manusia meninggalkan apa yang telah menjadi kebiasaannya dari adat dan tradisi-tradisi yang berbeda dari prinsif dan tradisi Islam seperti meminum khamar.
5. Al-Qur’an diturunkan berdasarkan kebutuhan, atau diturunkan untuk merespond atas pertanyaan-pertanyaan para penanya.

Adapun kadar yang diturunkan dari al-Qur’an atas nabi Muhammad SAW, maka sangat jelas dari hadits-hadits Beliau bahwasanya al-Qur’an itu diturunkan sesuai dengan kebutuhan. Ayat yang pertama kali diturunkan adalah 5 ayat dari awal surah al-‘Alaq, firman Allah:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١) خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)

Artinya:“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.

Peristiwa itu terjadi di Gua Hira ketika nabi SAW sedang menyembah dan merenung sendiri, tepatnya pada tanggal 17 Ramadhan. Ditulis Ibn Katsir dalam kitabnya “al-Bidayah wan-Nihayah”: Adalah awal turunnya wahyu kepada rasulullah SAW, pada hari Senin tanggal 17 bulan Ramadhan, dan ada yang mengatakan tanggal 24. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hari yang pasti awal turunnya wahyu, akan tetapi mereka sepakat bahwa peristiwa itu terjadi pada hari-hari terakhir dari bulan Ramadhan.


Sebagai aqidah seorang Muslim dan imannya kepada al-Qur’an, mempercayai bahwa Malaikat Jibril membawa lafadz-lafadz al-Qur’an secara utuh, dan al-Qur’an semuanya adalah firman Allah SWT, tidak ada campur tangan Jibril dan tidak juga nabi Muhammad SAW di dalamnya, termasuk juga tidak mencampuri dalam penyusunannya, namun, al-Qur’an turun sebagaimana firman Allah:

كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ (١)

“(inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu”.

Pemeliharaan al-Qur’an pada masa nabi SAW:
Salah satu keistimewaan umat Islam bahwasanya kitab sucinya telah terpelihara di dalam hati, berbeda dengan umat-umat lain sebelumnya. Dan inilah yang merupakan salah satu penyebab terpeliharanya al-Qur’an dari penyelewengan dan perubahan sepanjang masa. Adalah nabi Muhammad SAW sendiri yang banyak mendorong para sahabat menghafal al-Qur’an, sehingga Beliau mengambil sumpah prasetia setiap orang yang baru masuk Islam dan menunjukkannya kepada salah seorang muslim intuk mengajarinya al-Qur’an. 

Telah diriwayatkan dari Ubbadah bin as-Shaamit berkata: Adalah rasulullah SAW menugaskan, apabila datang seorang muhajir datang kepada rasulullah SAW maka disuruhnya menemui salah seorang di antara kami untuk mengajarinya al-Qur’an”[2]. Dan sahabat-sahabat telah banyak menghafal al-Qur’an, antara lain disebutkan adalaha: Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah, Sa’ad, Ibn Mas’ud dan lain-lain dari sahabat senior.

Kemudian, nabi SAW tidak saja terbatas menganjurkan para sahabat senior menghafal al-Qur’an dalam hati, tetapi juga memerintahkan mereka menulisnya dan merekapitulasikannya untuk memeliharanya dari kehilangan dan perubahan, dengan demikian telah terpelihara al-Qur’an di dalam hati dan dalam data tertulis. 

Tersebutlah di dalam salah satu hadits bahwasanya nabi SAW telah menginstruksikan pada periode awal agar para sahabat tidak menuliskan sesuatupun darinya kecuali hanya al-Qur’an sehingga tidak terjadi percampuran dengan perkataan selainnya: “Janganlah kalian menulis dariku dan barangsiapa yang telah menulis dariku selain al-Qur’an maka segeralah menghapusnya”[3].

Para sahabat senior nabi Muhammad SAW menuliskan al-Qur’an dengan mempergunakan sarana dan media-media yang tersedia dilingkungan mereka pada saat itu, maka mereka menggunakan media kulit, tulang, papan, batu dan selainnya, sebagai media tulis. Dan tetaplah al-Qur’an tertulis pada media-media tersebut dan terpelihara di sisi nabi SAW dan para sahabatnya, namun tidak dikumpulkan dalam satu mashhaf pada masanya.

Adalah nabi Muhammad SAW memerintahkan para sahabat setiap turun dari al-Qur’an, bersabda: “Letakkanlah pada bagian ini... yaitu menunjukkan kepada mereka tempat ayat itu di antara ayat-ayat yang telah turun sebelumnya. Sebagaimana juga Jibril senantiasa mempersentasi ulang al-Qur’an bersama nabi SAW setiap bulan Ramadhan, maka dia mempersentasikannya dua kali setiap akhir tahun. 

Dengan demikian, maka bentuk penyusunan al-Qur’an yang ada sekarang adalah sesuai dengan persentasi terakhir bersama Jibril, yang oleh para ulama disebut dengan “persentasi terakhir”.

Pengumpulan Al-Qur’an dalam Satu Mashhaf pada masa pemerintahan khalifah Abu bakar as-shiddiq
Pengumpulan al-Qur’an dalam satu mashhaf pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar as-Shiddiq setelah setahun nabi SAW meninggal. Maka tersebutlah setelah terjadi peperangan al-Yamamah yang telah mengguk banyak korban jiwa dari para sahabat yang mayoritas adalah para penghafal al-Qur’an, lalu datanglah Umar bin al-Khattab kepada khalifa Abu Bakar as-Shiddiq untuk memintanya mengumpulkan al-Qur’an dalam satu tempat sehingga tidak hilang setelah wafatnya mayoritas penghafal tersebut.

Maka Abu Bakarpun merespond dengan mengangkat sahabat Zaid bin Tsabit sebagai penanggung jawab pengumpulan al-Qur’an, karena Zaid dipandang memiliki sifat-sifat yang memungkinkannya mengemban jabatan itu, di antaranya dia tergolong barisan penghafal al-Qur’an, penulis wahyu pada masa nabi SAW dan Zaid juga menyaksikan bersama nabi SAW persentasi terakhir al-Qur’an pada akhir hidup nabi SAW. Kemudian Zaid juga dikenal dengan kecerdasannya, wara, jujur dan akhlaknya yang sempurna.

Zaid berkata: “Adalah Abu Bakar telah memanggil saya setelah korbannya para pahlawan al-Yamamah dan disisinya ada Umar, lalu Abu Bakar mengatakan: Sesungguhnya Umar datang kepadaku mengatakan: Bahwa peperangan semakin berkecamuk dan telah memakan banyak korban jiwa di al-Yamamah, dan saya khawatir akan semakin banyak jatuh korban dari para penghafal pada peperangan-peperangan ditempat lain, maka akan banyak hilang dari al-Qur’an, kecuali kalau kamu mengumpulkannya, dan saya mengusulkan agar kamu mengumpulkan al-Qur’an. 

Abu bakar berkata: Saya mengatakan pada Umar bagaimana saya melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh rasulullah SAW? Lalu Umar menjawab: Demi Allah, ini sangat baik, dan Umar masih saja mendatangiku sehingga Allah melapangkan dadaku, dan sayapun berpendapat seperti gagasan Umar.

Zaid berkata: Saat itu ada Umar duduk disamping Abu bakar tidak berbicara, maka Abu Bakar mengatakan: Kamu adalah seorang pemuda yang sangat cerdas dan kami tidak pernah melihat sesuatu yang jelek pada kamu, kamu juga menulis wahyu pada rasulullah SAW, maka telusurilah al-Qur’an dan mengumpulkannya. Demi Allah, jika Abu Bakar memerintahkan saya memindahkan sebuah gunung dari gunung-gunung yang ada tidaklah terlalu berat atasku dari pada memerintahkanku mengumpulkan al-Qur’an, saya katakan: Bagaimana anda berdua melakukan sesuatu yang tidak dilakukan nabi SAW? Kata Abu Bakar: Demi Allah, ini sangat baik, lalu sayapun selalu mendatanginya sampai Allah membukakan dadaku sebagaimana telah membuka hati Abu Bakar dan Umar. Maka sayapun menelusuri al-Qur’an dari berbagai media yang ada dan dari hafalan-hafalan para penghafal... Dan lembaran-lembaran yang telah dikumpulkan al-Qur’an padanya disimpan oleh Abu Bakar sampai ia meninggal, kemudian disimpan oleh Umar sampai iapun meninggal, lalu diambil Hafshah binti Umar”[4].

Penggandaan Mashhaf pada Masa Utsman bin Affan:
Al-Qur’an tetaplah terpelihara sebagaimana adanya pada masa Abu Bakar sampai kepada pemerintahan Utsman bin Affan. Namun, oleh karena al-Qur’an itu telah diturunkan kepada nabi Muhammad SAW atas “tujuh huruf” (yaitu dengan tujuh dialeg) untuk memudahkan para kabilah memahami dan menguasainya.

Kemudian pada tahun ke-25 Hijriah, pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, para sahabat melihat bahwa setelah rentetan penaklukan-penaklukan Islam dan telah masuk selain Arab ke dalam Islam, mulailah warga Iraq, negeri Syam dan sebagian pelosok lain berbeda-beda diseputar bacaan al-Qur’an yang benar, maka mereka pun saling mengkafirkan satu sama lain.

Adalah bahasa Arab ditulis tanpa menggunakan titik membedakan huruf perhuruf, misalnya huruf: (ب – ت – ث – ن) tanpa ada titik tidak mungkin membedakannya satu sama lain, begitu juga huruf-huruf: (ج – ح – خ), (د – ذ), (ر – ز), (س – ش), (ص – ض), (ط – ظ), (ع – غ), (ف – ق). Bagi orang Arab – karena itu bahasa mereka – bisa membedakan semua huruf-hurup itu dari bentuk kalimatnya, disisi lain yang masuk Islam bukan orang Arab tidak bisa membeda-bedakannya sebaik orang Arab menguasainya, dan dari sinilah awal mula perbedaan itu, demikian juga tidak terdapat tanda-tada baca yang dapat membedakan baris (dhammah, baris atas dan baris bawah).

Maka Utsman mengambil inisiatif membentuk sebuah tim dari para penulis wahyu pada masa rasulullah SAW untuk menulis ulang dan menggandakan al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar yang terakhir disimpan oleh umul mu’minin sayyidah Hafshah binti Umar bin al-Khattab. Dan Utsman memerintahkan tim yang baru dibentuk itu untuk menggandakan al-Qur’an berdasarkan bacaan yang benar dan berakar dari rasulullah SAW yaitu bacaan ahli Makkah.
Dari Anas bin Malik: “Bahwasanya Hudzaifah bin al-Yamman datang kepada Utsman, ia pernah membawa ahlu Syam bertempur pada penaklukan Armenia dan Azarbeijan bersama ahlu Iraq, maka Hudzaifah tercengang mendengar perbedaan mereka dalam membaca al-Qur’an. Lalu melapor ke Utsman: Hindarkanlah umat ini sebelum mereka bercerai-berei sebagaimana perceraian Yahudi dan Nashrani.

Maka Utsman tanggap dan mengirim surat ke Hafshah: “Mohon kirimkan kepada kami mashhaf agar kami bisa gandakan, kemudian kami akan kembalikannya kepadamu”, maka Hafshah mengirimkannya ke Utsman, lalu memerintahkan kepada: Zaid bin Tsabit, Abdullah bin az-Zubair, Sa’id bin al-‘Ash dan Abderrahman bin al-Harits bin Hisyam, maka mereka pun menggadakannya dalam beberapa mashhaf. Utsman berpesan kepada ketiga tokoh Quraisy yang berada dalam tim: Apabila kalian berbeda dengan Zaid bin Tsabit sesuatu dari al-Qur’an, maka tulislah dengan bacaan Quraisy, karena al-Qur’an turun dengan bahasa mereka, dan mereka pun melakukannya dengan sebaik-baiknya. 

Sehingga setelah selesai proses penggandaan dalam beberapa mashhaf, Utsman pun mengembalikan mashhaf pertama ke Hafshah, dan mengirimkan keberbagai penjuru masing-masing satu mashahaf dari yang telah digandakan, lalu memerintahkan selain mashhaf yang telah dikirim itu dari al-Qur’an yang berupa lembaran-lembaran dan mashhaf agar dibakar”[5].

Dan mashhaf ini dikenal dengan Mashhaf Utsman atau Mashhaf al-Imam, dan tidak tertinggal selain mashhaf ini semenjak era Utsman, yaitu salinan yang diterbitkan sekarang dengan rasm Utsmani tersebar diberbagai penjuru dunia Islam.

Rasm Mashhaf dan Perkembangan Tulisannya:
Al-Qur’an yang ditulis oleh khalifah Utsman bin Affan, adalah termasuk mashhaf-mashhaf yang tertua. Yang dimaksud dengan “rasm mashhaf”: ialah tulisan atau karakter yang dituliskan padanya huruf-huruf mashhaf berdasarkan mashhaf Utsmani, 

Bahwasanya al-Qur’an pada masa nabi SAW dan pada masa Utsman juga belum dituliskan seperti penulisannya yang kita lihat sekarang, adalah tulisan pada waktu itu tidak memakai baris, titik dan angka, namun mengandalkan cara Arab yang tidak memerlukan kepada karakter itu. Dan keadaan itu tidak berubah sampai kepada dilancarkannya rentetan-rentetan penaklukan maka bercampurlah Arab dan asing, lalu mulailah orang-orang yang tidak berbahasa Arab mengalami kesalahan dalam bacaannya. Maka dirasa perlulah menuliskan mashhaf dengan karakter dan titik-titik untuk menjaganya dari bacaan yang tidak benar.

Dan tercatatlah seorang tabi’i yang dikenal dengan Abu al-Aswad ad-Duali (16 SH – 69 H), yang pertama kali meletakkan tata tulis bahasa Arab, dia bekerja memberikan baris-baris al-Qur’an atas perintah Ali bin Abu Thalib (21 SH – 40 H). Maka menjadikan pada waktu itu tanda titik di atas huruf bagi “fathah” (baris atas), tanda titik di bawah bagi “kasrah” (baris bawah), tanda titik di antara bagian huruf bagi “dhammah” (bunyi U) dan menjadikan titik dua sebagai tanda bagi baris “sukun” (bunyi mati).

Setelah Abu al-Aswad ad-Duali meninggal, dengan perjalanan waktu, terobosan besarnya diikuti oleh sebagian ulama di ataranya bisa dicatat adalah Al-Khalil bin Ahmed al-Farahidi (100 - 174 H), yang pertama kali menulis sebuah kitab tentang rasm titik huruf-huruf dan tanda-tandanya, dan dia jugalah yang memprakarsai peletakan hufuf “hamzah” dan “tasydid” serta yang lainnya dari tanda-tanda pelurusan bacaan. Kemudian yang terakhir ini pulalah yang pertama meletakkan ilmu nahwu (Tata Bahasa Arab) untuk menghaluskan bacaan al-Qur’an agar dapat dibaca dengan benar tidak melalaikan artinya.

Kemudian selanjutnya, rasm mashhaf telah mengalami berbagai perkembangan, pembaharuan dan perbaikan sejalan dengan perjalanan masa, maka pada akhir abad ke-3 hijriah, rasm al-Qur’an telah mencapai puncaknya dari kualitas, keindahan dan kepaatenan, sehingga mashhaf ditetapkan atas bentuknya yang kita saksikan sekarang dengan tulisan yang indah dan penemuan tanda-tanda istimewa yang menuntun membaca al-Qur’an dengan bacaan yang jelas, indah dan mengikuti kreterian tajwid...

Pusat-Pusat Studi Al-Qur’an:
Semenjak permulaan turunnya al-Qur’an dan antusias umat Islam yang tinggi dengannya dan mempelajarinya, maka telah bercabag diseputar al-Qur’an berbagai ilmu dan spesialisasi, di antaranya ada yang menggeluti tafsir al-Qur’an dan memperdalam artinya, yang lain mengambil spesialisasi khusus mempertajam tata bacanya yang benar dan ilmu serta spesialisasi-spesialisasi yang lain dikembangkan untuk memelihara kemurnian al-Qur’an dan mengamalkannya.

Ulumul Qur’an mempunyai cabang yang sangat banyak dan berfariasi, para pembaca dari kalagan sahabat seniaor merupakan generasi pertama dalam mengetahui ulumul Qur’an, ilmu an-nasikh wal-mansukh, asbab an-nuzul dan mengetahui pemisah dan tempat-tempat berhenti, dan semua itu merupakan “tauqifi” dari ulumul Qur’an. Maka sepanjang perjalanan sejarah Islam telah mencatatkan setiap masa tokoh-tokoh besar pemerhati dalam satu spesialisasi dari spesialisasi-spesialisasi ulumul Qur’an, mereka telah menulis berbagai macam bidang ilmu ini.

Maka semenjak periode nabi SAW para sahabat rajin meminta penjelasan dari Beliau tentang hal-hal yang sulit atas mereka dari makna al-Qur’an, lalu mereka saling menyimak makna-makna tersebut di antara mereka sesuai kemampuan daya cernah masing-masing dan terpaut pula atas kualitas dan kuantitas kebersamaan mereka dengan nabi SAW. 

Dengan demikian, mulailah berkembang ilmu tafsir al-Qur’an, yang mereka riwayatkan dari para sahabat dan tabi’in tersebut, mereka tidak terbatas menggeluti ilmu tafsir saja, bahkan meliputi juga ilmu-ilmu yang lain di antaranya ilmu gharibul Qur’an, ilmu asbabul nuzul, ilmu ali-Makki wal-Madani, ilmu an-nasikh wal-mansukh, ilmu qiraat dan lain sebagainya dari ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an. Dan para ulama tafsir telah menulis banyak kitab-kitab tafsir, sebut saja di antara mereka at-Thabari, at-Turmuzi, Ibn Katsir, az-Zamakhsyari (Mu’tazilah) dan Muhammad Hussain at-Thabathabi (Syi’ah). Lihat: Daftar Kitab-Kitab Tafsir.

Setelah Utsman bin Affan menulis ulang al-Qur’an, yang dikenal dengan “alMmashhaf al-Utsmai”, dan tulisannya disebut dengan “ar-Rasm al-Utsmani”, maka mulailah perhatian kepada “ilmu ar-rasm al-Qur’ani”. Dan pada pemerintahan khalifa Ali bin Abu Thalib, ketika Abu al-Aswad ad-Duali meletakkan “qawaid an-nahwu” dengan perintah ali untuk menjaga keselamatan pengucapan dan menata bacaan al-Qur’an, maka mulai bergulir ilmu “I’rab al-Qur’an”. 

Selanjutnya, setelah ramai orang-orang tidak berbahasa Arab masuk Islam, maka dibutuhkanlah adanya ilmu lain yang berhubungan dengan tata baca al-Qur’an dengan bacaan yang sempurna, lalu lahirlah ilmu tajwid dan hukum membaca al-Qur’an. Dengan demikian, semakin pesatlah perhatian umat Islam menekuni al-Qur’an dan ilmu-ilmunya hingga sekarang, muncul pulalah ilmu-ilmu baru lainnya seperti ilmu i’jaz al-Qur’an.

Kemudian bersamaan dengan penyebaran dan penaklukan-penaklukan Islam dan agama Islampun telah merambah jauh kepenjuru-penjuru dunia, maka dibutuhkanlah terjemah al-Qur’an dan terjemah ilmu-ilmunya, muncullah ilmu terjemah. Maka berkenaan dengan penerapan syariat Islam, al-Qur’an masih akan menjadi lahan yang subur untuk mengembangkan lebih banyak lagi ilmu setara dengan ilmu-ilmu tersebut, bagi siapa saja yang ingin mendalami inti sarinya, merenungkan sisi keajaibannya dan kemukjizatannya. 

Meskipun terjemah al-Qur’an itu sangat teliti maka tetap saja tidak diperbolehkan dipakai beribadah dengannya dan tidak dianggap sebagai nash yang memiliki nilai mukjizat, karena nash Arab setiap kalimat di dalamnya mengandung pengertian-pengertian yang sangat kaya, maka dengan hanya menterjemahkannya satu makna saja daripadanya mengurangi pemahaman pada makna tersebut serta membatasi dari pengambilan hukum-hukum baru bagi kasus-kasus dan sub-sub kasus yang senantiasa berkembang sepanjang masa.


Cempaka Putih, 24 Januari 2012
Med HATTA


  1. Pertemuan Ke-2 Mata Kuliah: Ulum al-Qur’an, Semester II (2011/ 2012), Fakultas Syari’ah Prodi Fiqh dan Ushul Fiqh, Institute of Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah, Kedoya – Jakarta Barat.
  2. HR: Ahmad.
  3. HR: Muslim. Kata Imam Nawawi mengomentari hadits ini: Larangan itu berlaku ketika masih dikhawatirkan perkataan nabi bercampur dengan al-Qur’an, tetapi setelah dinyatakan sudah aman maka diizinkan menulisnya.
  4. HR: Bukhari dalam kitab shahihnya.
  5. HR: Bukhari dalam kitab shahihnya.
<<<===[BERSAMBUNG]===>>>
ARTIKEL YANG BERHUBUNGAN:
  1. ULUMUL QUR'AN 1 (PENGANTAR UMUM) 
  2. ULUMUL QUR'AN 3 (ASBAB NUZUL) 
  3. ULUMUL QUR'AN 4 (MUHKAM DAN MUTASYABIH)
  4. ULUMUL QUR'AN 5 (MAKKI DAN MADANI)
  5. PERKEMBANGAN TAFSIR DI INDONESIA
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!