Minggu, Februari 05, 2012

MEMPERINGATI 14 ABAD KELAHIRAN PERADABAN MANUSIA MODERN

KELAHIRAN MUHAMMAD SAW: KELAHIRAN BAGI UMAT, RISALAH DAN PERADABAN (Bagian 1)

Oleh: Med HATTA

Maulid an-Nabawiyi as-Syarif, atau hari lahirnya  rasul bagi alam semesta Muhammad SAW, yang bertepatan tanggal 12 Rabi'ul Awal menurut riwayat yang masyhur (Lihat: Ibn Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, 2/320), dimana diperingati oleh segenap umat Islam pada hampir semua negara-negara Islam. Sebenarnya bukan sebagai peringatan (Lihat: Muhammad Alawi al-Maliki, Hawlah al-Ihtifal bi Zikri al-Maulid an-Nabawi, Hal: 55), tetapi lebih merupakan ungkapan rasa kebahagian dengan kelahiran nabi SAW, rasul penutup Muhammad bin Abdullah. Yang digelar secara massal dari semenjak masuk bula Rabi'ul Awal sampai akhir bulan, bahkan ada yang masih merayakannya sampai bulan Rajab.

Pada momentum seperti itu, diadakan pengajian-pengajian yang diisi dengan qashidah-qashidah yang melafadzkan pujian-pujian terhadap nabi, dan biasa juga diisi diskusi membahas sejarah besar dan keteladanan nabi SAW. Selanjutnya diakhiri dengan acara makan-makan besar disertai dengan pembagian kue-kuean, yang disebut dengan kue maulid.

Sejarah Awal Mula Peringatan Maulid Nabi SAW:


Sepakat semua umat Islam bahwa awal mula peringatan maulid rasulullah SAW, yaitu kembali kepada nabi Muhammad SAW sendiri, dimana Beliau senantiasa berpuasa setiap hari senin dan bersabda: "Hari ini adalah kelahiran saya". Adalah Abu Syamah berkesimpulan bahwa para generasi ini-lah yang pertama kali memperingati maulid rasulullah SAW.

Selanjutnya As-Suyuthi menyebutkan bahwa yang pertama kali merayakan maulid nabi secara terbuka dan besar-besaran adalah penguasa Arbel (wilayah Utara Irak sekarang), oleh rajanya yang terkenal Malik al-Mudzaffar Abu Sa'id Kaukaburi bin Zeineddin Ali bin Baktakin, yaitu yang diperkuat oleh para ulama ahlussunnah (Lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, Husnul maqshad fi Amalil Maulid), seperti :
  1. As-Suyuthi dan Ibn Katsir mengatakan: Dia adalah salah seorang raja yang sangat mulia dan penguasa yang sangat bijaksana, dia telah meninggalkan banyak sekali peninggalan yang baik bagi umat, dan dia pula-lah yang telah membangun dan memakmurkan Mesjid Agung al-Mudzaffari di negerinya.
  2. Ibn Khalkan menyebutkan ketikan menerjemahkan riwayat tokoh al-Hafidz Abu al-Khattab Ibn Dahiyah, mengatakan: "Dia adalah seorang ulama besar dan masyhur, datang dari negeri Maroko masuk ke negeri Syam, Irak dan tiba di Arbel tahun 604 H, lalu menghadap kepada rajanya yang dipertuan agung Mudzaffar ad-Din bin Zeineddin, ia melihat raja ini sangat antusias memperingati maulid nabi maka ia-pun menyusun sebuah kitab yang diberinya judul "At-Tanwir fi Maulidi al-Bachir an-Nadzir", lalu membacakannya langsung dihadapan raja dan diberinya imbalan penghargaan 1000 Dinar. (Ad-Dzahabi, Siyaru a'laam an-Nubala, 22/ 336).
  3. Ad-Dzahabi menyebutkan: Dia adalah seorang raja yang rendah hati, sangat mencintai para fuqahaa dan ahli hadits. (Ad-Dzahabi, Siyaru a'laam an-Nubala, 22/ 336)
  4. Ibn Katsir mengaguminya dan mengatakan: Adalah Raja al-Mudzaffar memperingati maulid nabi pada bulan Rabi'ul Awal dengan peringatan yang sangat meriah dan megah, benar-benar dia adalah pemimpin yang sangat berani, patriot sejati, pintar, bijaksana dan adil. (Lihat: Ibn Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, 13/136)
Adapun peringatan maulid secara melembaga pada pemerintahan-pemerintahan Islam, dapat disebutkan sebagai berikut: 
  • Periode Pemerintahan al-Ayyubiyah:
Adalah yang pertama kali memperingati maulid nabi SAWsecara meriah dan besar-besaran pada kesultanan Shalahuddi al-Ayyubi, rajanya yang dikenal: Mudzaffar ad-Din bin Kaukaburi,dia memperingati maulid nabi dengan sangat meriah dan mewah, dengan menbelanjakan dana yang sangat besar dan kebaikan yang melimpah, sampai bisa menghabiskan dana setiap peringatan sebesar 300 ribu Dinar. Dia juga mengundang para tokoh-tokoh ulama sampai ke negeri-negeri tetangga, seperti Baghdad dan Mosshil. Dia memulai persiapan dan undangan dari sejak Muharram hingga Rabiul Awal. Adapun puncak peringatan terkadang tanggal 8 atau 12 Rabiul Awal, tergantung penentuan dari istana... (Lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, Husnul maqshad fi Amalil Maulid).
  • Periode Pemerintahan Otsmaniah:

Para penguasa-penguasa Kesultanan Otsmaniah  sangat menaruh perhatian pada setiap peringatan hari-hari besar Islam termasuk hari maulid nabi SAW, mereka selalu memperingatinya di mesjid-mesjid tertentu yang telah ditetapkan oleh istana setiap tahun. Ketika Raja Abdel Hamid II naik tahta, peringatan maulid di pusatkan di Mesjid al-Hamidi, puncak peringatan digelar pada malam 12 Rabiul Awal, pada momentum resmi itu hadir para tokoh-tokoh politik, pembesar-pembesar negara dan para bangsawan berjejer dipelataran Mesjid lengkap dengan pakaian resmi, atribut dan bintang-bintang jasa di dadanya, menantikan kedatangan raja. 
Apabila raja datang, ia keluar dari istananya dengan menunggang kuda pilihan dengan dilapisi pelana dari emas murni, diikuti oleh iring-iringan yang besar dan mewah. Saat itu di naikkanlah bendera kehormatan, iring-iringan raksasa itu akan melewati tengah-tengah dua barisan tentara kerajaan Otsmani yang gagah perkasa dan dibelakagnya kumpulan dari para undangan dan masyarakat-masyarakat umum. 

Lalu raja memasuki mesjid dan membuka prosesi peringatan, dimulai dengan pembacaan al-Qur'an, ceramah diseputar sejarah keteladanan nabi Muhammad SAW, pembacaan kitab: "Dalaailul Khairaat fis-Shalati 'alaan Nabi", kemudian para ulama mengambil bagian dengan membacakan anasyid dan qashidah-qashidah mereka yang semuanya bertajuk puji-pujian kepada nabi SAW. Selanjutnya, pada pagi hari tanggal 12 Rabiul Awal, berdatanganlah para petinggi dan pejabat negara secara bergantian sesuai jabatan dan pangkat mereka untuk menyampaikan ucapan selamat kepada raja... .(Lihat: Hassan as-Sandubi, Sejarah Peringatan Maulid Nabi sejak dari periode Islam pertama hingga pemerintahan Raja Farouq I, al-Istiqamah Publishing - Cairo, 1948, Hal: 80-86).
  • Penguasa-penguasa Maroko dan Andalousia:
Disebutkan juga para penguasa Kesultanan Maroko dan Andalousia, memberi perhatian khusus peringatan maulid nabi SAW, terutama pada pemerintahan Sultan Ahmed al-Manshur, yang memerintah negeri pada akhir abad ke-10 Hijria. Sultan al-Manshur terakhir ini telah membudayakan peringatan maulid pada periodenya, setiap memasuki bulan Rabiul Awal ia mengumpulkan para muadzin dari segala penjuru Maroko, lalu memerintahkan semua tukang jahit untuk membuatkan busana-busana yang mewah. Maka apabila datang pagi hari maulid nabi, sultan keluar melakukan shalat berjama’ah bersama seluruh masyarakat, kemudian duduk di atas singgasananya, lalu orang-orang susul-menyusul  berdatangan sesuai jabatan dan pangkatnya, jika semuanya sudah duduk maka majulah ulama yang telah ditunjuk untuk menyampaikan uraian maulid dan kemukjizatan nabi besar Muhammad SAW. Setelah itu, bergantian para ulama melantunkan pujian-pujian kepada nabi. Dan terakhir disajikan makanan dan minuman yang berlimpah kepada segenap yang hadir..... (Lihat: Hassan as-Sandubi, Sejarah Peringatan Maulid Nabi sejak dari periode Islam pertama hingga pemerintahan Raja Farouq I, al-Istiqamah Publishing - Cairo, 1948, Hal: 225-234)

Pendapat-pendapat Ulama Ahlussunnah Tentang Peringatan Maulid Nabi SAW.

Sebagian ulama salaf beranggapan memperingati maulid nabi SAW adalah “bid’ah” di dalam agama Islam, yang tidak dikenal oleh para pendahulu mereka. Akan tetapi, di lain pihak terdapat banyak sekali keterangan dari ulama-ulam ahlussunnah yang membolehkan diadakan peringatan maulid nabi tersebut, di antaranya yang paling masyhur, sebagai berikut:
  1. As-Suyuthi mengatakan: Menurut pendapat saya, bahwa perinsif dari memperingati maulid nabi adalah mengumpulkan umat Islam dan membaca sebanyak mungkin dari ayat-ayat al-Qur’an, membacakan riwayat-riwayat yang berhubungan dengan kehidupan rasulullah SAW dan bagaimana peristiwa kelahirannya, kemudian memberikan kepada mereka makanan sekedarnya lalu mereka bubar tanpa melebih-lebihkan dari itu semua, adalah hal “bid’ah yang baik” yang akan diberi ganjaran pahala bagi yang mengerjakannya, karena telah memberikan perhatian istimewa kepada kemuliaan nabi SAW, begitu juga membangkitkan semangat dan rasa kebahagian, serta bergembira dengan kelahiran nabi yang mulia... (As-Suyuthi, Husnul maqshad fi Amalil Maulid, Hal: 4)
  2. Ibn al-Jauzi mengatakan:  Adalah suatu kebanggaan pada tahun itu dan merupakan berita gembira untuk segera meraih kemulian dan keutamaan. (Lihat: Burhanuddin al-Halabi, as-Siratu al-Halabiyah, 1/ 83-84).
  3. Ibn Hajar al-Asqallani, imam as-Suyuthi meriwayatkan: Telah ditanya Syekh al-Islam Hafidz al-Ashr Abu al-Fadl Ibn Hajar tentang peringatan maulid nabi, lalu menjawab: Dasar dari peringatan maulid adalah “bid’ah” yang tidak dilakukan oleh para salaf dari tiga abad pertama, walaupun demikian, mengandung banyak sekali kebaikan daripada tidak melaksanannya, maka barangsiapa memprakarsai suatu perbuatan baik dan menghindar dari hal yang akan berakibat bukuk maka itu adalah “bid’ah yang baik”. Lalu menambahkan, menurut pendapat saya: Kita kembalikan saja kepada perinsif dasar, yaitu sebagaimana tertera di dalam kedua kitab shahih, bahwasanya nabi SAW ketika Beliau pertama kali tiba di Madinah ia mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyuraa maka nabi menanyakan mereka, lalu dijawab oleh mereka mengatakan: Pada hari seperti ini Allah telah menenggelamkan Fir’an ke dasar laut dan menyelamatkan Musa as, maka kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah... Maka  hikmah yang dapat di ambil dari sini, perbuatan mensyukuri Allah atas anugerah yang telah dicurahkan-Nya pada hari tertentu kepada keselamatan orang tertentu, atau menolakkan bencana... Kemudian Ibn Hajar menyambung: Maka nikmat apalagi yang lebih sempurna dari nikmat nabi Muhammad SAW... Nabi rahmat yang telah lahir pada hari itu, maka inilah yang paling pantas dilakukan berhubungan dengan hari maulid itu.... (As-Suyuthi, Husnul maqshad fi Amalil Maulid, Hal: 10).
  4.  As-Sakhawi berpendapat tentang peringatan maulid nabi mengatakan:Memang tidak dilakukan oleh para pendahulu dari tiga abad pertama, akan tetapi tiba-tiba telah menjadi fenomena umum dilakukan oleh umat Islam diseluruh penjuru dunia dan kota-kota besar merayakan peringatan maulid nabi, dan mereka bersedekah pada malam-malam peringatan dengan berbagai pemberian, mereka antusias membacakan sejarah maulid nabi yang mulia, maka sangat nampak atas mereka keberkahan, ketahuilah segala amal mulia pasti berbuah kemulian.... (Al-Halabi, as-Siratu al-Halabiyah, 1/ 83-84).
  5. Ibn al-Hajj al-Maliki mengatakan: Sangatlah pantas jika kita memperbanyak segala bentuk ibadah ketaatan dan kebaikan setiap hari senin tanggal 12 Rabiul Awal, sebagai tanda syukur kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan kepada kita nikmat besar, terutama nikmat yang paling besar adalah kelahiran nabi pilihan Muhammad SAW. Dan menambahkan: Adalah merupakan penghormatan kepada nabi SAW, kita merasa bahagia atas kelahirannya dan merenungkan sejarah kelahiran tersebut.  (Ibn al-Hajj, al-Madkhal 'an Ta'dzimi syahri Rabiil Awwal, 1/ 361) .
  6. Ibn Abidin mengatakan: Ketahilah bahwa salah satu “bid’ah yang terpuji” adalah menyelenggarakan perayaan maulid nabi pada bulan dimana Beliau dilahirkan... Dan menambahkan: Bahwa berkumpul untuk mendengarkan kisah nabi yang penuh dengan mukjizat merupakan salah satu perbuatan pendekatan yang besar karena menelaah riwayat nabi pembawa mukjizat besar itu... (Ibn Abidin: Syarhu Ibn Abin alaa Maulidi Ibn Hajar)
  7. Al-Hafidz Abderrahim al-Iraqi mengatakan: Bahwasanya mengadakan suatu pesta dan memberikan hidangan saja itu boleh dilakukan setiap waktu, maka bagaimana lagi kalau pesta seperti itu disertakan kebahagiaan dan kegembiraan dengan lahirnya sang cahaya rasulullah SAW pada bulan yang mulia seperti ini, tidak perlu mempermasalahkan soal “bid’ah” lalu dibenci, ketahuilah betapa banyak hal-hal “bid’ah” yang menjadi sunnah, nyaris menjadi wajib... (Lihat: Az-Zarqani, Syarhu al-mawahib al-Ladunniyah).
Demikian beberapa pendapat para ulama sunni, pada periode-periode awal, yang membolehka peringatan maulid nabi, dan masih banyak lagi yang lain berpendapat sama yang tidak bisa disebutkan semuanya disini. Adapun ulama-ulama pada periode belakangan yang juga membolehkan peringatan maulid ini, penulis dapat menyebutkan dan memilih tujuh tokoh juga seperti di atas sebagai sampel, sebagai berikut: 
  1. Hasanain Mohammad Makhluf, Syekh al-Azhar as-Syarif, mengatakan: Bahwa memperingati malam maulid nabi dan malam-malam lain di bulan yang mulia ini, yaitu bulan dimana cahaya Muhammad menampak cahaya, itu merupakan zikir kepada Allah SWT dan mensyukuri-Nya atas limpahan nikmat yang telah diberikan kepada umat ini dengan lahirnya sebaik-baik makhluk ke alam nyata....(Hasanain Mohammad Makhluf, Fatawa Syar'iyah wa Buhutsun Islamiyah, 1/ 131).
  2. Muhammad Mutawalli as-Sya'rawi mengatakan: Sebagai penghormatan kepada kelahiran nabi yang mulia ini, maka seyogyanyalah kita menampakkan rasa senang dan kebahagian kita dengan memperingati kekasih yang tercinta ini setiap tahun dengan memperingati kelahirannya pada waktunya.... (As-Sya'rawi, Alaa Maa-idatil Fikril Islami, Hal: 295).
  3. Muhammad Alawi al-Maliki mengatakan: Kami memperbolehkan memperingati mauli nabi yang mulia, memberi makan dan meluangkan kesenangan ke dalam hati umat.... (Muhammad Alawi al-Maliki, Hawlal Ihtifaal bi Zikraa al-Maulid as-Syarif).
  4. Yusuf al-Qardhawi mengatakan: Jika kita bisa mempergunakan kesempatan yang baik ini untuk saling mengingatkan dengan sejarah perjuangan rasulullah SAW dan keteladanan pada diri nabi yag agung ini, begitu juga dengan risalahnya yang kekal dimana dijadika oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi semesta alam, maka apalagi yang bisa dikatakan bid’ah di sini dan dimana sesatnya? (Lihat: http://www.qaradawi.net/site/topics/article.asp?).
  5. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Bouthi mengatakan:Peringatan maulid nabi SAW merupakan aktifitas sosial yang menginginkan kebaikan untuk agama ini, maka sama halnya dengan konfrensi dan nadwa-nadwa keagamaan yang senantiasa diselenggarakan pada masa sekarang, tidak dikenal pada masa-masa yang lalu. Oleh karena itu tidak pantas ditudingkan bid’ah pada perayaan maulid, sebagaimana juga tidak layak disebut bid’ah pada penyelenggaraan konfrensi dan nadwa-nadwa keagamaan. Akan tetapi hendaklah perayaan dan peringatan-peringatan seperti ini terbebas dari segala bentuk kemungkaran... (Lihat: http://www.bouti.com/fatawas.php?).
  6. Ali Jum'ah, Mufti Mesir, mengatakan: Memperingati maulid nabi besar Muhammad SAW merupakan salah satu perbuatan yang besar dan menjadi pendekatan ketaatan, karena merefleksikan kegembiraan dan kecintaan terhadap nabi SAW, sedangkan cinta kepada nabi merupakan perinsif dari pada keimanan... (Ali Jum'ah, al-Bayan Lima Yasyghulul Azhan, 1/ 157).
  7. Wahbah az-Zuhaili mengatakan: Apabila peringatan maulid nabi dimaksudkan hanya sekedar membaca al-Qur’an, merefleksikan akhlak dan budi pekertinya, menyeru kepada manusia senantiasa mengamalkan ajaran Islam dan mensuppor mereka melaksanakan kewajiban serta menegakkan syariat, begitu juga tidak berlebih-lebihan mengagung-agungkan nabi dan tidak mendewakannya, sebagaimana sabda beliau: “Janganlah mendewa-dewakan saya sebagaimana kaum Nashara mendewaka Isa bin Maryam, tetapi katakanlah hamba Allah dan rasul-Nya”. Jika pelaksanaannya seperti ini diaplikasikan dalam bentuk nyata maka bukanlah termasuk bid’ah... (Lihat: http://www.aljazeera.net/Channel/archive/archive?ArchiveId=1085990).
BERSAMBUNG:
Artikel yang berhubungan: 
Karya Penulis:




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!