Jumat, Juli 20, 2012

SEJARAH HISAB DALAM TRADISI IBADAH PUASA UMAT ISLAM

Serial Bulan Sya'ban: Tafsir Ayat-Ayat Puasa (02/ 06)
Menyambut Bulan Suci Ramadhan 1433 H.  (H: -01) 

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
(Dan Barangsiapa Sakit Atau Musafir Maka Menggantikan Puasa Pada Hari-Hari Lain)
Oleh: Med HATTA
Mukaddimah:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات، وبعد! 
Berpuasa Pada Hari-Hari Yang Ditentukan:
Pada kajian yang lalu kita telah mengetahui bahwa Allah SWT mewajibkan puasa kepada umat Islam pada hari-hari yang telah ditentukan (ayyaaman ma'dudaatin), yaitu dari hilal ke hilal berikutnya, yang kemudian dikenal dengan ”as-Syahr" (Bulan). Sebagaimana dalam sebuah hadits nabi SAW "jika terselubung atasmu as-Syahr” (Bulan), yaitu Hilal.

Lalu, Allah mensyariatkan kepada umat terakhir ini pada kondisi tertentu, apabila hilal terselubung oleh mega Matahari atau halangan lain sehingga tidak bisa terlihatnya, maka menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban 30 hari, atau bulan Ramadhan 30 hari, sehingga dapat menjalankan ibadah puasa dengan penuh keyakinan dan keluar dari Ramadhan dengan yakin pula. Allah berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Artinya: “dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka...” (QS: 16: 44).
Teori Hisab Dalam Fiqhi Puasa:
Asli dari melaksanakan ibadah puasa adalah melihat hilal, seperti dalam hadits nabi SAW: (Berpuasalah demi melihat hilal dan akhirilah demi melihatnya, lalu jika terselubung atasmu maka genapkanlah hitungan), pada riwayat lain nabi bersabda: (Jika terselubung atasmu (hilal) maka jadikanlah 30 hari). 

Selanjutnya, adalah Mothraf bin Abdullah bin as-Syakhir, seorang tokoh tabi’in, dan Ibn Quthaibah, seorang pakar Bahsa Arab, keduanya berpendapat bahwa: Hisab bisa juga dipergunakan apabila hilal terselubung oleh sesuatu, yaitu dengan memperkirakan fase-fase bulan dan menerapkannya dalam menentukan puasa Ramadhan, dengan dalil sabda rasulullah SAW: (Jika terselubung atasmu (hilal) maka “perkirakanlah baginya” (keberadaannya), yaitu menjadikan acuan masuknya bulan Ramadhan dengan hasil hitungan fase-fase bulan tersebut. Dan perkirakanlah sempurnanya bulan dengan perhitungan itu, bukan hisab mutlak. 

Kata jumhur (mayoritas) ulama: Maksud dari pada “fa aqdiru lahu” (perkirakanlah baginya), yaitu cukuplanlah hitungannya, sebagaimana telah ditafsirkan oleh hadits Abu Hurairah ra, nabi bersabda: (Maka sempurnakanlah hitungan 30 hari). (Lihat: Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Daarul Fikr, Halaman: 274). 

Sampai disini tidak ada perbedaan di antara ulama dengan adanya dua acuan di atas, yaitu ru’yat dan hisab, keduanya dijadikan media yang paralel untuk menentukan awal Ramadhan, ru’yat sebagai media asli dan hisab menjadi media pendukung pada kondisi tidak dapat melihat hilal, dengan memperkirakan fase-fase hilal dan menyempurnakan hitungan bulan, sehingga dengan demikian umat Islam memasuki bulan Ramadhan dengan yakin dan keluarnya pun dengan keyakinan yang sama. 

Kemudian datang kelompok ketiga, mereka menyetir hadits nabi “fa aqdiru lahu” (perkirakanlah fase-fase bulan), kata ad-Daudi kami tidak mengenal seorang pun dari tokoh pendapat ini kecuali hanya beberapa kelompok tertentu dari pengikut Syafi’i, yang terpengaruh dari perkataan ahli perbintangan, dan hasil hisab mutlak mereka dijadikannya sebagai dasar hukumnya. Ibn Nafi’ mengomentari kelompok ini dari Imam Malik pada Bab al-Imam mengatakan: Kelompok ini tidak mendasari puasa dengan melihat hilal dan tidak mengakhirinya dengan melihat hilal, tetapi mereka berpuasa atas dasar hisab mutlak tersebut, sesungguhnya mereka tidak bisa dijadikan panutan dan tidak bisa diikuti. 

Kata Ibn al-Arabi: Sungguh telah keliru sebahagian sahabat kita yang mengaku dari pengikut Syafi’i, yang mengatakan: Hisab mutlak menjadi dasar masuknya Ramadhan, yaitu keterpaksaan yang tidak memiliki dasar yang memadai... 

Oleh karena itu, pendapat ini mengambil jalannya sendiri dan tidak mendapatkan perhatian khusus dari ulama fiqhi, termasuk empat imam besar mazhab fiqhi Islam. Meskipun beberapa kali ada yang berusaha mengangkat kembali dan mengaikatnya kepada firman Allah dari surah Yunus, ayat ke-5. Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)...” (QS: 10: 5).
Ayat ini jelas sekali bercerita tentang klender perhitungan tahun, yang di dalam ayat lain ditafsirkan al-Qur’an sebagai 12 bulan, Allah berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram...” (QS: 09: 36).
Kembali lagi, ayat ini tidak bisa dipakai untuk membenarkan teori “Hisab mutlak” dalam menentukan puasa wajib. Karena ayat perintah puasa diturunkan secara “muhkam”, sangat jelas kreteria dan syarat-syaratnya, yaitu: "أياما معدودات" (Hari-hari yang telah ditentekan); "شهر رمضان" (pada bulan Ramadhan); "فمن شهد منكم الشهر فليصمه", nabi menafsirkan: (Berpuasalah dengan melihat hilal dan akhirilah dengan melihahatnya); yaitu dari hilal ke hilal. Penulis masih akan membahas ini nanti. Sekarang ingin melanjut tafsir Ayat-Ayat Puasa berikutnya.
Lanjutan Tafsir Ayat-Ayat Puasa:
Allah berfirman:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (١٨٥)". وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (١٨٦) أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (١٨٧)
Artinya: "dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”; dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran; Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS: 2: 185-187). 

Keringanan Tidak Berpuasa Bagi Orang Sakit dan Musafir:
 Allah berfirman:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: "dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain....” 
Ibadah puasa adalah ibadah fisik secara utuh yang memerlukan stamina prima dan kesehatan jasmania yang stabil, bila seseorang menderita penyakit tertentu maka jangankan untuk menahan lapar dan haus, menanggung rasa nyeri dan sakit-sakit di tubuh saja sudah sangat berat sekali. Belum lagi ia dianjurkan harus banyak makan dan minum untuk memulihkan kesehatan, begitu juga harus meminum obat atau suplemen-suplemen tertentu guna meringankan rasa sakitnya. Oleh karena itu diberikan keringanan untuk tidak berpuasa agar bisa sembuh secepat mungkin dan memulihkan kembali kesehatannya, kemudian meneruskan puasa Ramadhan yang masih tersisa sampai hari lebaran. 

Khusus bagi orang musafir atau bepergian dalam jarak dan tingkat kesusahan tertentu, yang memerlukan energi ekstra dari ransum makan dan minum untuk mengarungi sebuah perjalanan berat, maka diberikan keringan pula tidak berpuasa selama dalam perjalanannya, sampai ia menetap atau pulang kembali ke negeri asalanya untuk meneruskan puasa Ramadhannya yang tersisa sampai hari lebaran. 

Dewasa ini, dengan kemajuan teknologi yang dicapai manusia terutama dibidang transportasi (darat, laut dan udara), maka bisa dipastikan bahwa manusia sekarang tidak akan mengalami kesusahan lagi dalam berbagai perjalan seperti pada masa dahulu kala di jaman onta. Khususnya perjalanan via pesawat terbang, kini hanya duduk manis di seat masing kita sudah sampai ke pelosok paling ujung dunia yang kita tuju. Nah, dengan kemajuan transportasi udara ini apakah kemudahan berbuka (tidak puasa) yang diberikan al-Qur’an itu masih berlaku bagi orang musafir? 

Hemat penulis, ada beberapa hal baru yang harus dicermati lagi selain apa yang telah disepakati para fuqahaa terdahulu, seperti menuntukan jenis perjalanan tingkat kesusahan, dan jarak tertentu. Maka yang harus ditambahkan saat ini adalah durasi/ waktu tempuh dan perbedaan jam lokal setiap daerah tujuan, misalnya:
  • Perjalanan Jakarta – London: (Waktu tempuh 16 jam pesawar – Perbedaan Waktu (+) 7.00 Jam), jika diasumsikan berangkat dari Jakarta jam 05.00 WIB (habis Sahur) + 16 jam durasi perjalanan, maka kita akan sampai tujuan persis pada pukul 21.00 WIB, atau pukul 14.00 GMT (Waktu lokal London), itu artinya kita masih harus menunggu minimal 2 jam lagi baru akan memasuki waktu Magrib, atau setelah kita berpuasa panjang selama 18 jam, sedangkan normalnya orang berpuasa adalah 12 jam. Tentu sangat berat dan disarankan boleh berbuka puasa.
  • Perjalanan Jakarta – New York: (Durasi tempuh via pesawat udara 18 jam – Perbedaan Lokal Waktu (-) 11.00 jam, jika diasumsikan Take-off dari CKG-Jakarta padahari Sabtu, jam 05.00 WIB (habis Sahur) + 18 jam perjalanan, maka kita akan sampai tujuan pada 23.00 WIB atau pukul 12.00 Waktu NY, itu artinya kita masih harus menambah minimal 4 jam lagi untuk berbuka puasa hari Sabtu, sedangkan di Jakarta orang sudah memulai puasa baru untuk hari Minggu. Atau kita berpuasa sangat panjang sekali tetapi tidak menambah jumlah hari puasa kita, atau juga berpuasa seperti tidak berpuasa. Ini sangat berat dan lebih baik berbuka puasa saja.
Menggantikan Puasa Yang Ditinggalkan Dalam Bulan Ramadhan:
Dua kasus yang diberikan oleh al-Qur’an keringan berbuka (tidak puasa) di atas, yaitu sakit dan musafir, keduanya diwajibkan menyempurnakan puasa yang tersisa di bulan Ramadhan dan menggantikan puasa sebanyak ia tinggalkan pada hari-hari lain di luar Ramadhan. Kecuali ada beberapa kasus penderita sakit tertentu yang tidak diwajibkan mengganti tetapi dibayar dengan fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin selama bulan puasa. Kasus-kasus ini sudah dijelaskan pada tafsir ayat  ke-185 sebelumnya (Lihat kembali). Selanjunya, firman Allah:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..." 
Yaitu, karena puasa merupakan ibah fisik secara utama seperti telah dijelaskan di atas, dan Islam juga sudah menjamin hak asasi pemeluknya, yaitu tidak memberikan beban sesuatu yang tidak kuasa dilaksanakannya. Maka meskipun ibadah puasa itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat, tetapi pada situasi dan kondisi-kondisi tertentu seperti sakit dan musafir yang disebutkan dalam ayat, dibolehkan tidak berpuasa dan menggantikan sebanyak yang ditinggal itu di luar Ramadhan, atau pada kasus tertentu tidak diwajibkan mengganti dengan puasa tetapi cukup membayar fidyah saja. Sudah dijelaskan pada kajian lalu.

Oleh karena itu, Allah berfirman:  "Allah menghendaki kemudahan bagimu", yaitu kemudahan tidak wajib berpuasa untuk beristirahat dan makan-minum yang cukup agar kamu lekas sembuh dan pulih kesehatanmu bagi orang sakit. Dan ayat al-Qur'an juga mengatakan: "dan tidak menghendaki kesukaran bagimu", yaitu: Jika kamu menyaksikan hilal Ramadhan lalu kamu ingin mengadakan perjalan panjang di bulan itu, selama perjalanan itu untuk ketaatan, kemaslahatan, mempunyai tujuan mulia, dan tidak untuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka pergilah dan tidak dipersulit bagimu untk berbuka (tidak puasa), tetapi menggantikannya setelah itu.

Bisa juga ditafsirkan: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...", yaitu bagaimana pun kondisimu wahai umat Muhammad, niscaya kesempatan memperoleh janji Allah berupa pahala besar berpuasa Ramadhan itu akan diberikan kepada kamu. Jika kamu sedang sakit dan musafir maka diberikan kemudahan bagimu berbuka, dan dibukakan kesempatan lain untuk mengganti puasa dan meraih pahala yang telah dijanjikan itu tanpa dipersukar dan dikurangi pahalanya sedikit pun. Wallahua'lam.
Bersambung ke: Tafsir Ayat-Ayat Puasa Berikutnya-----
Kajian yang Lalu:
Artikel yang berhubungan:
  1. Isra' - Mi'raj Ke Elle SalewoE Bersama H. Jamalu
  2. Isra'-Mi'raj Melumpuhkan Sistem Digital
  3. Kelahiran Nabi SAW Menciptakan Peradaban Baru Umat Manusia
  4. Maulid Nabi SAW dan Sejarah Perjuangan
  5. Al-Qur'an Kampanye Anti-Miras
  6. Silsilah Para Nabi, Rasul dan Bangsa-Bangsa Dunia
  7. Bumi Allah Amat-lah Luas Berhijrah-lah
  8. 1 Jam Dimurka Gurutta Ambo Dalle
  9. Seorang Muhajir Fakir 
Karya Terbaru Penulis:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!