Rabu, Februari 26, 2020

DUKUNG GURUTTA AMBO DALLE SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL 2020:


AGKH. ABDURRAHMAN AMBO DALLE SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL
Oleh: Tim Pengusul CPN

Anregurutta Kiai Haji (AGKH) Abdurrahman Ambo Dalle adalah pahlawan dari segala definisinya. Ia membangun gerakan pendidikan untuk merespon kelangkaan pendidikan akibat penjajahan. Gurutta Ambo Dalle, sebagaimana panggilan akrabnya, memulai gerakannya dengan mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Mangkoso tahun 1938, dan dari MAI Mangkoso mengilhami berdirinya cabang-cabang MAI lainnya di beberapa daerah potensial di Sulawesi Selatan, yang kelak diintegrasikan ke dalam sebuah organisasi besar yang didirikannya pada kemudian hari.


Pada tahun 1947, AGKH. Abdurrahman Ambo Dalle bersama beberapa tokoh ulama Ahlussunnah wal-Jama’ah (Aswajah) Sulawesi Selatan membangun organisasi Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI) untuk memayungi gerakannya tersebut. Pendirian pertama kali organisasi DDI dilakukan di Soppeng melalui musyawarah tertutup alim ulama Aswajah Sulawesi Selatan, yang dikemas dalam suatu peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW pada 16 Rabiul Awal 1366 H/08 Februari 1947 M. Hal itu dilakukan karena wilayah Sulawesi Selatan pada saat itu berada dibawah tekanan agresi dan kekejaman Belanda (westerling).

Gurutta Ambo Dalle mampu melakukan gerakan yang spektakuler itu tentu tidak mudah, tetapi membutuhkan keberanian, tekad, totalitas pengabdian untuk agama, bangsa dan masyarakat (umat). Pada masanya DDI, bisa disebut sebagai salah satu pilar pendidikan nasional, yang hingga kini telah memiliki 741 lembaga pendidikan yang inpenden, di antaranya 61 Pondok Pesantren, 19 Perguruan Tinggi, 95 Madrasah Aliyah/SMA/SMK/sederajat, 181 Madrasah Tsanawiyah/SMP/sederajat, 206 Madrasah Ibtidaiyah/SD/sederajat, dan sekitar 215 Madrasah RA/BA/TA UMDI, serta Madrasah Diniyah lainnya, yang tersebar di 57 Kota/Kabupaten pada 15 Provensi se-Indonesia.

Persoalan yang paling fenomenal di era Orde Baru ialah pertentangan keras antara kaum ektrimis Islam yang disebut ekstrim kanan dan pihak penyelenggara negara yang setia pada ideologi Pancasila, yang waktu itu diemban oleh Golongan Karya (GOLKAR).  Hampir setiap program pemerintah pada zaman itu selalu terkendala denga paham keagamaan yang sempit dan cenderung ekstrim di bidang politik, dan kehidupan sosial. Namun sebagai ulama Kharsimatik, Gurutta Ambo Dalle berhasil membantu tegaknya program pembangunan nasional dengan meredam kelompok-kelompok ekstrim kanan. Keberanian Gurutta Ambo Dalle bergabung dengan GOLKAR sebagai satu-satunya kekuatan politik nasionalis waktu itu sangat fenomenal dan berhasil membungkam para ulama dan tokoh berpaham keras yang kadang beroposisi terhadap pemerintah NKRI. Gurutta Ambo Dalle pun pernah duduk sebagai anggota MPR RI mewakili Sulawesi Selatan.

Ketika Pemerintah berencana membentuk suatu lembaga Islam yang mewakili kepentingan umat Islam Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Majelis Ulama Indonesia (MUI), Gurutta Ambo Dalle diundang oleh Presiden melalui Kementerian Agama RI untuk menyukseskan deklarasi berdirinya MUI pada tahun 1975 di Jakarta, dan Gurutta Ambo Dalle duduk sebagai salah seorang anggota pleno pertama MUI mewakili Indonesia bagian Timur.

Gurutta Ambo Dalle memang tidak pernah memanggul senjata berhadapan langsung melawan penjajah, namun perlawanan yang diberikannya melalui wadah pesantren dan madrasah/sekolah yang dibinanya berhasil memotivasi masyarakat luas untuk melawan mengusir penjajahan. Akibatnya, Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso yang didirikannya sebagai cikal bakal Pesantren DDI, bersama Andi Dagong Petta Soppeng Riaja selalu diintai oleh penjajah, terutama di zaman Jepang. Guruta Ambo Dalle pun terpksa memindahkan kegiatan belajar-mengajar untuk sementara di masjid dan di rumah-rumah tempat tinggal ustadz-nya. Kaca jendela, atap dan pintu diperintahkan dicat hitam, guna menghindari pantauan pasukan dan mata-mata Jepang.  Salah satu upaya Gurutta Ambo Dalle untuk mengelabui Jepang terhadap MAI ialah mengarang lagu-lagu Bugis yang iramanya mirip dengan lagu Kebangsaan Jepang, dan lagu berbahasa Arab untuk membangkitkan semangat perjuangan santri-santrinya.

Namun, keadaannya lebih parah ketika pasukan sekutu menyerbu Sulawesi Selatan dan menaklukkan pasukan Jepang. Kekhawatiran semakin menghantui pimpinan, guru dan para santri MAI.  Keganasan tentara Belanda di bawah pimpinan Westerling yang membonceng sekutu semakin keras dialamai oleh warga Sulawesi Selatan, termasuk pimpinan, guru dan santri MAI pimpinan Gurutta Ambo Dalle di Mangkoso Soppeng Riaja. Walaupun Gurutta Ambo Dalle luput dari penangkapan dan siksaan Balanda, tetapi ada sejumlah guru dan santri-santri MAI yang mengalami siksaan Belanda, bahkan sampa ada tewas merenggang nyawa, di antaranya gugur itu ialah M. Shaleh Bone dan Sofyan Toli-toli, yang ditugaskan mengajar pada cabang MAI di Majene. Dampaknya ialah tekad melakukan perlawanan terhadap penjajah, semakin merebak ke segenap warga MAI, mulai dari pimpinannya, guru-guru sampai pada santrinya bersama masyarakat luas.

Kharisma Anregurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle membuat sosok pribadinya dihormati oleh Presiden Soeharto, Wakil Presiden Soedharmono, Tri Sutrisno dan B.J. Habibie, dan disegani oleh para pimpinan Daerah di Sulawesi Selatan, mulai dari Gubernur, Panglima, Polres, Dandim, Walikota/Bupati dan sebagainya, khususnya para pejuang angkatan 45. Ketika Laskar Pejuang Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Pulau Jawa, mereka memohon dukungan spiritual/restu dari Gurutta Ambo Dalle. Begitupun setelah kembali dari Jawa, dalam persiapan melakukan konferensi kelaskaran di Paccekke Barru, 20 Januari 1947, berdasarkan mandat dari Panglima Besar Jenderal Sudirman, mereka pun memohon dukungan Gurutta Ambo Dalle. Diketahui kemudian, dari konferensi kelaskaran tersebut lahirlah Divisi TRI Sulawesi Selatan/Tenggara (Sulselra) sebagai embrio Kodam XIV Hasanuddin (kini Kodam VII Wirabuana).

Anregurutta KH. Ambo Dalle melalui ormas dan pesantren-pesantren DDI telah berhasil melahirkan ulama-ulama besar kaliber Nasional dan Internasional, seperti Prof. KH. M. Ali Yafi, Mantan Ketua MUI dan mantan Rois Aam (Ketua Umum) Syuriah PB NU di era Gus Dur; Dr. HC. KH. M. Sanusi Baco, Lc, Rais Syuriah PW NU, merangkap Ketua Umum MUI Sulawesi Selatan sejak 1995-sekarang. Prof. Dr. KH. Muhammad Faried Wajedy, MA., Pimpinan Pesantren DDI Mangkoso; Prof. Dr. KH. Andi Syamsul Bahri Galigo, MA., Ketua Umum PB DDI periode 2015-2020; Drs. KH. Helmi Ali Yafie, Praktisi LSM dan Sekjend PB DDI 2015-2020; Prof. Dr. Muhammadiyah Amin, Dirjen Bimas Islam Kemenag RI Pusat Jakarta; Prof. Dr. Hamka Haq, Anggota DPR RI 2014-2019 dari Partai PDI-P; Prof. Dr. KH. Abd. Rahim Arsyad, MA., Pimpinan Pesantren DDI Ujung Lare Parepare.

Dan tentu tidak terlupakan ulama-ulama generasi pertama jebolan DDI seperti KH. Muhammad Amberi Said (Alm), yang membesarkan pesantren DDI Mangkoso; KH. Abdurrahman Matammeng (Alm), yang berjasa membesarkan ormas dan pesantren DDI di Makassar; KH. Muh. Abduh Pabbaja (Alm), yang berjasa membesarkan ormas dan pesantren DDI di Pare-Pare; KH. Muhammad Amin Nasir (Alm), perwakilan DDI di Jakarta; Dr. KH. M. Shabir Bugis, perwakilan DDI di Jeddah – KSA; Prof. Dr. KH. Abdul Muiz Kabry (Alm), yang membesarkan Ormas DDI; Dr. KH. M. Ali Rusdy Ambo Dalle (Alm), putra biologis Gurutta Ambo Dalle, yang (juga) berjasa membesarkan organisasi DDI; KH. Haruna Rasyid (Alm), KH. Muhammad Yusuf Hamzah (Alm); KH. Mahmud Fasih (Alm) dan istrinya Hj. Hafsah (Almh), yang mengembangkan beberapa cabang DDI di luar Sulawesi Selatan, bahkan sampai ke negeri tetangga Malaysia; Begitu pula KH. Muhammad Arib Mustary (Alm) dan Istrinya Hj. Zainab (Almh), yang juga suami-istri berjasa mengembangkan beberapa cabang DDI di luar Sulawesi; Drs. KH. Jamaluddin Semmang, BA (Alm), yang banyak waktunya dihabiskan mendampingi safari Dakwah Anregurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle; Dr. KH. M. Yunus Samad, Lc (Alm), yang banyak berjasa mengembangkan organisasi DDI; Dan tentu tidak ketinggalan KH. Abdul Wahab Zakariyah, Lc., MA (Alm), ulama DDI asal Pulau Madura yang mempunyai andil besar mengembangkan Pesantren putra DDI TonrengE Mangkoso.

Serta nama-nama ulama besar di Sulawesi lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Bahkan tidak berlebihan dikatakan bahwa segenap ulama sepuh di Sulawesi Selatan (khususnya) yang masih aktif sekarang adalah jebolan-jebolan pesantren DDI yang berpusat di Mangkoso dan Parepare.   Bahkan umumnya ulama generasi sekarang, dan sejumlah besar pejabat daerah di wilayah Sulawesi Selatan dan Barat adalah pernah mengenyam pendidikan di pesantren dan atau madrasah/sekolah DDI.

Banyak tokoh nasional dan ulama mendapat gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia karena jasanya di bidang pendidikan, semisal Rahmah El Yunusiah di Padang Panjang yang mendirikan Madrasah Diniyah Putri. Ada juga yang karena berjasa mendirikan organisasi besar seperti Lafran Pane, yang merupakan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Jika hal-hal tersebut menjadi dasar penganugerahan Pahlawan Nasional, maka tentu AGKH. Abdurrahman Ambo Dalle sangat memenuhi syarat tersebut, karena beliau menggambungkankan dua ekspektasi besar itu, yakni berhasil mempelopori berdirinya lembaga pendidikan sistem madrasah/sekolah dengan jumlah yang fantastis seperti disebutkan di atas, dan juga merupakan pendiri ormas besar Daru Da’wah wal Irsyad (DDI). Prestasi AGKH. Abdurrahman Ambo Dalle itu sejatinya dapat sejajarkan dengan KH. Ahmad Dahlan pendiri ormas Muhammadiyah berpusat di Yogyakarta, yang juga memiliki sekolah dan Perguruan Tinggi sekian banyak, juga sama dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri ormas Nahdhatul Ulama (NU) berpusat di Jawa Timur yang juga membina madrasah sekian ratus jumlahnya.

Perjuangan Anregurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle bukan bentrok senjata berperang melawan penjajahan, tetapi melahirkan (mendidik) para pejuang, dan yang paling jelas, dengan gerakan pendidikannnya, merespon diskriminasi dan ketidak adilan dari penjajah. Karena itu (semua apa yang dilakukan itu). Maka AGKH. Abdurrahman Ambo Dalle perlu dikukuhkan (diakui) oleh negara sebagai pahlawan nasional. Anregurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle diakui keberadaannya, secara nasional sebagai pahlawan nasional. Anregurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle diberikan penghargaan oleh negara sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, yang telah memberikan segenap jiwa raganya untuk membangun karakter dan mencerdaskan anak bangsa.

1 komentar:

Salam!