Sabtu, Maret 07, 2020

ALASAN USUL GELAR PAHLAWAN NASIONAL AGKH. ABD RAHMAN AMBO DALLE:


*Seminar Nasional Pengusulan Penganugerahan Gelar
Pahlawan Nasional kepada CPN AG.KH. Abd Rahman Ambo Dalle
*Catatan Pandangan/Pendapat Orang dan Tokoh Masyarakat
Tentang Kepahlawanan Anregurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle

GURUTTA AMBO DALLE PANTAS DINOBATKAN SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL
Oleh: Prof. Dr. H. Hamka Haq Al-Madry, MA

Banyak tokoh nasional mendapat gelar Pahlwan Nasional karena jasanya di bidang pendidikan, misalnya Rahmah El Yunusiah di  Padang Panjang yang mendirikan Madrasah Diniyah Putri.   Ada juga yang karena berjasa mendirikan organisasi besar seperti Lafran Pane, yang merupakan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).   Jika hal-hal tersebut menjadi dasar, maka AGKH. Abd Rahman Ambo Dalle (Baca: Gurutta Ambo Dalle) tentua jauh lebih memenuhi syarat, karena beliau menggabungkan dua jasa besar itu, yakni berhasil mempelopori pendidikan sistem sekolah dan juga merupakan pendiri ormas besar Daru Da’wah wal Irsyad (DDI).  Kedudukan beliau sama dengan K.H. Ahmad Dahlan pendiri ormas Muhammadiyah berpusat di Yogyakarta, yang juga memiliki sekolah dan Perguruan Tinggi sekian banyak, juga sama dengan K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri NU berpusat di Jawa Timur yang juga memmbina Madrasah sekian ratus jumlahnya. 

Keberhasilan Gurutta Ambo Dalle mendirikan ormas Islam DDI dan memimpinnya selama hayatnya ditandai dengan meluasnya cabang-cabang DDI di seluruh pelosok Indonesia, terutama di Sulawesi, Kalimantan, Papua dan Sumatera. Hampir semua perkampungan Bugis Makassar di pulau-pulau tersebut terdapat cabang-cabang ormas DDI.

Sedangkan kemajuan di bidang pendidikan selain tiga pesantren terbesar DDI Mangkoso, Pare-pare dan Kaballangan Pinrang, terdapat puluhan cabang-cabang pesantren lainnya. Dalam pesantren-pesantren yang tersebar itu terdapat Madrasah PAUD, Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP) dan Aliyah (SMA/SMK) yang jumlahnya tidak kurang dari 700 unit Madrasah/Sekolah.   Sementara Peguruan Tinggi DDI telah mencapai 22 unit. Perlu dicamkan bahwa alumni Madrasah Aliyah DDI Mangkoso dan Pare-Pare merupakan perintis pertama di Indonesia berlakunya “mu’adalah” (kesetaraan) dengan alumni Madrasah Aliyah Mesir, sehingga alumni DDI dapat langsung diterima kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir. 

Persoalan yang paling seru di era Orde Baru ialah pertentangan keras antara kaum ektrimis Islam yang disebut ekstrim kanan dan pihak penyelenggara Negara yang setia pada ideologi Pancasila, yang waktu itu diemban oleh Golongan Karya.  Hampir setiap program pemerintah di zaman itu selalu terkendala denga paham keagamaan yang sempit dan cenderung ekstrim di bidang politik, dan kehidupan sosial.  Namun sebagai ulama Kharsimatik, Gurutta Ambo Dalle berhasil membantu tegaknya program pembangunan nasional dengan meredam kelompok-kelompok ekstrim kanan.   Keberanian beliau bergabung dengan GOLKAR sebagai satu-satunya kekuatan politik nasionalis waktu itu sangat fenomenal dan berhasil membungkam para ulama dan tokoh berpaham keras yang kadang beroposisi terhadap pemerintah NKRI.   Beliau pun pernah duduk sebagai anggota MPR RI mewakili Sulawesi Selatan.

Ketika Pemerintah berencana membentuk suatu lembaga Islam yang mewakili kepentingan umat Islam Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Majelis Ulama Indonesia (MUI),  Gurutta Ambo Dalle diundang oleh Presiden via Menteri Agama untuk menyukseskan deklarasi berdirinya MUI pada tahun 1975 di Jakarta, dan masuk sebagai salah seorang anggota pleno pertama MUI mewakili Indonesia bagian Timur.

Gurutta Ambo Dalle, munggkin tidak pernah memanggul senjata berontak melawan penjajah, namun  perlawanan yang diberikannya melalui wadah Pesantren dan madrasah yang dibinanya sangat memotivasi masyarakat luas untuk berontak menentang penjajahan.    Akibatnya, Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) yang didirikannya sebagai cikal bakal Pesantren DDI Mangkoso, bersama Andi Dagong Petta Soppeng Riaja selalu diintai oleh penjajah, terutama di zaman Jepang. Guruta Ambo Dalle pun terpksa memindahkan kegiatan belajar-mengajar untuk sementara di masjid dan di rumah-rumah tempat tinggal ustadz-nya.  Kaca jendela, atap dan pintu terpaksa dicat hitam, guna menghindari pantauan pasukan dan mata-mata Jepang.  Salah satu upaya Ambo Dalle untuk mengelabui Jepang terhadap MAI ialah mengarang lagu-lagu Bugis yang iramanya mirip dengan lagu-lagu Jepang.   Namun, keadaannya lebih parah ketika pasukan Sekutu menyerbu Sulsel dan menaklukkan pasukan Jepang.  Kekhawatiran semakin menghantui pimpinan, guru dan para santri MAI.  Keganasan tentara Belanda di bawah pimpinan Westerling yang membonceng Sekutu semakin keras dialamai oleh warga Sulsel, termasuk pimpinan, guru dan santri MAI pimpinan Gurutta Ambo Dalle di Mangkoso Soppeng Riaja.  Walaupun Gurutta Ambo Dalle luput dari penangkapan dan siksaan Balanda, ada sejumlah guru MAI yang mengalami siksaan Belanda, bahkan tewas, di antaranya ialah M. Shaleh Bone dan Sofyan Toli-toli, yang ditugaskan mengajar pada cabang MAI di Majene.  Dampaknya ialah tekad melakukan perlawanan terhadap penjajah, semakin merebak ke segenap warga MAI, mulai dari pimpinannya, guru-guru sampai pada sanrinya bersama masyarakat luas. 

Kharisma Gurutta Ambo Dalle membuat sosok pribadinya dihormati oleh Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Soedharmono, Tri Sutrisno dan B.J. Habibie,  serta  disegani oleh para pimpinan Daerah Sulsel, khususnya para pejuang angkatan 45.  Ketika laskar pejuang Sulsel yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa, mereka memohon dukungan spiritual restu Gurutta Ambo Dalle.  Begitupun sekembali dari Jawa, dalam persiapan melakukan konferensi kelaskaran di Paccekke Barru, 20 Januari 1947, berdasarkan mandat dari Panglima Besar Sudirman, mereka pun memohon dukungan spiritaulitas dari Gurutta Ambo Dalle.   Diketahui, dari konferensi kelaskaran tersebut lahirlah Divisi TRI Sulawesi Selatan /Tenggara (Sulselra)sebagai embrio Kodam XIV Hasanuddin (kini Kodam VII Wirabuana).

Guutta Ambo Dalle melalui ormas dan Pesantren DDI telah berhasil melahirkan ulama-ulama besar tingkat Nasional dan Daerah Sul-Sel.   Pada tingkat Nasional, adalah Prof. K.H. Ali Yafi,  Mantan Ketua MUI dan mantan Rois Am (Ketua Umum) Syuriah PB NU di era Gus Dur.  Juga K.H. Dr. HC. M. Sanusi Baco, salah satu Rais Syuriah PB NU sekarang merangkap Ketua Umum MUI Sul-Sel sejak 1995-sekarang.  Tak terlupakan ulama generasi pertama K.H. Abdurrahman Matammeng yang berjasa membesarkan ormas dan pesntren DDI di Makassar, dan K.H. Muh. Abduh Pabbaja yang berjasa membesarkan ormas dan pesantren DDI di Pare-Pare.   Dapat dipastikan bahwa segenap ulama sepuh di Sul Sel yang masih hidup sekarang adalah generasi kedua dari pesantren DDI yang berpusat di Mangkoso dan Pare-pare.   Bahkan segenap ulama generasi sekarang, dan sejumlah besar pejabat daerah adalah pernah mengenyam pendidikan di pesantren dan atau sekolah / madrasah DDI.   Terimakasih.

Jakarta 16 Februari 2020

Hamka Haq




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!