Rabu, Juli 11, 2012

PUASA RAMADHAN MEMBATALKAN HUKUM PUASA SEBELUMNYA

Serial Bulan Sya'ban: Tafsir Ayat-Ayat Puasa (02/ 04)
Menyambut Bulan Suci Ramadhan 1433 H.  (H: -10)


“KEWAJIBAN PUASA BULAN SUCI RAMADHAN”
Oleh: Med HATTA
Mukaddimah:

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات، وبعد!

Hukum Puasa Ramadhan:
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (Lihat: Kajian Sebelumnya: PUASA DAN KEUTAMAAN BULAN SUCI RAMADHAN), Allah berfirman pada (QS: 02: 183): 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu...”   

Yaitu menyerukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini dan memerintahkan mereka berpuasa: Menahan dari makan, minum dan berhubungan suami-isteri, dengan niat tulus kepada Allah SWT. Sebagai sarana pembersihan jiwa, merefresh dan mensucikannya dari perbuatan buruk dan akhlak yang tercela.


Disebutkan, bahwa sebagaimana puasa diwajibkan kepada umat Islam, maka telah diwajibkan pula kepada umat-umat terdahulu sebelumnya, sebagai suri teladan yang baik. Oleh karena itu hendaklah umat Islam melaksanakan kewajiban ini sesempurna mungkin lebih dari apa yang telah dikerjakan oleh bangsa-bangsa sebelumnya, sebagaimana dalam firman Allah:
Artinya: “untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan....” (QS: 05: 48). 

Dengan demikian, maka hukum puasa Ramadhan bagi umat Islam adalah WAJIB, sebagaimana juga puasa telah menjadi kewajiban bagi bangsa-bangsa terdahulu. Karena puasa merupakan rukun penting bagi semua agama-agama dunia.
Puasa Ramadhan “Wajib Mutlak” dan Puasa Sebelumnya Menjadi “Sunnah Ketaatan”:
Allah berfirman dalam surah al-Baqarah: 184-185:
  • أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٤)،  شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (١٨٥)".
Artinaya:
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu, maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui;  (QS: 2: 184)
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS: 2: 185). 

Pada ayat yang lalu, al-Qur’an telah mengkonfirmasikan kepada kita bahwa ritual puasa adalah ibadah wajib bagi setiap agama-agama besar dunia, karena di dalam ritual puasa terdapat faktor pembersihan jasmani, penjernihan jiwa dan meminimalisir upaya gangguan setan. Sebagaimana dalam sebuah hadits nabi SAW bersabda: 
(Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu telah mampu maka hendaklah menikah, dan barang siapa yang belum sanggup maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah perisai)
Kemudian, pada ayat kajian di atas turun memberikan keputusan final terhadap hukum puasa, penulis dapat menyimpulkan kepada dua hal pokok: Pertama, Puasa Ramadhan ditetapkan sebagai wajib mutlak, sekaligus mengamendemen status wajib bagi puasa-puasa umat terdahulu; kedua, menjadikan puasa-puasa terdahulu sebagai puasa sunnah ketaatan kepada Allah SWT, sebagai penjelasan berikut:
PERTAMA: Puasa Ramadhan Wajib Mutlak:
Allah berfirman:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ .....
Artinaya: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu......” 

Ayat ini secara khusus mendiskripsikan puasa wajib bagi umat Islam yang membedakan dengan puasa-puasa sebelumnya, yaitu tidak dilakukan setiap hari supaya tidak menyiksa diri sehingga berat menanggung dan susah mengerjakannya. Tetapi dalam beberapa hari yang tertentu saja. Selanjutnya, “beberapa hari yang tertentu” itu dijelaskan pada ayat berikutnya, Allah berfirman: 

شَهْرُ رَمَضَانَ .......
Artinaya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan....” 

Telah dijelaskan bahwa pada awal Islam, para “awwalunas sabiqun” (pendahulu) mengerjakan puasa tiga hari setiap bulan, kemudian hukum itu diamendemen dengan puasa Ramadhan.  (Lihat: Hadits-hadits: Mu’az, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, ‘Athaa, Qatadah, ad-Dhahhak dan Ibn Muzahem). Dan menambahkan: Kewajiban puasa tiga hari itu berlangsung dari masa nabi Adam as, sampai diamendemen dengan puasa bulan Ramadhan.
KEDUA: Ritual Puasa-Puasa Terdahulu (sebelum Islam):
Ditetapkan sebagai puasa sunnah ketaatan kepada Allah SWT, karena mengandung banyak manfaat terhadap jasmani dan rohani. Banyak sekali hadits nabi SAW yang menegaskan bahwa beliau tidak pernah berhenti melaksanakan puasa “Asyuraa” setiap tahun, bahkan dalam salah satu riwayat hadits nabi SAW bersabda: “Kalau saya masih berumur panjang sampai tahun berikutnya, saya akan menganjurkan puasa sehari sebelum “Asyuraa” dan sehari sesudahnya...” 

Nabi SAW juga tidak kurang dari 8 kali berpuasa setiap bulan selain Ramadhan, yaitu puasa Senin dan Kamis. Ada bulan-bulan tertentu juga beliau memperbanyak puasanya seperti pada bulan Sya’ban. Wallahua’lam!
Hukum-Hukum Dalam Pelaksanaan Puasa Ramadhan:
Allah berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٤)
Artinaya: “maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui;  (QS: 2: 184)
Hukum Puasa Ramadhan Pada Masa Awal Islam:
Allah berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinaya: “maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain...” 
 
Tokoh-tokoh tafsir dunia seperti as-Sya’bi, as-Suddi dan ‘Athaa al-Khurasani menafsirkan ayat ini mengatakan: (Setelah menjelaskan hukum wajib puasa Ramadhan), mereka menambahkan bahwa ayat ini pengecualian bagi orang yang sakit dan orang musafir (bepergian), kedua situasi itu tidak wajib puasa jika sedang sakit atau musafir, karena susah menanggungnya. Tetapi keduan dibolehkan makan dan menggantikannya sebanyak yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain setelah Ramadhan. 

Adapun bagi orang yang sehat dan menetap yang sanggup berpuasa, maka diberi dua pilihan antara puasa atau makan, boleh berpuasa dan boleh juga tidak puasa, dan memberi makan seorang miskin setiap hari, jika ia sanggup tiap hari memberi makan lebih dari satu orang miskin maka itu lebih bagus. 

Akan tetapi jika dia menjalankan ibadah puasa maka itu jauh lebih utama dari pada hanya memberi makan. Pendapat ini didukung oleh masing-masing: Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Mujahid, Thawus, Muqatil bin Hayyan, dan ulama-ulama salaf lainnya. Oleh karena itu Allah berfirman pada sambungan ayat berikutnya: 

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٤)
Artinaya: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui;  (QS: 2: 184).
Sejarah Perkembangan Hukum Puasa Dalam Islam:
Kata Mu’az bin Jabal ra. Menceritakan sejarah perkembagan beberapa hukum dalam Islam seperti shalat dan puasa, dalam sebuah uraian panjang, hingga mengatakan: “Adapun sejarah perkembangan puasa telah mengalami tiga kondisi, sebagai berikut: 

1. Kertika rasulullah SAW pertama kali datang ke Madinah, beliau melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan dan puasa “Asyuraa”, lalu Allah menurunkan ayat perintah puasa. 

2. Setelah ayat pertama perintah puasa turun dari firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu...” (sampai kepada firman Allah): “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin...”. Maka diberi dua pilihan antara mengerjakan ibadah puasa atau memberi makan orang miskin, keduanya mendapatkan pahala. 

Kemudian Allah menurunkan ayat berikutnya: “bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an...” (sampai kepada firman Allah): “karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu...”. 

Maka Allah menetapkan wajib berpuasa bagi orang yang bermukim dan sehat jasmani dan rohoni, dan memberikan izin berbuka puasa bagi orang sakit dan musafir (mengganti puasa setelah Ramadhan). Serta menetapkan pula hukum memberikan makan orang miskin bagi orang lanjut usia (tua) yang tidak sanggup berpuasa. 

3.  Kondisi ketiga, mereka mengerjakan puasa di siang hari lalu makan, minum dan berhubungan suami-isteri di malam hari jika mereka tidak tertidur, tetapi apabila mereka tertidur maka tidak melakukan puasa besok harinya. Kemudian terjadi sebuah kasus pada seorang kaum Anshar bernama Sharmata, dia berpuasa hingga Magrib lalu mendatangi isterinya, setelah shalat Isya’ ia terlelap tidur sehingga tidak sempat makan minum lagi sampai Shubuh dan melanjutkan puasa, maka rasulullah SAW menegur dan bersabda: “Saya melihat kamu telah melakukan hal yang sangat berat”, lalu mejelaskan kepada nabi apa yang telah di alami sampai tertidur. 

Lalu, ada kasus baru lagi terhadap Umar bin Khattab, dia menggauli isterinya setelah bangun dari tidur maka dia pun mendatangi rasul SAW mengkonsultasikan keadaannya, lalu Allah menurunkan ayat: 

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu...” (sampai kepada firman Allah):
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Artinya: “kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam....” (QS: 02: 187)” (HR: Abu Daud (Sunan), al-Hakim (Mustadrak), dari hadits al-Mas’udi. Diriwayatkan Oleh: Imam Ahmad dari sumber: Abu an-Nadhar dari al-Mas’udi dari ‘Amr bin Murra dari Abderrahman bin Abu Laila, dari hadits Mu’az bin Jabal ra).
Kesimpulan:
  1. Hukum Puasa Ramadhan wajib mutlak bagi setiap orang muslim dan muslimat
  2. Diberikan kemudahan tidak berpuasa di bulan Ramadhan bagi orang sakit dan musafir, tetapi wajib menggantikannya sebanyak yang ditinggalkan di luar Ramadhan
  3. Membayar fidya dengan memberi makan seorang miskin setiap hari bagi orang lanjut usia yang tidak sanggup berpuasa
  4. Adapun hukum bagi orang hamil dan ibu melahirkan, apabila mengkhawatirkan keselamatan janin atau bayinya, maka pada kedua kasus ini ulama berbeda pendapat: Pertama, dibolehkan tidak berpuasa tetapi membayar fidya dan mengganti puasa; kedua, hanya membayar fidya saja tanpa harus menggantikannya; ketiga, mengganti saja tanpa membayar fidya; dan keempat, tidak berpuasa dan tidak membayar fidya serta tidak perlu juga menggantinya di luar ramadhan. Untuk kasus ini mempunyai pembahasan khusus harus kembali ke kitab fiqhi tentang puasa. Begitu pula pada kasus orang yang sakit menahun yang tidak bisa sembuh lagi. Wallahua’lam!
Selanjutnya, firman Allah:
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٤).
Artinaya: “ jika kamu mengetahui”  (QS: 2: 184) 

Yaitu: Dari semua pilihan-pilihan di atas kamu harus mengetahui dan menguji mana yang paling utama kamu kerjakan dan mana yang lebih membuat hatimu tenang sehingga tidak menyusahkan kamu, karena kewajiban agama itu diperintahkan hanya untuk manfaat dan ketentraman jiwa pelakunya, sehingga tidak ada kesulitan dalam beragama. Ada juga menafsirkan: Agar kamu mengetahui hukum-hukum puasa. Wallahua’lam! 

--- Bersambung ke: Tafsir ayat-ayat puasa selanjutnya ---------
Kajian sebelumnya:
Artikel yang berhubungan:
  1. Isra' - Mi'raj Ke Elle SalewoE Bersama H. Jamalu
  2. Isra'-Mi'raj Melumpuhkan Sistem Digital
  3. Kelahiran Nabi SAW Menciptakan Peradaban Baru Umat Manusia
  4. Maulid Nabi SAW dan Sejarah Perjuangan
  5. Al-Qur'an Kampanye Anti-Miras
  6. Silsilah Para Nabi, Rasul dan Bangsa-Bangsa Dunia
  7. Bumi Allah Amat-lah Luas Berhijrah-lah
  8. 1 Jam Dimurka Gurutta Ambo Dalle
  9. Seorang Muhajir Fakir 
Karya Terbaru Penulis:
Beli Bukunya Sekarang!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!