Serial Bulan Sya'ban: Tafsir Ayat-Ayat Puasa (02/ 04)
Menyambut Bulan Suci Ramadhan 1433 H. (H: -10)
Menyambut Bulan Suci Ramadhan 1433 H. (H: -10)
“KEWAJIBAN PUASA BULAN SUCI RAMADHAN”
Oleh: Med HATTA
Mukaddimah:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات، وبعد!
Hukum Puasa Ramadhan:
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (Lihat: Kajian Sebelumnya:
PUASA DAN KEUTAMAAN BULAN SUCI RAMADHAN), Allah berfirman pada (QS: 02: 183):
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu...”
Yaitu menyerukan kepada orang-orang yang beriman
dari umat ini dan memerintahkan mereka berpuasa: Menahan dari makan, minum dan
berhubungan suami-isteri, dengan niat tulus kepada Allah SWT. Sebagai sarana
pembersihan jiwa, merefresh dan mensucikannya dari perbuatan buruk dan akhlak
yang tercela.
Disebutkan, bahwa sebagaimana puasa diwajibkan
kepada umat Islam, maka telah diwajibkan pula kepada umat-umat terdahulu
sebelumnya, sebagai suri teladan yang baik. Oleh karena itu hendaklah umat
Islam melaksanakan kewajiban ini sesempurna mungkin lebih dari apa yang telah
dikerjakan oleh bangsa-bangsa sebelumnya, sebagaimana dalam firman Allah:
Artinya: “untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan....” (QS:
05: 48).
Dengan demikian, maka hukum puasa Ramadhan bagi
umat Islam adalah WAJIB, sebagaimana juga puasa telah menjadi kewajiban bagi
bangsa-bangsa terdahulu. Karena puasa merupakan rukun penting bagi semua
agama-agama dunia.
Puasa Ramadhan “Wajib Mutlak” dan Puasa Sebelumnya Menjadi “Sunnah Ketaatan”:
Allah berfirman dalam surah al-Baqarah: 184-185:
- أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٤)، شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (١٨٥)".
Artinaya:
(yaitu) dalam
beberapa hari yang tertentu, maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui; (QS: 2: 184)
(Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS: 2: 185).
Pada ayat yang lalu, al-Qur’an telah
mengkonfirmasikan kepada kita bahwa ritual puasa adalah ibadah wajib bagi
setiap agama-agama besar dunia, karena di dalam ritual puasa terdapat faktor
pembersihan jasmani, penjernihan jiwa dan meminimalisir upaya gangguan setan.
Sebagaimana dalam sebuah hadits nabi SAW bersabda:
(Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu telah mampu maka hendaklah menikah, dan barang siapa yang belum sanggup maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah perisai).
Kemudian, pada ayat kajian di atas turun
memberikan keputusan final terhadap hukum puasa, penulis dapat menyimpulkan
kepada dua hal pokok: Pertama, Puasa Ramadhan ditetapkan sebagai wajib
mutlak, sekaligus mengamendemen status wajib bagi puasa-puasa umat terdahulu; kedua,
menjadikan puasa-puasa terdahulu sebagai puasa sunnah ketaatan kepada Allah
SWT, sebagai penjelasan berikut:
PERTAMA: Puasa Ramadhan Wajib Mutlak:
Allah berfirman:
أَيَّامًا
مَعْدُودَاتٍ .....
Artinaya: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu......”
Ayat ini secara
khusus mendiskripsikan puasa wajib bagi umat Islam yang membedakan dengan
puasa-puasa sebelumnya, yaitu tidak dilakukan setiap hari supaya tidak menyiksa
diri sehingga berat menanggung dan susah mengerjakannya. Tetapi dalam beberapa
hari yang tertentu saja. Selanjutnya, “beberapa hari yang tertentu” itu
dijelaskan pada ayat berikutnya, Allah berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ .......
Artinaya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan....”
Telah dijelaskan
bahwa pada awal Islam, para “awwalunas sabiqun” (pendahulu) mengerjakan
puasa tiga hari setiap bulan, kemudian hukum itu diamendemen dengan puasa
Ramadhan. (Lihat: Hadits-hadits: Mu’az,
Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, ‘Athaa, Qatadah, ad-Dhahhak dan Ibn Muzahem). Dan
menambahkan: Kewajiban puasa tiga hari itu berlangsung dari masa nabi Adam as, sampai
diamendemen dengan puasa bulan Ramadhan.
KEDUA: Ritual Puasa-Puasa Terdahulu (sebelum Islam):
Ditetapkan sebagai puasa sunnah ketaatan kepada Allah
SWT, karena mengandung banyak manfaat terhadap jasmani dan rohani. Banyak sekali
hadits nabi SAW yang menegaskan bahwa beliau tidak pernah berhenti melaksanakan
puasa “Asyuraa” setiap tahun, bahkan dalam salah satu riwayat hadits nabi
SAW bersabda: “Kalau saya masih berumur panjang sampai tahun berikutnya, saya akan
menganjurkan puasa sehari sebelum “Asyuraa” dan sehari sesudahnya...”
Nabi SAW juga tidak kurang dari 8 kali berpuasa setiap
bulan selain Ramadhan, yaitu puasa Senin dan Kamis. Ada bulan-bulan tertentu juga
beliau memperbanyak puasanya seperti pada bulan Sya’ban. Wallahua’lam!
Hukum-Hukum Dalam Pelaksanaan Puasa Ramadhan:
Allah berfirman:
فَمَنْ كَانَ
مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(١٨٤)
Artinaya: “maka barangsiapa di antara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui; (QS:
2: 184)
Hukum Puasa Ramadhan Pada Masa Awal Islam:
Allah berfirman:
فَمَنْ كَانَ
مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinaya: “maka barangsiapa di antara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain...”
Tokoh-tokoh tafsir dunia seperti as-Sya’bi,
as-Suddi dan ‘Athaa al-Khurasani menafsirkan ayat ini mengatakan: (Setelah
menjelaskan hukum wajib puasa Ramadhan), mereka menambahkan bahwa ayat ini
pengecualian bagi orang yang sakit dan orang musafir (bepergian), kedua situasi
itu tidak wajib puasa jika sedang sakit atau musafir, karena susah
menanggungnya. Tetapi keduan dibolehkan makan dan menggantikannya sebanyak yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain setelah Ramadhan.
Adapun bagi orang yang sehat dan menetap yang
sanggup berpuasa, maka diberi dua pilihan antara puasa atau makan, boleh
berpuasa dan boleh juga tidak puasa, dan memberi makan seorang miskin setiap
hari, jika ia sanggup tiap hari memberi makan lebih dari satu orang miskin maka itu
lebih bagus.
Akan tetapi jika dia menjalankan ibadah puasa
maka itu jauh lebih utama dari pada hanya memberi makan. Pendapat ini didukung
oleh masing-masing: Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Mujahid, Thawus, Muqatil bin Hayyan,
dan ulama-ulama salaf lainnya. Oleh karena itu Allah berfirman pada sambungan
ayat berikutnya:
وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ
لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٤)
Artinaya: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui; (QS: 2: 184).
Sejarah Perkembangan Hukum Puasa Dalam Islam:
Kata Mu’az bin Jabal ra. Menceritakan sejarah
perkembagan beberapa hukum dalam Islam seperti shalat dan puasa, dalam sebuah
uraian panjang, hingga mengatakan: “Adapun sejarah perkembangan puasa telah
mengalami tiga kondisi, sebagai berikut:
1. Kertika rasulullah SAW pertama kali datang ke
Madinah, beliau melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan dan puasa “Asyuraa”,
lalu Allah menurunkan ayat perintah puasa.
2. Setelah ayat pertama perintah puasa turun dari
firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu...” (sampai
kepada firman Allah): “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin...”. Maka diberi dua pilihan antara mengerjakan ibadah puasa atau
memberi makan orang miskin, keduanya mendapatkan pahala.
Kemudian Allah menurunkan
ayat berikutnya: “bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) al-Qur’an...” (sampai kepada firman Allah): “karena itu,
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu...”.
Maka Allah
menetapkan wajib berpuasa bagi orang yang bermukim dan sehat jasmani dan
rohoni, dan memberikan izin berbuka puasa bagi orang sakit dan musafir
(mengganti puasa setelah Ramadhan). Serta menetapkan pula hukum memberikan
makan orang miskin bagi orang lanjut usia (tua) yang tidak sanggup berpuasa.
3. Kondisi ketiga, mereka mengerjakan puasa di siang hari lalu makan,
minum dan berhubungan suami-isteri di malam hari jika mereka tidak tertidur,
tetapi apabila mereka tertidur maka tidak melakukan puasa besok harinya.
Kemudian terjadi sebuah kasus pada seorang kaum Anshar bernama Sharmata, dia
berpuasa hingga Magrib lalu mendatangi isterinya, setelah shalat Isya’ ia
terlelap tidur sehingga tidak sempat makan minum lagi sampai Shubuh dan melanjutkan
puasa, maka rasulullah SAW menegur dan bersabda: “Saya melihat kamu telah
melakukan hal yang sangat berat”, lalu mejelaskan kepada nabi apa yang telah di
alami sampai tertidur.
Lalu, ada kasus
baru lagi terhadap Umar bin Khattab, dia menggauli isterinya setelah bangun
dari tidur maka dia pun mendatangi rasul SAW mengkonsultasikan keadaannya, lalu
Allah menurunkan ayat:
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan
puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu...” (sampai kepada firman Allah):
ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Artinya: “kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam....” (QS: 02: 187)” (HR: Abu Daud (Sunan), al-Hakim
(Mustadrak), dari hadits al-Mas’udi. Diriwayatkan Oleh: Imam Ahmad dari sumber:
Abu an-Nadhar dari al-Mas’udi dari ‘Amr bin Murra dari Abderrahman bin Abu Laila,
dari hadits Mu’az bin Jabal ra).
Kesimpulan:
- Hukum Puasa Ramadhan wajib mutlak bagi setiap orang muslim dan muslimat
- Diberikan kemudahan tidak berpuasa di bulan Ramadhan bagi orang sakit dan musafir, tetapi wajib menggantikannya sebanyak yang ditinggalkan di luar Ramadhan
- Membayar fidya dengan memberi makan seorang miskin setiap hari bagi orang lanjut usia yang tidak sanggup berpuasa
- Adapun hukum bagi orang hamil dan ibu melahirkan, apabila mengkhawatirkan keselamatan janin atau bayinya, maka pada kedua kasus ini ulama berbeda pendapat: Pertama, dibolehkan tidak berpuasa tetapi membayar fidya dan mengganti puasa; kedua, hanya membayar fidya saja tanpa harus menggantikannya; ketiga, mengganti saja tanpa membayar fidya; dan keempat, tidak berpuasa dan tidak membayar fidya serta tidak perlu juga menggantinya di luar ramadhan. Untuk kasus ini mempunyai pembahasan khusus harus kembali ke kitab fiqhi tentang puasa. Begitu pula pada kasus orang yang sakit menahun yang tidak bisa sembuh lagi. Wallahua’lam!
Selanjutnya, firman Allah:
إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ (١٨٤).
Artinaya: “ jika kamu mengetahui” (QS: 2: 184)
Yaitu: Dari semua pilihan-pilihan di atas kamu harus
mengetahui dan menguji mana yang paling utama kamu kerjakan dan mana yang lebih
membuat hatimu tenang sehingga tidak menyusahkan kamu, karena kewajiban agama itu
diperintahkan hanya untuk manfaat dan ketentraman jiwa pelakunya, sehingga tidak
ada kesulitan dalam beragama. Ada juga menafsirkan: Agar kamu mengetahui hukum-hukum
puasa. Wallahua’lam!
--- Bersambung ke: Tafsir ayat-ayat puasa selanjutnya
---------
Kajian sebelumnya:
Artikel yang berhubungan:
- Isra' - Mi'raj Ke Elle SalewoE Bersama H. Jamalu
- Isra'-Mi'raj Melumpuhkan Sistem Digital
- Kelahiran Nabi SAW Menciptakan Peradaban Baru Umat Manusia
- Maulid Nabi SAW dan Sejarah Perjuangan
- Al-Qur'an Kampanye Anti-Miras
- Silsilah Para Nabi, Rasul dan Bangsa-Bangsa Dunia
- Bumi Allah Amat-lah Luas Berhijrah-lah
- 1 Jam Dimurka Gurutta Ambo Dalle
- Seorang Muhajir Fakir
Karya Terbaru Penulis:
Beli Bukunya Sekarang! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam!