Sabtu, September 08, 2018

MODERASI DAKWAH ISLAM: ARGUMENTASI MODERASI SYARIAH


Argumentasi Moderasi Syariah;
(Membangun Sikap Toleran dalam Perbedaan) *[1]
Oleh: Dr. H. Muammar Bakry, MA.


Islam adalah agama yang pemeluknya berprinsip wasaṭiyah berdasarkan Q.S. al-Baqarah (2) : 143 (Demikian kami jadikan kalian sebagai umat wasathan). Kata “wasathan” dapat bermakna terbaik, paling sempurna, adil, sederhana, dan pertengahan.

Bertolak dari arti-arti tersebut maka umat Islam yang wasathiyah adalah orang-orang yang memiliki prinsip hidup sederhana dalam berbagai hal sesuai dengan koridor syariah. Berada di tengah-tengah antara dua kutub yang ekstrim dalam berbagai hal. Paham ini biasa juga disebut dengan moderat.
Moderat (moderate) yang berasal dari bahasa Latin ‘moderare’, diartikan dengan tidak ekstrim, sederhana dan bertentangan dengan sesuatu yang radikal. Cerminan sikap moderat diaktualkan dalam menyelesaikan persoalan dilakukan dengan cara kompromi dengan menjunjung rasa keadilan, toleran tanpa mencederai nilai-nilai agama.

Memahami Islam secara moderat, tidak radikal dan tidak liberal, akan memudahkan penebaran kerahmatan ke seluruh alam. Islam moderat tetap mengusung konsep Islam secara proporsional tanpa ada yang dikurangi dan ditambahkan. Biasanya, pendekatan yang dilakukan lebih kontekstual dan rasional dalam bingkai kesantunan, keramahan dan kedamaian.

Syariah adalah aturan-aturan Ilahi yang membimbing manusia menuju keselamatan dan kebahagiaan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa penerapan syariah pada masa awal Islam berhasil mengubah tatanan masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat muslim yang beradab: masyarakat yang individunya mendapatkan hak-hak yang sama. Syariah berhasil membawa umat kepada kemajuan dan kesejahteraan karena memiliki karakteristik yang teistis (rabbaniyyah), etis (akhlāqiyyah), realistis (wāqi’iyyah), humanistis (insāniyyah), sistematis (tanāsuqiyyah), dan komprehensif (syumūliyyah). Dengan karakteristik demikian, syariah ini tetap relevan bagi setiap situasi dan kondisi zaman.[2]

Syariah sesungguhnnya eksis dan survive di mana pun berada karena dapat diterima dan dianggap moderat bagi masyarakat setempat. Beberapa spesifikasi yang dimiliki syariah yang menunjukkan moderasi Islam, antara lain sebagaimana berikut:

I.          Fleksibel dan Modern
Salah satu spesifikasi Syariah bahwa hukum-hukumnya fleksibel dan adaptif pada perkembangan zaman. Karena itu, sesungguhnya ajaran Islam itu sederhana, mudah dan mengikuti perkembangan zaman. Ini kemudian menjadikan dakwah Islam dapat berperan aktif dalam kehidupan umat.

Seorang ahli hukum bernama Insaba Tuhin berpendapat bahwa Islam dapat berjalan sesuai kebutuhan yang ada, ia mampu memainkan perannnya tanpa merusak jati dirinya selama berabad-abad lamanya, hidup di tengah perkembangan zaman. Hukum Islam mampu survive dan eksis bahkan menyaingi hukum Eropa. [3]

Syariah Islam tidaklah kaku seperti yang disinyalir bahkan diamalkan oleh sebagian orang. Syariah dapat mengakomodir perubahan sosial, posisinya yang amat mulia itu menjadikan Islam sebagai syariah yang universal dan manusiawi, dapat menjadi rujukan dalam memecahkan problematika masyarakat masa kini maupun masa akan datang.

Ketika syariah Islam bertujuan untuk kepentingan umum, maka artinya syariah itu luwes dan tidak jumud (stagnan). Syariah didasari pada logika, bahasa dan juga adat istiadat.

Kondisi ini menjadikan materi fiqh yang demikian banyak jumlahnya sejalan dengan konsep di atas. Ulama mazhab Hanafi berpendapat, bahwa kaidah fiqh dan usul bukanlah sesuatu yang jumud karena dapat beradaptasi dengan segala kemungkinan masalah yang ada, tidaklah sama dengan kaidah Nahwu yang tidak bisa berubah. 

A.        ṡawābit dan Mutagayyirat
ṡawābit adalah sesuatu yang mutlak dan tidak berubah. Sedangkan mutagayyirat adalah sesuatu yang relatif dan selalu ada perubahan.

Oleh karena Islam diturunkan untuk seluruh manusia tanpa sekat batas dan waktu, maka tentulah menjadi keniscayaan syariah selalu siap dan hadir untuk menjaga dan menjamin kemaslahatan untuk semua manusia di berbagai tempat dan zaman.

Awal munculnya syariah Islam, ia hadir di tengah masyarakat badui (kampung) dan ternyata mampu berinteraksi dengan budaya kampung pegunungan dan padang pasir. Selanjutnya berkembang maju peradabannya hingga kini, dan ternyata syariah pun tetap eksis dan survive dalam menjamin kemaslahatan umat manusia.

Syariah dapat beradaptasi dengan kondisi peradaban manusia, namun tetap terjaga orisinalitasnya, itu terjadi karena ada hal yang mutagayyirāt (relatif/bisa berubah) dalam Islam sebagaimana ada hal-hal yang ṡawābit (tetap).

Lalu, aspek-aspek apa saja yang ada dalam ṡawabit dan mutagayyirāt? Ibn al-Qayyim menjelaskan, “hukum ada dua macam, pertama, sisi yang tidak dapat berubah, dan diterima seperti apa adanya, ia tidak terpangaruh oleh zaman dan tempat bahkan ijtihad para imam sekalipun, contoh kewajiban shalat lima waktu, kewajiban puasa Ramadhan, keharaman babi dan sebagainya. Kedua, sisi yang dapat berubah. Dalam artian bahwa tujuan dan maksud tidak berubah, tapi yang berakselerasi dengan kondisi lingkungan adalah cara dan proses, seperti hal-hal yang bersifat muamalat dan hal-hal yang berifat duniawi.[4]

Al-Qur’an adalah sumber utama, sedangkan hadis berfungsi menjelaskan secara praktikal dan teoritis dari Al-Qur’an. Selanjutnya Al-Qur’an dan hadis menjadi dasar bagi ulama dalam melakukan prosesi ijtihad dengan berbagai subyektifitas yang ada. Hal ini dapat dilihat secara konsep dalam muwassa’ dan muḍayyaq, ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan metode istinbath lainnya.

B.        Wilayah Syariah yang Kosong dan Makna Nash yang Relatif
Wilayah kosong yang dimaksud adalah hal-hal yang sengaja tidak dibahas hukumnya oleh Allah dan rasul-Nya untuk memberi kesempatan dan gerak yang leluasa kepada manusia dalam kehidupannya. Wilayah ini menjadi objek kajian yang mendalam bagi orang yang berkompeten dalam melakukan ijtihad (baca: mujtahid). Wilayah kosong yang biasa juga diistilahkan “afwu” dilegitimasi oleh hadis berikut:

« عن أبي الدرداء رضي الله عنه :
مَا أَحَلَّ اللهُ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ حَلَالٌُ ، وَمَا حَرَّمَ فَهوَ حَرَامٌ ، وَمَا سَكَتَ عَنهُ فَهُوَ عَفْوٌ ، فَاقبَلُوا مِنَ اللهِ عَافِيَتَه ( وَمَا كَانَ رَبُّك نَسِيَّا) أخرجه الدارقطني
“Apa yang Allah halalkan di dalam Kitab-Nya maka itu halal, apa yang Allah haramkan maka itu haram, apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan, maka terimalah maaf dari Allah, sesungguhnya Allah tidak sengaja untuk melupakan. Kemudian Dia membaca ayat (dan tidaklah Tuhanmu melupakan).”  [5]

Batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam Islam seperti nisab zakat, jumlah rakaat shalat fardhu, keharaman zina, makanan-makanan yang haram dan lain-lain yang berupa perintah maupun larangan yang tidak bisa berubah hukumnya.

Selain itu, tampilan ayat yang maknanya relatif atau yang biasa dinamakan ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat żanni memberi peluang besar akan terjadinya pemahaman lebih dari satu sesuai sudut pandang ulama dalam memahaminya.

Relatifitas ayat ini memberi hikmah tersendiri bahwa syariah adalah rahmah bagi manusia dalam kondisi waktu dan tempat dimana mereka berada. Poin ini kemudian menjadi pemicu lahirnya mazhab fiqh sesuai dengan metode ijtihad yang digunakan. Dengan mazhab yang ada, maka umat manusia boleh memilih pendapat ulama yang sesuai dengan kondisinya secara wajar dan benar.

II.         Taysir dan Fasilitas Rukhshah
Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Nabi saw bersabda, “Permudahlah jangan dipersulit, bujuklah jangan mengusir. (H.R. Bukhari).

Syekh Muhamad Khudri Bek, berpendapat bahwa kemudahan merupakan bagian dari spesifikasi syari’ah Islam, tuntutan-tuntutan yang ada padanya dibangun atas dasar tidak memberatkan (‘adam al-ḥaraj), meminimalisasi tuntutan (taqlīl takālif), bertahap (tadrīj tasyri’). [6]

Ada beberapa kondisi dan sebab yang dapat memudahkan manusia dalam mengamalkan syari’ah Islam antara lain: Pertama, dalam keadaan musafir, orang dapat melaksanakan shalat jama’ (gabung) dan qashar (ringkas), berkenan tidak berpuasa. Kedua, karena sakit, ia dapat bertayammum sebagai ganti wudu’. Ketiga, dipaksa untuk melakukan dan dikhawatirkan dapat mengancam jiwanya, seorang dapat melafalkan kata-kata kufur selama hatinya terpaut dengan keimanan. Keempat, karena lupa atau tidak mengetahui kewajiban yang telah digariskan. Kelima, terdapat pengecualian seperti anak di bawah umur dan wanita yang tidak diwajibkan menghadiri shalat jumat.

Adalah manusiawi jika syari’ah Islam tampil dengan berbagai kemudahan hukumnya agar manusia dapat menjalankan sesuai dengan yang diharapkan oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Karena itu sesuatu yang mustahil bila tuntunan syari’ah tidak dapat dilaksanakan karena memberatkan (taklīf bi mā lā yuṭāq).

Salah satu wujud sebuah tuntutan yang manusiawi (taklīf bi mā yuṭāq) bahwa sebuah pekerjaan yang menjadi perintah memungkinkan untuk dikerjakan oleh mukallaf baik kapasitasnya sebagai sunnah atau wajib, dapat ditinggalkan baik makruh atau haram. Dengan demikian, tidak sah peng-taklif-an dengan sebuah pekerjaan atau larangan yang mustahil, seperti memerintahkan dua pekerjaan yang kualitas hukumnya berlawanan untuk diamalkan dalam satu waktu, diibaratkan seperti memerintahkan manusia terbang tanpa dibekali dengan sayap.

Dalam menjalankan perintah, dua syarat mutlak ada pada mukallaf: Pertama, mukallaf harus mengetahui amalan yang dilakukan dengan pengetahuan maksimal sehingga ia dapat merealisasikan sebagaimana mestinya, maka mukallaf dituntut mengetahui benar syarat dan rukun shalat dan segala hal yang berkaitan dengannya, demikian pula perintah lainnya. Kedua, seorang mukallaf menyadari bahwa mengamalkan perintah atau menjauhi larangan adalah manifestasi dari wujud ketaatannya sebagai hamba Tuhan, sehingga lahir sebuah kesadaran spiritual yang menjadi inti ibadah dalam Islam.[7]

Salah satu bukti bahwa syari’ah Islam sangat memungkinkan diamalkan oleh manusia dengan mudah, bahwa tuntutan dalam istilah lain dinamakan dengan ‘azīmah, jika dalam kondisi tertentu terdapat kesulitan-kesulitan (masyaqqah) dalam mengerjakan perintah, (taklīf bi syaq minal af’al) ‘azimah itu berubah menjadi rukhshah (dispensasi;keringanan). Para teoritisi mengklasifikasi “masyaqqah” pada dua bagian:

Pertama, masyaqqah mu’tādah (kesulitan biasa yang dapat ditolerir), yaitu kesulitan yang hampir tidak ada dan tidak berarti apa-apa bagi mukallaf. Dinamai masyaqqah mu’tādah, mengingat bahwa semua pekerjaan mengandung perhatian, keseriusan, ketekunan, kesabaran yang kesemuanya dianggap sebagai masyaqqah. Sebab itulah dalam banyak definisi dijelaskan bahwa taklif adalah menuntut atau mengerjakan yang di dalamnya terkandung pembebanan dan masyaqqah. Namun demikian, pembebanan dan masyaqqah itu bukan tujuan suatu perintah, sehingga meletihkan badan bukanlah tujuan dari perintah ibadah haji melainkan pemenuhan kebutuhan spritual manusia.[8]

 Adapun nas-nas  yang menjelaskan tentang keutamaan dan pahala yang besar bagi yang mengerjakan perintah yang mengandung masyaqqah yang berat adalah sebuah konsekuensi logis dari perintah itu sendiri. Menyengaja mendatangkan masyaqqah dengan niat semakin besar masyaqqah semakin besar pahala adalah hal yang tidak benar, Wahbah Zuhayli menjelaskan, “jika tujuan mukallaf untuk mewujudkan masyaqqah maka itu sudah melanggar syari’ah, sebab Syari’ tidak menginginkan hal tersebut, karena semua maksud yang bertentangan dengan maksud syāri’ adalah batil, karena itu beramal untuk mancari masyaqqah adalah batil.[9]

Dalam hal ini Syathibi:[10] menjelaskan dalam dua kaidah di bawah ini:

«اِنَّ الشَّارِعَ لَمْ يَقْصُدْ اِلَى التَّكْلِيفِ بِالْمَشَاقِّ اَلْاِعْنَاتُ فِيْهِ»
“Bahwasanya Syari’ tidak bermaksud membebankan kepada yang sulit sebagai penyiksaan”.

«لَيْسَ لِلْمُكَلَّفِ أنْ يَقْصُدَ المَشَقَّةُ لِعَظْمِ أجْرِهَا وَلَكِنُ لَهُ أنْ يَقْصُدَ العَمَلُ الَّذِى يَعْظُمُ أجْرُهُ لِعَظْمِ مَشَقّتِهِ»
“Mukallaf tidak pantas mencari kesulitan untuk mendapat pahala yang besar, melainkan ia seharusnya bermaksud mengerjakan perbuatan yang nilai pahalanya tinggi karena beban kesulitan yang ditimbulkan”.

Demikian pula ‘Izzuddin[11] secara panjang lebar membahas tentang masyaqqah dalam melaksanakan ibadah, menurutnya, pahala dapat berubah dengan nilai yang tinggi dengan tahammul masyaqqah  (konsekuensi kesulitan) bukan dengan ‘ain al masyaqqah (kesulitan itu sendiri), dicontohkan bahwa dalam satu perbuatan kualitas kewajibannya sama dalam hal syarat-syarat, rukun-rukun sampai pada pahalanya, contoh, mandi junub, dari segi esensi amalan mandi pada musim panas dengan dengan mandi musim dingin sama, akan tetapi dari segi beban kesulitan (tahmmul masyaqqah) berbeda, sebab mandi pada musim dingin lebih berat dibanding pada musim panas, karena itu dari sudut beban kesulitan diberikan pahala lebih bagi yang melakukan di musim dingin. Kaidah yang berkenaan dengan ini:

تفاوت الاجر بتفاوت تحمل مشقته
 “Pahala berbeda karena konsekuensi beban”:

Kedua, masyaqqah gair mu’tādah (kesulitan yang tidak dapat ditolerir karena dianggap menyimpang), masyaqqah ini tidak diperkenankan bagi manusia untuk mereka jalani sebab dapat merusak dan mengorbankan diri, stabilitas hidup dan mengganggu kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti melakukan shalat semalam suntuk tanpa istirahat, berpuasa setiap hari dan sebagainya.

Telah populer dalam bahasan fiqh dan usulnya berbagai macam keringanan (takhfif), antara lain; (a) takhfif isqath (menggugurkan/meninggalkan) seperti boleh meninggalkan jum’at bagi musafir; (b) takhfif tanqish (pengurangan) seperti mengurangi jumlah rakaat shalat; (c) takhfif ibdal (mengganti) seperti tayammum sebagai ganti wudu’; (d) takhfif taqdim wa ta’khir seperti mendahulukan dan membelakangkan waktu shalat; dan (e) takhfif rukhshah seperti mengonsumsi sesuatu yang haram apabila dalam keadaan terdesak dan terpaksa.[12]

Karena itu, tuntutan yang menjadi ‘azimah dapat berubah menjadi rukhshah (sebuah dispensasi yang bernilai keringanan), dengan kata lain, jika seorang mukallaf merasa berat melakukan ‘azimah karena keadaan yang membuatnya demikian seperti shalat dalam keadaan sakit, maka rukhshah dalam kondisi seperti ini lebih diutamakan daripada ‘azimah, bahkan sekelompok ushuliyyin memilih rukhshah dalam keadaan tertentu adalah wajib, karena itu jika ia sakit ia diharuskan melakukan shalat sesuai dengan kemampuannya, dan jika ia tetap memaksakan diri untuk melakukan ‘azimah ia dianggap berdosa.

Masyaqqah dalam hal tertentu relatif adanya, boleh jadi sesuatu menjadi masyaqqah pada orang tertentu di saat yang sama hal tersebut tidak dianggap masyaqqah bagi yang lain. Dalam hal ini ada dua pendapat:

a.         Mereka yang mendukung dilaksanakannya ‘azimah dengan dua dasar: Pertama, bahwa baik ‘azimah maupun rukhshah sesuatu hal yang qath’i (pasti), diakui dan disepakati eksistensinya, namun masyaqqah relatif adanya (maznun, muhtamal), karena itu, ‘azimah lebih didahulukan. Kedua, bahwa ‘azimah bersifat kulli (universal) karena meliputi semua mukallaf dalam berbagai tempat dan waktu, sementara rukhshah teraplikasi hanya kepada mereka yang punya uzur. Sesuatu yang berlaku umum didahulukan daripada yang berlaku khusus.
b.         Rukhshah lebih diduhulukan daripada ‘azimah dengan beberapa alasan: Pertama, rukhshah dapat mengangkat kesulitan dan memberi kemudahan kepada mukallaf. Kedua, menempuh rukhshah sangat relevan dengan konsep maqashid syari’ah, berbeda dengan ‘azimah yang dapat mempersulit, karena itu sekalipun posisinya hanya sebagai juz’i, namun ia dipandang sah (muktabar).

Terlepas dari pro dan kontra tentang mana yang lebih utama, bahwa yang pasti diserahkan kepada yang bersangkutan (mukallaf), sebab mereka yang paling mengetahui kondisinya dalam mengamalkan perintah Tuhan (taklif), karena itu, erat kaitannya dengan faktor waktu dan kondisi  mukallaf. Namun sebagai pertimbangan bahwa, rukhshah diibaratkan pemberian atau hadiah dari Tuhan kepada hamba-Nya, dan sangat disayangkan apabila seorang hamba menolak pemberian Tuhan tersebut. Dari uraian di atas maka kaidah yang dapat dijadikan dasar yaitu:

«اَلتَّيْسِيْرُ أوْلَى بِالتَّقْدِيْمِ مِنَ التَّعْسِيْرِ»
“Mempermudah lebih utama daripada mempersulit”.

«اَلرُّخْصَةُ أوْلَى بِالتَّقْدِيْمِ مِنَ اْلعَزِيْمَةِ»
“Rukhshah lebih didahulukan daripada ‘azimah”.

III.        I’tidal
I’tidal (sederhana/sedang) adalah hal yang melekat dalam syariah. Wel Dewrant berpendapat bahwa Nabi Muhammad menempatkan orang Islam dalam posisi kesederhanaan termasuk dalam hal syahwat (nafsu sex) yang tidak ada bandingannya di alam semesta.[13]

Ciri ini menggambarkan bahwa Islam dalam menyelesaikan masalah tidak secara berlebih-lebihan, tapi memerhatikan keseimbangan antara dua aspek material dan spiritual.

Ketika tiga orang datang kepada Nabi, lalu orang pertama berkata, saya puasa terus, orang kedua berkata saya shalat sepanjang malam, dan orang ketiga berkata, saya tidak akan kawin selamanya. Kemudian Nabi menanggapinya, kalian berkata ini dan itu, ketahuilah saya lebih bertakwa kepada Allah dari pada kalian, tapi saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan tidur, dan saya pun kawin. Barangsiapa yang benci sunnahku maka bukanlah golonganku. (Muslim : 1020).

Nabi Muhammad Saw. juga pernah bersabda, “siapa yang mengimami orang, maka hendaknya memendekkan (bacaan), karena di belakangnya ada orang lanjut usia, orang lemah, dan punya hajat. (Muslim juz 1, h. 340, no 466) 

Syariah Islam dalam perangkat hukum dan nilai-nilai sosialnya adalah moderat. Berbeda dengan agama Yahudi yang banyak mengharamkan sesuatu, dan berbeda dengan agama Nasrani yang banyak menghalalkan sesuatu. Dalam Syariah Islam, penghalalan dan pengharaman mutlak hak Allah tanpa ada wewenang manusia dalam hal itu.

Contoh lain adalah sebuah antitesis atas ekstrimitas agama Yahudi yang memiliki prinsip “dipukul sekali maka balas dua kali”. Tidak pula sama dengan Nasrani yang memiliki prinsip “jika pipi kanan ditampar maka berikan pipi kiri”. Islam merupakan solusi alternatif dari dua versi ekstrim di atas dengan prinsip “jika dipukul sekali maka balaslah sekali, tapi jika memaafkan itu lebih baik”.

Moderasi lain dari Islam yaitu tidak membenarkan sikap ‘taṭarruf’ baik secara tekstualis ataupun terlalu rasionalis. Overtekstualis akan membuat ruang ijtihad dan rasio menjadi kerdil sehingga terjadi kejumudan. Sikap ini akan menjadikan Islam tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan yang terus maju dan berkembang. Di pihak lain, pendekatan yang sangat rasional dan lepas kendali dari nash akan lahir sikap liberalisme dan mengerdilkan peran agama dalam kehidupan manusia.

Dalam berkeluarga terutama dalam poligami, syariah mengambil jalan tengah antara kelompok yang membolehkan poligami tanpa batas dan aturan dengan kelompok yang melarang poligami sekalipun terdapat maslahat dan dalam keadaan darurat. Karena itu, dalam hal poligami Islam mensyaratkan bagi orang yang ingin melakukannya untuk yakin dapat berlaku adil. Dan jika ia tidak mampu melakukannya maka poligami tidak boleh dilakukan.

Dalam hal talak, syariah berada di tengah-tengah antara kelompok yang mengharamkan talak, sesulit apapun yang terjadi dalam kehidupan berumah tangga dengan kelompok yang memperlonggar dan membebaskan sekalipun tidak ada masalah yang terjadi dalam rumah tangga. Bagi Islam, talak boleh dilakukan tapi amat dibenci oleh Allah Swt.

IV.       Bertahap dalam Penetapan Syariah
Bertahap (tadarruj) adalah spesifikasi dalam penetapan syariah islamiyah. Syariah tidak hadir sekaligus dalam satu paket, tapi datang secara bertahap untuk memudahkan manusia dalam mengamalkannya.

Khamar, riba dan lain-lain yang sudah menggejala dalam budaya Arab adalah contoh kasus yang sangat sederhana dan komprehensif tentang upaya syariah Islam yang sangat manusiawi untuk selanjutnya terjadi finalisasi haram dalam hal-hal tersebut.

Hikmah besar yang dapat diperoleh adalah antara lain agar tercipta kesadaran batin dalam diri manusia dalam menerima hukum Allah tanpa terasa ada pemaksaan. Cara ini memudahkan manusia dalam menjalankan syariah.
Sebagai contoh khamar yang menjadi minuman biasa dalam masyarakat Arab, bahkan menjadi minuman kebanggaan dalam berbagai acara dan even yang dibuat oleh masyarakat Arab ketika itu.

Islam tidak secara spontan mengharamkannya, tapi prosesnya dilalui dalam empat tahap. Tahap pertama menjelaskan bahwa khamar sesungguhnya bukanlah rezeki (minuman) yang baik, sebagaimana dalam terjemahan firman Allah Swt. Q.S. al-Nahl (16): 67 (kalian menjadikan khamar minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik).

Tahap kedua menjelaskan bahwa khamar lebih banyak kerusakan yang ditimbulkan dari pada manfaatnya, sebagaimana terjemahan firman Allah Swt. Q.S. al-Baqarah (2):219 (mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi, katakanlah bahwa di dalamnya dosa besar dan [dapat] manfaat bagi manusia, namun dosanya [mudarat] lebih besar daripada manfaatnya)

Tahap ketiga melarang mengkonsumsi khamar ketika ingin melaksanakan shalat, seperti dalam terjemahan firman Allah Swt Q.S. al-Nisa (4): 43 (wahai sekalian orang yang beriman janganlah dekati shalat sementara kalian dalam keadaan mabuk sampai kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan).

Tahap keempat yang merupakan tahap finalisasi dengan pengharaman mutlak mengkonsumsi khamar sebagaimana terjemahan firman Allah Swt Q.S. al-Maidah (5): 90.

Toleransi dan Menghargai Pendapat-pendapat Ulama
Dalam sejarah tabi’ tabi’in, tergambar perilakunya yang selalu mengedepankan persatuan umat Islam (tauhīd ṣufūf al-muslimin), mereka berpandangan bahwa persaudaraan dalam seagama dan menjadikan hati mereka saling terpaut adalah hal paling utama daripada yang lainnya. Karena itu pula mereka rela untuk tidak mengamalkan pendapatnya ketika melaksanakan ibadah secara bersama, sekalipun menurutnya pendapatnya yang paling benar. Ada sebuah prinsip yang mereka tanamkan  dalam  beribadah  secara  berjama’ah  yaitu “fi’l al-mafḍul wa tark al-fāḍil” bahwa rela mengerjakan atau mengamalkan pendapat yang menurutnya tidak kuat dasarnya dan meninggalkan pendapat yang dasarnya lebih kuat.

Dengan sikap seperti itu, akan terlihat suasana toleransi dan saling menghargai dalam melaksanakan ibadah. Seorang imam yang berpendapat bahwa men-jahar (membesarkan suara) basmalah adalah afdal, tapi ia tidak lakukan karena mengikuti mayoritas makmum yang tidak men-jahar basmalah. Seorang imam yang berpendapat bahwa qunut tidak dianjurkan dalam shalat subuh, tapi ia qunut karena mengimami mayoritas makmum yang menganggap bahwa qunut adalah sunat dalam shalat subuh. Ulama klasik melakukan seperti ini, dengan harapan agar masalah furū’iyyah tidak akan membawa pada perpecahan internal umat, melainkan membuatnya lebih bersatu.

Para imam mazhab seperti Imam Ahmad dan sebagainya berpendapat “….sebaiknya seorang imam meninggalkan yang afdal demi untuk menyatukan hati orang mukmin, dalam hal shalat witir, imam sebaiknya mengikuti kondisi makmum yang tidak shalat witir kecuali dengan cara fashl yakni menyisakan satu raka’at di akhir shalat.[14]

Kenyataan seperti ini terkadang nampak sulit ditemukan sekarang, justru sebaliknya yang terjadi, ada yang mengaku pengikut Syafi’i tapi “lebih Syafi’i” dari Imam Syafi’i, “lebih Hanbali” dari Imam Hanbali dan sebagainya. Fenomena yang muncul di tengah masyarakat terkadang memperuncing masalah yang sifatnya khilafiyah (perbedaan pandangan), bahkan menjadi ajang perdebatan internal umat. Upacara-upacara (tahni’ah dan ta’ziah) dengan tradisi dan ritual tertentu, rangkaian-rangkaian shalat seperti baca basmalah, qunut, do’a bersama setelah shalat, masalah pakaian, memelihara jenggot dan sebagainya masih menjadi lahan dan sumber perselisihan yang berdampak pada pengkotak-kotakan dalam tubuh umat Islam, dengan saling menyalahkan tanpa berusaha melihat kondisi seperti itu merupakan khazanah Islam yang memberi hidup secara variatif.  

Sebagai akhir dari tulisan ini, diangkat tentang etika berbeda pendapat sebagai yang disampaikan oleh Yusuf al-Qardhawi sebagai berikut:[15]

-           Menyadari bahwa perbedaan dalam hal furu’ adalah sesuatu yang mesti terjadi (dharurah) sekaligus rahmat. Sehingga penyatuan pendapat tidak mungkin terjadi, dan jika dipaksakan justru akan mengarah pada perpecahan. Yang lebih diperlukan adalah kesadaran akan perbedaan tersebut.
-           Mengikuti manhaj yang moderat/pertengahan dan menghindari sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya “urusan yang terbaik adalah yang pertengahan”.
-           Hendaknya kita fokus pada hal-hal yang muhkamat atau jelas penafsirannya,  dan menghindari perdebatan seputar hal yang mutasyabihat (masih samar). 
-           Tidak mengingkari secara mutlak atau final terhadap masalah-masalah ijtihadiyah yang masih debatable, begitupula tidak meyakini dan mendukung secara mutlak. Hal ini sesuai kaidah : “ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain”.
-           Pentingnya membaca dan menelaah perbedaan di antara ulama, sebab-sebab dan dalil-dalinya. Hal ini untuk menguatkan toleransi dan menghindari sikap reaksi yang berlebih-lebihan dalam menanggapi perbedaan.
-           Menyibukkan diri dengan agenda umat yang lebih besar dengan skala prioritas. Membahas dan menanggapi masalah khilafiyah tidak akan pernah selesai, yang ada justru melemahnya kesatuan umat. Karena itu, lebih utama berbuat secara riil demi kemaslahatan umat dari pada sibuk berdebat dalam masalah khilafiyah.
-           Saling bekerja sama dan membantu dalam hal-hal yang disepakati, serta saling bertoleransi dan memahami dalam hal-hal yang masih berbeda dan belum bisa disepakati.
-  Menjaga orang yang masih berkeyakinan “syahadatain” Allah Swt. sebagai Tuhannya dan Muhammad sebagai nabi-Nya.




*[1] MAKALAH Dipersiapkan untuk Disajikan pada Seminar Internasional Da’I Islam Moderat Kalimantan Selatan dengan Tema: “Dakwah Islam Moderat: Antara Konsep dan Aplikasi” Batulicin, Kalsel, 5-7 September 2018.
[2]       Bandingkan dengan Fathi al-Durayni, Khashaish al-Syari’ah al-Islamiyah fisiyasah wal Hukm (Beirut; Muassasah al-Risalah, 2013), h. 15.

[3]       Abdul Majid bin Aziz al-Zandany, Al-Bi’atu al-Ilmiyah fi al-Qur’an al-Karim (Beirut; Dar al-Kutub, t.th.), h. 222.

[4]       Yusuf al-Qardhawy, Al-Islam wa al-‘Almaniyah Wajhan li wajhin (Mesir; Maktabah Wahbah, 1998), h. 151.

[5]       Sunan Al-Darqhutni, 2/137.

[6]       Khudry Bek, Ushul al Fiqh (Beirut, Dar Ihya Turats al ‘Arabi, 1969), h. 17.

[7]       Wahbah Zuhayli, Ushul al Fiqh al Islami (Damaskus: Dar al Fikr, 1986), h. 135.

[8]       Ibid., h. 141.

[9]       Ibid., h. 143. 

[10]      Abu Ishaq Ibrahim al-Syathibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th.), h. 81.

[11]      ‘Izzuddin Abdussalam, al-Qawa’id al-Kubra (Damaskus: Dar al-Qalam, 2000), h. 30.

[12]      Ibid., h. 12

[13]      Wel Dewrant, Qishatul Hadharah (Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyah, juz 13), h. 68.

[14]      Abu ‘Ashim, al Adillah ‘Ala I’tibar al-Mashalih wa al-Mafasid (Al-Qahirah: tp., 1991), h. 26.

[15]      Yusuf al-Qardhawy, Al-Islam wa al-‘Almaniyah Wajhan li wajhin (Mesir; Maktabah Wahbah, 1998), h. 58.


Makalah Terkait:
  1. Med Hatta: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/risalah-batulicin-seminar-internasional.html#.W5snGdIzY1g
  2. H. Suti Pontong, S.Ag., MM: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/seminar-internasional-dai-islam-moderat_51.html#.W5slnNIzY1g
  3. Prof. Dr. M. Hussin Mutalib: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-melestarikan.html#.W5smeNIzY1g
  4. Dr. Hj. Hambali bin Hj. Jaili: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/seminar-internasional-dai-islam-moderat_83.html#.W5smKtIzY1g  
  5. 5.        Dr. Abdul Rahim Wayayo, MA: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-dakwah-islam-di.html#.W5sl29IzY1g
  6. Dr. M. Tata Taufik, M.Ag: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-arah-pembaharuan.html#.W5sj69IzY1g
  7. Dr. Arifuddin M. Arif, M.Ag: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-menyebarkan-nilai.html#.W5snh9IzY1g
  8. PROPOSAL SEMINAR: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/proposal-seminar-internasional-dai.html#.W5sqI9IzY1g
  9. UNDANGAN SEMINAR 1: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/undangan-partisipasi-seminar.html#.W5spZNIzY1g
  10. UNDANGAN SEMINAR 2: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/blog-post.html#.W5sqn9IzY1g

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!