REPOSISI
GERAKAN DAKWAH KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM MENYEBARKAN NILAI-NILAI ISLAM
WASATHIYAH *[1]
By: Arifuddin
M. Arif
Dosen
IAIN Datokarama Palu dan Alumni Pontren DDI Mangkoso
Resume Makalah
Sebagai
institusi indigenous yang bergerak di bidang pendidikan, pondok
pesantren juga menjadi pusat penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Performance
gerakan dakwah pondok pesantren dalam setting sosio-historisnya telah
menegakkan dan mempertahankan nilai-nilai tradisi Islam Ahlussunnah wa
al-jama’ah khas Indonesia (Islam Nusantara). Kontribusinya, sangat besar
dalam mencerahkan paham keagamaan umat Islam dengan strategi dan pendekatan
kulturalnya.
Sebagai
lembaga penguatan keagamaan dan moralitas yang eksis dan berdialektika dengan
zaman, ia harus terus beradaptasi dan mereposisi gerakan pendidikan dan
dakwahnya sesuai dengan trend perkembangan masyarakat modern dan
tantangan globalisasi yang melahirkan berbagai konfigurasi, diantaranya;
kemajuan iptek, teknologi komunikasi, kebebasan mengakses pengetahuan dan
informasi, sikap dan pemikiran liberal, radikal, intoleran, dan sebagainya.
Konfigurasi
globalisasi di atas, menjadi peluang sekaligus tantangan gerakan dakwah pondok
pesantren dalam menegakkan nilai-nilai Islam Wasathiyah di dalam masyarakat
muslim dan dunia. Gerakan dakwah pondok pesantren harus bertransformasi dari
pola dakwah “cultural-convensional” ke pola dakwah “cybernetic-global”
dengan tetap memegang prinsip penyampaian dakwah moderat, yaitu; bi
al-hikmah, bi al-mauidzah al-hasanah, dan bi al-mujadalah
secara ihsan.
Dengan posisi
dan strategi dakwah ini, Pondok pesantren tampil menjadi penengah (tawasuth)
dan berkontribusi dalam keberlangsungan peradaban dan perdamaian dunia.
Oleh karena itu, sintesis pola dakwah kultural dan teknological pondok
pesantren merupakan “keharusan” dalam merespon trend objek dakwah yang
lebih luas dan global, serta mampu menjadi gerakan dakwah penyeimbang dalam
meng-counter penyebaran paham keagamaan yang menyimpang dari prinisip dan
nilai-nilai Islam sebagai agama rahmatan li al-‘alamin.
Sebagai
implikasi pentingnya reposisi dan transformasi gerakan dakwah pondok pesantren,
maka paradigma penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren pun harus
diorientasikan bukan saja sebagai lembaga “tafaqquh fi al-dien” ansich,
akan tetapi juga penguatan nalar dakwah Islam moderat, dan peningkatan kemampuan
dan penguasaan Information Communication and Technology (ICT).
1
A. Pendahulaun
Sejak
didirikan oleh para ulama, pondok pesantren mengembang misi pendidikan. Di
dalam “rahim” pondok pesantren, para santri memperdalam ajaran agama (tafaqquh
fi al-din) secara kaffah. Di samping itu, para ulama beserta
santrinya juga melayani kebutuhan yang lebih luas dari masyarakat sesuai dengan
misi yang diembannya, sehingga pondok pesantren pun tidak terlepas sebagai
pusat dakwah Islamiyah.
Pondok
pesantren, menjadi salah satu pilar penting dalam dunia pendidikan dan dakwah
yang efektif sejak awal Islam berkembang di nusantara sampai saat ini. Peran
dan kontribusi yang diberikan kepada masyarakat muslim di Indonesia sangat
besar, baik dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) maupun dalam bidang
penyebaran dan pemahaman ajaran Islam yang rahmatan li al-‘alamin
melalui gerakan dakwah dan pendidikan.
Efektivitas
penyebaran dakwah Islam yang bermuara dari pondok pesantren dalam setting sosio-historisnya,
tidak terlepas dari peran para ulama dan santrinya yang menampilkan
karakteristik Islam yang inklusif (infitah), moderat (tawassuth),
persamaan (musawah), dan seimbang (tawazun).[2] Karena
itu, pondok pesantren tampil dengan elegan dan sangat mudah diterima oleh
komunitas masyarakat dalam gerakan dakwah keagamaan yang berbasis pada tradisi
Islam Ahlusunnah Wa al-Jama’ah (selanjutnya; Aswajah) khas
Indonesia (Islam Nusantara).[3]
Namun
demikian, seiring dengan perkembangan komunitas muslim serta kemajuan teknologi
di era global dewasa ini, menghendaki perubahan paradigma dan pola aksi gerakan
dakwah yang telah “mengultural” dilakukan dunia pesantren. Dunia pesantren
dituntut memperkokoh gerakan dakwah dalam konteks modern tanpa kehilangan
identitas indigenous-nya. Pondok pesantren, harus terus beradaptasi dan
mereposisi gerakan pendidikan dan dakwahnya sesuai dengan trend
perkembangan masyarakat modern dan mampu mengahadpi pelbagai tantangan, baik tantangan
yang bersifat internal, eksternal, maupun global.
Sebagai lembaga penguatan
keagamaan Islam Aswajah, pondok pesantren diharapkan tetap eksis dan survive
menyebarkan nilai-nilai Islam Wasathiyah di tengah-tengah munculnya
gerakan Islam eksklusif atas nama dakwah dan jihad. Ajaran dakwah, amar
makruf nahi mungkar, dan jihad, dijadikan bahan legitimasi yang efektif
bagi pihak atau kelompok tertentu untuk mendukung gerakan radikalisme dengan
menampilkan “ayat-ayat konfrontatif” yang ditafsir secara eksklusif,
tekstual-literalis.[4]
Bahkan, secara massif gerakan dakwah kelompok ini secara efektif mendayagunakan
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta melibatkan proses psikologis
dan kognitif tertentu sehingga mampu merubah maindset serta cara pandang
dan sikap keberagamaan umat.[5]
Oleh
karena itu, reposisi gerakan dakwah kultural pondok pesantren sebagai kekuatan penyeimbang
dalam meng-counter penyebaran paham keagamaan yang menyimpang dari
prinsip, nilai, dan misi Islam rahmatan li al-‘alamin secara moderat menjadi
keharusan dalam rangka mempertegas peran dan kontribusi pondok pesantren dalam
membangun peradaban Islam di Nusantara dan perdaiaman Dunia.
B. Pondok Pesantren: Perspektif Edukasi dan Dakwah
Kultural
Secara
terminologis, istilah pesantren telah mengisyaratkan adanya interaksi yang
harmonis antara Islam dengan budaya lokal (nusantara). Konon, pesantren
merupakan serapan dari bahasa Sansekerta, “sastri”, yang berarti orang
yang pandai membaca kitab suci.[6]
“Pesantren” sendiri dimaknai sebagai tempat penganut agama Hindu dan Budha yang
menyelenggarakan pembelajaran dalam rangka memahami kitab suci mereka. Dan,
pada gilirannya, istilah tersebut lebih sering digunakan dan bahkan menjadi
istilah khas lembaga pendidikan Islam Indonesia. Adapun kata “pondok” yang
melekat pada pesantren dimaknai sebagai rumah, asrama, atau tempat tinggal
sederhana yang ditempati santri menuntut ilmu.[7]
Secara
umum, pondok pesantren adalah lembaga “Iqomah al-din” yang memiliki dua
fungsi utama, yaitu; (1) sebagai pusat tafaqquh fi al-din (pengajaran,
pemahaman, dan pendalaman ajaran Islam) berbasis kitab-kitab turats Islam,
dan; (2) fungsi indzar (menyampaikan atau mendakwahkan ajaran Islam
kepada masyarakat).[8]
Dari segi latar belakang historisnya, pondok pesantren tumbuh dan berkembang
dengan sendirinya menjalankan kedua fungsi utama tersebut di dalam masyarakat
di mana terdapat implikasi-implikasi sosio-kultural bahkan politik yang
menggambarkan sikap ulama-ulama Islam sepanjang sejarah.[9]
Sebagai
lembaga pendidikan, pondok pesantren eksis membekali santrinya dengan berbagai
ilmu pengetahuan agama yang kaffah, mengajarkan cara hidup berinteraksi
dengan berbagai ragam budaya, dan bahkan belajar tentang perbedaan mazhab dan
pemikiran. Selain itu, pendidikan pondok pesantren teruji menginternalisasikan
nilai-nilai keutamaan, seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan
kebebasan berpikir terkait keilmuan. Hal ini tentu menjadi modal kuat dan
potensi dasar dalam menyiapkan Da’i yang berwawasan Islam moderat.
Dalam
menjalankan fungsi dakwah, pondok pesantren lebih memilih pendekatan dakwah
kultural dibanding dakwah eksklusif. Dakwah kultural adalah aktivitas dakwah
yang menekankan pendekatan “Islam kultural”.[10] Dakwah
kultural adalah kegiatan dakwah dengan memerhatikan potensi dan kecenderungan
manusia sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka menghasilkan kultur
baru yang bernuansa Islami atau kegiatan dakwah dengan memanfaatkan adat,
tradisi, seni dan budaya lokal dalam proses menuju kehidupan Islami.
Pendekatan
dakwah kultural pondok pesantren memberikan peluang dialog antara budaya dan
keyakinan (intercultur faith understanding).[11] Gerakan
dakwah pesantren seperti ini, tentu memilliki konsentrasi dan cita-cita
mempertahankan kesatuan dan keutuhan bangsa atas dasar ukhuwah insaniyah,
ukhuwah basyariah, ukhuwah Islamiyah dan wathaniyah. Dan
ini dipandang lebih penting dan sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan yang memiliki
kultur tampilan sistem keagamaan yang ramah dan moderat sekaligus sangat
bersikap universal. Pesantren menolak segala bentuk kekerasan, intoleran,
radikal dan ekstrim, terlebih dengan mengatas namakan agama dan gerakan dakwah.
Spirit dakwah pesantren berusaha hadir dengan melindungi “siapa saja:, dan
mengembalikan pengertian Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
C. Tantangan dan Peluang Gearakan Dakwah
Pesantren di Era Global
Dalam
konteks kekinian, pesantren diperhadapkan dengan dua arus besar yang berasal
dari luar dan dalam Islam, yakni: “Globalization” dan “Radikalism”.
1. Pondok Pesantren dan Tantangan Global
Globalisasi
meniscayakan terintegrasinya belahan dunia manapun. Sekat-sekat spasial antar
wilayah menjadi terbuka dan tampak begitu transparan. Keterbukaan informasi ini
akan berdampak pada tergerusnya eksistensi budaya lokal. Pesantren sebagai
entitas yang bertugas melakukan konservasi terhadap kearifal lokal melalui
basis gerakan kultural terguncang identitasnya untuk bisa memosisikan diri di
tengah gencarnya paham dan budaya impor yang merusak (kemoderenan yang mudhir
[dharar]).
Globalisasi
kini hadir menjadi kekuatan yang terus meningkat, dan dapat menimbulkan aksi
dan reaksi dalam kehidupan.[12]
Globalisasi melahirkan dunia yang terbuka untuk saling berhubungan, terutama
dengan ditopang teknologi informasi yang semakin canggih. Topangan teknologi
informasi dan komunikasi ini pada gilirannya sangat potensial mengubah
segi-segi kehidupan, baik kehidupan material maupun kehidupan mental-spiritual.
Globalisasi
merupakan sebuah fenomena kompleks dan sebagai efek domino atas laju modernitas
yang memiliki dampak sistemik terhadap semua dimensi kehidupan umat manusia,[13]
termasuk dalam beragama dan berdakwah. Proses globalisasi dengan segala
konfigurasinya yang imanen dan berdimensi global hampir menyentuh seluruh tradisi
agama yang mempunyai kekuatan norma, nilai, dan makna bagi kehidupan kolektif.
Dengan demikian, kehidupan beragama di era globalisasi tentu diperhadapkan
pelbagai tantangan, di antaranya munculnya ide-ide kosmopolitan yang menyimpang
dari frame ke-Islaman yang rahmatan li al-‘alamin secara bebas
dan terbuka.
Globalisasi menjadikan segala hal tanpa batas
(borderless) dengan pendayagunaan daya komputasi dan data yang tidak
terbatas. Kondisi ini sebagai dampak perkembangan internet dan teknologi
digital yang masif sebagai tulang punggung pergerakan dan konektivitas manusia
saat ini. Lompatan perubahan dunia di era global inilah yang disebut era
revolusi industri 4.0 di mana teknologi informasi telah menjadi basis dalam
kehidupan manusia. Era ini juga disebut sebagai “era disrupsi”.[14]
Sebuah era yang menekankan pada pola digtial, artificial intelligence, big
data, dan sebagainya. Hal ini, tentu memengaruhi bahkan akan “mendisrupsi”
berbagai aktivitas manusia, termasuk di dalamnya aktivitas di bidang gerakan
pendidikan dan dakwah para da’i pondok pesantren.
2. Pondok Pesantren dan Tantangan Radikalisme
Selain
globalisasi, tantangan dari dalam berupa radikalisme tidak kalah berbahayanya.
Radikalisme merupakan faham, wacana dan aktivisme yang berupaya mengubah sistem
politik, ekonomi, sosial dan budaya yang ada secara radikal. Radikalisme juga
menegasikan pemahaman yang dianggap bukan berasal dari Islam, termasuk tradisi
dan terkesan sangat memaksakan. Wajah Islam yang tadinya tampak teduh dan ihsan
berubah menjadi buram yang sarat dengan kekerasan. Parahnya, hal ini juga
dilegitimasi dengan ayat-ayat yang tentu saja dimaknai secara subjektif dan
tekstual oleh kelompok ini.
Bahkan,
seiring dengan perkembangan politik nasional dan global beberapa dekade
terakhir, sebagian pondok pesantren pun di Indonesia dipersepsi atau “dituduh”
sebagai institusi pendidikan yang berkontribusi besar terhadap tumbuhnya faham
dan gerakan garis keras yang radikal dan fundamentalistis. Terdapat sejumlah pondok
pesantren oleh “sementara pihak” diberi lebel sebagai tempat penyemai pelaku
teror dan radikal di Indonesia.[15]
Pondok pesantren tidak lagi sepenuhnya dianggap preferensi penguatan Islam rahmatan
li al-‘alamin, akan tetapi sudah dipersepsikan sebagai sumber penyemaian
radikalisme “berjubah” gerakan dakwah dan jihad keagamaan yang legitimite.
Dalam
konteks Indonesia, tentu tidak dengan semudah itu mengganggap pondok pesantren
sebagai tempat “perkecambahan radikalisme”. Terlebih lagi, pondok pesantren di
Indonesia pada setting sejarahnya, umumnya didirikan oleh ulama-ulama
Nusantara dan kaum muslim modernis yang kredibilitas dan integritas keagamaan
dan kebangsaannya tidak diragukan.
Secara umum, gerakan radikalisme Islam
tidak dapat dilepaskan dari konteks gerakan Islamisme global yang berorientasi
untuk “mendiskreditkan” Islam.[16] Meskipun secara faktual memang tidak dapat
dihindari bahwa sebagian besar pelaku aksi radikalisme
dan terorisme atas nama Islam di Indonesia adalah alumni madrasah atau pondok
pesantren. Namun demikian, menganggap seluruh lembaga pendidikan jenis tersebut
sebagai sumber ajaran radikalisme dan teoririsme juga merupakan kesalahan
mendasar mengingat karekteristik dan pola pengembangan lembaga pendidikan Islam
di Indonesia yang amat beragam. Apalagi sejak awal lembaga pendidikan pondok
pesantren telah menunjukkan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam di
Indonesia yang ikut memperkokoh bangunan Islam di Nusantara. Pondok pesantren
juga telah menunjukkan perannya dalam menjaga stabilitas politik melalui pengakuan
dan penerimaan Pancasila sebagai dasar nagara Republik Indonesia secara final.
3. Mentransformasi Tantangan Menjadi Peluang
Gerakan Dakwah Wasathiyah
Realitas
tantangan eksternal dari konfigurasi globalisasi, serta tantangan internal
gerakan radikalisme Islam, baik dari internal pesantren maupun dari internal
umat Islam itu sendiri sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya dapat dijadikan peluang dakwah sekaligus
mempertegas eksistensi pondok pesantren sebagai penyemai nilai-nilai Islam
Wasathiyah, bukan Islam radikal sebagaimana yang dituduhkan oleh pihak atau
kelompok tertentu.
Pada
prinsipnya, globalisasi dalam perspektif Islam adalah sunatullah karena Islam
adalah yang bersifat universal, yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad
s.a.w sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan li al-‘alamin). Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil budi daya manusia seyogyanya
dipergunakan untuk kesejahteraan hidup umat manusia. Relevansinya dengan
gerakan dakwah Islam, produk iptek tersebut seharusnya diadopsi oleh para da’i
untuk dijadikan sebagai instrumen untuk “menviralkan” ajaran Islam
Wasathiyah serta memperkokoh dan menjaga stamina kehidupan mental-spiritual
umat.
Dengan
demikian, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dengan segala bentuk
inovasinya (disruption innovation), semestinya dijadikan sebagai peluang
bagi dunia pondok pesantren untuk mentransformasi atau mereposisi gerakan
dakwah “kultural-konvensional” menjadi gerakan dakwah “cybernetic” tanpa
meninggalkan nilai-nilai kultural (dakwah kultural) yang diperankan selama ini. Mentransformasi gerakan dakwah berbasis cybernetic
di era revolusi teknologi 4.0 saat ini sangat memungkinkan mengembangkan
misi dan akses dakwah secara luas dan global.
D. Reposisi Gerakan Dakwah Pondok Pesantren di
Era Global
Tidaklah
berlebihan jikalau menyebut pondok pesantren sebagai agen bagi berkembang
suburnya Islam di Nusantara. Pondok pesantren yang di satu sisi mengajarkan
syariat Islam sebagai landasan berIslam secara benar, di sisi lain juga
mengajarkan pentingnya budaya dan kearifan lokal sebagai modal sosial untuk
mendakwahkan Islam.[17] Pada
akhirnya, usaha untuk "mengislamkan Nusantara" melalui dakwah
kultural yang diajarkan dan dipraktikkan para da’i pondok pesantren serta usaha
"menusantarakan Islam" melalui akulturasi Islam dengan kultur lokal
menemui jalannya. Pondok pesantren sukses dalam gerakan pendidikan dan
dakwahnya selama ini, oleh karena para da’i pondok pesantren mengajarakan dan mengajakkan nilai-nilai ke-Islaman
dalam mesyarakat tanpa mengabaikan unsur lokalitas (budaya dan kearifan lokal).
Paradigma
Dakwah Kultural Pesantren di Era Global
Melihat
perkembangan teknologi yang semakin maju saat ini dan semakin eratnya manusia
dengan dunia digital, ternyata turut berpengaruh terhadap cara penyampaian
dakwah. Model, strategi, dan pendekatan dakwah bukan saja dilaksanakan secara
konvensional melalui mimbar di dunia nyata, namun para da’i pesantren sangat
urgen “menyentuh” basis dakwah melalui cybermedia di dunia maya. SDM
da’i pondok pesantren sangat perlu bertransformasi dalam dakwah menyampaikan
ajaran agama Islam dengan memanfaatkan teknologi.
Perubahan
masyarakat yang fenomenal di era global dan revolusi digital, seharusnya
diimbangi dengan adanya perubahan cara berdakwah yang dilakukan oleh para da’i.
Dakwah tidak boleh jalan di tempat dan menggunakan cara-cara yang konvensional
saja. Performance dakwah harus dinamis, progresif, dan penuh inovasi.
Para da’i perlu menciptakan kreasi-kreasi baru yang ada adaptif dan lebih
membumi serta dapat membawa kemaslahatan umat.
Dalam
konteks dakwah pondok pesantren, reposisi dan transformasi gerakan dakwah
sangat urgen dilakukan. Secara konseptual, paling tidak, ada empat hal yang
bisa dilakukan pondok pesantren dalam membangun gerakan dakwah kultural berbasis
Islam Wasathiyah di era kontemporer saat ini, yakni: Pertama,
menjadikan dakwah sebagai objek ilmu yang dapat diteliti dan dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Kedua, mengubah
paradigma ilmu dakwah menjadi ilmu komunikasi Islam dengan cara mensintesiskan
teori-teori ilmu komunikasi dengan teori-teori dakwah yang bersumber dari
ajaran dan nilai Islam wasathiyah. Ketiga, menyiapkan da’i yang
mampu beradaptasi dengan perkembangan IPTEK. Keempat, memanfaatkan
berbagai media komunikasi dan informasi yang banyak dipergunakan oleh
masyarakat.[18]
Dakwah
sebagai objek ilmu, “membaca” fenomena dan problem internal dan eksternal umat
untuk dicermati, dikaji, dan dianalisa sebagai objek kajian dan keilmuan
dakwah. Sehingga dakwah tidak hanya dianggap sebagai aktivitas
“verbalis-retorik” yang tidak membutuhkan landasan keilmuan yang kuat. Oleh
karena itu, perlu ada upaya penguatan riset-riset objek dakwah di pondok
pesantren berbasis trend kebutuhan, penengah, dan solusi problem terhadap
keumatan. Hal ini penting, karena pesatnya perkembangan aktivitas dakwah di
masyarakat dewasa ini dipandang belum mampu memberikan nalar
ilmiah dakwah yang dapat diterima secara efektif.
Relevan
dengan konteks ini, maka membangun paradigma baru dakwah mutlak diperlukan. Moh.
Ali Aziz (2012: 3), menyatakan bahwa dakwah perlu dilakukan rebranding dengan
cara membangun landasan filosofis dari keilmuan dakwah dan memperkuat peran
organisasi dakwah secara profesional. Perlunya brand baru disebabkan
karena term dakwah dikenal di
masyarakat sebagai term normatif, kurang compatible dengan
era modern dan cenderung bersifat keakhiratan. Kalaupun dikenal, dakwah identik
dengan ceramah atau tabligh.[19]
Sejalan
dengan gagasan Moh. Ali Aziz di atas, mempertegas urgennya perubahan paradigma
keilmuan dakwah menuju komunikasi Islam. Perubahan paradigma keilmuan dakwah
menuju komunikasi Islam, menurut Andi Faisal Bakti (2009: 9), dilakukan dengan
cara mengadopsi bangunan teori yang ada di dalam ilmu komunikasi umum. Dalam konteks
ini, ia membuat matrik tentang ilmu
komunikasi Islam (ilmu dakwah) sebagai berikut:
Islamic Communication (Dakwah)
|
Secular Communication
|
Tabligh (tandzir, ta’aruf)
|
Information (SMCR, E-Convergence,
Active Recipient)
|
Taghyir (nafs, qaum, ummah, tauhid)
|
Change (modernization, dependency, multiplicity)
|
Amar ma’ruf nahi munkar (amanu, amal
shaleh, al-haq, al-sabr)
|
Development (Diffusion of
Innovation, social marketing, participatory, self Help)
|
Akhlaq (al-maw’izah, al-hikmah,
ahsanul mujadalah, al-karimah, la-fitnah, la-zhan, ta’awun, musyawarah/syura
|
Ethics / wisdom
|
Matrik
yang diformulasi oleh Faisal Bakti di atas menstressing bahwa teori-teori
dakwah dapat dikembangkan dengan cara mengadopsi teori-teori yang berasal dari
ilmu komunikasi yang telah kuat landasan teoritis ilmiahnya. Pendapat Faisal Bakti
juga relevan dengan pendapat Hamid Mowlana (1996) yang menyatakan bahwa dakwah
(tabligh) merupakan sebuah
teori tentang komunikasi
dan etika (tabligh is a
theory of communication and ethics).[20] Dengan demikian, konteks dakwah yang
dipresentasikan oleh para da’i pondok pesantren dapat berwujud sebagai komunikasi
khas yang berbeda dengan komunikasi lainnya, terutama berkaitan dengan cara dan
tujuan yang akan dicapai.
Untuk
mendukung adanya perubahan paradigma dalam berdakwah ini, para da’i pondok
pesantren perlu penguatan kapasitas dan kapabilitas wawasan, ilmu dan kemampuan
penguasaan teknis (iptek) yang diperlukan dalam melakukan gerakan dakwah wasathiyah.
Pondok pesantren harus mengikuti perkembangan teknologi informasi yang
berkembang dengan sangat pesat dan menjadikannya sebagai instrumen dakwah. Para
da’i tidak boleh gaptek (gagap teknologi), karena jika gaptek akan tertinggal dan
bisa saja “terdisrupsi” dalam melakukan gerakan dakwah Islam.
Pesantren
dalam Konteks Dakwah Cybernetic dan Da’i Virtual
Dalam
era modern ini, perkembangan di bidang teknologi informasi sedemikian pesatnya
sehingga kalau digambarkan secara grafis, kemajuan yang terjadi terlihat secara
eksponensial dan tidak ada yang dapat menahan lajunya perkembangan teknologi
informasi.[21].
Amat disayangkan manakala kemajuan teknologi informasi ini tidak dimanfaatkan
untuk kepentingan dakwah. Apalagi dalam realitas sekarang ini, hampir sebagian
besar masyarakat telah memiliki peralatan teknologi informasi, baik komputer,
internet, hand phone, dan sebagainya. Ibaratnya, dunia masyarakat
sekarang ini adalah dunia teknologi informasi.
Dari
laporan berjudul "Essential Insights Into Internet, Social Media,
Mobile, and E-Commerce Use Around The World" yang diterbitkan tanggal
30 Januari 2018, dari total populasi Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa,
pengguna aktif media sosialnya mencapai 130 juta dengan penetrasi 49 persen. Secara
global, total pengguna Internet menembus angka empat miliar pengguna. Untuk
pengguna media sosialnya, naik 13 persen dengan pengguna year-on-year
mencapai 3,196 miliar.[22]
Lajunya
perkembangan teknologi informasi yang diiringi dengan semakin bertambanya
pengguna media sosial, khususnya di Indonesia harusnya disahuti dengan
baik dan antusias dalam menyebarkan hal-hal yang baik. Penggunaan cyber
media (media online) sebagai sarana dakwah dewasa ini harus menjadi
alternatif dalam berdakwah oleh da’i (pengasuh dan santri) pondok
pesantren. Pondok pesantren sangat penting membangun media dakwah cybernetic
(media cyber dalam menyampaikan materi-materi dakwah, setiap da’i bisa saja memiliki akun di media sosial
seperti; facebook, twitter, LINE, WhatsApp, Path atau media online lainnya
seperti; Youtube, Instagram, Weblog, LinkedIn dan sebagainya.
Misbakhul
Khoiri,[23] dalam
ristenya menyimpulkan bahwa penggunaan
media sosial sebagai media dakwah Islam cukup efektif. Hal ini
berdasarkan tingginya jumlah respon dan antusiasme pengunjung laman media
sosial KH. Abdullah Gymnastiar saat memberikan tausiah melalui update
status di facebook.[24] Fenomena
yang sama juga tampak pada Ustad Abdul Somad dalam kurun dua tahun terakhir. Jumlah pengikutnya di Facebook mencapai
lebih dari 1 juta orang, sementara di Instagram mencapai lebih dari 2 juta
orang. Lewat tampilannya di media sosial, Somad
mendapat julukan “Dai Sejuta View”. Akun YouTubenya, Tafaqquh Video, dilihat
lebih dari 50 juta kali.[25]
Realitas
ini menunjukkan bahwa peran media sosial (cyber media) sangat kuat peran
dan pengaruhnya, bukan saja dalam
mendongkrak popularitas da’i, tetapi juga dalam penyampaian nilai-nilai ajaran
Islam. Hal ini didukung hasil riset Fadly Usman (2016) bahwa materi-materi
dakwah Islam yang disampaikan melalui media online sangat efektif,
khususnya bagi pengguna telepon pintar atau smartphone. Berdasarkan
hasil penelitiannya, bahwa sejak usia pelajar sampai dengan usia kerja
telah memanfaatkan smartphone untuk mendapatkan informasi
tentang dakwah Islam 46% dan sangat sering mencari literatur tentang
pengetahuan agama melalui media online.[26]
Data
dan fakta riset di atas semakin mempertegas urgennya pemanfaatan media cyber
(sosial media) bagi kalangan aktivis dakwah, terutama lembaga pondok pesantren di
era globalisasi ini.Tantangan aktivis dakwah di media sosial memang sangat
banyak dan beragam, sadar atau tidak aktivis-aktivis dengan pemikiran liberal dan
radikal sangat aktif dalam pemanfaatan media sosial ini. Tulisan-tulisannya
aktif menghiasi forum-forum website, facebook, twitter, LINE, WhatsApp, Path
atau media online lainnya seperti; Youtube, Instagram, Weblog, LinkedIn. Mereka
rutin menyebarkan pemikiran liberal dan radikal pemahama yang menyimpang tentang
Islam.
Maka
dari itu, ketika kita tidak mengambil peran dan mengambil posisi di “ruang” ini,
maka masyarakat akan terbangun dalam pemikiran-pemikiran yang jauh dari prinsip
dasar ke Islamannya. Sementara, tingkat efektivitas penggunaan media online
sebagai sarana dakwah Islam menunjukkan trend dewasa ini. Penggunaan
smartphone merupakan hal yang umum dewasa ini, sehingga peluang dakwah melalui
media online menjadi sangat terbuka. Salah satu hasil riset merilis bahwa 47%
responden sangat sering menggunakan smartphone mereka untuk mencari informasi
tentang masalah agama, bahkan 100% pemilik smartphone memiliki aplikasi
untuk kegiatan ibadah seperti aplikasi pengingat waktu sholat (Athan, Islamic
Finder), aplikasi qur’an dan terjemah, aplikasi penghitung untuk berdzikir, dan
aplikasi-aplikasi lain seperti do’a sehari-hari, penunjuk arah kiblat, dan lain
sebagainya.[27]
Memosisikan
pondok pesantren dalam medan dakwah cybernetic dan tampil dengan performance
“da’i virtual” menjadi “keharusan” dalam rangka mengiringi kebutuhan masyarakat
yang cenderung mencari ilmu pengetahuan agama dan materi dakwah di media sosial.
Gerakan dakwah pondok pesantren berbasis cybernetic diaharapkan mampu
menembus batas ruang dan waktu penyampaian dakwah secara luas dan efektif dalam
menyampiakan pesan-pesan Islam Wasathiyah sekaligus menjadi gerakan
dakwah penyeimbang dalam meng-counter penyebaran paham keagamaan yang
menyimpang dari prinisip dan nilai-nilai Islam yang saat ini sangat banyak
berseliwan di media cyber.
E. Penutup
Konsekuensi logis kemajuan iptek dan
keluasan informasi berdampak banyak terhadap peningkatan problematika keumatan,
derasnya arus pemikiran liberal dan radikal, berseliwarannya pemahaman
keagamaan yang terdistorsif, dan sebagainya, mengharuskan pondok pesantren mengambil
peran dan posisi penting dalam ruang dakwah “cybernetic-teknologic”
dengan cara membangun lembaga/media dakwah cyber yang dikelola secara
profesional dengan tetap mengedapankan prinsip dakwah wasathiyah, yaitu;
dakwah bi al-hikmah, bi al-mauidzah al-hasanah, dan bi al-mujadalah
secara ihsan. Dengan paradigma dan aksi dakwa cybernitc, pondok
pesantren akan mendorong dinamika Islam dan memperkokoh ketahanan nilai-nilai
Islam wasathiyah dalam aktivitas dakwah yang akomodatif, responsif, dan
solutif serta menjadi suluh yang tampil memainkan perannya, baik sebagai
penyeimbang, penyaring maupun sebagai pemberi arah hidup yang serba kompleks
berdasarkan ajaran Islam yang benar (Aswajah).
Daftar
Pustaka
Ahmad, Ahmad An-Nahidl, Pesantren dan
Dinamika Pesan Damai. Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan
Keagamaan. Volume 4, Nomor 3 Juli-September 2006.
Arifin, H.M., Kapita Selekta Pendidikan
Islam dan umum. Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Aziz, Moh. Ali, “A Roadmap of Rebranding
Da’wah”. Makalah Dipresentasikan pada AICIS, Surabaya, 5-8 Nopember 2012.
Basit, Abdul, “Dakwah Cerdas di Era Modern”.
Jurnal Komunikasi Islam Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Volumen 03, Nomor 01,
Tahun 2013.
Bungin, Burhan, Sosiologi Komunikasi. Jakarta:
Kencana, 2008.
Bungo, Sakareeya, Pendekatan Dakwah Kutural
dalam Masyarakat Plural. Jurnal Dakwah Tabligh, Volume 15 Nomor 01,
Desember 2012.
Darmadji, Ahmad, “Pondok Pesantren dan
Deradikalisasi di Indonesia”, Jurnal Millah, Volume XI No. 1 Agustus 2011,
h. 236.
Darus, Baharuddin, “Pengembangan Kajian
Ekonomi Islami pada IAIN di Abad 21”, dalam Syahrin Harahap (ed.), Perguruan
Tinggi Islam di Era Globalisasi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998.
Jamadu, Liberty, “Dakwah dan Media Sosial,
Rahasia Kesuksesan Ustaz Abdul Somad”. https://www.suara.com/tekno/2018/05/02/071500/dakwah-dan-media-sosial-rahasia-kesuksesan-ustaz-abdul-somad. Diakses tanggal, 01 Agustus 2018.
Kasali, Renald, Disruption. Jakarta: PT
Gramedia, 2017.
Khaddad, S. dan H. Khashan, “Islam and
Terrorism”. Journal of Conflict Resolution, Volume 46, Nomor 06, Tahun
2002.
Khoiri, Misbakhul, Dakwah Melalui Jejaring
Sosial Facebook KH. Abdullah Gymnastiar (Studi Teori Efektivitas Oleh Stewart.
L Tubbs dan Silvia Moss), Skripsi; Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.
Mowlana, Hamid, Global Communication in
Transition the End of Diversity. London: Sage Publication, 1996.
Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era
Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Muslim, Dakwah dengan Pendidikan Islam. http://guzmus93.blogspot.com/dakwah-dengan-pendidikan-islam.html. Diakses tanggal 30 Juli 2018.
Mustafa, Jejen, Pesantren dan Radikalisme,
http://www.uinjkt.ac.id/id/pesantren-dan-radikalisme/. Diakeses, tanggal 30 Juli 2018.
Nurjannah, Faktor Pemicu Munculnya
Radikalisme Islam Atas Nama Dakwah. Jurnal Dakwah, Volume XIV, Nomor 02
Tahun 2013.
Nurrahman,
“Pesantren dan Dakwah Kultural” http://metrouniv.ac.id/?page=artikel. Diakses, tanggal 31 Juli 2018.
Pertiwi, Kusuma, Wahyunanda, “Riset Ungkap
Pola Pemakaian Medsos Orang Indonesia”. https://tekno.kompas.com/read/2018/03/01/10340027/riset-ungkap-pola-pemakaian-medsos-orang-indonesia. diakses, tanggal 31 Juli 2018.
Suharto, Babun, Dari Pesantren untuk Umat.
Cet. 19; Surabaya: Imtiyaz, 2011.
Suriadi, A., “Globalisasi dan Respon
Pendidikan Agama Islam di Sekolah”. Jurnal Mudarrisuna, Vol. 7
Juli-Desember 2017, h. 247.
Toni, Hariya, Pesantren Sebagai Potensi
Pengembangan Dakwah Islam. Jurnal Dakwah dan Komunikasi STAIN Curup, Volume
1 Nomor 1, Tahun 2016.
Usman, Fadly, “Efektivitas Penggunaan Media
Online sebagai Media dakwah”. Jurnal Ekonomi dan Dakwah Islam (Al-Tsiqoh).
Volume 01 Tahun 2016.
[2]Nunu Ahmad An-Nahidl, Pesantren dan Dinamika Pesan Damai.
Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan. Volume 4, Nomor 3
Juli-September 2006, h. 17.
[3]Terminologi Islam Nusantara sesungguhnya hanya penyederhanaan dari
tipologi Islam Indonesia hasil perpaduan antara Islam dengan kebudayaan
Nusantara. Islam Nusantara dimaksudkan sebuah pemahaman keIslaman yang
bergumul, berdialog, dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara dengan melalui
proses seleksi dan akulturasi serta adaptasi. Islam yang dinamis dan bersahabat
dengan kultur dan agama yang beragam. Islam Nusantara bukan hanya cocok
diterima orang Nusantara tetepi juga memberikan warna bagi budaya Nusantara
sebagai sifat akomodatifnya yakni rahamatan lil ‘alamin.
[4]Beberapa ayat al-Quran yang dijadikan inspirasi dan legitimasi melakukan
tindakan radikal atas nama agama, antara lain: Surat Ali Imran ayat 151, 165,
185, dan Surat al-An’am ayat165. Ayat-ayat al-Quran yang terbukti bisa memicu radikalisme
tersebut adalah merupakan ayat-ayat yang berbicara tentang perintah dakwah
(menyeru di jalan Allah), perintah jihad (berjuang), perintah amar
makruf nahi mungkar (menyeruh kebaikan dan mencegah kejahatan), perintah
perang (qital), hukum qishash/bunuh, status taqwa, iman, dzalim,
kategori kafir, musuh Allah, teman syaitan, janji pertolongan Allah bagi pejuang,
balasan bagi pahlawan Allah, balasan bagi musuh Allah, dan strategi perang.
Lihat, S. Khaddad dan H. Khashan, “Islam and Terrorism”. Journal of
Conflict Resolution, Volume 46, Nomor 06, Tahun 2002, h. 817.
[5]Nurjannah, Faktor Pemicu Munculnya Radikalisme Islam Atas Nama
Dakwah. Jurnal Dakwah, Volume XIV, Nomor 02 Tahun 2013, h. 195.
[6]Nunu Ahmad An-Nahidl, Pesantren dan Dinamika Pesan Damai, h.
17.
[7]Babun Suharto, Dari Pesantren untuk Umat (Cet. 19; Surabaya:
Imtiyaz, 2011), h. 11.
[8]Hariya Toni, Pesantren Sebagai Potensi Pengembangan Dakwah Islam.
Jurnal Dakwah dan Komunikasi STAIN Curup, Volume 1 Nomor 1, Tahun 2016, h.
99.
[9]H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan umum
(Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 240.
[10]Sakareeya Bungo, Pendekatan Dakwah Kutural dalam Masyarakat
Plural. Jurnal Dakwah Tabligh, Volume 15 Nomor 01, Desember 2012, h. 214.
[11]Muh. Muslim, Dakwah dengan Pendidikan Islam. http://guzmus93.blogspot.com/dakwah-dengan-pendidikan-islam.html. Diakses tanggal 30 Juli 2018.
[12]Hal ini menunjukkan bahwa globalisasi terkait dengan
interaksi-interaksi transnasional yang melibatkan semua elemen masyarakat
secara nyata. Gelombang glubalisasi ini, paling tidak melahirkan lima
konfigurasi, yaitu: Pertama, globalisasi informasi dan komunikasi; Kedua,
globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas; Ketiga, globalisasi gaya
hidup, pola konsumsi, budaya, dan kesadaran; Keempat, globalisasi media massa
cetak dan elektronik, dan; Kelima, globalisasi politik dan wawasan.
Kekuatan globalisasi ini masuk melalui isu demokratisasi, hak asasi manusia,
lingkungan hidup, keterbukaan, dan sebagainya. Untuk uraian secara luas
konfigurasi globalisasi ini; Lihat, Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era
Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 49. Lihat juga,
Baharuddin Darus, “Pengembangan Kajian Ekonomi Islami pada IAIN di Abad 21”,
dalam Syahrin Harahap (ed.), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1998), h. 165-166.
[13]A. Suradi, “Globalisasi dan Respon Pendidikan Agama Islam di
Sekolah”. Jurnal Mudarrisuna, Vol. 7 Juli-Desember 2017, h. 247.
[14]Lihat, Renald Kasali, Disruption (Jakarta: PT Gramedia,
2017), h. 149.
[15]Pada 2016, menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
terdapat 19 pondok pesantren yang terindikasi mengajarkan doktrin bermuatan
radikalisme.Pemahaman radikal santri dan pengajar ada yang tahap wajar dan ada
juga yang tahap luar biasa. Pesantren yang terindikasi BNPT mendukung
radikalisme ialah Pondok Pesantren Al-Muaddib, Cilacap; Pondok Pesantren
Al-Ikhlas, Lamongan; Pondok Pesantren Nurul Bayan, Lombok Utara; Pondok
Pesantren Al-Ansar, Ambon; Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah, Makassar; Pondok
Pesantren Darul Aman, Makassar; Pondok Pesantren Islam Amanah, Poso; Pondok
Pesantren Missi Islam Pusat, Jakarta Utara; Pondok Pesantren Al-Muttaqin,
Cirebon; Pondok Pesantren Nurul Salam, Ciamis; dan beberapa pondok pesantren
lain di Aceh, Solo, dan Serang (CNN, 2016). Lihat, Jejen Mustafa, Pesantren
dan Radikalisme, http://www.uinjkt.ac.id/id/pesantren-dan-radikalisme/. Diakeses, tanggal 30 Juli 2018.
[16]Ahmad Darmadji, “Pondok Pesantren dan Deradikalisasi di
Indonesia”, Jurnal Millah, Volume XI No. 1 Agustus 2011, h. 236.
[17]Tomi Nurrahman, “Pesantren dan Dakwah Kultural” http://metrouniv.ac.id/?page=artikel. Diakses, tanggal 31 Juli 2018.
[18]Abdul Basit, “Dakwah Cerdas di Era Modern”. Jurnal
Komunikasi Islam Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Volumen 03, Nomor 01, Tahun
2013, h. 76.
[19]Moh. Ali Aziz, “A Roadmap of Rebranding Da’wah”. Makalah
Dipresentasikan pada AICIS, Surabaya, 5-8 Nopember 2012, h. 3.
[20]Hamid Mowlana, Global Communication in Transition the End of
Diversity (London: Sage Publication, 1996), h. 116.
[21]Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana,
2008), h.143.
[22]Wahyunanda Kusuma Pertiwi, “Riset Ungkap Pola Pemakaian Medsos
Orang Indonesia”. https://tekno.kompas.com/read/2018/03/01/10340027/riset-ungkap-pola-pemakaian-medsos-orang-indonesia. diakses, tanggal 31 Juli 2018.
[23]Misbakhul Khoiri, Dakwah Melalui Jejaring Sosial Facebook KH.
Abdullah Gymnastiar (Studi Teori Efektivitas Oleh Stewart. L Tubbs dan Silvia
Moss), Skripsi; Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan
Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.
[24]Hasil riset Misbakhul Khoiri mengungkap bahwa rata-rata lebih dari
1000 pengunjung akan bergabung dalam setiap status yang disampaikan oleh K.H.
Abdullah Gymnastiar. Dengan bahasa yang sederhana, dan mudah dipahami, response
komentar yang cepat, serta respon
positif dari pengunjung sehingga
dapat dikatakan bahwa KH Abdullah Gymnastiar mampu
menjadikan laman facebook sebagai media
dakwah Islam yang cukup efektif.
Lihat, Ibid.
[25]Liberty Jamadu, “Dakwah dan Media Sosial, Rahasia Kesuksesan
Ustaz Abdul Somad”. https://www.suara.com/tekno/2018/05/02/071500/dakwah-dan-media-sosial-rahasia-kesuksesan-ustaz-abdul-somad. Diakses tanggal, 01 Agustus 2018.
[26]Fadly Usman, “Efektivitas Penggunaan Media Online sebagai Media
dakwah”. Jurnal Ekonomi dan Dakwah Islam (Al-Tsiqoh). Volume 01 Tahun 2016,
h. 7.
Makalah Terkait:
- Med Hatta: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/risalah-batulicin-seminar-internasional.html#.W5snGdIzY1g
- H. Suti Pontong, S.Ag., MM: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/seminar-internasional-dai-islam-moderat_51.html#.W5slnNIzY1g
- Prof. Dr. M. Hussin Mutalib: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-melestarikan.html#.W5smeNIzY1g
- Dr. Muammar Bakry, Lc., MA: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-argumentasi.html#.W5skltIzY1g
- Dr. Hj. Hambali bin Hj. Jaili: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/seminar-internasional-dai-islam-moderat_83.html#.W5smKtIzY1g
- Dr. Abdul Rahim Wayayo, MA: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-dakwah-islam-di.html#.W5sl29IzY1g
- Dr. M. Tata Taufik, M.Ag: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-arah-pembaharuan.html#.W5sj69IzY1g
- PROPOSAL SEMINAR: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/proposal-seminar-internasional-dai.html#.W5sqI9IzY1g
- UNDANGAN SEMINAR 1: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/undangan-partisipasi-seminar.html#.W5spZNIzY1g
- UNDANGAN SEMINAR 2: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/blog-post.html#.W5sqn9IzY1g
1 komentar:
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
Tshirt Dakwah Quote
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Buktikan Cintamu dengan Menikah
Posting Komentar