Minggu, September 09, 2018

MODERASI DAKWAH ISLAM: MENYEBARKAN NILAI-NILAI ISLAM WASATHIYAH


REPOSISI GERAKAN DAKWAH KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM MENYEBARKAN NILAI-NILAI ISLAM WASATHIYAH*[1]

By: Arifuddin M. Arif
Dosen IAIN Datokarama Palu dan Alumni Pontren DDI Mangkoso

Resume Makalah
Sebagai institusi indigenous yang bergerak di bidang pendidikan, pondok pesantren juga menjadi pusat penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Performance gerakan dakwah pondok pesantren dalam setting sosio-historisnya telah menegakkan dan mempertahankan nilai-nilai tradisi Islam Ahlussunnah wa al-jama’ah khas Indonesia (Islam Nusantara). Kontribusinya, sangat besar dalam mencerahkan paham keagamaan umat Islam dengan strategi dan pendekatan kulturalnya.

Sebagai lembaga penguatan keagamaan dan moralitas yang eksis dan berdialektika dengan zaman, ia harus terus beradaptasi dan mereposisi gerakan pendidikan dan dakwahnya sesuai dengan trend perkembangan masyarakat modern dan tantangan globalisasi yang melahirkan berbagai konfigurasi, diantaranya; kemajuan iptek, teknologi komunikasi, kebebasan mengakses pengetahuan dan informasi, sikap dan pemikiran liberal, radikal, intoleran, dan sebagainya. 


Konfigurasi globalisasi di atas, menjadi peluang sekaligus tantangan gerakan dakwah pondok pesantren dalam menegakkan nilai-nilai Islam Wasathiyah di dalam masyarakat muslim dan dunia. Gerakan dakwah pondok pesantren harus bertransformasi dari pola dakwah “cultural-convensional” ke pola dakwah “cybernetic-global” dengan tetap memegang prinsip penyampaian dakwah moderat, yaitu; bi al-hikmah, bi al-mauidzah al-hasanah, dan bi al-mujadalah secara ihsan.

Dengan posisi dan strategi dakwah ini, Pondok pesantren tampil menjadi penengah (tawasuth) dan berkontribusi dalam keberlangsungan peradaban dan perdamaian dunia. Oleh karena itu, sintesis pola dakwah kultural dan teknological pondok pesantren merupakan “keharusan” dalam merespon trend objek dakwah yang lebih luas dan global, serta mampu menjadi gerakan dakwah penyeimbang dalam meng-counter penyebaran paham keagamaan yang menyimpang dari prinisip dan nilai-nilai Islam sebagai agama rahmatan li al-‘alamin.

Sebagai implikasi pentingnya reposisi dan transformasi gerakan dakwah pondok pesantren, maka paradigma penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren pun harus diorientasikan bukan saja sebagai lembaga “tafaqquh fi al-dien” ansich, akan tetapi juga penguatan nalar dakwah Islam moderat, dan peningkatan kemampuan dan penguasaan Information Communication and Technology (ICT).

1
A.  Pendahulaun
Sejak didirikan oleh para ulama, pondok pesantren mengembang misi pendidikan. Di dalam “rahim” pondok pesantren, para santri memperdalam ajaran agama (tafaqquh fi al-din) secara kaffah. Di samping itu, para ulama beserta santrinya juga melayani kebutuhan yang lebih luas dari masyarakat sesuai dengan misi yang diembannya, sehingga pondok pesantren pun tidak terlepas sebagai pusat dakwah Islamiyah.

Pondok pesantren, menjadi salah satu pilar penting dalam dunia pendidikan dan dakwah yang efektif sejak awal Islam berkembang di nusantara sampai saat ini. Peran dan kontribusi yang diberikan kepada masyarakat muslim di Indonesia sangat besar, baik dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) maupun dalam bidang penyebaran dan pemahaman ajaran Islam yang rahmatan li al-‘alamin melalui gerakan dakwah dan pendidikan.

Efektivitas penyebaran dakwah Islam yang bermuara dari pondok pesantren dalam setting sosio-historisnya, tidak terlepas dari peran para ulama dan santrinya yang menampilkan karakteristik Islam yang inklusif (infitah), moderat (tawassuth), persamaan (musawah), dan seimbang (tawazun).[2] Karena itu, pondok pesantren tampil dengan elegan dan sangat mudah diterima oleh komunitas masyarakat dalam gerakan dakwah keagamaan yang berbasis pada tradisi Islam Ahlusunnah Wa al-Jama’ah (selanjutnya; Aswajah) khas Indonesia (Islam Nusantara).[3]

Namun demikian, seiring dengan perkembangan komunitas muslim serta kemajuan teknologi di era global dewasa ini, menghendaki perubahan paradigma dan pola aksi gerakan dakwah yang telah “mengultural” dilakukan dunia pesantren. Dunia pesantren dituntut memperkokoh gerakan dakwah dalam konteks modern tanpa kehilangan identitas indigenous-nya. Pondok pesantren, harus terus beradaptasi dan mereposisi gerakan pendidikan dan dakwahnya sesuai dengan trend perkembangan masyarakat modern dan mampu mengahadpi pelbagai tantangan, baik tantangan yang bersifat internal, eksternal, maupun global.

 Sebagai lembaga penguatan keagamaan Islam Aswajah, pondok pesantren diharapkan tetap eksis dan survive menyebarkan nilai-nilai Islam Wasathiyah di tengah-tengah munculnya gerakan Islam eksklusif atas nama dakwah dan jihad. Ajaran dakwah, amar makruf nahi mungkar, dan jihad, dijadikan bahan legitimasi yang efektif bagi pihak atau kelompok tertentu untuk mendukung gerakan radikalisme dengan menampilkan “ayat-ayat konfrontatif” yang ditafsir secara eksklusif, tekstual-literalis.[4] Bahkan, secara massif gerakan dakwah kelompok ini secara efektif mendayagunakan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta melibatkan proses psikologis dan kognitif tertentu sehingga mampu merubah maindset serta cara pandang dan sikap keberagamaan umat.[5]

Oleh karena itu, reposisi gerakan dakwah kultural pondok pesantren sebagai kekuatan penyeimbang dalam meng-counter penyebaran paham keagamaan yang menyimpang dari prinsip, nilai, dan misi Islam rahmatan li al-‘alamin secara moderat menjadi keharusan dalam rangka mempertegas peran dan kontribusi pondok pesantren dalam membangun peradaban Islam di Nusantara dan perdaiaman Dunia.

B. Pondok Pesantren: Perspektif Edukasi dan Dakwah Kultural
Secara terminologis, istilah pesantren telah mengisyaratkan adanya interaksi yang harmonis antara Islam dengan budaya lokal (nusantara). Konon, pesantren merupakan serapan dari bahasa Sansekerta, “sastri”, yang berarti orang yang pandai membaca kitab suci.[6] “Pesantren” sendiri dimaknai sebagai tempat penganut agama Hindu dan Budha yang menyelenggarakan pembelajaran dalam rangka memahami kitab suci mereka. Dan, pada gilirannya, istilah tersebut lebih sering digunakan dan bahkan menjadi istilah khas lembaga pendidikan Islam Indonesia. Adapun kata “pondok” yang melekat pada pesantren dimaknai sebagai rumah, asrama, atau tempat tinggal sederhana yang ditempati santri menuntut ilmu.[7]

Secara umum, pondok pesantren adalah lembaga “Iqomah al-din” yang memiliki dua fungsi utama, yaitu; (1) sebagai pusat tafaqquh fi al-din (pengajaran, pemahaman, dan pendalaman ajaran Islam) berbasis kitab-kitab turats Islam, dan; (2) fungsi indzar (menyampaikan atau mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat).[8] Dari segi latar belakang historisnya, pondok pesantren tumbuh dan berkembang dengan sendirinya menjalankan kedua fungsi utama tersebut di dalam masyarakat di mana terdapat implikasi-implikasi sosio-kultural bahkan politik yang menggambarkan sikap ulama-ulama Islam sepanjang sejarah.[9]

Sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren eksis membekali santrinya dengan berbagai ilmu pengetahuan agama yang kaffah, mengajarkan cara hidup berinteraksi dengan berbagai ragam budaya, dan bahkan belajar tentang perbedaan mazhab dan pemikiran. Selain itu, pendidikan pondok pesantren teruji menginternalisasikan nilai-nilai keutamaan, seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan kebebasan berpikir terkait keilmuan. Hal ini tentu menjadi modal kuat dan potensi dasar dalam menyiapkan Da’i yang berwawasan Islam moderat.

Dalam menjalankan fungsi dakwah, pondok pesantren lebih memilih pendekatan dakwah kultural dibanding dakwah eksklusif. Dakwah kultural adalah aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan “Islam kultural”.[10] Dakwah kultural adalah kegiatan dakwah dengan memerhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka menghasilkan kultur baru yang bernuansa Islami atau kegiatan dakwah dengan memanfaatkan adat, tradisi, seni dan budaya lokal dalam proses menuju kehidupan Islami.

Pendekatan dakwah kultural pondok pesantren memberikan peluang dialog antara budaya dan keyakinan (intercultur faith understanding).[11] Gerakan dakwah pesantren seperti ini, tentu memilliki konsentrasi dan cita-cita mempertahankan kesatuan dan keutuhan bangsa atas dasar ukhuwah insaniyah, ukhuwah basyariah, ukhuwah Islamiyah dan wathaniyah. Dan ini dipandang lebih penting dan sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan yang memiliki kultur tampilan sistem keagamaan yang ramah dan moderat sekaligus sangat bersikap universal. Pesantren menolak segala bentuk kekerasan, intoleran, radikal dan ekstrim, terlebih dengan mengatas namakan agama dan gerakan dakwah. Spirit dakwah pesantren berusaha hadir dengan melindungi “siapa saja:, dan mengembalikan pengertian Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.


C. Tantangan dan Peluang Gearakan Dakwah Pesantren di Era Global
Dalam konteks kekinian, pesantren diperhadapkan dengan dua arus besar yang berasal dari luar dan dalam Islam, yakni: “Globalization” dan “Radikalism”.

1.    Pondok Pesantren dan Tantangan Global
Globalisasi meniscayakan terintegrasinya belahan dunia manapun. Sekat-sekat spasial antar wilayah menjadi terbuka dan tampak begitu transparan. Keterbukaan informasi ini akan berdampak pada tergerusnya eksistensi budaya lokal. Pesantren sebagai entitas yang bertugas melakukan konservasi terhadap kearifal lokal melalui basis gerakan kultural terguncang identitasnya untuk bisa memosisikan diri di tengah gencarnya paham dan budaya impor yang merusak (kemoderenan yang mudhir [dharar]).

Globalisasi kini hadir menjadi kekuatan yang terus meningkat, dan dapat menimbulkan aksi dan reaksi dalam kehidupan.[12] Globalisasi melahirkan dunia yang terbuka untuk saling berhubungan, terutama dengan ditopang teknologi informasi yang semakin canggih. Topangan teknologi informasi dan komunikasi ini pada gilirannya sangat potensial mengubah segi-segi kehidupan, baik kehidupan material maupun kehidupan mental-spiritual.

Globalisasi merupakan sebuah fenomena kompleks dan sebagai efek domino atas laju modernitas yang memiliki dampak sistemik terhadap semua dimensi kehidupan umat manusia,[13] termasuk dalam beragama dan berdakwah. Proses globalisasi dengan segala konfigurasinya yang imanen dan berdimensi global hampir menyentuh seluruh tradisi agama yang mempunyai kekuatan norma, nilai, dan makna bagi kehidupan kolektif. Dengan demikian, kehidupan beragama di era globalisasi tentu diperhadapkan pelbagai tantangan, di antaranya munculnya ide-ide kosmopolitan yang menyimpang dari frame ke-Islaman yang rahmatan li al-‘alamin secara bebas dan terbuka.

 Globalisasi menjadikan segala hal tanpa batas (borderless) dengan pendayagunaan daya komputasi dan data yang tidak terbatas. Kondisi ini sebagai dampak perkembangan internet dan teknologi digital yang masif sebagai tulang punggung pergerakan dan konektivitas manusia saat ini. Lompatan perubahan dunia di era global inilah yang disebut era revolusi industri 4.0 di mana teknologi informasi telah menjadi basis dalam kehidupan manusia. Era ini juga disebut sebagai “era disrupsi”.[14] Sebuah era yang menekankan pada pola digtial, artificial intelligence, big data, dan sebagainya. Hal ini, tentu memengaruhi bahkan akan “mendisrupsi” berbagai aktivitas manusia, termasuk di dalamnya aktivitas di bidang gerakan pendidikan dan dakwah para da’i pondok pesantren.   

2.    Pondok Pesantren dan Tantangan Radikalisme
Selain globalisasi, tantangan dari dalam berupa radikalisme tidak kalah berbahayanya. Radikalisme merupakan faham, wacana dan aktivisme yang berupaya mengubah sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya yang ada secara radikal. Radikalisme juga menegasikan pemahaman yang dianggap bukan berasal dari Islam, termasuk tradisi dan terkesan sangat memaksakan. Wajah Islam yang tadinya tampak teduh dan ihsan berubah menjadi buram yang sarat dengan kekerasan. Parahnya, hal ini juga dilegitimasi dengan ayat-ayat yang tentu saja dimaknai secara subjektif dan tekstual oleh kelompok ini.

Bahkan, seiring dengan perkembangan politik nasional dan global beberapa dekade terakhir, sebagian pondok pesantren pun di Indonesia dipersepsi atau “dituduh” sebagai institusi pendidikan yang berkontribusi besar terhadap tumbuhnya faham dan gerakan garis keras yang radikal dan fundamentalistis. Terdapat sejumlah pondok pesantren oleh “sementara pihak” diberi lebel sebagai tempat penyemai pelaku teror dan radikal di Indonesia.[15] Pondok pesantren tidak lagi sepenuhnya dianggap preferensi penguatan Islam rahmatan li al-‘alamin, akan tetapi sudah dipersepsikan sebagai sumber penyemaian radikalisme “berjubah” gerakan dakwah dan jihad keagamaan yang legitimite. 

Dalam konteks Indonesia, tentu tidak dengan semudah itu mengganggap pondok pesantren sebagai tempat “perkecambahan radikalisme”. Terlebih lagi, pondok pesantren di Indonesia pada setting sejarahnya, umumnya didirikan oleh ulama-ulama Nusantara dan kaum muslim modernis yang kredibilitas dan integritas keagamaan dan kebangsaannya tidak diragukan.

Secara umum, gerakan radikalisme Islam tidak dapat dilepaskan dari konteks gerakan Islamisme global yang berorientasi untuk “mendiskreditkan” Islam.[16]  Meskipun secara faktual memang tidak dapat dihindari bahwa sebagian besar pelaku aksi radikalisme dan terorisme atas nama Islam di Indonesia adalah alumni madrasah atau pondok pesantren. Namun demikian, menganggap seluruh lembaga pendidikan jenis tersebut sebagai sumber ajaran radikalisme dan teoririsme juga merupakan kesalahan mendasar mengingat karekteristik dan pola pengembangan lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang amat beragam. Apalagi sejak awal lembaga pendidikan pondok pesantren telah menunjukkan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang ikut memperkokoh bangunan Islam di Nusantara. Pondok pesantren juga telah menunjukkan perannya dalam menjaga stabilitas politik melalui pengakuan dan penerimaan Pancasila sebagai dasar nagara Republik Indonesia secara final.

3.    Mentransformasi Tantangan Menjadi Peluang Gerakan Dakwah Wasathiyah
Realitas tantangan eksternal dari konfigurasi globalisasi, serta tantangan internal gerakan radikalisme Islam, baik dari internal pesantren maupun dari internal umat Islam itu sendiri sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya  dapat dijadikan peluang dakwah sekaligus mempertegas eksistensi pondok pesantren sebagai penyemai nilai-nilai Islam Wasathiyah, bukan Islam radikal sebagaimana yang dituduhkan oleh pihak atau kelompok tertentu.

Pada prinsipnya, globalisasi dalam perspektif Islam adalah sunatullah karena Islam adalah yang bersifat universal, yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan li al-‘alamin). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil budi daya manusia seyogyanya dipergunakan untuk kesejahteraan hidup umat manusia. Relevansinya dengan gerakan dakwah Islam, produk iptek tersebut seharusnya diadopsi oleh para da’i untuk dijadikan sebagai instrumen untuk “menviralkan” ajaran Islam Wasathiyah serta memperkokoh dan menjaga stamina kehidupan mental-spiritual umat. 

Dengan demikian, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dengan segala bentuk inovasinya (disruption innovation), semestinya dijadikan sebagai peluang bagi dunia pondok pesantren untuk mentransformasi atau mereposisi gerakan dakwah “kultural-konvensional” menjadi gerakan dakwah “cybernetic” tanpa meninggalkan nilai-nilai kultural (dakwah kultural) yang diperankan selama ini.  Mentransformasi gerakan dakwah berbasis cybernetic di era revolusi teknologi 4.0 saat ini sangat memungkinkan mengembangkan misi dan akses dakwah secara luas dan global.

D. Reposisi Gerakan Dakwah Pondok Pesantren di Era Global 
Tidaklah berlebihan jikalau menyebut pondok pesantren sebagai agen bagi berkembang suburnya Islam di Nusantara. Pondok pesantren yang di satu sisi mengajarkan syariat Islam sebagai landasan berIslam secara benar, di sisi lain juga mengajarkan pentingnya budaya dan kearifan lokal sebagai modal sosial untuk mendakwahkan Islam.[17] Pada akhirnya, usaha untuk "mengislamkan Nusantara" melalui dakwah kultural yang diajarkan dan dipraktikkan para da’i pondok pesantren serta usaha "menusantarakan Islam" melalui akulturasi Islam dengan kultur lokal menemui jalannya. Pondok pesantren sukses dalam gerakan pendidikan dan dakwahnya selama ini, oleh karena para da’i pondok pesantren  mengajarakan dan mengajakkan nilai-nilai ke-Islaman dalam mesyarakat tanpa mengabaikan unsur lokalitas (budaya dan kearifan lokal).

Paradigma Dakwah Kultural Pesantren di Era Global
Melihat perkembangan teknologi yang semakin maju saat ini dan semakin eratnya manusia dengan dunia digital, ternyata turut berpengaruh terhadap cara penyampaian dakwah. Model, strategi, dan pendekatan dakwah bukan saja dilaksanakan secara konvensional melalui mimbar di dunia nyata, namun para da’i pesantren sangat urgen “menyentuh” basis dakwah melalui cybermedia di dunia maya. SDM da’i pondok pesantren sangat perlu bertransformasi dalam dakwah menyampaikan ajaran agama Islam dengan memanfaatkan teknologi.

Perubahan masyarakat yang fenomenal di era global dan revolusi digital, seharusnya diimbangi dengan adanya perubahan cara berdakwah yang dilakukan oleh para da’i. Dakwah tidak boleh jalan di tempat dan menggunakan cara-cara yang konvensional saja. Performance dakwah harus dinamis, progresif, dan penuh inovasi. Para da’i perlu menciptakan kreasi-kreasi baru yang ada adaptif dan lebih membumi serta dapat membawa kemaslahatan umat.

Dalam konteks dakwah pondok pesantren, reposisi dan transformasi gerakan dakwah sangat urgen dilakukan. Secara konseptual, paling tidak, ada empat hal yang bisa dilakukan pondok pesantren dalam membangun gerakan dakwah kultural berbasis Islam Wasathiyah di era kontemporer saat ini, yakni: Pertama, menjadikan dakwah sebagai objek ilmu yang dapat diteliti dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Kedua, mengubah paradigma ilmu dakwah menjadi ilmu komunikasi Islam dengan cara mensintesiskan teori-teori ilmu komunikasi dengan teori-teori dakwah yang bersumber dari ajaran dan nilai Islam wasathiyah. Ketiga, menyiapkan da’i yang mampu beradaptasi dengan perkembangan IPTEK. Keempat, memanfaatkan berbagai media komunikasi dan informasi yang banyak dipergunakan oleh masyarakat.[18]

Dakwah sebagai objek ilmu, “membaca” fenomena dan problem internal dan eksternal umat untuk dicermati, dikaji, dan dianalisa sebagai objek kajian dan keilmuan dakwah. Sehingga dakwah tidak hanya dianggap sebagai aktivitas “verbalis-retorik” yang tidak membutuhkan landasan keilmuan yang kuat. Oleh karena itu, perlu ada upaya penguatan riset-riset objek dakwah di pondok pesantren berbasis trend kebutuhan, penengah, dan solusi problem terhadap keumatan. Hal ini penting, karena pesatnya perkembangan aktivitas dakwah di masyarakat dewasa ini dipandang belum mampu memberikan nalar ilmiah dakwah yang dapat diterima secara efektif.

Relevan dengan konteks ini, maka membangun paradigma baru dakwah mutlak diperlukan. Moh. Ali Aziz (2012: 3), menyatakan bahwa dakwah perlu dilakukan rebranding dengan cara membangun landasan filosofis dari keilmuan dakwah dan memperkuat peran organisasi dakwah secara profesional. Perlunya brand baru disebabkan karena term dakwah dikenal di  masyarakat sebagai term normatif, kurang compatible dengan era modern dan cenderung bersifat keakhiratan. Kalaupun dikenal, dakwah identik dengan  ceramah  atau  tabligh.[19]

Sejalan dengan gagasan Moh. Ali Aziz di atas, mempertegas urgennya perubahan paradigma keilmuan dakwah menuju komunikasi Islam. Perubahan paradigma keilmuan dakwah menuju komunikasi Islam, menurut Andi Faisal Bakti (2009: 9), dilakukan dengan cara mengadopsi bangunan teori yang ada di dalam ilmu komunikasi umum. Dalam konteks ini, ia membuat matrik tentang ilmu  komunikasi Islam (ilmu dakwah) sebagai berikut:


Islamic Communication (Dakwah)
Secular Communication
Tabligh (tandzir, ta’aruf)
Information (SMCR, E-Convergence, Active Recipient)
Taghyir (nafs, qaum, ummah, tauhid)
Change (modernization, dependency, multiplicity)
Amar ma’ruf nahi munkar (amanu, amal shaleh, al-haq, al-sabr)

Development (Diffusion of Innovation, social marketing, participatory, self Help)
Akhlaq (al-maw’izah, al-hikmah, ahsanul mujadalah, al-karimah, la-fitnah, la-zhan, ta’awun, musyawarah/syura

Ethics / wisdom


Matrik yang diformulasi oleh Faisal Bakti di atas menstressing bahwa teori-teori dakwah dapat dikembangkan dengan cara mengadopsi teori-teori yang berasal dari ilmu komunikasi yang telah kuat landasan teoritis ilmiahnya. Pendapat Faisal Bakti juga relevan dengan pendapat Hamid Mowlana (1996) yang menyatakan bahwa dakwah (tabligh) merupakan sebuah  teori  tentang  komunikasi  dan  etika  (tabligh is  a  theory  of communication  and ethics).[20]  Dengan demikian, konteks dakwah yang dipresentasikan oleh para da’i pondok pesantren dapat berwujud sebagai komunikasi khas yang berbeda dengan komunikasi lainnya, terutama berkaitan dengan cara dan tujuan yang akan dicapai.

Untuk mendukung adanya perubahan paradigma dalam berdakwah ini, para da’i pondok pesantren perlu penguatan kapasitas dan kapabilitas wawasan, ilmu dan kemampuan penguasaan teknis (iptek) yang diperlukan dalam melakukan gerakan dakwah wasathiyah. Pondok pesantren harus mengikuti perkembangan teknologi informasi yang berkembang dengan sangat pesat dan menjadikannya sebagai instrumen dakwah. Para da’i tidak boleh gaptek (gagap teknologi), karena jika gaptek akan tertinggal dan bisa saja “terdisrupsi” dalam melakukan gerakan dakwah Islam.

Pesantren dalam Konteks Dakwah Cybernetic dan Da’i Virtual
Dalam era modern ini, perkembangan di bidang teknologi informasi sedemikian pesatnya sehingga kalau digambarkan secara grafis, kemajuan yang terjadi terlihat secara eksponensial dan tidak ada yang dapat menahan lajunya perkembangan teknologi informasi.[21]. Amat disayangkan manakala kemajuan teknologi informasi ini tidak dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Apalagi dalam realitas sekarang ini, hampir sebagian besar masyarakat telah memiliki peralatan teknologi informasi, baik komputer, internet, hand phone, dan sebagainya. Ibaratnya, dunia masyarakat sekarang ini adalah dunia teknologi informasi.

Dari laporan berjudul "Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World" yang diterbitkan tanggal 30 Januari 2018, dari total populasi Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa, pengguna aktif media sosialnya mencapai 130 juta dengan penetrasi 49 persen. Secara global, total pengguna Internet menembus angka empat miliar pengguna. Untuk pengguna media sosialnya, naik 13 persen dengan pengguna year-on-year mencapai 3,196 miliar.[22]

Lajunya perkembangan teknologi informasi yang diiringi dengan semakin bertambanya pengguna media sosial, khususnya di Indonesia harusnya disahuti dengan baik dan antusias dalam menyebarkan hal-hal yang baik. Penggunaan cyber media (media online) sebagai sarana dakwah dewasa ini harus menjadi alternatif dalam berdakwah oleh da’i (pengasuh dan santri) pondok pesantren. Pondok pesantren sangat penting membangun media dakwah cybernetic (media cyber dalam menyampaikan materi-materi dakwah, setiap  da’i bisa saja memiliki akun di media sosial seperti; facebook, twitter, LINE, WhatsApp, Path atau media online lainnya seperti; Youtube, Instagram, Weblog, LinkedIn dan sebagainya.

Misbakhul Khoiri,[23] dalam ristenya menyimpulkan bahwa penggunaan  media sosial sebagai media dakwah Islam cukup efektif. Hal ini berdasarkan tingginya jumlah respon dan antusiasme pengunjung laman media sosial KH. Abdullah Gymnastiar saat memberikan tausiah melalui update status di facebook.[24] Fenomena yang sama juga tampak pada Ustad Abdul Somad dalam kurun dua tahun terakhir. Jumlah pengikutnya di Facebook mencapai lebih dari 1 juta orang, sementara di Instagram mencapai lebih dari 2 juta orang. Lewat tampilannya di media sosial, Somad mendapat julukan “Dai Sejuta View”. Akun YouTubenya, Tafaqquh Video, dilihat lebih dari 50 juta kali.[25]

Realitas ini menunjukkan bahwa peran media sosial (cyber media) sangat kuat peran dan pengaruhnya, bukan saja  dalam mendongkrak popularitas da’i, tetapi juga dalam penyampaian nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini didukung hasil riset Fadly Usman (2016) bahwa materi-materi dakwah Islam yang disampaikan melalui media online sangat efektif, khususnya bagi pengguna telepon pintar atau smartphone. Berdasarkan hasil  penelitiannya, bahwa  sejak usia pelajar sampai dengan usia kerja telah memanfaatkan smartphone untuk mendapatkan  informasi  tentang dakwah Islam 46% dan sangat sering mencari literatur tentang pengetahuan agama melalui media online.[26]

Data dan fakta riset di atas semakin mempertegas urgennya pemanfaatan media cyber (sosial media) bagi kalangan aktivis dakwah, terutama lembaga pondok pesantren di era globalisasi ini.Tantangan aktivis dakwah di media sosial memang sangat banyak dan beragam, sadar atau tidak aktivis-aktivis dengan pemikiran liberal dan radikal sangat aktif dalam pemanfaatan media sosial ini. Tulisan-tulisannya aktif menghiasi forum-forum website, facebook, twitter, LINE, WhatsApp, Path atau media online lainnya seperti; Youtube, Instagram, Weblog, LinkedIn. Mereka rutin menyebarkan pemikiran liberal dan radikal pemahama yang menyimpang tentang Islam.

Maka dari itu, ketika kita tidak mengambil peran dan mengambil posisi di “ruang” ini, maka masyarakat akan terbangun dalam pemikiran-pemikiran yang jauh dari prinsip dasar ke Islamannya. Sementara, tingkat efektivitas penggunaan media online sebagai sarana dakwah Islam menunjukkan trend dewasa ini. Penggunaan smartphone merupakan hal yang umum dewasa ini, sehingga peluang dakwah melalui media online menjadi sangat terbuka. Salah satu hasil riset merilis bahwa 47% responden sangat sering menggunakan smartphone mereka untuk mencari informasi tentang masalah agama, bahkan 100% pemilik smartphone memiliki aplikasi untuk kegiatan ibadah seperti aplikasi pengingat waktu sholat (Athan, Islamic Finder), aplikasi qur’an dan terjemah, aplikasi penghitung untuk berdzikir, dan aplikasi-aplikasi lain seperti do’a sehari-hari, penunjuk arah kiblat, dan lain sebagainya.[27]

Memosisikan pondok pesantren dalam medan dakwah cybernetic dan tampil dengan performance “da’i virtual” menjadi “keharusan” dalam rangka mengiringi kebutuhan masyarakat yang cenderung mencari ilmu pengetahuan agama dan materi dakwah di media sosial. Gerakan dakwah pondok pesantren berbasis cybernetic diaharapkan mampu menembus batas ruang dan waktu penyampaian dakwah secara luas dan efektif dalam menyampiakan pesan-pesan Islam Wasathiyah sekaligus menjadi gerakan dakwah penyeimbang dalam meng-counter penyebaran paham keagamaan yang menyimpang dari prinisip dan nilai-nilai Islam yang saat ini sangat banyak berseliwan di media cyber.

E.  Penutup
            Konsekuensi logis kemajuan iptek dan keluasan informasi berdampak banyak terhadap peningkatan problematika keumatan, derasnya arus pemikiran liberal dan radikal, berseliwarannya pemahaman keagamaan yang terdistorsif, dan sebagainya, mengharuskan pondok pesantren mengambil peran dan posisi penting dalam ruang dakwah “cybernetic-teknologic” dengan cara membangun lembaga/media dakwah cyber yang dikelola secara profesional dengan tetap mengedapankan prinsip dakwah wasathiyah, yaitu; dakwah bi al-hikmah, bi al-mauidzah al-hasanah, dan bi al-mujadalah secara ihsan. Dengan paradigma dan aksi dakwa cybernitc, pondok pesantren akan mendorong dinamika Islam dan memperkokoh ketahanan nilai-nilai Islam wasathiyah dalam aktivitas dakwah yang akomodatif, responsif, dan solutif serta menjadi suluh yang tampil memainkan perannya, baik sebagai penyeimbang, penyaring maupun sebagai pemberi arah hidup yang serba kompleks berdasarkan ajaran Islam yang benar (Aswajah).



Daftar Pustaka

Ahmad, Ahmad An-Nahidl, Pesantren dan Dinamika Pesan Damai. Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan. Volume 4, Nomor 3 Juli-September 2006.

Arifin, H.M., Kapita Selekta Pendidikan Islam dan umum. Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Aziz, Moh. Ali, “A Roadmap of Rebranding Da’wah”. Makalah Dipresentasikan pada AICIS, Surabaya, 5-8 Nopember 2012.

Basit, Abdul, “Dakwah Cerdas di Era Modern”. Jurnal Komunikasi Islam Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Volumen 03, Nomor 01, Tahun 2013.

Bungin, Burhan, Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2008.

Bungo, Sakareeya, Pendekatan Dakwah Kutural dalam Masyarakat Plural. Jurnal Dakwah Tabligh, Volume 15 Nomor 01, Desember 2012.

Darmadji, Ahmad, “Pondok Pesantren dan Deradikalisasi di Indonesia”, Jurnal Millah, Volume XI No. 1 Agustus 2011, h. 236. 

Darus, Baharuddin, “Pengembangan Kajian Ekonomi Islami pada IAIN di Abad 21”, dalam Syahrin Harahap (ed.), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998. 

Jamadu, Liberty, “Dakwah dan Media Sosial, Rahasia Kesuksesan Ustaz Abdul Somad”. https://www.suara.com/tekno/2018/05/02/071500/dakwah-dan-media-sosial-rahasia-kesuksesan-ustaz-abdul-somad. Diakses tanggal, 01 Agustus 2018.

Kasali, Renald, Disruption. Jakarta: PT Gramedia, 2017.

Khaddad, S. dan H. Khashan, “Islam and Terrorism”. Journal of Conflict Resolution, Volume 46, Nomor 06, Tahun 2002.

Khoiri, Misbakhul, Dakwah Melalui Jejaring Sosial Facebook KH. Abdullah Gymnastiar (Studi Teori Efektivitas Oleh Stewart. L Tubbs dan Silvia Moss), Skripsi; Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.

Mowlana, Hamid, Global Communication in Transition the End of Diversity. London: Sage Publication, 1996.
Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Muslim, Dakwah dengan Pendidikan Islam. http://guzmus93.blogspot.com/dakwah-dengan-pendidikan-islam.html. Diakses tanggal 30 Juli 2018. 

Mustafa, Jejen, Pesantren dan Radikalisme, http://www.uinjkt.ac.id/id/pesantren-dan-radikalisme/. Diakeses, tanggal 30 Juli 2018.

Nurjannah, Faktor Pemicu Munculnya Radikalisme Islam Atas Nama Dakwah. Jurnal Dakwah, Volume XIV, Nomor 02 Tahun 2013.

Nurrahman,  Pesantren dan Dakwah Kulturalhttp://metrouniv.ac.id/?page=artikel. Diakses, tanggal 31 Juli 2018.

Pertiwi, Kusuma, Wahyunanda, “Riset Ungkap Pola Pemakaian Medsos Orang Indonesia”. https://tekno.kompas.com/read/2018/03/01/10340027/riset-ungkap-pola-pemakaian-medsos-orang-indonesia. diakses, tanggal 31 Juli 2018.

Suharto, Babun, Dari Pesantren untuk Umat. Cet. 19; Surabaya: Imtiyaz, 2011.

Suriadi, A., “Globalisasi dan Respon Pendidikan Agama Islam di Sekolah”. Jurnal Mudarrisuna, Vol. 7 Juli-Desember 2017, h. 247.

Toni, Hariya, Pesantren Sebagai Potensi Pengembangan Dakwah Islam. Jurnal Dakwah dan Komunikasi STAIN Curup, Volume 1 Nomor 1, Tahun 2016.

Usman, Fadly, “Efektivitas Penggunaan Media Online sebagai Media dakwah”. Jurnal Ekonomi dan Dakwah Islam (Al-Tsiqoh). Volume 01 Tahun 2016.





*[1] MAKALAH Dipersiapkan untuk Disajikan pada Seminar Internasional Da’I Islam Moderat Kalimantan Selatan dengan Tema: “Dakwah Islam Moderat: Antara Konsep dan Aplikasi” Batulicin, Kalsel, 5-7 September 2018.
[2]Nunu Ahmad An-Nahidl, Pesantren dan Dinamika Pesan Damai. Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan. Volume 4, Nomor 3 Juli-September 2006, h. 17.
[3]Terminologi Islam Nusantara sesungguhnya hanya penyederhanaan dari tipologi Islam Indonesia hasil perpaduan antara Islam dengan kebudayaan Nusantara. Islam Nusantara dimaksudkan sebuah pemahaman keIslaman yang bergumul, berdialog, dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara dengan melalui proses seleksi dan akulturasi serta adaptasi. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan kultur dan agama yang beragam. Islam Nusantara bukan hanya cocok diterima orang Nusantara tetepi juga memberikan warna bagi budaya Nusantara sebagai sifat akomodatifnya yakni rahamatan lil ‘alamin. 
[4]Beberapa ayat al-Quran yang dijadikan inspirasi dan legitimasi melakukan tindakan radikal atas nama agama, antara lain: Surat Ali Imran ayat 151, 165, 185, dan Surat al-An’am ayat165. Ayat-ayat al-Quran yang terbukti bisa memicu radikalisme tersebut adalah merupakan ayat-ayat yang berbicara tentang perintah dakwah (menyeru di jalan Allah), perintah jihad (berjuang), perintah amar makruf nahi mungkar (menyeruh kebaikan dan mencegah kejahatan), perintah perang (qital), hukum qishash/bunuh, status taqwa, iman, dzalim, kategori kafir, musuh Allah, teman syaitan, janji pertolongan Allah bagi pejuang, balasan bagi pahlawan Allah, balasan bagi musuh Allah, dan strategi perang. Lihat, S. Khaddad dan H. Khashan, “Islam and Terrorism”. Journal of Conflict Resolution, Volume 46, Nomor 06, Tahun 2002, h. 817.
[5]Nurjannah, Faktor Pemicu Munculnya Radikalisme Islam Atas Nama Dakwah. Jurnal Dakwah, Volume XIV, Nomor 02 Tahun 2013,  h. 195.
[6]Nunu Ahmad An-Nahidl, Pesantren dan Dinamika Pesan Damai, h. 17.
[7]Babun Suharto, Dari Pesantren untuk Umat (Cet. 19; Surabaya: Imtiyaz, 2011), h. 11.
[8]Hariya Toni, Pesantren Sebagai Potensi Pengembangan Dakwah Islam. Jurnal Dakwah dan Komunikasi STAIN Curup, Volume 1 Nomor 1, Tahun 2016, h. 99. 
[9]H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan umum (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 240.
[10]Sakareeya Bungo, Pendekatan Dakwah Kutural dalam Masyarakat Plural. Jurnal Dakwah Tabligh, Volume 15 Nomor 01, Desember 2012, h. 214.
[11]Muh. Muslim, Dakwah dengan Pendidikan Islam. http://guzmus93.blogspot.com/dakwah-dengan-pendidikan-islam.html. Diakses tanggal 30 Juli 2018. 
[12]Hal ini menunjukkan bahwa globalisasi terkait dengan interaksi-interaksi transnasional yang melibatkan semua elemen masyarakat secara nyata. Gelombang glubalisasi ini, paling tidak melahirkan lima konfigurasi, yaitu: Pertama, globalisasi informasi dan komunikasi; Kedua, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas; Ketiga, globalisasi gaya hidup, pola konsumsi, budaya, dan kesadaran; Keempat, globalisasi media massa cetak dan elektronik, dan; Kelima, globalisasi politik dan wawasan. Kekuatan globalisasi ini masuk melalui isu demokratisasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, keterbukaan, dan sebagainya. Untuk uraian secara luas konfigurasi globalisasi ini; Lihat, Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 49. Lihat juga, Baharuddin Darus, “Pengembangan Kajian Ekonomi Islami pada IAIN di Abad 21”, dalam Syahrin Harahap (ed.), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), h. 165-166.     
[13]A. Suradi, “Globalisasi dan Respon Pendidikan Agama Islam di Sekolah”. Jurnal Mudarrisuna, Vol. 7 Juli-Desember 2017, h. 247.
[14]Lihat, Renald Kasali, Disruption (Jakarta: PT Gramedia, 2017), h. 149.
[15]Pada 2016, menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terdapat 19 pondok pesantren yang terindikasi mengajarkan doktrin bermuatan radikalisme.Pemahaman radikal santri dan pengajar ada yang tahap wajar dan ada juga yang tahap luar biasa. Pesantren yang terindikasi BNPT mendukung radikalisme ialah Pondok Pesantren Al-Muaddib, Cilacap; Pondok Pesantren Al-Ikhlas, Lamongan; Pondok Pesantren Nurul Bayan, Lombok Utara; Pondok Pesantren Al-Ansar, Ambon; Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah, Makassar; Pondok Pesantren Darul Aman, Makassar; Pondok Pesantren Islam Amanah, Poso; Pondok Pesantren Missi Islam Pusat, Jakarta Utara; Pondok Pesantren Al-Muttaqin, Cirebon; Pondok Pesantren Nurul Salam, Ciamis; dan beberapa pondok pesantren lain di Aceh, Solo, dan Serang (CNN, 2016). Lihat, Jejen Mustafa, Pesantren dan Radikalisme, http://www.uinjkt.ac.id/id/pesantren-dan-radikalisme/. Diakeses, tanggal 30 Juli 2018.

[16]Ahmad Darmadji, “Pondok Pesantren dan Deradikalisasi di Indonesia”, Jurnal Millah, Volume XI No. 1 Agustus 2011, h. 236. 
[17]Tomi Nurrahman, “Pesantren dan Dakwah Kulturalhttp://metrouniv.ac.id/?page=artikel. Diakses, tanggal 31 Juli 2018.

[18]Abdul Basit, “Dakwah Cerdas di Era Modern”. Jurnal Komunikasi Islam Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Volumen 03, Nomor 01, Tahun 2013, h. 76.
[19]Moh. Ali Aziz, “A Roadmap of Rebranding Da’wah”. Makalah Dipresentasikan pada AICIS, Surabaya, 5-8 Nopember 2012, h. 3.
[20]Hamid Mowlana, Global Communication in Transition the End of Diversity (London: Sage Publication, 1996), h. 116.
[21]Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2008), h.143.
[22]Wahyunanda Kusuma Pertiwi, “Riset Ungkap Pola Pemakaian Medsos Orang Indonesia”. https://tekno.kompas.com/read/2018/03/01/10340027/riset-ungkap-pola-pemakaian-medsos-orang-indonesia. diakses, tanggal 31 Juli 2018.
[23]Misbakhul Khoiri, Dakwah Melalui Jejaring Sosial Facebook KH. Abdullah Gymnastiar (Studi Teori Efektivitas Oleh Stewart. L Tubbs dan Silvia Moss), Skripsi; Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.
[24]Hasil riset Misbakhul Khoiri mengungkap bahwa rata-rata lebih dari 1000 pengunjung akan bergabung dalam setiap status yang disampaikan oleh K.H. Abdullah Gymnastiar. Dengan bahasa yang sederhana, dan mudah dipahami, response komentar yang cepat,  serta  respon  positif dari pengunjung sehingga  dapat  dikatakan  bahwa KH Abdullah Gymnastiar  mampu  menjadikan  laman  facebook sebagai  media  dakwah  Islam yang cukup efektif. Lihat, Ibid.
[25]Liberty Jamadu, “Dakwah dan Media Sosial, Rahasia Kesuksesan Ustaz Abdul Somad”. https://www.suara.com/tekno/2018/05/02/071500/dakwah-dan-media-sosial-rahasia-kesuksesan-ustaz-abdul-somad. Diakses tanggal, 01 Agustus 2018.
[26]Fadly Usman, “Efektivitas Penggunaan Media Online sebagai Media dakwah”. Jurnal Ekonomi dan Dakwah Islam (Al-Tsiqoh). Volume 01 Tahun 2016, h. 7.
[27]Ibid., h. 6.


Makalah Terkait:
  1. Med Hatta: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/risalah-batulicin-seminar-internasional.html#.W5snGdIzY1g
  2. H. Suti Pontong, S.Ag., MM: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/seminar-internasional-dai-islam-moderat_51.html#.W5slnNIzY1g
  3. Prof. Dr. M. Hussin Mutalib: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-melestarikan.html#.W5smeNIzY1g
  4. Dr. Muammar Bakry, Lc., MA: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-argumentasi.html#.W5skltIzY1g  
  5. Dr. Hj. Hambali bin Hj. Jaili: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/seminar-internasional-dai-islam-moderat_83.html#.W5smKtIzY1g  
  6. Dr. Abdul Rahim Wayayo, MA: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-dakwah-islam-di.html#.W5sl29IzY1g
  7. Dr. M. Tata Taufik, M.Ag: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-arah-pembaharuan.html#.W5sj69IzY1g
  8. PROPOSAL SEMINAR: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/proposal-seminar-internasional-dai.html#.W5sqI9IzY1g
  9. UNDANGAN SEMINAR 1: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/undangan-partisipasi-seminar.html#.W5spZNIzY1g
  10. UNDANGAN SEMINAR 2: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/blog-post.html#.W5sqn9IzY1g

1 komentar:

  1. Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
    Tshirt Dakwah Quote

    Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
    Buktikan Cintamu dengan Menikah

    BalasHapus

Salam!