MENATA ARAH PEMBAHARUAN PESANTREN PASCA 2000AN
Ketua Perhimpunan Pengasuh Pesantren Indoesia (P2I)/ Pimpinan Pondok Modern Al-Ikhlash Kuningan Jabar. Email: mtata66@gmail.com
Resume
Bahwa pembaharuan pesantren dimulai
secara lebih modern muncul pada tahun 1930an dengan ciri utama pembaharuan;
metodologi pengajaran dan perubahan kurikulum, dengan mulai dikenalkannya
materi pelajaran umum ke dalam pendidikan pesantren. Pendidikan keorganisasian
juga menjadi perhatian pesantren serta arahan untuk berpikir lebih luas juga
menjadi salah satu target pendidikan serta efisiensi waktu juga menjadi
landasan pembaharuan.
Hasil yang dapat dilihat adalah
terbentuknya pola pesantren dengan istilah salafiyah yang berarti mengajarkan
kitab-kitab sebagaimana yang berlaku di pesantren pada umumnya, pesantren yang
berpola modern dengan cara klasikal dan penjenjangan, penyederhanaan materi dan
perbaikan metodologi, yang lazim disebut pesantren modern.
Dalam hal kebebasan berpikir yang diusung
pesantren dalam berbagai penjelasan KH Imam Zarkasyi selalu dihadapkan dengan
kata fanatik, jangan terlalu fanatik terhadap suatu pendapat, sehingga menutup
terhadap pendapat yang lain yang berbeda.
Kebebasan ini merupakan refleksi atas
kondisi keislaman dan keindonesiaan pada tahun 1930an, saat komunitas muslim
berhadapan dengan komunitas yang lainnya. Kenyataan ini juga didukung oleh
upaya modernisasi yang dilakukan KH Wahid Hasyim di pesantrennya.
Untuk masa sekarang dampak dari ajaran
kebebasan berpikir itu bisa dilihat dalam banyak kesempatan, ada masa tenang
yang cukup lama dalam hal kebebasan berpikir terlihat nyata dalam keberagamaan
misalkan pada masa-masa sebelum reformasi saat media sosial belum lahir dan
saat internet belum masif.
Jumlah pesantren kini mencapai 28.194
pesantren, maka jika para pengasuhnya bisa bersatu, persoalan-persoalan
pendidikan kebebasan berpikir, penguatan wawasan pengetahuan dan kearifan
pemikiran akan bisa mengalir dengan indah. Bukankah setiap orang alim berkumpul
akan melahirkan gagasan yang baik?
PASCA 2000AN
Sejarah Pembaharuan Pesantren 1916,1935:
Pembaharuan pendidikan di kalangan
pesantren sebenarnya sudah banyak dilakukan, setidaknya melalui sumbangan
pemikiran atau pun usulan-usulan tertentu. K.H Wahid Hasyim, misalnya
mengusulkan kepada ayahnya suatu perubahan radikal dalam sistem pengajaran di
pesantren. Menurut K.H Wahid Hasyim sistem pengajaran di atas seharusnya
diganti, dari sistem Bandungan diganti dengan sistem Tutorial, yang sistematis
dan tepat diterapkan pada anak didik di suatu lembaga pendidikan sekarang ini.
Tujuannya untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri di
pesantren dan murid-murid di sekolahan. Tapi usulannya tersebut tidak disetujui
oleh ayahnya dengan dalih jika diterapkan akan menciptakan kekacauan antara
sesama pimpinan pesantren, sehingga beliau mengusulkan untuk mendirikan
Madrasah Nidzomiyah pada tahun 1934 dengan menempatkan pengajaran pengetahuan
umum 70% dari seluruh kurikulum Madrasah tersebut.
Pada kesempatan yang lain K.H Mahin Ilyas
dengan persetujuan K.H Hasyim Asy’ari memasukkan mata pelajaran umum, misalnya
membaca, menulis huruf latin, ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu di lembaga
pendidikannya, sejak saat itu surat kabar berbahasa Melayu masuk pesantren.
Pengenalan mata pelajaran hadis sebagai
objek studi di pesantren, merupakan inovasi baru dalam dunia pendidikan
pesantren yang dilakukan oleh K.H.Hasyim Asy’ari seorang ulama yang pertama
kali memperkenalkan dan mengajarkan mata pelajaran tersebut. Salah seorang
gurunya Kiai Khalil Bangkalan, sering hadir mengikuti halaqah hadis yang
disampaikannya.
Dalam
sistem pengajaran, pesantren Tebuireng mulai sejak berdirinya tahun 1899 sampai
tahun 1916 memakai sistem sorogan dan bandongan sebagai metode utama dalam
mentransformasi ilmu. Kesamaan mata pelajaran dan metode pengajaran tidak bisa
lepas dari kebersamaan pemimpin pesantren dalam menuntut ilmu dari berbagai
ulama di berbagai pesantren di tanah air dan tanah suci. Namun demikian bukan berarti mereka tidak mau
mengadakan perubahan dalam bidang studi maupun metode yang digunakan.
Setelah
tahun 1916, pesantren Tebuireng menggunakan metode musyawarah yang dikembangkan
di kalangan santri senior dalam rangka memperdalam pengetahuannya serta
menumbuhkan sikap kritis pada para santri. Mereka diberi kebebasan dalam
mengajukan argumen terhadap suatu masalah yang diajukan serta berdebat, dengan
syarat ada rujukan dari berbagai sumber, terutama karya-karya Imam Syafi’i
dalam masalah fiqih.
Pada
tahun 1926, KH. Muhammad Ilyas memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan sejarah
ke dalam kurikulum madrasah atas persetujuan K.H.Hasyim Asy’ari.
Pembaharuan
pendidikan pesantren Tebuireng menimbulkan reaksi yang cukup hebat dari
masyarakat dan kalangan pesantren, sehingga sejumlah orang tua memindahkan
anak-anaknya ke pesantren yang lain, karena pesantren Tebuireng sudah dianggap
sudah terlalu modern. Reaksi tersebut tidak menyurutkan proses pembaharuan
pesantren Tebuireng. Hal tersebut terus berlangsung dan dilanjutkan oleh Wahid
Hasyim dengan mendirikan madrasah modern di lingkungan pesantren.
Wahid Hasyim kembali ke Indonesia, ia
mulai terjun dalam dunia pendidikan, yaitu di pesantren Tebuireng. Secara
berhati-hati ia menyusun dan mengembangkan ide-ide tentang pembaharuan
pendidikan Islam.
Dalam mengadakan perubahan terhadap
sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin
gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah
sebagai berikut :
- Menggambarkan
tujuan dengan sejelas-jelasnya.
- Menggambarkan
cara mencapai tujuan itu.
- Memberikan
keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh- sungguh tujuan dapat dicapai.
Pada awal tujuan yang pendidikan Islam
khususnya pesantren lebih berkonsentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat),
nyaris terlepas dari urusan duniawiyah (dunia). Karena tujuannya yang demikian,
warna sistem pendidikan pesantren sangat didominasi oleh warna-warna fiqih,
tasawuf, ritual, sakral dan sebagainya. Orientasinya ke masa lampau dan terpaku
ke “dunia sana”, sedangkan “dunia kini” dianggap sebagai dunia mainan.
Orientasi demikianlah menurut Mastuhu, disebabkan oleh sumber teologi yang
fatalistis dan tidak rasional (M. T. Taufik 2004).
Wahid Hasyim memberikan alternatif lain kepada para
santri. Ia menyarankan hendaknya sebagian besar santri untuk tidak menjadi
ulama. Hal tersebut cukup beralasan, karena dalam kenyataanya bahwa dalam
sistem pendidikan agama yang paling eksklusif sekalipun, tidak semua siswanya
dapat “dicetak” menjadi ulama. Di samping itu pengertian ulama dalam kalangan
pesantren telah mengalami penyempitan makna, sehingga ulama hanya digunakan
untuk orang-orang yang menekuni bidang-bidang ilmu agama dan merendahkan ilmu-
ilmu umum.
Ada beberapa alasan mengapa Wahid
Hasyim mengusulkan alternatif demikian, antara lain:
- Para santri
tidak perlu menghabiskan waktu sampai puluhan tahun untuk belajar bahasa
Arab dan mengakumulasi pengetahuan dari para kiai di berbagai pesantren.
- Para santri
dapat mempelajari agama Islam dari buku-buku yang ditulis dengan bahasa
latin.
- Para santri
dapat memfokuskan waktunya untuk mempelajari berbagai pengetahuan dan
ketrampilan lainnya yang dapat digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri
dan masyarakat.
Walau demikian, ia tetap berharap adanya
sebagian santri yang betul-betul menjadi ulama dengan mempelajari bahasa Arab
dan pengetahuan agama secara mendalam.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa tujuan pesantren menurut Wahid Hasyim adalah mencetak santri yang
berkepribadian muslim dan bertakwa kepada Allah serta memiliki ketrampilan
sehingga santri dapat mandiri dan berkiprah pada masyarakat dalam berbagai
aspek kehidupan. Dengan rumusan tujuan pendidikan yang demikian ia tidak ingin
lagi melihat santri yang lebih rendah kedudukannya dalam masyarakat dari kaum
terpelajar Barat.
Dari aspek kurikulum pada tahun 1935,
misalnya, ia bersama K.H Muhammad Ilyas mendirikan madrasah Nizhamiyah.
Madrasah Nizamiyah didirikan dengan pertimbangan bahwa kurikulum pesantren yang
hanya memfokuskan kepada ilmu-ilmu agama mengakibatkan santri mengalami
kesulitan untuk bersaing dengan siswa yang mendapat pendidikan Barat. Kelemahan
santri menurut Wahid Hasyim, disebabkan oleh lemahnya penguasaan pengetahuan
umum (sekuler), bahasa asing, dan skill dalam berorganisasi.
Dengan penguasaan ketiga komponen
tersebut santri akan mampu bersaing dengan mereka yang mendapatkan pendidikan
Barat dalam menempati posisi di masyarakat. Untuk itu ia mendisain kurikulum
madrasah tersebut dengan kurikulum yang hanya ilmu-ilmu agama tetapi juga
ilmu-ilmu umum, termasuk bahasa Belanda dan Inggris.
Selain
itu ia pun ingin menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan umum yang saat itu melanda dunia pendidikan Islam pada umumnya dan
khususnya pondok pesantren.
Tidak ada yang menyangkal dikotomi
pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan
agama dipihak lain adalah warisan Kolonial Belanda. Dikotomi tersebut menurut
Wahid Hasyim sangat berbahaya bagi umat Islam Indonesia, sistem pendidikan
semacam ini akan melahirkan ilmuan-ilmuan yang tak bermoral dan ulama yang
tidak kenal zamannya.
Dari sisi metode pengajaran Wahid Hasyim
suatu perubahan metode pengajaran di pesantren. Usulan itu antara lain agar
sistem bandongan di ganti dengan sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan
untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian santri. Hal ini dikarenakan dalam
kelas yang menggunakan metode tersebut santri datang hanya mendengar, menulis
catatan, dan menghafalkan mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau berdiskusi. Secara singkat,
menurut Wahid Hasyim, metode bandongan
akan menciptakan kepasifan dalam diri santri.
Wahid Hasyim belum merasa puas dengan
perubahan yang ia lakukan, ia pun menganjurkan para santri untuk belajar
organisasi dan membaca. Pada tahun 1936 ia mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar
Islam). Selain itu ia juga mendirikan perpustakaan dengan koleksi buku 1.000
buku yang kebanyakan buku-buku keagamaan.
. Perubahan
metode pengajaran dan pendirian perpustakaan merupakan kemajuan yang luar biasa
yang terjadi pada pesantren ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid Hasyim
mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis, dimana posisi
guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar, pendapat guru bukanlah suatu kebenaran mutlak
sehingga dapat dipertanyakan bahkan dibantah oleh santri (murid) dan proses
belajar mengajar berorientasi pada murid sehingga potensi yang dimiliki akan
terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri. Dalam proses pembelajaran murid
tidak hanya dijadikan objek pendidikan akan tetapi ia dijadikan subjek
pendidikan itu sendiri. Sedangkan Guru memposisikan diri sebagai motivator, dan
fasilitator dalam proses pembelajaran (M. T. Taufik, Rekonstruksi Pesantren Masa Depan 2004) .
Pembaharuan yang dilakukan oleh Imam Zarkasyi pada tahun 1935 di Pondok
Pesantren yang dibinanya adalah meliputi:
1. Metode
dan Sistem Pengajaran
Metode pengajaran sebenarnya merupakan
hal yang setiap kali dapat berkembang dan berubah sesuai dengan penemuan metode
yang lebih efektif dan efisien untuk mengejarkan masing-masing cabang ilmu
pengetahuan. Meskipun demikian, dalam waktu yang sangat panjang pesantren
secara agak seragam mempergunakan metode pengajaran yang lazim disebut dengan
sistem Weton atau Sorogan sebagaimana dibahas di muka.
Berbeda dengan sistem pengajaran
pesantren yang berlaku di kebanyakan pesantren
KH Imam Zarkasyi dengan pendekatan "efisiensi waktu" dalam
pengajaran, yakni biaya dan waktu yang dikeluarkan sedikit tetapi dapat
menghasilkan produksi yang besar dan bermutu. Maka diperlukan pembaharuan
metodologi dan sistem pengajaran.
Landasan efisiensi waktu ini kemudian
dijadikan dasar dalam pembaharuan pesantren yang kemudian dalam bentuk nyata
yaitu Pondok Modern Gontor. Bagi Imam
Zarkasyi yang terpenting bagi lembaga pendidikan adalah pimpinannya atau kepala
sekolah jika itu berbentuk sekolah, kemudian gurunya, karena guru adalah pelaku
pendidikan, setelah itu cara atau metode pengajaran, sementara materi baru
menduduki rengking berikutnya. Hal ini senantiasa didengungkan beliau pada
acara perkenalan tentang pondok maupun acara-acara kuliah umum dihadapan
santrinya.
Menurut Zarkasyi ukuran dari suatu
lembaga pendidikan itu bukanlah materi pelajarannya, materi pelajaran boleh
sederhana, tapi dengan cara pengajaran yang baik akan menghasilkan hasil yang
baik. Berangkat dari situ kemudian beliau mengadakan perubahan dalam cara
mempelajari bahasa Arab, belajar bahasa Arab adalah untuk bisa membaca,
menulis, mendengarkan dan mengucapkan.[2]
Dengan alasan membekali kunci ilmu pengetahuan
agama islam dan umum, maka pembaharuan yang pertama adalah dalam hal
mempelajari bahasa, anak didik
dicanangkan harus menguasai bahasa sebagai kunci pengetahuan, dengan
berbekal bahasa mereka bisa menggali sendiri ilmu pengetahuan untuk bekal hidup
mereka, mereka bisa mengembangkan pengetahuan keagamaannya dengan merujuk
sendiri kepada kitab-kitab referensi yang ditulis dengan bahasa Arab.
Sementara untuk pengetahuan umumnya para
santri dipersiapkan dengan penguasaan bahasa Inggris. Untuk itulah pengajaran
bahasa Arab maupun Inggris diorientasikan pada penguasaan keempat kemahiran
bahasa di atas dengan mengutamakan praktik; dalam berbicara, dalam
mendengarkan, menulis baik menuliskan huruf maupun mengarang, serta membaca.
Al-hasil pesantren menjadi semacam laboratorium bahasa alami dengan bahasa
asing yang dipelajari sebagai bahasa komunikasi antara sesama santri, guru dan
kianya.
Untuk mewujudkan proses pembelajaran
bahasa seperti itu didukung dengan menyediakan berbagai sarana dan prasarana,
seperti ustad yang siap ditanya kapan
saja, berbagai kegiatan seperti latihan pidato dalam tiga bahasa Arab, Inggris,
Indonesia, lomba teater dalam tiga bahasa, lomba baca puisi juga dalam tiga
bahasa, penerbitan majalah dinding yang dikelola santri yang juga dalam tiga
bahasa, serta latihan muhadatsah baik Arab maupun Ingris, dengan pendek kata
semua kegiatan dipesantren mendukung pembelajaran bahasa dari ucapan,
penglihatan maupun pendengaran.
Revolusi pengajaran bahasa ini merupakan
hasil dari suatu rencana yang panjang, yaitu jangan sampai usia habis
hanya dipakai untuk menguasai kaidah
bahasa atau gramatika saja, sementara tujuan pengarajan bahasa sebagai alat
untuk mencari pengetahuan terabaikan, dengan langklah perbaikan metodologis
pengajaran bahasa ini diharapkan "waktu" yang terbuang untuk
menggeluti gramatika bisa dipakai untuk menggali pengetahuan agama dari
sumbernya yang berbahasa Arab. Setelah itu diharapkan akan membukakan wawasan
pengetahuan santri hingga mampu menjadi "perekat ummat" sebagai agenda
utama umat Islam.
Metode dan sistem pengajaran tersebut
diterapkan dalam teori dan praktek yang tepat. Suatu contoh dalam hal
berdisiplin, yang berlaku baik bagi santri maupun guru. Sehingga untuk santri
yang bertindak sebagai pemberi sanksi adalah pengurus organisasi yang ditunjuk
oleh Kiai untuk menindak mereka yang melanggar aturan tersebut. Guru pun
demikian, bagi guru yang melanggar disiplin tersebut akan diberi sanksi di
hadapan guru-guru yang lain pada acara pembinaan mingguan yang dikenal dengan
kemisan.
. Untuk mewujudkan teorinya tentang
kepala sekolah dan guru sebagai sentral aktivitas pendidikan KH Imam zarkasyi
sangat ketat memperhatikan metodologi pengajaran, yaitu dengan memberlakukan
fungsi kontrol atas penggunaan metode pengajaran, tugas guru sebelum mengajar
yang paling utama adalah membuat rencanan pengajaran dan persiapan satuan
pelajaran (Satpel) yang di Gontor dikenal dengan sebutan I'dad Tadris,
bagi guru yang akan mengajar pada keesokan harinya harus membuat I’dad (persiapan
mengajar) tertulis, dimana guru akan menyerahkan I’dadnya tersebut kepada guru
yang lebih senior yang ditunjuk oleh pimpinan pesantren. Jadi guru dituntut
untuk menguasai metodologi pengajaran, karena menurut Imam Zarkasyi bahwa penguasaan metodologi
pengajaran lebih penting daripada penguasaan materi atau substansi itu sendiri
yang dikenal dalam bahasa Arabnya At-Thariqah Ahammu Min al-Maddah (Zarkasyi 1980).
Perubahan
yang dilakukan KH. Imam Zarkasyi bagaimanapun
mata rantainnya dihubungkan dengan Prof. Mahmud Yunus, Imam Zarkasyi boleh
dikatakan berhasil dalam menerapkan metode pengajaran bahasa tersebut karena
melaksanakannya secara utuh.
2. Kurikulum
Pendidikan Pesantren
Kurikulum yang diterapkan oleh Imam Zarkasyi pada lembaga pendidikan Pondok
Modern (KMI) adalah kurikulum yang dicanang untuk pendidikan dasar, artinya
anak -anak dibekali cara ibadah sehari-hari dengan baik --biasa disampaikan
dalam ceramah beliau-- dengan harapan output
dari pesantren tersebut bisa beribadah,
bisa beramal soleh, dan bisa mengembangkan dirinya di masyarakat, mengembangkan
pengetahuannya dengan bermodalkan bahasa
baik pengetahuan umum maupun agama.
Jadi tidak mengacu pada kurikulum
Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional. Juga berbeda dengan kurikulum
yang ada di pesantren tradisional[3].
Sebagai contoh, di lembaga pendidikannya
para santri diajarkan pemahaman ilmu Fiqh dari kitab Bidayatul-Mujtahid
karangan Ibnu Rusyd di mana di pesantren tradisional jarang diajarkan. Di
pesantren lain diajarkan pendalaman ilmu Nahwu Sharaf dari kitab Alfiyah
Karangan Imam Malik, tetapi di lembaga pendidikannya beliau memakai kitab kecil
Nahwul-Wadhih yang banyak ikhtisar contoh-contohnya. Di lembaganya para
santri diajarkan kitab Tafsir
al-Manar karangan Muhammad Abduh di mana di pesantren lain jarang diajarkan
kepada para santrinya. Di samping itu pula diajarkan ilmu pengetahuan umum dan
ilmu pengetahuan agama seperti : Bahasa Indonesia, Al-jabar, Matematika,
Fisika, Ilmu tata buku (administrasi), Psikologi, Bahasa Inggeris dan
Grammarnya, Geografi, Sejarah, dan lain sebagainya. Di samping mempelajari
kitab Durusul-Lughah (dasar-dasar bahasa Arab), Mantiq, Nahwu Sharaf,
Mahfudzat, Insya’ dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pengetahuan
ilmu agama.
Dalam hal ini Imam Zarkasyi tidak
menganggap pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai elemen dasar dari
tradisi suatu pesantren, tapi merupakan khazanah yang perlu dikaji untuk
mengingat kembali zaman keemasan peradaban Islam dahulu kala. Di mana santri
perlu diberi wawasan pengetahuan agama dan pengetahuan umum yang tak dapat
dipisahkan satu sama lainnya untuk merespons tantangan masa depan (M. T. Taufik 2004).
Dari sini jelaslah bahwa pembaharuan
pesantren dimulai secara lebih modern muncul pada tahun 1930an dengan ciri
utama pembaharuan; metodologi pengajaran dan perubahan kurikulum, dengan mulai
dikenalkannya materi pelajaran umum ke dalam pendidikan pesantren. Pendidikan
keorganisasian juga menjadi perhatian pesantren serta arahan untuk berpikir
lebih luas juga menjadi salah satu target pendidikan serta efisiensi waktu juga
menjadi landasan pembaharuan.
Pesantren Pada Era 2000an:
Sampai di sini nampak pembaharuan di
bidang metodologi pengajaran dan sistem nampaknya sudah mulai menunjukkan adanya upaya modernisasi pesantren. Dan hasil yang dapat dilihat adalah terbentuknya pola
pesantren dengan istilah salafiyah[4] yang berarti mengajarkan kitab-kitab
sebagaimana yang berlaku di pesantren pada umumnya, pesantren yang berpola
modern dengan cara klasikal dan penjenjangan, penyederhanaan materi dan
perbaikan metodologi, yang lazim disebut pesantren modern. Dua tipe pesantren
ini kemudian banyak melahirkan corak dan ragamnya, di antaranya ada pesantren
salafiyah plus madrasah Aliyah, dengan
pembagian waktu bagai santri untuk belajar disekolah-sekolah Aliyah atau SMA
dan belajar mengaji ke pesantren serta tinggal di sana sepulang sekolah, dari
pesantren pola ini biasanya --sebagaimana juga pesantren modern--melahirkan
alumni yang bisa melanjutkan studinya hingga jenjang perguruan tinggi.
Kenyataan ini pada gilirannya akan
merubah --ini mulai nampak-- pola ke kiaian, kini mulai bermunculan kiai yang
bergelar sarjana yang tentu saja akan
berpotensi melahirkan kultur baru dalam kepesantrenan. Selain itu nampak juga
terlahir tipe -tipe peantren yang akarnya bisa di tarik dari ide pembaharuan di
atas. Secara singkat tipe tersebut akan penulis sajikan dalam bentuk tabel di bawah ini:
Tabel Tipe Pesantren di Indonesia Pasca
Pembaharuan
NO
|
Tipe
|
Metode & Kurikulum
|
Contoh Pesantren
|
1
|
Salafiyah Murni
|
Sorogan, Wetonan, bahsul masaail. Kurikulum
pesantren Pada umumnya, tauhid, ilmu alat, fiqih, tafsir, dll.
|
Pesantren kecil di pedesaan
|
2
|
Salafiah Plus Madrasah
|
Selain metode salafiyah dan pengajian kitab
juga menyelenggarakan pendidikan sekolah Mts, Aliyah atau SLTP, SLTA
|
Biasanya pesantren besar seperti Tebu Ireng,
Pesantren Buntet, almasturiyah Sukabumi dll
|
3
|
Salafiyah
Plus sekolah di luar pesantren
|
Metode dan materi salafiyah, namun
memperbolehkan bagi santri untuk belajar di sekolah lain
|
Daru Tauhid Arjawinangun, Miftahul Huda
Manonjaya dll
|
4
|
Pesantren Modern ala Gontor Murni. TMI/KMI
|
Klasikal dengan materi dan kegiatan tersusun
kurikulum Gontor
|
KMI Gontor dan Cabang-cabangnya, ponpes
Modern Al-Ikhlash Kuningan, Al-Amin, Prenduan Madura dll.
|
5
|
Pesantren Modern ala Gontor Plus Mts .MA
|
Kegiatan sama dengan Gontor diikut sertakan
Aliyah dan Tsanawiyah atau SLTP, SMA
|
Ponpes Laa Tansa Cipanas Lebak, Daruunajah
Jakarta, dll.
|
6
|
Pesantre Modern + Salafiyah
|
Mengambil sebagian kegiatan pola Gontor dan
menyelenggarakan pengajian kitab-kitab pesantren salafiyah
|
Pesantern Miftahul Falah Ciomas Bogor
dll.
|
Selain enam tipe di atas sebenarnya masih
banyak varian lain yang sangat ditentukan oleh konsep dari pimpinan pesantren
sendiri seperti takhashush dalam tahfiidz al-Qur'an, tafsir, kaligrafi,[5]pertanian dan lain sebagainya dan penulis yakin akan
senantiasa muncul varian baru sesuai dengan perkembangan intelektual,pengalaman
dan wawasan para pendiri atau pemimpin pesantren
(M. T. Taufik 2004)
Masalah yang dihadapi pesantren pada
tahun 2000an adalah masalah legalitas lulusannya, pada tahun 2004 belakangan ini berkenaan dengan legalitas menjadi
mencuat ketika lulusan pesantren dicalegkan dan mendapat dukungan yang banyak,
mereka terpaksa menghadapi masalah dengan dibutuhkannya ijazah formal seperti
Aliyah, Tsanawiyah, SMP atau SMA.
Masalah ini kini menjadi suatu yang
diperjuangkan pesantren, walaupun telah ada program kejar paket A, B, & C
yang biasanya diarahkan ke pesantren sebagai solusi untuk memperkenalkan
pelajaran umum, dan baca tulis di dunia pesantren, namun permasalahan legalitas
bukan berarti terselesaikan. Bahkan pada masa kampanye presiden tahun 2004
menjadi janji calon presiden dan tuntutan masyarakat pesantren dalam berbagai
dialog dan pertemuan.
Pada tahun 2003 an pesantren-pesantren
ala Gontor (KMI/TMI) menyusul pesantren induknya mendapat penyetaraan dengan
tamatan SMA Departemen Pendidikan Nasional, melalui SK Mendiknas
Nomor:240/C/KEP/MN/2003 tertanggal 20 Juni 2003
msilannya diakui 9 pesantren antara lain, TMI Pesantren Darunnajah, Ulu
Jami Jakarta Selatan, MMI Pesantren Mathabul Ulum, Lenteng Sumenep
Madura, KMI Pesantren Ta'miiruyl Islam Tegalsari Surakarta Jawa Tengah, TMI
Pesantren Modern Al-Mizan Narimbang
Rangkas Bitung Banten. TMI pesantren Al-Basyariyah Cibaduyut Bandung dan TMI
Pesantren Modern Al-Ikhlash Ciawilor Kuningan Jawa Barat. (M. T. Taufik 2008).
Legalitas tersebut kemudian mulai nampak
agak meluas ke beberapa pesantren salafiyah sejak tahun 2007, yang awalnya
hanya berupa keputusan Dirjen lalu diperkuat dengan Peraturan Menteri Agama
tahun 2014.Setelah selama 7 tahun tarik ulur mengenai berbagai hal mulai dari
kurikulum. kehasan pesantren, otonomi pesantren dan Batasan intervensi
pemerintah dan lainnya (M. T. Taufik 2015).
Maka sejak tahun 2014 muncul istilah baru
dengann sebutan Satuan Muadalah pada pondok pesantren yang kemudian popular
dengan Satuan Pesantren Muadalah(SPM). Selain juga pemerintah menggagas
pendidikan diniyah formal (PDF). Keduanya merupakan produk yang dihasilkan PMA
No 13 dan No 18 tahun 2014. Yang pertama (SPM) memberika kelonggaran kepada
pesantren untuk menjalankan program dan model pendidikannya, yang kedua PDF
pemerintah menyediakan dari kurrikulum sampai pendanaan dan standarnya.
Semangat yang diberikan dalam hal ini adalah semangat untuk memberikan
legalitas bagi lulusan pesantren di satu sisi dan semangat untuk menunjukkan
kehadiran pemerintah bagi pesantren dengan program-program penganggaran yang
bisa diberikan kepada pesantren.
Sejalan dengan perhatian pemerintah yang
ditandai dengan dibentuknya Direktorat tersendiri di Kementrian Agama, Sejak
tahun 2005 berbagai kegiatan yang bersifat nasional juga bermunculan,
diantaranya Porseni Pesantren Nasional (Pospenas), Perkemahan Santri Nasional
(PPSN), dan Musabaqoh Qiroatil Kutub (MKQ) yang pada awalnya digagas oleh
pesantren kemudian dilembagakan oleh Kementrian. Program-program lain juga
mulai dirasakan pesantren seperti tunjangan profesi guru/ustad tahun (walau
masih sangat minim), beasiswa bagi ustad pesantren, dan BOS pesantren dan
Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) pada tahun 2005 walau kuotanya hanya
sekitar 300 santri/tahun (M. T. Taufik 2016).
Secara singkat model pesantren sejak
diterbitkannya PMA 13 dan PMA 18 tahun 2014 bisa digambarkan sebagai berikut:
Sumber
(M. T. Taufik, Pedoman Dasar Penyelenggaran Satuan Muadalah 2017)
Problema Pesantren pada sebelum tahun
2000an selain masalah pendanaan ada beberapa permasalahan lain yang dihadapi
pesantren yang bisa disebutkan di sini: Pendanaan, Pengembangan & Manajemen
Pengelolaan, Pengakuan dan Legalitas, Pencitraan, Informasi dan Publikasi, seta
Politik (M. T. Taufik 2004).
Masalah legalitas sementara ini dianggap
sudah terselesaikan dengan kelahiran PMA di atas walau masih perlu penguatan
lagi pada level UU Pesantren misalnya,[6]
adapun masalah pendanaan hampir menjadi kendala setiap pergerakan apa pun, bagi
pesanatren masalah ini menjadi permasalahan serius[7]
ketika dituntut fasilitas sejalan dengan meningkatnya populasi santri, berbeda
dengan sekolah atau perguruan tinggi, masalahnya menjadi lebih kompleks, karena
selain mempersiapkan ruangan belajar, sebuah pesantren juga harus mempersiapkan
ruang tinggal dan saranannya seperti WC dan kamar mandi dengan ratio minimal 1
berbanding 10-20 orang santri. Jika asrama menampung seratus santri artinya
harus tersedia minimal 10 kamar mandi dan WC dengan persediaan air bersih yang
cukup, 1 orang 60 liter air per hari,[8] aran
jemuran pakain dll. Lain halnya dengan sekolah atau perguruan tinggi untuk
prasarana standard cukup ruang belajar, kantor guru, musola, dan beberapa buah
WC.
Permasalahan akan semakin kompleks ketika
pesantren memilih pola anak asuh bagi para duafa dan yatim piatu, karena
pendanaan tidak saja dibutuhkan untuk sarana dan prasarana tapi juga untuk
konsumsi para santri dan para para ustadnya.
Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan ini
sejak awal pesantren sebagai lembaga swadaya yang mandiri berusaha menyelesaikannya
sendiri, biasanya pesantren tidak menggantungkan diri pada bantuan pemerintah
baik pusat maupun daerah, apalagi pada masa-masa awal pemerintahan adalah pihak
penjajah yang menganggap pesantren sebagai ancaman.
Pola-pola swadaya pesantren dalam
pembangunan biasanya menghidupkan kegiatan infaq dan sodaqoh dari kalangan
masyarakat, wali santri dan bahkan dari pengelola pesantren sendiri. Dewasa ini
jika diinventarisir sumber dana pesantren adalah: kiai, masyarakat muslim, wali
santri, instansi pemerintah maupun swasta.
Problem lain bagi pesantren adalah
masalah manajemen dan pengelolaan, karena status dan kedudukan kiai maka
perubahan ke arah pengembangan dan manajemen di dunia pesantren harus
hati-hati, karena sangat berhubungan erat dengan sistem soial masyarakat
pesantren. Seperti sudah dimaklumi bahwa sistem suatu pesantren mengakar tidak
saja di dalam lingkungan pesantren tapi juga di dalam tubuh komunitas pesantren
dalam hal ini masyarakat luas yang biasa menghargai pesantren dan memiliki kerangka
berpikir sendiri tentang pesantren (katakanlah sebuah sistem norma, ajaran dan
kualifikasi suatu yang disebut dengan pesantren, di luar definisi akademik).
Perubahan bisa dilakukan hanya dengan
kaderisasi dan persiapan calon kiai, ini pada tahap pertama, tahap berikutnya adalah tahap sosialisasi
terhadap masyarakat luas yang merupakan basis pesantren, tentu saja dengan
menyelenggarakan acara-acara reuni alumni dan semisalnya untuk
mengkomunikasikan.
Selanjutnya masalah pencitraan, tidak
kalah seriusnya pesantren menghadapi masalah pencitraan di mata umat dan
bangsa, pencitraan tersebut biasanya dikaitkan dengan kebersihan dan penataan
lingkungan, sering terdengar istilah jorok dan kumuh dinisbahkan kepada
pesantren. Walaupun sebagian pesantren telah menata diri tapi kesan tersebut
masih belum sirna.
Sisi informasi dan publikasi bagi
pesantren agak tertinggal, ada semacam tabu bagi pesantren untuk mengiklankan
kegiatannya, kecuali beberapa pesantren dan short course yang dilakukan
penyelenggara pesantren kilat di Puncak yang dengan mudah bisa kita baca di
koran misalnya.
Tidak seluruh masyarakat mengetahui
kegiatan dan keberadaan pesantren, semua ini mungkin karena minimnya publikasi
dan informasi tentang pesantren, juga karena pencitraan buruk sebagaimana
dikemukakan di atas. Kenyataan ini membentuk pesantren menjadi suatu komunitas
turun temurun, artinya jika bapaknya dasri pesantren, maka anaknya juga
dipesantrenkan, atau jika keluarganya dari pesantren maka ada kerabat lain yang
juga mesantren. Ada semacam daur ulang input pesantren, alumni
memasukkan anaknya ke pesantren almamaternya. Ini gejala umum, walaupun ada
juga kalangan non pesantren dengan niatan mendalami agama memasukkan anaknya ke
pesantren sebagaimana alumni pesantren menyebrangkan anaknya ke luar
pesantren.
Sementara konstelasi politik juga sering
menjadi permasalahan bagi pesantren walau kadang menguntungkan juga. Seperti
kegiatan safari Romadlan yang dilakukan Harmoko dengan mengunjungi
pesantren-pesantren pada saat ia jadi menteri, menguntungkan bagi pesantren
dari satu sisi yaitu publikasi (Harmoko pemilik media saat itu karena menjabat
menteri penerangan) pesantren bisa masuk TV, halaman berita koran dan majalah.
Namun bisa juga mengancam keberadaan pesantren karena terkotakkan pada parpol
tertentu.
Problema lain adalah ketika kiai-nya
dipercaya atau diminta untuk dicalegkan ini di satu sisi positif karena medan
dakwah kiai menjadi luas, di sisi lain menjadi negatif karena pengkotakan tadi
dan karena dunia politik seringkali pada dataran tertentu berlawanan dengan
misi pesantren.[9]
Selain masalah di atas juga sistem
pemerintahan, ketika pemerinatahan kurang menghargai pesantren seebagai asset
bangsanya, yang terjadi adalah --sebagaimana di masa penjajahan-- pesantren
sebagai suatu yang harus dijauhi dan dimusuhi, ungkapan pesantren sebagai
"sarang teroris" misalkan yang muncul pada tahun 2000an ikut
memperkeruh kesan terhadap pesantren.
Beberapa instansi yang mencoba masuk ke
pesantren dengan gagasan-gagasan perbaikan adalah departemen koperasi dan UKM,
pada tahun 1997an ada semacam pembentukan kopontren besar-besaran dan obral
badan hukum --walaupun akhirnya tidak semuanya berjalan-- mereka mencoba menawarkan ide perkoprasian,
selain depkop juga departemen pertanian dengan gagasan agribisnis pesantren,
kehutanan dengan HPH-nya, termasuk juga
departemen kesehatan dan instansi lainnya seperti kependudukan, kesehatan
dengan ide poskestrennya, Departemen agama sejak tahun 2000an mulai memperhatikan
pesantren demikian juga Departemen Pendidikan. [10]
Menata Arah Pembaharuan:
1. Dimensi
SDM
Berangkat dari permasalahan di atas,
untuk pengembangan pesantren dalam berbagai
segi baik pendanaan, pengelolaan
maupun manajemen serta permasalahan lainnya, yang harus ditempuh adalah
pengembangan sumber daya manusia,
pernyataan ini tidak berarti bahwa SDM pesantren dewasa ini lemah, yang
dimaksud di sini adalah pengembangan terus-menerus serta kaderisasi. Jangan
sampai suatu pesantren "terhenti" hanya karena meninggalnya kiai yang
biasanya menjadi komandan sekaligus tumpuan kepercayaan ummat maupun santri,
sehingga ketika kiai tersebut (figur) wafat maka pesantrennya ikut mati juga.
Bersamaan dengan kaderisasi juga
pengayaan SDM yang ada dengan berbagai
kemahiran baik manajerial maupun kemahiran lain yang sesuai dengan
tuntutan zaman. Cara mudah dalam hal ini adalah mengembangkan budaya baca dan
budaya dengar di pesnatren, karena kepiawaian dalam berpidato maupun berdebat
(biasanya sudah dimiliki para santri) harus didukung dengan informasi
(pengetahuan) yang luas supaya tidak
tertinggal, tehnik penyampaian gagasan (presentasi) dan tehnik pembuatan
proposal bisa juga dijadikan kemahiran tambahan. Pengembangan seperti ini dapat
dilakukan pesantren dengan mudah karena sekarang sudah banyak sarjana-sarjana
IAIN misalnya yang ada disekitar /mengelola pesantren. Tehnik pembuatan surat
resmi serta kemahiran administratif lainnya juga layak untuk diajarkan terutama
bagi santri senior yang biasanya dilibatkan membantu kiai mengelola pesantren.
2. Dimensi
Fisik
Selanjutnya sebagai jawaban atas
pencitraan buruk pesantren yang sering dikesankan kumuh, ke depan pesantren
dituntut untuk menata bangunan fisiknya sehingga indah menawan, ini juga
termasuk kegiatan dakwah, dakwah harus berpenampilan simpatik dan memiliki daya
tarik, apalagi zaman sekarang, sebelum membawa anaknya ke pesantren wali santri
biasanya melakukan survei terlebih dahulu. Artinya jangan sampai niatan baik
masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anaknya di pesantren terhalang karena
kurangnya daya tarik penampilan fisik pesantren.
Idealnya bangunan pesantren sebagaimana
tempat pendidikan lainnya memiliki ruang belajar sesuai standar, baik
pencahayaan maupun luas ruangannya. Selain itu harus memiliki halaman dan
tempat gerak / bermain yang memadai baik halaman asrama maupun ruang belajar.
Dalam daftar isian akreditasi Kemendikbud misalnya mencantumkan pertanyaan
sekitar; ruang kantor, perpustakaan, laboratorium, ruang makan, dapur, asrama
dan ruang belajar serta sarana olahraga.
3. Dimensi
Materi dan Dimensi Metodologi
Untuk materi sebagaimana telah dibahas
dalam Bab II tentang metodologi dan upaya pembaruan, tergantung haluan yang mau
dijadikan pijakan apakah tepe salafiyah plus madrasah atau salafiyah murni, tepe KMI Gontor atau pesantren modern
sesuai konsep dan pilihan yang dianggap tepat bagi para pengelolanya. Cuma
barangkali tipe manapun yang diambil pengembangan materi maupun metodologi bisa
senantiasa dilakukan sejalan dengan pola-pola pengajaran yang lebih banyak
dipakai atau secara variasi. Bisa saja misalkan materi "fathul kutub"
dipakai sebagai cara pengenalan kitab-kitab kontemporer kepada para santri senior,
bisa juga pengajaran kitab-kitab klasik dengan metode diskusi atau dengan metode pengajaran modern yakni dengan
langkah-langkah misalkan penyampaian materi, pencarian kosa kata yang sulit,
pembacaan tek bahan ajar serta tanya jawab sebagai variasi dari metode sorogan
atau wetonan.Begitu juga sebaliknya bagi pesantren modern bisa mengenalkan
kitab-kitab klasik lewat acara fathulkutub dst.
Mengenai materi umum di pesantren
salafiyah apakah harus dimasukkan atau tidak, yang pasti para santri nantinya
akan hidup di masyarakat yang demikian kompleks, sudah barang tentu mereka
harus mengenal cara-cara bermasyarakat dengan baik, hidup sehat, serta bisa
menghitung. Walaupun tidak diajarkan secara rutin ilmu-ilmu kemasyarakatan
tersebut bisa disajikan dalam bentuk studium general atau penataran.
4. Dimensi
Teknologi
Bagi pesantren, pengembangan masalah
tekhnologi ini tidak berarti pada dataran pembuat, tapi lebih berupa pengenalan
tekhnologi dan penggunaannya. Bagaiamana cara menggunakan (mengoperasikan)
komputer, atau alat-alat bantu pembelajaran lainnya (tehnologi pendidikan)
karena biasanya para santri selepas pesantren lebih akrab dengan dunia
pembelajaran dan presentasi (ceramah dan pidato).
Dewasa ini berkenaan dengan teknologi
nampaknya pesantren sudah tidak asing, bahkan kreatifitas para santri relatif
lebih "nakal" dalam merekayasa teknologi kecil-kecilan seperti
merangkai elektronik (tape player, pembuatan pemancar gelap FM, penyambungan
lampu dan merakit sound system bahkan menyediakan jasa penyewaan sound sitem) menyediakan jasa cetak undangan (sablon) serta
setting komputer, mengelola website pesantren dan pemanfaatan teknologi
lainnya.
5. Dimensi
Media Massa Pesantren
Yang dimaksud media massa di sini adalah
media massa dalam kerangka Ilmu Komunikasi, yaitu suatu alat yang memungkinkan
untuk membawa pesan bukan saja dari satu orang kepada yang lainnya seperti telepone atau telegrap, tapi lebih dari itu suatu
medium yang berlaku secara massal dan dapat membawa pesan dari seseorang kepada ribuan
atau jutaan orang sekaligus.[11]
Sedikitnya ada enam (6) media yang
dimaksud pembahasan ini yaitu tiga media
cetak; surat kabar, majalah dan buku, serta tiga media elektronik; televisi,
radio dan film. Namun sekarang --sejak
tahun 1997an-- bisa ditambahkan lagi dua media elektronik yaitu internet d an
telepone seluler.
Posisi pesantren dihadapan media massa
bisa berperan sebagai pelaku; dengan penerbitan majalah, koran tabloid atau
buku, pendirian radio serta pendirian stasiun TV , bisa juga menjadi
objek; konten dari media tersebut. Bisa
juga menjadi pemerhati atau kontrol terhadap media.
Berkaitan dengan yang pertama, sebagai
pelaku media, ada beberapa
pesantren yang menerbitkan kegiatan berkala secara priodik tahunan atau
semesteran, biasanya berupa laporan kegiatan tahunan di pesantren tersbut untuk
diinformasikan kepada santri atau wali santri bahkan lebih luas lagi kepada
khalayak dan para alumni. Selain yang bersifat intern atau laporan tahunan,
beberapa pesantren juga telah menjadi pelaku media dengan penerbitan majalahnya
seperti Al-Muslimun dari Bangil, Suara
Hidayatullah dari pesantren Hidayatullah di kalimantan, belakangan ini Majalah
Gontor dari Pondok Modern Daarussalam Gontor.
Sebagai pelaku juga dalam bentuk
penerbitan buku -buku bacaan untuk umum
baik materi dakwah, kamus, buku pelajaran, biografi, kumpulan
doa-doa dan buku populer. Sebagai contoh
kamus Al-Munawir dari Krapyak Yogyakarta, Amtsilah Tashrifiyah
dari Jombang, serta buku-buku Aagym dari Daru Tauhid Bandung.
Selain penerbitan buku juga pesantren
bisa bergerak di bidang broadcasting atau penyiaran baik TV maupun Radio
Siaran. Ini sudah dilakukan oleh Persantren Modern Al-Ikhlash Kuningan dengan
Radio DM Fm-nya, begitu juga Daruttauhid Geger Kalong Bandung dengan MQ FM dan
MQ TV-nya At-Tahiriyah Jakarta dengan
Radio FM-Nya, Gontor dengan Swargo FM begitu juga pesantren lain seperti
Pesantren Suryalaya Tasikmalaya juga sudah mulai merintis Radio Siaran.
Lebih jauh lagi Daru Tauhid Bandung selain
menyediakan layanan pesan-pesan dakwah dengan Radio dan Produksi TV, DT juga
sudah mulai menyediakan layanan dengan download menu MQ melalui telepon seluler
dan mailing list.
Kini pesantren sudah mulai menjadi pemain
dalam hal media massa, tidak saja bertindak sebagai objek dan menjadi konten media tapi lebih jauh sudah bisa
membuat format media, menentukan berita dan menyajikan pilihan bagus bagi
pengguna media (user). Selain media modern konvensional (istilah untuk TV,Radio
Surat Kabar Dll), pesantren juga telah melangkah pada media modern seperti internet.
Di dunia maya ini sudah banyak yang
memiliki alamat web sendiri; untuk memberikan informasi pesantren dan
kegiatannya kepada halayak di satu sisi untuk memberikan pelayanan dakwah di
sisi lain dengan servis jaringan informasi yang diberikannya.
Kedua sebagai objek atau konten
media, pesantren biasanya mengisi pemberitaan atau penyiaran majalah,
koran radio atau tv, ini biasanya dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan pesantren tersebut. Semakin banyak kegiatan yang dilakukan
semakin banyak juga pesantren menjadi konten media.
Ketiga sebagai kontrol media,
pesantren biasanya berperan mengkritik konten media yang dinilai tidak sejalan
dengan norma agama dan merusak generasi bangsa, berikut ini catatan pengalaman
penulis yang berhubungan dengan kontrol media yang dilakukan pesantren (M. T. Taufik 2004).
Pendidikan Kebebasan
Berpikir di Pesantren:
Salah satu sub judul dari tulisan
Nurcholis Majid; Intellectual Freedom atau Kebebasan Berpikir, ia awalai dengan
pernyataan; “Salah satu balai pendidikan Islam yang Liberal yaitu balai
pendidikan “Darussalam” di Gontor (Jawa Timur) yang mencantumkan sebagai
mottonya “Berpikiran Bebas” setelah “Berbudi Tinggi, Berbadan sehat dan
Berpengetahuuan Luas”. Di antara kebebasan perorangan kebebasan berpikir dan
berpendapatlah yang paling berharga.” (Majid 1987) .
Ada dua hal yang mencantumkan kata bebas
dalam prinsip pendidikan di Gontor; pertama seperti yang dikutip Cak Nur di
atas yaitu Motto: Bebudi Tinggi, Berbadan Sehat, Berpengetahuan Luas dan
berpikiran Bebas.” Kedua dalam rumusan Panca Jiwa: Keikhlasan, Kesederhanaan,
Berdikari, Ukhuwah Islamiyah dan Kebebasan.
Kebebasan yang diusung dalam berbagai
penjelasn KH Imam Zarkasyi selalu dihadapkan dengan kata fanatik, jangan
terlalu fanatik terhadap suatu pendapat, sehingga menutup terhadap pendapat
yang lain yang berbeda. Ini menunjukkan adanya keterbukaan yang diharapkan dari
para santri dalam menilai suatu pendapat atau menerima dan menolaknya. Namun
semuanya itu hanya bisa dilakukan dengan terlebih dahulu menjunjung tinggi
nilai-nilai sebelumnya, seperti akhlak mulia dan keluasan pengetahuan. Ini juga
diusung dalam konteks yang lebih luas, memerankan para santri/lulusan pondok
untuk bisa menjalankan tugas yang lebih besar lagi; menjadi perekat umat.
Kebebasan ini merupakan refleksi atas
kondisi keislaman dan keindonesiaan pada tahun 1930an, saat komunitas muslim
berhadapan dengan komunitas yang lainnya. Kenyataan ini juga didukung oleh
upaya modernisasi yang dilakukan KH Wahid Hasyim di pesantrennya.
Pada masa yang sama KH Wahid Hasyim
mendengungkan kebebasan dengan membuka pesantrennya terhadap pengetahuan yang
lebih luas, dengan didirikannya perpustakaan dan memasukkan buku-buku yang
ditulis dengan huruf latin serta berlangganan berbagai majalah pada masanya.
Perubahan metodologi pengajaran yang membuka ruang untuk berpendapat dan
berdiskusi antara kiai dan santri, juga dapat dipandang sebagai upaya penanaman
nilai kebebasan berpikir.
Untuk masa sekarang dampak dari ajaran
kebebasan berpikir itu bisa dilihat dalam banyak kesempatan, ada masa tenang
yang cukup lama dalam hal kebebasan berpikir terlihat nyata dalam keberagamaan
misalkan pada masa-masa sebelum reformasi saat media sosial belum lahir dan
saat internet belum masif. Tapi ketenangan itu kini terusik dengan munculnya
media sosial dengan segala variannya yang membuat setiap orang bisa
mengomunikasikan pikirannya secara bebas, suasana di dunia maya menjadi sangat
ramai dengan cacian dan makian serta fanatisme sempit. Boleh jadi ini karena
aspek kebebsan lebih menonjol dari pada aspek budi tinggi dan aspek pengetahuan
luasnya.
Dalam konteks ini pesantren bisa
mengambil peran dengan publikasi-publikasi baik melalui akun medsos maupun
website resminya dengan konten-konten yang lebih rasional, lebih berdasar pada
pengetahuan (ilmiah) dan memiliki narasi yang mengajak diskusi dan kajian dari
pada berisi hasutan dan fanatisme sempit.
Mulai Dari Perhimpunan Pengasuh
Pesantren:
Jka
melihat lahirnya Islam di muka bumi ini pada tahun 471 Masehi sekitar 1447 tahun
yang lalu, telah menyumbangkan peradaban diberbagai belahan dunia. Untuk kasus
Indonesia, telah melahirkan banyak lembaga pendidikan Islam termasuk pesantren,
dewasa ini ada 28 ribu lebih pondok pesantren di Indonesia. Serta lahir berbagai perkumpulan; Muhammadiyah 18 Nov 2012. Al- Irsyad 6 September
1914, NU,31 Januari 1926, Al-Jam’iyah al-Wahliyah 30 November 1930, PGRI 25 November 1945, PUI
5 April 1952, RMI 20 Mei 1954 dengan nama Ittihad al-Ma’ahid al-Islamiyah,
BKSPP 05 Maret 1972 M, ITMAM (Ittihadul Ma'ahid Muhammadiyah), PGM 23 Juli 2008,
dan bentuk perkumpulan lainnya yang semuanya memiliki semangat perjuangan pembinaan masyarakat dan dakwah Islamiyah.
Kalau dilihat dari kelahiran organisasi
tersebut kurang lebih 46 Tahun ada jeda untuk lahirnya Perhimpunan Pengasuh
Pesantren Indonesia (P2I). Waktu tersebut merupakan satu rantai usia sebuah
generasi. Seperti yang diketahui bahwa dalam setiap generasi memiliki suasana
dan ciri khas tersendiri dalam bergerak dan membangun, tak terkecuali
pesantren, pada tahun sebelum 2003, pendidikan pesantren masih merupakan bagian
kecil saja dari sistem pendidikan nasional kalau boleh diungkap “masih belum
masuk dalam sistem pendidikan nasional”.
Gerak pesantren pun mulai terlihat
arahnya, sesuai dengan kondisi yang menyertainya- berbagai isu sekitar
kelembagaan, modernisasi, kemandirian, peran dan fungsi pesantren melaju dengan
kencangnya terlebih setelah era reformasi tahun 1997an. Ada tiga arus
perkembangan pesantren yang sangat kentara; pertama arus pesantren yang
mengembangkan dirinya menjadi penyelenggara pendidikan formal –integrasi
pesantren dengan sekolah formal—kedua sekolah yang berusaha mendirikan
pesantren –boarding school ala Indonesia, dan ketiga adalah lembaga pesantren
yang mengembangkan dirinya dengan tetap menjaga ‘kepesantrenan’ dengan segala
kekhasannya –tanpa mengadopsi model sekolah mts/smp dan seterusnya, tapi tetap
menjalankan sistem kepesantrenan yang dibangun sesuai desain pendirinya.
Sejalan dengan masuknya pesantren dalam
sisdiknas 2003 maka perkembangan regulasi pun muncul dengan lahirnya PMA 13
Tentang Pendidikan Keagamaan dan PMA 18 tentang satuan muadalah pada tahun 2014
yang lalu. Maka beberapa isu berikut ini patut mendapat perhatian.
Beberapa Isu seperti; regulasi pesantren
(ini membutuhkan pemikiran konseptual dari para pengasuh pesantren sebagai
desainer pendidikan pesantren), model pengembangan pesantren yang memerlukan
rumusan arah dan tujuan yang dirancang oleh para pengasuh pesantren, peran
serta dalam pembangunan masyarakat dan bangsa, peran serta ekonomi masyarakat,
model kemandirian, kaderisasi pesantren, kontribusi pemikiran bagi pemerintah
menghadapi isu-isu sosial, transfer pengalaman antar pesantren serta kerja sama
regional, nasional dan internasional.
Bibliography
Ali,
Mukti. Ta’lim al-Muta’alim Versi Imam Zarkasyi. Ponorogo: Trimurti,
1990.
Majid, Dr. Nurcholis. Islam,
Kemodernan, Dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.
Rifa'i, Dr. Nurlena. Diniyah,
Strategi Pengembangan Kurikulum Madrasah. Lampung, 1 10 2015.
Taimia, Ibnu. Al-'Amru
bi al-Ma'rūf wa al-Nahyi 'An al- Munkar. Beirut: Dār al-itāb al-Jadīd,
t.thn.
Taufik, M Tata. Etika
Komunikasi Islam. bandung: Pustaka Setia, 2012.
Taufik, M. Tata. Dakwah
Era Digital. www.saaid.net, 2013.
Taufik, M. Tata. Legalitas
PP MUadalah. Gontor, 24 8 2008.
—. Manajemen Dakwa
Di Era Global. Jakarta: Amisco Publisher, 2003.
Taufik, M. Tata. PBSB
Dari Masa Ke Masa. Jakarta, 29 9 2016.
Taufik, M. Tata. Pedoman
Dasar Penyelenggaran Satuan Muadalah. Bandung, 21 3 2017.
Taufik, M. Tata. Pendidikan
Pesantren Di Indonesia Setelah Era Reformasi. Cairo, 10 3 2015.
—. Rekonstruksi
Pesantren Masa Depan . Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2004.
Taufik, M.Tata. Reorientasi
Sistem Pesantren. Banten, 26 10 2015.
Wirosukarto, Amir
Hamzah. K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren. Ponorogo:
Gontor Press, 1996.
Zarkasyi, KH Imam. Pekan
Perkenalan Pondok Modern Darussalam Gontor. Gontor: KMI Gontor, 1980.
[2] Ini merupakan kriteria yang
diakui para ahli pengajaran bahasa modern, dengan ungkapannya bahasa yang tidak
diucapkan sama dengan tidak dipelajari.
[3]Kini kurikulum KMI Gontor telah dikembangkan di tidak kurang dari 300
pesantren alumni Gontor yang mneyebar di Indonesia dengan berbagai variannya.
[7] Pengungkapan masalah pendanaan ini tidak
berarti pesantren atau kiai mengeluh, tapi semata-mata mengungkap realitas
hasil pengamatan, karena dalam praktiknya kalangan pesantren senantiasa terus berjuang dan gigih, tidak pernah terhenti kegiatannya
dengan alasan dana, tidak ada pesantren terhenti kegiatannya karena alasan
dana, jika ada yang terpaksa terhenti juga biasanya karena kekosongan
kaderisasi kiai atau karena kiai alih
profesi.
[8] Masalah air ini masih menjadi kendala bagi
kebanyakan pesantren, apa lagi di musim kering, jika para santri ikut ke
sumur-sumur penduduk sekitar, berdasarkan pengalaman mereka tidak bisa
mengizinkannya, karena jika diserbu 10 orang santri saja sumur mereka bisa
kering
[9] Pernah terjadi di masa ORBA suatu
pesantren terhenti kegiatannya karena
pimpinannya begabung dengan partai atau peserta pemilu.
[10] Usaha yang dilakukan biasanya berbentuk
penataran dan pengarahan pimpinan pondok, untuk wilayah Jawa Barat bentuk nyata
dari depkes adalah dengan dilibatkannya pesantren dalam pelayanan kesehatan
terhadap masyarakat dalam bentuk poskestren pada masa Nuriana menjabat
Gubernur.
[11] Leo.W. Jeffres, Mass Media Processes and effects, (Illinois:
Wapeland Press, Inc. 1986),h.1
Makalah Terkait:
- Med Hatta: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/risalah-batulicin-seminar-internasional.html#.W5snGdIzY1g
- H. Suti Pontong, S.Ag., MM: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/seminar-internasional-dai-islam-moderat_51.html#.W5slnNIzY1g
- Prof. Dr. M. Hussin Mutalib: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-melestarikan.html#.W5smeNIzY1g
- Dr. Muammar Bakry, Lc., MA: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-argumentasi.html#.W5skltIzY1g
- Dr. Hj. Hambali bin Hj. Jaili: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/seminar-internasional-dai-islam-moderat_83.html#.W5smKtIzY1g
- Dr. Abdul Rahim Wayayo, MA: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-dakwah-islam-di.html#.W5sl29IzY1g
- Dr. Arifuddin M. Arif, M.Ag: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-menyebarkan-nilai.html#.W5snh9IzY1g
- PROPOSAL SEMINAR: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/proposal-seminar-internasional-dai.html#.W5sqI9IzY1g
- UNDANGAN SEMINAR 1: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/undangan-partisipasi-seminar.html#.W5spZNIzY1g
- UNDANGAN SEMINAR 2: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/blog-post.html#.W5sqn9IzY1g
Tidak ada komentar:
Posting Komentar