I’tikaf
di RumahAja Masa Penyebaran Pandemi Covid-19. Bolehkah?
By:
Med Hatta
Pada situasi Stay at Home, Karantina Kesehatan
dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang di alamai oleh masyarakat
dunia saat ini akibat penyebaran pandemi Corona Virus Disease (Covid-19), dan
adanya kebijakan lockdown masjid-masjid oleh mayoritas pemerintah negara-negara
dunia, maka praktis bulan suci Ramadhan 1441 H tahun ini kita menyaksikan masjid-masjid
di seluruh dunia kosong dari orang-orang shalat berjama’ah lima waktu dan
shalat tarawih pada malam-malam Ramadhan. Bahkan I’tikaf di dalam
masjid-pun hanya akan menjadi mimpi-mimpi lalu di dalam benak umat Islam di
bulan yang penuh berkah tahun ini.
Bersamaan dengan itu orang-orang Islam memusatkan shalat
di rumah, dan merekayasa sebuah “masjid di rumah”, yaitu semacam tempat khusus
untuk melaksanakan shalat bejama’ah di dalam rumah. Oleh karena itu, terpikir
(pula) idea “I’tikaf di Rumah” oleh sebahagian umat Islam yang antusias
ingin selalu menghidupkan sunnah amaliyah-amaliyah Ramadhan, terutama yang
dianjurkan oleh nabi SAW seperti I’tikaf di dalam masjid pada
malam-malam Ramadhan – khususnya – pada malam-malam ganjil 10 terakhir Ramadhan.
Syari’at I’tikaf Di Masjid
I'tikaf, berasal dari
bahasa Arab ‘akafa yang berarti menetap, mengurung diri atau berdiam.
Pengertiannya dalam konteks ibadah dalam Islam adalah berdiam diri di dalam
masjid, sebagai manifestasi ketaatan untuk be-rmunajat mencari keridhaan
Allah SWT dan ber-muhasabah (introspeksi) merenungi segala dosa dan
kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Orang yang sedang ber-iktikaf
disebut juga "mu’takif". Dan syari’at I’tikaf di
masijid, Allah berfirman:
Terjemahannya: "(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid…” (QS. Al-Baqarah: 187).
Sepakat para ulama bahwa i'tikaf adalah bukan
wajib, ia hanya merupakan ibadah ketaatan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT, dan sunnah dari sunnah-sunnah yang senantiasa dikerjakan oleh
rasulullah SAW, para sahabat dan isteri-isteri nabi SAW. Dan nabi SAW konsukuen
melakukannya sendiri. Oleh karena itu umat Islam selalu antusias dan memberikan
perhatian khusus pada amaliyah Ramadhan yang satu ini, serta ramai melakukannya
setiap memasuki 10 terakhir bulan suci Ramadhan. Karena pentingnya I’tikaf maka
syari’at Islam menetapkannya aturan-aturan tambahan, sebagai berikut:
PERTAMA:
Dilarang Making Love (ML) atau Bercinta Selama I’tikaf; Allah SWT menjelaskan
bahwa ML atau mencampuri isteri adalah membatalkan i'tikaf, dan sepakat
para ulama bahwa berhubungan intim antara suami-isteri secara sengaja pada
tempat "senggama" dalam prosesi ia ber-i'tikaf, maka membatalkan
i'tikafnya.
Namun berbeda pandang ulama tentang konsukuensi atau
sanksi yang dikenakan bagi pelakunya; menurut al-Hassan Bashri dan az-Zuhri:
Hukumannya sama seperti mencampuri isterinya sedang ia berpuasa Ramadhan, maka
sanksi kaffarah berlaku terhadap pelaku. Adapun jika ia menyentuh
isterinya tidak dimaksudkan senggama, apabila ia melakukan dengan perasaan
(nafsu) maka hukumnya makruh, bila tidak memaksudkan seperti itu maka tidak di
makruhkan; karena Aisyah ra bercerita pernah menyisir rambut rasulullah SAW
sedang Beliau dalam prosesi ber-i'tikaf, dan tidak menutup kemungkinan Aisyah
juga menyentuh tubuh rasulullah SAW yang lain dengan tangannya, ini bisa
menunjukkan bahwa menyentuh saja tanpa perasaan tidak di larang, ini adalah
pendapat Atha, Syafi'i dan Ibn al-Mundzir.
KEDUA: I’tikaf
Harus di Masjid; Sepakat para ulama bahwa i'tikaf tidak dapat di lakukan
kecuali hanya di dalam mesjid, sebagaimana pada ayat di atas. Namun mereka berbeda
tentang mesjid yang di maksud, kepada beberapa pendapat seperti:
1. Riwayat
dari Khuzaifah bin al-Yamman dan Sa'id bin al-Musayyib: Tidak membolehkan
ber-i'tikaf kecuali pada mesjid-mesjid tertentu saja yang dibangun oleh seorang
nabi, seperti: Mesjidil Haram - Makkah, Mesjidin Nabawi as-Suarif - Madinah,
dan Mesjid Ilaa - Madinatul Quds.
2. Riwayat
dari Sayyidina Ali bin Abu Thalib dan Ibn Mas'ud: Boleh melakukan i'tikaf pada
mesjid yang mempunyai banyak jama'ah, karena ayat mengisyaratkan kepada jenis mesjid.
Pendapat ini juga di dukung oleh Urwah, al-Hikam, Hammad, az-Zuhri dan Abu
Ja'far Muhammad bin Ali. Ini juga merupakan salah satu pendapat Malik.
3. Riwayat
dari Sa'id bin Jabir, Abu Qalabah dan lainnya: Boleh ber-i'tikaf pada semua
mesjid, pendapat ini didukung pula oleh as-Syafi'i, Abu Hanifah dan pengikut
keduanya. Dalilnya adalah konteks ayat yang bersifat umum pada setiap mesjid
yang terdapat di dalamnya imam dan mu'azzin. Dan ini juga salah satu pendapat
Malik, didukung juga Ibn 'Athiyah, Daud bin Ali, at-Thabari dan Ibn al-Mundzir.
Sebuah riwayat dari ad-Daraqathni dari ad-Dhahhak dari Khuzaifah mengatakan:
Saya pernah mendengarkan rasulullah SAW bersabda: "Setiap mesjid yang
mempunyai seorang mu'azzin dan imam maka boleh ditempati ber-i'tikaf".
Boleh I’tikaf di Rumahaja Karena
Darurat Pandemi Covid-19?
Para ulama umat sepakat bahwa syarat utama I’tikaf
bagi laki-laki adalah masjid, akan tetapi karena adanya penyebaran pandemi
Covid-19, dan orang-orang terpaksa tidak bisa datang ke masjid untuk ber-i’tikaf
karena upaya memutus mata rantai penyebaran virus corona, maka timbul
pertanyaan: “Apakah bolehkan melakukan I’tikaf “di rumah aja” masa
penyebaran Covid-19, bagaimana pandangan syari’at tentang hal tersebut?” Karena
secara konteks bertentangan dengan nash Alquran sebagaimana pada surah
Al-Baqarah (187) di atas.
Pendapat yang paling benar adalah – khusus – untuk
perempuan boleh melakukan I’tikaf di rumah pada masa pandemi dan atau tidak
pandemi virus corona (normal), karena sunnah rasulullah SAW lebih mengutamakan
shalat perempuan di rumahnya dari shalatnya di masjid, meskinpun itu Masjid
Nabawi atau Masjidil Haram, sebagaimana keterangan hadits riwayat Abu Daud dari
Abdullah dari Nabi SAW bersabda:
Artinya: “Shalat seorang wanita di rumahnya lebih utama
baginya daripada shalatnya di halaman rumahnya, dan shalat seorang wanita di
kamarnya lebih utama baginya daripada sholat di rumahnya” (Lihat: Abu Daud,
tentang Shalat: 570). Dan jika lebih afdhal shalatnya di rumahnya maka
I’tikafnya juga demikian.
Adapun I’tikaf laki-laki di rumahaja karena
Covid-19, maka itu (juga) BOLEH, wallahu’alam! Ada empat alasan kuat yang
membolehkan laki-laki melakukan I’tikaf di rumah sebagai upaya memutus
mata rantai penyebaran pandemi virus corona, sebagai berikut:
1. Lockdown semua masjid di seluruh wilayah, orang-orang tidak boleh datang ke masjid, dalam hal ini Allah berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. 2: 286), dan firman Allah: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. 64: 16). Dan di dalam Hadits Shahih dari Abu Hurairah telah mendengar rasulullah SAW bersabda: “Apa-apa saja yang aku larang kepadamu maka tinggalkanlah, dan apa-apa yang aku perintahkan itu maka kerjakanlah sesuai kemampuanmu, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah banyak bertanya dan menyelisihi Nabi mereka” (Bukhari no 7288 dan Muslim 2/975 no 1337).
Berdasarkan dengan
dalil-dalil di atas, dan menerapkan kaidah Fiqhi yang mengatakan “Kesulitan itu
mendatangkan kemudahan” dan “seustu yang jika terasa sempit
maka meluas”, maka laki-laki boleh I’tikaf di rumah dan tidak datang ke
masjid-masjid untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
2. Jika dibolehkan perempuan I’tikaf di masjid meskipun melakukannya di rumah lebih afdhal, maka tidak ada larangan bagi laki-laki I’tikaf di rumah dalam keadaan darurat (pandemi).
3. Imam Malik membolehkan laki-laki I’tikaf di rumah karena itu merupakan Ibadah sunnah. Ibnu Hajar mengatakan: Mazhab Malikiyah membolehkan bagi laki-laki dan perempuan I’tikaf di rumah karena afdhal melakukan Ibadah sunnah di rumah. (Lihat: Ibnu Hajar, Fathul Bari: 4/272).
4. Apabila kita menerima pelaksanaan shalat Jum’at di rumah atau kantor-kantor instansi (sebagaimana lumrah sekarang), padahal shalat jum’at itu wajib maka apa salahnya melakukan I’tikaf di rumah yang hanya sunnah.
*** Sudah diposting oleh
IslamKaffah.id
BACA JUGA:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam!