PSBB, Murni Budaya dan Cara Islami dalam Menangkal Pandemi Covid-19
By: Med Hatta
Maraknya pandemi
Corona Virus Disease (Covid-19) yang menyebar sangat cepat di seluruh dunia
dan mengakibatkan banyak korban berjatuhan. Pemerintah di berbagai belahan bumi
juga menyerukan warga untuk konsisten berdiam di rumah (physicl/social
distancing), bahkan beberapa negara dunia seperti Inggris, Italia, Spanyol,
Prancis, Maroko, Irlandia, Elsavador, Belgia, Polandia, Argentina, Yordania,
Belanda, Denmark, Malaysia, Filipina, dan Lebanon, serta deretan negara-negara lain
yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah mengeluarkan kebijakan lockdown,
baik secara nasional maupun wilayah-wilayah tertentu yang terkena dampak lebih
besar, demi menekan penyebaran virus korona baru (Covid-19) ini. Lockdown
adalah mengunci akses keluar masuk suatu wilayah untuk memutus mata rantai
penyebaran Covid-19.
Secara
nasional berdasarkan laporan Pusat Informasi Covid-19 Kemenkominfo Republik
Indonesia, menyebutkan bahwa situasi virus corona baru (COVID-19) per tanggal
26 April 2020 di Indonesia: positif terjangkit virus sebanyak 8.882 orang;
sembuh sebanyak 1.107 orang; dan meninggal dunia sebanyak 743 orang. Mengapa
Indonesia tidak lockdown?
Pemerintah
Indonesia memang tidak mengeluarkan kebijakan lockdown secara resmi
nasional, tapi Pemerintah telah mengambil tindakan proventif yang tepat
sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku di tanah air. Langkah
Pemerintah tersebuat adalah sistem karantina kesehatan di Indonesia, yaitu pembatasan
kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit
dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran
penyakit atau kontaminasi. Yang dikenal kemudian sebagai “Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB).
PSBB
merupakan salah satu jenis penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di wilayah,
selain karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilaya. Tujuan
PSBB yaitu mencegah meluasnya penyebaran penyakit kedaruratan kesehatan
masyarakat (KKM) yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu. Pembatasan
kegiatan yang dilakukan paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat
kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat
atau fasilitas umum. PSBB dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat provensi maupun
Kabupaten/kota setelah mendapatkan persetujuan Menteri Kesehatan, melalui
Keputusan Menteri.
Dasar hukum
pengaturan PSBB yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan. Khusus untuk menangani wabah corona virus terbaru
Covid-19 yang telah menjadi pandemi nasional, pemerintah menerbitkan PP Nomor
21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Selain itu, pemerintah
juga menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020
sebagai pedoman untuk menjalankan PSBB. Dalam Permenkes ini dijelaskan bahwa
PSBB dilaksanakan selama masa inkubasi terpanjang Covid-19 (14 hari) dan dapat
diperpanjang jika masih terdapat bukti penyebaran.
PSBB tersebut
termasuk mengatur pembatasan kegiatan keagamaan, MUI mengeluarkan fatwa: shalat
Jum’at digantikan dengan shalat dhuhur, meniadakan ritual shalat berjama’ah 5
waktu dan shalat tarawih di masjid, dan menganjurkan pelaksanaan ritus-ritus
agama dilaksanakan di rumah dan dihadiri keluarga terbatas, dengan menjaga
jarak setiap orang dengan berpedoman pada peraturan pemerintah. Semua tempat
ibadah harus ditutup untuk umum, sedangkan pemakaman orang yang meninggal bukan
karena Covid-19 hanya dihadir tidak lebih dari 20 orang dapat diizinkan dengan
mengutamakan upaya pencegahan penyebaran penyakit (pemutusan rantai penularan).
PSBB Murni
Budaya Islam
Ada sebuah
catatan sejarah yang ditulis oleh seorang ulama terkemuka zaman Al-Imam
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya, “Badzlul Ma’un fi Fadhlith
Tha’un”. Pada Bab Ke-V buku itu bertajuk “Hal-hal yang disyariatkan
pengamalannya setelah mewabahnya Tha’un”. Di sana, beliau mengkritisi ritual
doa bersama yang dilakukan oleh warga Damaskus ketika dilanda wabah Tha’un pada
tahun 749 H, dan menyatakannya sebagai perbuatan bid’ah.
Menukil dari
Al-Manbaji (w. 785), Ibnu Hajar mengisahkan peristiwa masa itu. Di
mana, masyarakat awam bersama para pembesar negeri keluar menuju tanah
lapang untuk bermunajat dan istighatsah bersama, seperti halnya mereka
menunaikan shalat Istisqa’. Maka Al-Manbaji mengingkari perkumpulan
massa ini. Dilaporkan, jumlah penderita Thaún pun meningkat tajam setelah menghadiri
acara tersebut.
Ibnu Hajar
melanjutkan, ketika penyakit Tha’un mulai mewabah di Mesir pada 27 Rabi’ul
Akhir 833 H, jumlah penderita yang wafat tidak sampai 40 orang. Sebulan
kemudian, pada tanggal 4 Jumadal Ula, setelah adanya seruan berpuasa tiga hari,
masyarakat berbondong menuju tanah lapang untuk berkumpul dan berdo’a bersama.
Jumlah angka kematian menjadi melonjak luar biasa. Bahkan, dilaporkan lebih
dari seribu orang yang wafat setiap harinya, dan terus bertambah. Terjadi pula
polemik di antara para ulama dalam menyikapi peristiwa ini. Ibnu Hajar memilih
untuk berdiam diri di rumahnya, dan tidak mengikuti perkumpulan massa tersebut.
Artinya,
dalam bahasa kita hari ini, beliau memilih “karantina kesehata” atau
“social/phisycal distancin”, karena diceritakan bahwa salah satu korban wabah
virus thaun saat itu adalah anak kandung ibnu Hajar sendiri. Maka dari peritiwa
wafatnya putra kesayangannya akibat virus tha’un tersebut menginspirasi
ditulisnya buku yang disebutkan di atas.
Dalam catatam
sejarah yang lain ditulis olej Ibnu Hajar juga dalam kitab ensiklopedi
sejarahnya yang bertajuk Inba' al-Ghumar bi Abna' al-'Umr, Ibnu Hajar
al-Asqalani mencatat peristiwa wabah penyakit yang melanda Makkah pada tahun
827 H. Wabah itu menelan korban meninggal dunia sebanyak 40 orang setiap
harinya. Jumlah korban pun mencapai sebanyak 1.700 jiwa.
Pada masa
itu, masjid-masjid di Makkah al-Mukarramah, termasuk Masjid al-Haram ‘lockdown’.
Di antara sebab mengapa kaum Muslimin tidak mendatangi masjid ialah, karena
kekhawatiran terjadinya penularan penyakit.
Bahkan jauh
sebelum Ibnu Hajar, adalah Ibnu Idzari al-Marakisyi al-Maghribi (w. 695), dalam
kitabnya “al-Bayan al-Mughrib fi Akhbar muluk al-Andalus wa-l-Maghrib”
menulis, pada tahun 395 H telah terjadi wabah penyakit yang sangat dahsyat di
negeri Tunis. Harga-harga melonjak tinggi, krisis bahan makanan pokok,
masyarakat sibuk dengan urusan penyakit dan kematian. Bahkan, masjid-masjid di
kota al-Qayrawan kosong, tak didatangi umat.
Sementara di
Andalusia, sebagaimana dicatat oleh Imam Al-Dzahabi dalam kitabnya “Tarikh
al-Islam”; pada tahun 448 H telah terjadi kekeringan yang sangat dahsyat
dan wabah penyakit sehingga banyak orang meninggal dunia, khususnya di kota
Sevilla. Masjid-masjid di sana pun lockdown (tutup).
Disebutnya
pula dalam kitab “Siar A’lam al-Nubala’”, pada tahun yang sama peristiwa
semacam itu terjadi pula di Kordoba. Masyarakat melakukan karantina secara
massal dan masjid-masjid ditutup. Tahun tersebut dikenal dengan “Am al-Ju’
al-Kabir” (tahun kelaparan massal).
Catatan-catatan
sejarah di atas mengungkapkan bahwa terapi yang paling mujarab dilakukan oleh
umat islam masa lalu untuk memutus penyebaran wabah yang diakibatkan oleh virus
seperti Covid-19 yang terbaru sekarang adalah “karantina” atau “social/phisycal
distancing”. Dan ini semua merujuk pada hadits Rasulullah SAW, bersabda:
Artinya:
"Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian
memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan
tinggalkan tempat itu" (HR. Bukhari (5739) dan Muslim (2219).
Lebih jauh,
Rasulullah SAW sebagaimana pada riwayat Bukhari memerintahkan masyarakat untuk
menahan diri rumah masing-masing (atau: karantina kesehatan) jika terpapar atau
memutus mata rantai penyebaran wabah pada riwayat Ahmad berikut ini:
Artinya,
“Dari Siti Aisyah RA, ia berkata, ‘Ia bertanya kepada Rasulullah SAW perihal virus
yang mematikan (tha‘un), lalu Rasulullah SAW memberitahukanku, bersabda:”Dulu
ia adalah azab yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki
oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada
seseorang yang sedang tertimpa tha’un, kemudian menahan diri di rumahnya dengan
bersabar serta mengharapkan ridha ilahi seraya menyadari bahwa tha’un tidak
akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya
ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid” (HR
Ahmad).
*** Sudah
pernah diposting IslamKaffah.id
BACA JUGA:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar