Selasa, Juli 24, 2012

IBADAH PUASA SYARIAT RAHMATAN LIL ALAMIN


Serial Bulan Ramadhan: Tafsir Ayat-Ayat Puasa (02/ 09)
Festival Bulan Suci Ramadhan 1433 H.  (H: 04) 

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
(Dibolehkan Bagimu Pada Malam Bulan Puasa Berhubungan Dengan Isteri Kamu)
Oleh: Med HATTA
Mukaddimah:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات، وبعد! 
Prolog Singkat:
Pada tafsir ayat-ayat puasa yang lalu kita telah mengetahui beberapa hukum utama dalam melaksanakan ibadah puasa pada bulan suci Ramadhan, seperti: Ibadah puasa wajib bagi setiap muslim dan muslimat, balig, aqil, sehat jasmani-rohani, dan tidak dalam keadaan musafir; diberikan kemudahan berbuka bagi orang sakit dan musafir; dan hukum mengantikan puasa dengan puasa di luar bulan suci Ramadhan atau membayar fidyah dengan memberikan makan kepada satu orang miskin.


Pada kesempatan ini kita akan membahas beberapa hukum yang lain berkaitan dengan pelaksanaan ibadah puasa itu sendiri. Sebagai berikut:
Allah berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (١٨٧)
Artinya: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS: 2: 187). 
Syariat Rahmatan Lil-‘Alamin:
Kalau kita mempelajari sejarah syariat Islam, kita pasti akan menemukan suatu sistem yang sangat padu dan kokoh, terprogram dengan sangat rapi dan teliti. Tidak ada satupun yang terlewatkan di al-Qur'an kecuali semuanya sudah dikemas dengan jelas dan sangat rinci. Allah berfirman:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
Artinya: “Tiadalah Kami tinggalkan sesuatupun dalam al-Kitab...
Oleh pakar tafsir menjelaskan ayat ini bahwa: Di dalam al-Qur’an itu telah di atur semua pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pedoman  untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya. 

Mencengangkan, semua hukum-hukun syariat Islam di dalam al-Qur’an, umumnya diturunkan secara bertahap, pelan-pelan tetapi pasti dan sangat efektif, yaitu merupakan ciri khas syariat ini sebagai “rahmatan lil-‘alamin”. Tidak ada satu hukum pun di dalam Islam yang diturunkan secara ekstrim terutama yang berhubungan dengan ibadah fisik dan merubah tradisi umat, pasti semuanya melalui fase-fase penerapan yang logik, kondisif sesuai dengan situasi masyarakat yang menerimanya. Seperti pada kasus pemberantasan minuma keras (Miras) misalnya, al-Qur’an tidak serta merta mengharamkan miras tetapi melalui suatu konsep yang sangat bijaksana dan sistematis. 

Pada masa awal Islam di Makkah, al-Qur’an sudah mulai menyinggung miras itu dengan sindiran halus tapi menyentuh di hati, Allah berfirman: “dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik” (QS: 16: 67). Yaitu diberikan dua pilihan yang berbeda antara mengambil yang memabukkan atau rezki yang baik. Kemudian fase pertama setelah hijrah ke Madinah, pilihan tersebut mulai dipersempit tapi belum dilarang karena masih menceritakan ada manfaatnya kepada manusia: “pada miras dan judi terdapat dosa besar dan manfaat kepada manusia... (Surah al-Baqarah). 

Fase berikutnya konsumsi miras dibatasi waktunya sebelum mendekati waktu-waktu shalat lima waktu: “janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk” (QS: 4: 43). Lalu, setelah shalat telah menjadi bagian yang sudah tidak terpisahkan dari kehidupan mereka, maka segala sesuatu yang dapat menghalangi mereka dari mengerjakan shalat itu akan diabaikannya termasuk miras, karena pembatasan waktu-waktu shalat di atas tidak menyisakan lagi ada ruang kosong untuk berpesta miras, maka mereka pun satu persatu meninggalkan miras sehingga tidak ditemukan ada seorang lagi yang mengkonsumsi miras yang memabukkan itu. 

Selanjutnya Allah memberikan vonis final pemberantasan miras pada surah al-Maidah: (90-91), Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka hentikanlah itu”. 

Maka mereka pun berhenti total mengkonsumsi miras dan segala perbuatan tercela. Perlu dicatat sampai detik ini tidak ada satu undang-undang pun produk manusia yang mampu memberantas miras itu seluwes dan seefektif al-Qur’an. Subhanallah! (Lihat Kajian My Buku Kuning: Al-Qur’an MemberantasMiras); 

Sama halnya hukum pemberantasan miras di atas, ayat-ayat hukum perintah puasa juga melalui tahapan-tahapan seperti itu, sehingga sampai sekarang tidak ada seorang muslim pun di dunia ini yang tidak meresa bersuka cita dengan datangnya bulan puasa, bahkan mereka antusias menantikannya setiap tahun. Selain itu, mereka juga masih berlomba melaksanakan puasa Syawal, puasa senin-kamis, puasa nazar dan puasa-puasa sunnah lainnya di luar Ramadhan. 

Ketika ayat pertama perintah puasa turun dari firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu...(sampai kepada firman Allah): “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.... Sampai ayat ini umat Islam periode pertama masih diberikan dua alternatif, memilih antara mengerjakan ibadah puasa atau memberi makan orang miskin, keduanya mendapatkan pahala.  

Kemudian Allah menurunkan ayat berikutnya: “bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an...(sampai kepada firman Allah): “karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu...”.  

Maka Allah menetapkan wajib berpuasa bagi orang yang bermukim dan sehat jasmani-rohoni, namun Allah masih memberikan izin berbuka puasa bagi orang sakit dan musafir (mengganti puasa setelah Ramadhan). Serta menetapkan pula hukum memberikan makan orang miskin bagi orang lanjut usia (tua) yang tidak sanggup berpuasa.  

Al-Qur’an tidak berhenti sampai di situ saja, karena masih ada di antara umat Islam yang kaku dalam menjalankan ibadah puasa itu disebabkan oleh interpretasi mereka memahami ayat pertama: “sebagaimana telah diwajibkan atas umat sebelum kamu”, yaitu mereka menirukan tata cara umat-umat ahli kitab terdahulu melaksanakan ibadah puasanya,  seperti berpuasa di siang hari lalu makan, minum dan berhubungan suami-isteri di malam hari sampai tertidur, jika terbangun ditengah malam maka mereka tidak boleh makan, minum dan menyentuh isterinya lagi karena sudah dihitung berpuasa sampai malam berikutnya. 

Nabi SAW melihat kondisi ini sangat berat bagi umatnya sehingga terjadi sebuah kasus pada seorang Anshar bernama Sharmata, dia berpuasa hingga Magrib lalu mendatangi isterinya, setelah shalat Isya’ ia terlelap tidur sehingga tidak sempat makan minum lagi sampai Shubuh dan melanjutkan puasa, maka rasulullah SAW menegur dan bersabda: “Saya melihat kamu telah melakukan hal yang sangat berat”, lalu mejelaskan kepada nabi apa yang telah di alami sampai tertidur.  

Demikianlah keadaan itu berlangsung sampai benar-benar terjadi sebuah kasus baru yang sangat serius, hal ini terjadi pada diri seorang sahabat terkenal Umar bin al-Khattab ra; Adalah Umar bin al-Khattab mencampuri isterinya setelah shalat Isya' kemudian mandi lalu menangis menyesali dirinya dan pergi menghadap kepada rasulullah SAW mengakui perbuatannya mengatakan: Wahai rasulullah saya benar-benar meminta ampun kepada Allah dan kepadamu dari perbuatanku yang ceroboh ini, tadi waktu pulang kerumah habis shalat Isya' saya mendapati isteri saya baru berdanda dan memakai wangi-wangian dia menggodaku, maka akupun tidak tahan dan terjadilah apa yang terjadi. Maka apakah engkau dapat memberikan kemudahan kepada saya? 

Maka nabi bersabda: "Aku tidak bisa memutuskan hal itu ya Umar, tunggulah semoga Allah memberikan solusi terbaik untuk kamu", tidak lama kemudian datang lagi seorang sahabat lain mengadukan hal sama seperti Umar, maka turun ayat menjelaskan kasus Umar dan sahabatnya, yaitu firman Allah: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu", ayat tema yang akan kita kaji sekarang.
Hukuk-Hukum Puasa Ramadhan:
Sebelumnya penulis sudah menjelaskan beberapa hukum tentang puasa Ramadhan. (Lihat: Kembali). Sekarang ingin menjelaskan beberapa hukum lagi dari hukum-hukum puasa dan beberapa amalan Ramadhan yang masih tersisa, sebagai berikut: 
  1. Berhubungan Suami Isteri atau "Making Love" (ML) di Malam Hari Bulan Puasa 
  2. Waktu Mustajabah Meminta Keturunan dan Jodoh
  3. Imsak Puasa Benang Putih dan Benang Hitam Waktu Fajar
  4. Batas Waktu Mengucapkan Niat Puasa
  5. Kasus-Kasus Pelanggaran Dalam Menjalankan Ibadah Puasa
  6. Syariat I'tikaf di Dalam Mesjid Pada Bulan Ramadhan
  7. Larangan ML Ketika Sedang I'tikaf di Mesjid
  • Hukum ML Bersama Isteri di Malam Hari Puasa:
Allah berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ 
Artinya: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu";
Kalimat "Arrafatsu" pada ayat, yaitu arti halus dari bercinta atau berhubungan intim suami isteri. Kata Ibn Abbas: Sesungguhnya Allah Yang Maha Hidup lagi Maha Mulia mengistilahkan semua apa yang di sebutkan di dalam al-Qur'an dari berhubungan intim, bersentuhan, bercumbuh, memasuki, making love dan bercinta, semuanya dimaksudkan berhubungan intim suami isteri. Dan az-Zujaj mengatakan: "Arrafatsu" (bercinta) adalah sebuah kalimat yang mencakup segala sesuatu yang diinginkan laki-laki dari seorang wanita. Adapun sebab turunnya ayat tema ini sudah dijelaskan pada kasus Umar bin al-Khattab dan sahabatnya di atas. (Lihat juga: Tafsir al-Baghwi, Halaman: 207).

Firman Allah: "Dihalalkan bagi kamu", kalimat "dihalalkan" menggambarkan suatu perbuatan yang tadinya diharamkan kemudian diamendemen. Maka hukum yang tinggal adalah: "Allah SWT telah menghalalkan bagi kamu mencapuri isteri-isteri kamu pada malam hari puasa". 
Firman Allah: 
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ 
Artinya: "mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka."
Kata "pakaian" adalah identik dengan busana, kemudian diistilahkan kepada percampuran antara pasangan suami isteri sebagai pakaian, karena bergabung satu tubuh ketubuh yang lain, solid dan saling menutupi serupa dengan pakaian. Dan dikatakan pula bahwa disebut setiap satu dari pasangan suami isteri sebagai pakaian, karena menyetu keduanya saat tidur pada satu pakaian sehingga menjadi setiap orang dari keduanya menyatu pada pakaian yang dikenakannya. Menurut ar-Rabi' bin Anas: Isteri itu adalah kasur bagimu dan kamu adalah selimut baginya...
Firman Allah:
عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ
Artinya: "Allah mengetahui bahwasanya kamu telah mengkhianati dirimu sendiri (tidak dapat menahan nafsumu)"
Yaitu Allah Yang Maha Mengetahui melihat tingkahmu mengkhianati diri sendiri dengan makan, minum dan mencampuri isteri pada malam hari puasa, sebagaimana juga Allah mengetahui bahwa kondisi seperti itu sangat berat bagi kamu. Oleh karena itu Dia memberikan keringanan bagimu dengan mencabut hukum itu. Selain itu Allah juga telah mengampuni da memaafkan kamu atas pengkhianatan terhadap diri sendiri mencampuri isterimu pada malam hari puasa, sebagaimana firman Allah pada ayat berikutnya:
فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ
Artinya: "karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka..."
Kemudian setelah hukum mencampuri isteri di malam hari puasa itu kelar, dan dibolehkan bercinta sepuasnya di malam hari tanpa harus takut merasa berdosa lagi, maka Allah memberikan sugesti dan harapan baru kepada mereka: 
Waktu Mustajabah Meminta Keturunan dan Jodoh:
Allah berfirman:
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
Artinya: "dan mintalah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,,,"
Para pakar tafsir besar dunia seperti Ibn Abbas, Mujahid, al-Hakam bin Oyainah, Ikrimah, al-Hassan, as-Suddi, ar-Rabi', dan ad-Dhahhak menafsirkan ayat ini mengatakan: Maksudnya minta anak (yang belum memiliki keturunan) pada malam hari puasa, karena permintaan akan mudah dikabulkan, dengan dalil ayat ini bersambung dari firman Allah: "Maka sekarang campurilah mereka...". Menurut Ibn 'Athiyah, mengutip dari perkataan Hasan: Yaitu mintalah jodoh yang sudah ditentukan atasmu di Lauhil Mahfudz, agar segera dipertemukan (khusus bagi yang belum menikah). Wallahua'lam!
Bersambung ke: Tafsir Ayat-Ayat Puasa Berikutnya-----
Artikel yang berhubungan:
Karya Terbaru Penulis:
Beli Buku!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam!