Argumentasi Moderasi Syariah;
(Membangun Sikap Toleran dalam Perbedaan) *[1]
Oleh: Dr. H. Muammar Bakry, MA.
Islam adalah agama yang pemeluknya
berprinsip wasaṭiyah berdasarkan Q.S. al-Baqarah (2) : 143 (Demikian kami
jadikan kalian sebagai umat wasathan). Kata “wasathan” dapat bermakna terbaik,
paling sempurna, adil, sederhana, dan pertengahan.
Bertolak dari arti-arti tersebut maka
umat Islam yang wasathiyah adalah orang-orang yang memiliki prinsip hidup
sederhana dalam berbagai hal sesuai dengan koridor syariah. Berada di
tengah-tengah antara dua kutub yang ekstrim dalam berbagai hal. Paham ini biasa
juga disebut dengan moderat.
Moderat (moderate) yang berasal dari
bahasa Latin ‘moderare’, diartikan dengan tidak ekstrim, sederhana dan
bertentangan dengan sesuatu yang radikal. Cerminan sikap moderat diaktualkan
dalam menyelesaikan persoalan dilakukan dengan cara kompromi dengan menjunjung
rasa keadilan, toleran tanpa mencederai nilai-nilai agama.
Memahami Islam secara moderat, tidak
radikal dan tidak liberal, akan memudahkan penebaran kerahmatan ke seluruh
alam. Islam moderat tetap mengusung konsep Islam secara proporsional tanpa ada
yang dikurangi dan ditambahkan. Biasanya, pendekatan yang dilakukan lebih
kontekstual dan rasional dalam bingkai kesantunan, keramahan dan kedamaian.
Syariah adalah aturan-aturan Ilahi yang
membimbing manusia menuju keselamatan dan kebahagiaan. Fakta sejarah
menunjukkan bahwa penerapan syariah pada masa awal Islam berhasil mengubah
tatanan masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat muslim yang beradab: masyarakat
yang individunya mendapatkan hak-hak yang sama. Syariah berhasil membawa umat
kepada kemajuan dan kesejahteraan karena memiliki karakteristik yang teistis (rabbaniyyah),
etis (akhlāqiyyah), realistis (wāqi’iyyah), humanistis (insāniyyah), sistematis
(tanāsuqiyyah), dan komprehensif (syumūliyyah). Dengan karakteristik demikian,
syariah ini tetap relevan bagi setiap situasi dan kondisi zaman.[2]
Syariah sesungguhnnya eksis dan survive
di mana pun berada karena dapat diterima dan dianggap moderat bagi masyarakat
setempat. Beberapa spesifikasi yang dimiliki syariah yang menunjukkan moderasi
Islam, antara lain sebagaimana berikut:
I. Fleksibel
dan Modern
Salah satu spesifikasi Syariah bahwa
hukum-hukumnya fleksibel dan adaptif pada perkembangan zaman. Karena itu,
sesungguhnya ajaran Islam itu sederhana, mudah dan mengikuti perkembangan
zaman. Ini kemudian menjadikan dakwah Islam dapat berperan aktif dalam
kehidupan umat.
Seorang ahli hukum bernama Insaba Tuhin
berpendapat bahwa Islam dapat berjalan sesuai kebutuhan yang ada, ia mampu
memainkan perannnya tanpa merusak jati dirinya selama berabad-abad lamanya,
hidup di tengah perkembangan zaman. Hukum Islam mampu survive dan eksis bahkan
menyaingi hukum Eropa. [3]
Syariah Islam tidaklah kaku seperti yang
disinyalir bahkan diamalkan oleh sebagian orang. Syariah dapat mengakomodir
perubahan sosial, posisinya yang amat mulia itu menjadikan Islam sebagai
syariah yang universal dan manusiawi, dapat menjadi rujukan dalam memecahkan
problematika masyarakat masa kini maupun masa akan datang.
Ketika syariah Islam bertujuan untuk
kepentingan umum, maka artinya syariah itu luwes dan tidak jumud (stagnan).
Syariah didasari pada logika, bahasa dan juga adat istiadat.
Kondisi ini menjadikan materi fiqh yang
demikian banyak jumlahnya sejalan dengan konsep di atas. Ulama mazhab Hanafi
berpendapat, bahwa kaidah fiqh dan usul bukanlah sesuatu yang jumud karena
dapat beradaptasi dengan segala kemungkinan masalah yang ada, tidaklah sama
dengan kaidah Nahwu yang tidak bisa berubah.
A. ṡawābit
dan Mutagayyirat
ṡawābit adalah sesuatu yang mutlak dan
tidak berubah. Sedangkan mutagayyirat adalah sesuatu yang relatif dan selalu
ada perubahan.
Oleh karena Islam diturunkan untuk
seluruh manusia tanpa sekat batas dan waktu, maka tentulah menjadi keniscayaan
syariah selalu siap dan hadir untuk menjaga dan menjamin kemaslahatan untuk
semua manusia di berbagai tempat dan zaman.
Awal munculnya syariah Islam, ia hadir di
tengah masyarakat badui (kampung) dan ternyata mampu berinteraksi dengan budaya
kampung pegunungan dan padang pasir. Selanjutnya berkembang maju peradabannya
hingga kini, dan ternyata syariah pun tetap eksis dan survive dalam menjamin
kemaslahatan umat manusia.
Syariah dapat beradaptasi dengan kondisi
peradaban manusia, namun tetap terjaga orisinalitasnya, itu terjadi karena ada
hal yang mutagayyirāt (relatif/bisa berubah) dalam Islam sebagaimana ada
hal-hal yang ṡawābit (tetap).
Lalu, aspek-aspek apa saja yang ada dalam
ṡawabit dan mutagayyirāt? Ibn al-Qayyim menjelaskan, “hukum ada dua macam, pertama,
sisi yang tidak dapat berubah, dan diterima seperti apa adanya, ia tidak
terpangaruh oleh zaman dan tempat bahkan ijtihad para imam sekalipun, contoh
kewajiban shalat lima waktu, kewajiban puasa Ramadhan, keharaman babi dan
sebagainya. Kedua, sisi yang dapat berubah. Dalam artian bahwa tujuan dan
maksud tidak berubah, tapi yang berakselerasi dengan kondisi lingkungan adalah
cara dan proses, seperti hal-hal yang bersifat muamalat dan hal-hal yang
berifat duniawi.[4]
Al-Qur’an adalah sumber utama, sedangkan
hadis berfungsi menjelaskan secara praktikal dan teoritis dari Al-Qur’an.
Selanjutnya Al-Qur’an dan hadis menjadi dasar bagi ulama dalam melakukan
prosesi ijtihad dengan berbagai subyektifitas yang ada. Hal ini dapat dilihat
secara konsep dalam muwassa’ dan muḍayyaq, ijma’, qiyas, istihsan, maslahah
mursalah dan metode istinbath lainnya.
B. Wilayah
Syariah yang Kosong dan Makna Nash yang Relatif
Wilayah kosong yang dimaksud adalah
hal-hal yang sengaja tidak dibahas hukumnya oleh Allah dan rasul-Nya untuk
memberi kesempatan dan gerak yang leluasa kepada manusia dalam kehidupannya.
Wilayah ini menjadi objek kajian yang mendalam bagi orang yang berkompeten
dalam melakukan ijtihad (baca: mujtahid). Wilayah kosong yang biasa juga
diistilahkan “afwu” dilegitimasi oleh hadis berikut:
« عن أبي الدرداء رضي الله
عنه :
مَا أَحَلَّ اللهُ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ حَلَالٌُ
، وَمَا حَرَّمَ فَهوَ حَرَامٌ ، وَمَا سَكَتَ عَنهُ فَهُوَ عَفْوٌ ، فَاقبَلُوا مِنَ
اللهِ عَافِيَتَه ( وَمَا كَانَ رَبُّك نَسِيَّا) أخرجه الدارقطني
“Apa yang Allah halalkan di dalam
Kitab-Nya maka itu halal, apa yang Allah haramkan maka itu haram, apa yang Dia
diamkan maka itu dimaafkan, maka terimalah maaf dari Allah, sesungguhnya Allah
tidak sengaja untuk melupakan. Kemudian Dia membaca ayat (dan tidaklah Tuhanmu
melupakan).” [5]
Batasan-batasan yang telah ditetapkan
dalam Islam seperti nisab zakat, jumlah rakaat shalat fardhu, keharaman zina,
makanan-makanan yang haram dan lain-lain yang berupa perintah maupun larangan
yang tidak bisa berubah hukumnya.
Selain itu, tampilan ayat yang maknanya
relatif atau yang biasa dinamakan ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat żanni
memberi peluang besar akan terjadinya pemahaman lebih dari satu sesuai sudut
pandang ulama dalam memahaminya.
Relatifitas ayat ini memberi hikmah
tersendiri bahwa syariah adalah rahmah bagi manusia dalam kondisi waktu dan
tempat dimana mereka berada. Poin ini kemudian menjadi pemicu lahirnya mazhab
fiqh sesuai dengan metode ijtihad yang digunakan. Dengan mazhab yang ada, maka
umat manusia boleh memilih pendapat ulama yang sesuai dengan kondisinya secara
wajar dan benar.
II. Taysir
dan Fasilitas Rukhshah
Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Nabi
saw bersabda, “Permudahlah jangan dipersulit, bujuklah jangan mengusir. (H.R.
Bukhari).
Syekh Muhamad Khudri Bek, berpendapat
bahwa kemudahan merupakan bagian dari spesifikasi syari’ah Islam,
tuntutan-tuntutan yang ada padanya dibangun atas dasar tidak memberatkan (‘adam
al-ḥaraj), meminimalisasi tuntutan (taqlīl takālif), bertahap (tadrīj tasyri’).
[6]
Ada beberapa kondisi dan sebab yang dapat
memudahkan manusia dalam mengamalkan syari’ah Islam antara lain: Pertama, dalam
keadaan musafir, orang dapat melaksanakan shalat jama’ (gabung) dan qashar (ringkas),
berkenan tidak berpuasa. Kedua, karena sakit, ia dapat bertayammum sebagai
ganti wudu’. Ketiga, dipaksa untuk melakukan dan dikhawatirkan dapat mengancam
jiwanya, seorang dapat melafalkan kata-kata kufur selama hatinya terpaut dengan
keimanan. Keempat, karena lupa atau tidak mengetahui kewajiban yang telah
digariskan. Kelima, terdapat pengecualian seperti anak di bawah umur dan wanita
yang tidak diwajibkan menghadiri shalat jumat.
Adalah manusiawi jika syari’ah Islam
tampil dengan berbagai kemudahan hukumnya agar manusia dapat menjalankan sesuai
dengan yang diharapkan oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Karena itu sesuatu
yang mustahil bila tuntunan syari’ah tidak dapat dilaksanakan karena
memberatkan (taklīf bi mā lā yuṭāq).
Salah satu wujud sebuah tuntutan yang
manusiawi (taklīf bi mā yuṭāq) bahwa sebuah pekerjaan yang menjadi perintah
memungkinkan untuk dikerjakan oleh mukallaf baik kapasitasnya sebagai sunnah
atau wajib, dapat ditinggalkan baik makruh atau haram. Dengan demikian, tidak
sah peng-taklif-an dengan sebuah pekerjaan atau larangan yang mustahil, seperti
memerintahkan dua pekerjaan yang kualitas hukumnya berlawanan untuk diamalkan
dalam satu waktu, diibaratkan seperti memerintahkan manusia terbang tanpa
dibekali dengan sayap.
Dalam menjalankan perintah, dua syarat
mutlak ada pada mukallaf: Pertama, mukallaf harus mengetahui amalan yang
dilakukan dengan pengetahuan maksimal sehingga ia dapat merealisasikan sebagaimana
mestinya, maka mukallaf dituntut mengetahui benar syarat dan rukun shalat dan
segala hal yang berkaitan dengannya, demikian pula perintah lainnya. Kedua,
seorang mukallaf menyadari bahwa mengamalkan perintah atau menjauhi larangan
adalah manifestasi dari wujud ketaatannya sebagai hamba Tuhan, sehingga lahir
sebuah kesadaran spiritual yang menjadi inti ibadah dalam Islam.[7]
Salah satu bukti bahwa syari’ah Islam
sangat memungkinkan diamalkan oleh manusia dengan mudah, bahwa tuntutan dalam
istilah lain dinamakan dengan ‘azīmah, jika dalam kondisi tertentu terdapat
kesulitan-kesulitan (masyaqqah) dalam mengerjakan perintah, (taklīf bi syaq
minal af’al) ‘azimah itu berubah menjadi rukhshah (dispensasi;keringanan). Para
teoritisi mengklasifikasi “masyaqqah” pada dua bagian:
Pertama, masyaqqah mu’tādah (kesulitan
biasa yang dapat ditolerir), yaitu kesulitan yang hampir tidak ada dan tidak
berarti apa-apa bagi mukallaf. Dinamai masyaqqah mu’tādah, mengingat bahwa
semua pekerjaan mengandung perhatian, keseriusan, ketekunan, kesabaran yang
kesemuanya dianggap sebagai masyaqqah. Sebab itulah dalam banyak definisi
dijelaskan bahwa taklif adalah menuntut atau mengerjakan yang di dalamnya
terkandung pembebanan dan masyaqqah. Namun demikian, pembebanan dan masyaqqah
itu bukan tujuan suatu perintah, sehingga meletihkan badan bukanlah tujuan dari
perintah ibadah haji melainkan pemenuhan kebutuhan spritual manusia.[8]
Adapun nas-nas
yang menjelaskan tentang keutamaan dan pahala yang besar bagi yang
mengerjakan perintah yang mengandung masyaqqah yang berat adalah sebuah
konsekuensi logis dari perintah itu sendiri. Menyengaja mendatangkan masyaqqah
dengan niat semakin besar masyaqqah semakin besar pahala adalah hal yang tidak
benar, Wahbah Zuhayli menjelaskan, “jika tujuan mukallaf untuk mewujudkan masyaqqah
maka itu sudah melanggar syari’ah, sebab Syari’ tidak menginginkan hal
tersebut, karena semua maksud yang bertentangan dengan maksud syāri’ adalah
batil, karena itu beramal untuk mancari masyaqqah adalah batil.[9]
Dalam hal ini Syathibi:[10]
menjelaskan dalam dua kaidah di bawah ini:
«اِنَّ الشَّارِعَ لَمْ يَقْصُدْ
اِلَى التَّكْلِيفِ بِالْمَشَاقِّ اَلْاِعْنَاتُ فِيْهِ»
“Bahwasanya Syari’ tidak bermaksud
membebankan kepada yang sulit sebagai penyiksaan”.
«لَيْسَ لِلْمُكَلَّفِ أنْ
يَقْصُدَ المَشَقَّةُ لِعَظْمِ أجْرِهَا وَلَكِنُ لَهُ أنْ يَقْصُدَ العَمَلُ الَّذِى
يَعْظُمُ أجْرُهُ لِعَظْمِ مَشَقّتِهِ»
“Mukallaf tidak pantas mencari kesulitan
untuk mendapat pahala yang besar, melainkan ia seharusnya bermaksud mengerjakan
perbuatan yang nilai pahalanya tinggi karena beban kesulitan yang ditimbulkan”.
Demikian pula ‘Izzuddin[11]
secara panjang lebar membahas tentang masyaqqah dalam melaksanakan ibadah,
menurutnya, pahala dapat berubah dengan nilai yang tinggi dengan tahammul
masyaqqah (konsekuensi kesulitan) bukan
dengan ‘ain al masyaqqah (kesulitan itu sendiri), dicontohkan bahwa dalam satu
perbuatan kualitas kewajibannya sama dalam hal syarat-syarat, rukun-rukun
sampai pada pahalanya, contoh, mandi junub, dari segi esensi amalan mandi pada
musim panas dengan dengan mandi musim dingin sama, akan tetapi dari segi beban
kesulitan (tahmmul masyaqqah) berbeda, sebab mandi pada musim dingin lebih
berat dibanding pada musim panas, karena itu dari sudut beban kesulitan
diberikan pahala lebih bagi yang melakukan di musim dingin. Kaidah yang
berkenaan dengan ini:
تفاوت الاجر بتفاوت تحمل مشقته
“Pahala berbeda karena konsekuensi beban”:
Kedua, masyaqqah gair mu’tādah (kesulitan
yang tidak dapat ditolerir karena dianggap menyimpang), masyaqqah ini tidak
diperkenankan bagi manusia untuk mereka jalani sebab dapat merusak dan
mengorbankan diri, stabilitas hidup dan mengganggu kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat, seperti melakukan shalat semalam suntuk tanpa istirahat, berpuasa
setiap hari dan sebagainya.
Telah populer dalam bahasan fiqh dan
usulnya berbagai macam keringanan (takhfif), antara lain; (a) takhfif isqath
(menggugurkan/meninggalkan) seperti boleh meninggalkan jum’at bagi musafir; (b)
takhfif tanqish (pengurangan) seperti mengurangi jumlah rakaat shalat; (c) takhfif
ibdal (mengganti) seperti tayammum sebagai ganti wudu’; (d) takhfif taqdim wa
ta’khir seperti mendahulukan dan membelakangkan waktu shalat; dan (e) takhfif
rukhshah seperti mengonsumsi sesuatu yang haram apabila dalam keadaan terdesak
dan terpaksa.[12]
Karena itu, tuntutan yang menjadi ‘azimah
dapat berubah menjadi rukhshah (sebuah dispensasi yang bernilai keringanan),
dengan kata lain, jika seorang mukallaf merasa berat melakukan ‘azimah karena
keadaan yang membuatnya demikian seperti shalat dalam keadaan sakit, maka rukhshah
dalam kondisi seperti ini lebih diutamakan daripada ‘azimah, bahkan sekelompok
ushuliyyin memilih rukhshah dalam keadaan tertentu adalah wajib, karena itu
jika ia sakit ia diharuskan melakukan shalat sesuai dengan kemampuannya, dan
jika ia tetap memaksakan diri untuk melakukan ‘azimah ia dianggap berdosa.
Masyaqqah dalam hal tertentu relatif
adanya, boleh jadi sesuatu menjadi masyaqqah pada orang tertentu di saat yang
sama hal tersebut tidak dianggap masyaqqah bagi yang lain. Dalam hal ini ada
dua pendapat:
a. Mereka
yang mendukung dilaksanakannya ‘azimah dengan dua dasar: Pertama, bahwa baik ‘azimah
maupun rukhshah sesuatu hal yang qath’i (pasti), diakui dan disepakati
eksistensinya, namun masyaqqah relatif adanya (maznun, muhtamal), karena itu,
‘azimah lebih didahulukan. Kedua, bahwa ‘azimah bersifat kulli (universal)
karena meliputi semua mukallaf dalam berbagai tempat dan waktu, sementara rukhshah
teraplikasi hanya kepada mereka yang punya uzur. Sesuatu yang berlaku umum
didahulukan daripada yang berlaku khusus.
b. Rukhshah
lebih diduhulukan daripada ‘azimah dengan beberapa alasan: Pertama, rukhshah
dapat mengangkat kesulitan dan memberi kemudahan kepada mukallaf. Kedua,
menempuh rukhshah sangat relevan dengan konsep maqashid syari’ah, berbeda
dengan ‘azimah yang dapat mempersulit, karena itu sekalipun posisinya hanya
sebagai juz’i, namun ia dipandang sah (muktabar).
Terlepas dari pro dan kontra tentang mana
yang lebih utama, bahwa yang pasti diserahkan kepada yang bersangkutan
(mukallaf), sebab mereka yang paling mengetahui kondisinya dalam mengamalkan
perintah Tuhan (taklif), karena itu, erat kaitannya dengan faktor waktu dan
kondisi mukallaf. Namun sebagai
pertimbangan bahwa, rukhshah diibaratkan pemberian atau hadiah dari Tuhan
kepada hamba-Nya, dan sangat disayangkan apabila seorang hamba menolak
pemberian Tuhan tersebut. Dari uraian di atas maka kaidah yang dapat dijadikan
dasar yaitu:
«اَلتَّيْسِيْرُ أوْلَى بِالتَّقْدِيْمِ
مِنَ التَّعْسِيْرِ»
“Mempermudah lebih utama daripada
mempersulit”.
«اَلرُّخْصَةُ أوْلَى بِالتَّقْدِيْمِ
مِنَ اْلعَزِيْمَةِ»
“Rukhshah lebih didahulukan daripada
‘azimah”.
III. I’tidal
I’tidal (sederhana/sedang) adalah hal
yang melekat dalam syariah. Wel Dewrant berpendapat bahwa Nabi Muhammad
menempatkan orang Islam dalam posisi kesederhanaan termasuk dalam hal syahwat
(nafsu sex) yang tidak ada bandingannya di alam semesta.[13]
Ciri ini menggambarkan bahwa Islam dalam
menyelesaikan masalah tidak secara berlebih-lebihan, tapi memerhatikan
keseimbangan antara dua aspek material dan spiritual.
Ketika tiga orang datang kepada Nabi,
lalu orang pertama berkata, saya puasa terus, orang kedua berkata saya shalat
sepanjang malam, dan orang ketiga berkata, saya tidak akan kawin selamanya.
Kemudian Nabi menanggapinya, kalian berkata ini dan itu, ketahuilah saya lebih
bertakwa kepada Allah dari pada kalian, tapi saya berpuasa dan berbuka, saya
shalat dan tidur, dan saya pun kawin. Barangsiapa yang benci sunnahku maka
bukanlah golonganku. (Muslim : 1020).
Nabi Muhammad Saw. juga pernah bersabda,
“siapa yang mengimami orang, maka hendaknya memendekkan (bacaan), karena di
belakangnya ada orang lanjut usia, orang lemah, dan punya hajat. (Muslim juz 1,
h. 340, no 466)
Syariah Islam dalam perangkat hukum dan
nilai-nilai sosialnya adalah moderat. Berbeda dengan agama Yahudi yang banyak
mengharamkan sesuatu, dan berbeda dengan agama Nasrani yang banyak menghalalkan
sesuatu. Dalam Syariah Islam, penghalalan dan pengharaman mutlak hak Allah
tanpa ada wewenang manusia dalam hal itu.
Contoh lain adalah sebuah antitesis atas
ekstrimitas agama Yahudi yang memiliki prinsip “dipukul sekali maka balas dua
kali”. Tidak pula sama dengan Nasrani yang memiliki prinsip “jika pipi kanan
ditampar maka berikan pipi kiri”. Islam merupakan solusi alternatif dari dua
versi ekstrim di atas dengan prinsip “jika dipukul sekali maka balaslah sekali,
tapi jika memaafkan itu lebih baik”.
Moderasi lain dari Islam yaitu tidak
membenarkan sikap ‘taṭarruf’ baik secara tekstualis ataupun terlalu rasionalis.
Overtekstualis akan membuat ruang ijtihad dan rasio menjadi kerdil sehingga
terjadi kejumudan. Sikap ini akan menjadikan Islam tidak mampu beradaptasi
dengan lingkungan yang terus maju dan berkembang. Di pihak lain, pendekatan
yang sangat rasional dan lepas kendali dari nash akan lahir sikap liberalisme
dan mengerdilkan peran agama dalam kehidupan manusia.
Dalam berkeluarga terutama dalam poligami,
syariah mengambil jalan tengah antara kelompok yang membolehkan poligami tanpa
batas dan aturan dengan kelompok yang melarang poligami sekalipun terdapat
maslahat dan dalam keadaan darurat. Karena itu, dalam hal poligami Islam
mensyaratkan bagi orang yang ingin melakukannya untuk yakin dapat berlaku adil.
Dan jika ia tidak mampu melakukannya maka poligami tidak boleh dilakukan.
Dalam hal talak, syariah berada di
tengah-tengah antara kelompok yang mengharamkan talak, sesulit apapun yang
terjadi dalam kehidupan berumah tangga dengan kelompok yang memperlonggar dan
membebaskan sekalipun tidak ada masalah yang terjadi dalam rumah tangga. Bagi
Islam, talak boleh dilakukan tapi amat dibenci oleh Allah Swt.
IV. Bertahap
dalam Penetapan Syariah
Bertahap (tadarruj) adalah spesifikasi
dalam penetapan syariah islamiyah. Syariah tidak hadir sekaligus dalam satu
paket, tapi datang secara bertahap untuk memudahkan manusia dalam
mengamalkannya.
Khamar, riba dan lain-lain yang sudah
menggejala dalam budaya Arab adalah contoh kasus yang sangat sederhana dan
komprehensif tentang upaya syariah Islam yang sangat manusiawi untuk
selanjutnya terjadi finalisasi haram dalam hal-hal tersebut.
Hikmah besar yang dapat diperoleh adalah
antara lain agar tercipta kesadaran batin dalam diri manusia dalam menerima
hukum Allah tanpa terasa ada pemaksaan. Cara ini memudahkan manusia dalam
menjalankan syariah.
Sebagai contoh khamar yang menjadi
minuman biasa dalam masyarakat Arab, bahkan menjadi minuman kebanggaan dalam
berbagai acara dan even yang dibuat oleh masyarakat Arab ketika itu.
Islam tidak secara spontan
mengharamkannya, tapi prosesnya dilalui dalam empat tahap. Tahap pertama
menjelaskan bahwa khamar sesungguhnya bukanlah rezeki (minuman) yang baik,
sebagaimana dalam terjemahan firman Allah Swt. Q.S. al-Nahl (16): 67 (kalian
menjadikan khamar minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik).
Tahap kedua menjelaskan bahwa khamar
lebih banyak kerusakan yang ditimbulkan dari pada manfaatnya, sebagaimana
terjemahan firman Allah Swt. Q.S. al-Baqarah (2):219 (mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi, katakanlah bahwa di dalamnya dosa besar dan [dapat]
manfaat bagi manusia, namun dosanya [mudarat] lebih besar daripada manfaatnya)
Tahap ketiga melarang mengkonsumsi khamar
ketika ingin melaksanakan shalat, seperti dalam terjemahan firman Allah Swt
Q.S. al-Nisa (4): 43 (wahai sekalian orang yang beriman janganlah dekati shalat
sementara kalian dalam keadaan mabuk sampai kalian mengetahui apa yang kalian
ucapkan).
Tahap keempat yang merupakan tahap
finalisasi dengan pengharaman mutlak mengkonsumsi khamar sebagaimana terjemahan
firman Allah Swt Q.S. al-Maidah (5): 90.
Toleransi dan Menghargai
Pendapat-pendapat Ulama
Dalam sejarah tabi’ tabi’in, tergambar
perilakunya yang selalu mengedepankan persatuan umat Islam (tauhīd ṣufūf
al-muslimin), mereka berpandangan bahwa persaudaraan dalam seagama dan
menjadikan hati mereka saling terpaut adalah hal paling utama daripada yang
lainnya. Karena itu pula mereka rela untuk tidak mengamalkan pendapatnya ketika
melaksanakan ibadah secara bersama, sekalipun menurutnya pendapatnya yang
paling benar. Ada sebuah prinsip yang mereka tanamkan dalam
beribadah secara berjama’ah
yaitu “fi’l al-mafḍul wa tark al-fāḍil” bahwa rela mengerjakan atau
mengamalkan pendapat yang menurutnya tidak kuat dasarnya dan meninggalkan
pendapat yang dasarnya lebih kuat.
Dengan sikap seperti itu, akan terlihat
suasana toleransi dan saling menghargai dalam melaksanakan ibadah. Seorang imam
yang berpendapat bahwa men-jahar (membesarkan suara) basmalah adalah afdal,
tapi ia tidak lakukan karena mengikuti mayoritas makmum yang tidak men-jahar
basmalah. Seorang imam yang berpendapat bahwa qunut tidak dianjurkan dalam
shalat subuh, tapi ia qunut karena mengimami mayoritas makmum yang menganggap
bahwa qunut adalah sunat dalam shalat subuh. Ulama klasik melakukan seperti
ini, dengan harapan agar masalah furū’iyyah tidak akan membawa pada perpecahan
internal umat, melainkan membuatnya lebih bersatu.
Para imam mazhab seperti Imam Ahmad dan
sebagainya berpendapat “….sebaiknya seorang imam meninggalkan yang afdal demi
untuk menyatukan hati orang mukmin, dalam hal shalat witir, imam sebaiknya
mengikuti kondisi makmum yang tidak shalat witir kecuali dengan cara fashl yakni
menyisakan satu raka’at di akhir shalat.[14]
Kenyataan seperti ini terkadang nampak
sulit ditemukan sekarang, justru sebaliknya yang terjadi, ada yang mengaku
pengikut Syafi’i tapi “lebih Syafi’i” dari Imam Syafi’i, “lebih Hanbali” dari
Imam Hanbali dan sebagainya. Fenomena yang muncul di tengah masyarakat
terkadang memperuncing masalah yang sifatnya khilafiyah (perbedaan pandangan),
bahkan menjadi ajang perdebatan internal umat. Upacara-upacara (tahni’ah dan ta’ziah)
dengan tradisi dan ritual tertentu, rangkaian-rangkaian shalat seperti baca
basmalah, qunut, do’a bersama setelah shalat, masalah pakaian, memelihara
jenggot dan sebagainya masih menjadi lahan dan sumber perselisihan yang
berdampak pada pengkotak-kotakan dalam tubuh umat Islam, dengan saling
menyalahkan tanpa berusaha melihat kondisi seperti itu merupakan khazanah Islam
yang memberi hidup secara variatif.
Sebagai akhir dari tulisan ini, diangkat
tentang etika berbeda pendapat sebagai yang disampaikan oleh Yusuf al-Qardhawi
sebagai berikut:[15]
- Menyadari
bahwa perbedaan dalam hal furu’ adalah sesuatu yang mesti terjadi (dharurah)
sekaligus rahmat. Sehingga penyatuan pendapat tidak mungkin terjadi, dan jika
dipaksakan justru akan mengarah pada perpecahan. Yang lebih diperlukan adalah
kesadaran akan perbedaan tersebut.
- Mengikuti
manhaj yang moderat/pertengahan dan menghindari sikap berlebih-lebihan dalam
agama, karena sesungguhnya “urusan yang terbaik adalah yang pertengahan”.
- Hendaknya
kita fokus pada hal-hal yang muhkamat atau jelas penafsirannya,
dan menghindari perdebatan seputar hal
yang mutasyabihat (masih samar).
- Tidak
mengingkari secara mutlak atau final terhadap masalah-masalah ijtihadiyah yang
masih debatable, begitupula tidak meyakini dan mendukung secara mutlak. Hal ini
sesuai kaidah : “ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain”.
- Pentingnya
membaca dan menelaah perbedaan di antara ulama, sebab-sebab dan dalil-dalinya.
Hal ini untuk menguatkan toleransi dan menghindari sikap reaksi yang
berlebih-lebihan dalam menanggapi perbedaan.
- Menyibukkan
diri dengan agenda umat yang lebih besar dengan skala prioritas. Membahas dan
menanggapi masalah khilafiyah tidak akan pernah selesai, yang ada justru
melemahnya kesatuan umat. Karena itu, lebih utama berbuat secara riil demi
kemaslahatan umat dari pada sibuk berdebat dalam masalah khilafiyah.
- Saling
bekerja sama dan membantu dalam hal-hal yang disepakati, serta saling
bertoleransi dan memahami dalam hal-hal yang masih berbeda dan belum bisa
disepakati.
- Menjaga
orang yang masih berkeyakinan “syahadatain” Allah Swt. sebagai Tuhannya dan Muhammad
sebagai nabi-Nya.
[2] Bandingkan dengan Fathi al-Durayni, Khashaish
al-Syari’ah al-Islamiyah fisiyasah wal Hukm (Beirut; Muassasah al-Risalah,
2013), h. 15.
[3] Abdul
Majid bin Aziz al-Zandany, Al-Bi’atu al-Ilmiyah fi al-Qur’an al-Karim
(Beirut; Dar al-Kutub, t.th.), h. 222.
[4] Yusuf
al-Qardhawy, Al-Islam wa al-‘Almaniyah Wajhan li wajhin (Mesir; Maktabah
Wahbah, 1998), h. 151.
[10] Abu Ishaq
Ibrahim al-Syathibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, t.th.), h. 81.
[15] Yusuf
al-Qardhawy, Al-Islam wa al-‘Almaniyah Wajhan li wajhin (Mesir; Maktabah
Wahbah, 1998), h. 58.
Makalah Terkait:
- Med Hatta: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/risalah-batulicin-seminar-internasional.html#.W5snGdIzY1g
- H. Suti Pontong, S.Ag., MM: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/seminar-internasional-dai-islam-moderat_51.html#.W5slnNIzY1g
- Prof. Dr. M. Hussin Mutalib: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-melestarikan.html#.W5smeNIzY1g
- Dr. Hj. Hambali bin Hj. Jaili: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/seminar-internasional-dai-islam-moderat_83.html#.W5smKtIzY1g
- 5. Dr. Abdul Rahim Wayayo, MA: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-dakwah-islam-di.html#.W5sl29IzY1g
- Dr. M. Tata Taufik, M.Ag: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-arah-pembaharuan.html#.W5sj69IzY1g
- Dr. Arifuddin M. Arif, M.Ag: https://my-bukukuning.blogspot.com/2018/09/moderasi-dakwah-islam-menyebarkan-nilai.html#.W5snh9IzY1g
- PROPOSAL SEMINAR: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/proposal-seminar-internasional-dai.html#.W5sqI9IzY1g
- UNDANGAN SEMINAR 1: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/undangan-partisipasi-seminar.html#.W5spZNIzY1g
- UNDANGAN SEMINAR 2: http://my-bukukuning.blogspot.com/2018/07/blog-post.html#.W5sqn9IzY1g
Tidak ada komentar:
Posting Komentar