Mengembalikan
DDI ke Pangkuan Ulama
Ketika saya meminta pendapat ibuku - seorang wanita tua yang separuh dari
hidupnya ia abdikan untuk mendampingi suaminya Almarhum AG.H.Abd.Rahman
Matammeng, salah seorang tokoh utama DDI – tentang kasak-kusuk di seputar DDI
dan dimana saya harus memilih. Sejenak wajah tuanya tepekur, lama baru beliau
menyahut: “Kau harus berdiri di barisan ulama.”
Malamnya, saya langsung mengontak seorang ulama besar Indonesia yang juga salah seorang pendiri DDI, AG.H.Ali Yafie (mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia) menanyakan tentang hal yang sama: jawabnya juga sama dengan ibuku: di barisan ulama. Sejak saat itu, saya rajin mengikuti perkembangan DDI sampai dicetuskannya deklarasi “DI-AG.D Abdurrahman Ambo Dalle” di mana saya di dalamnya juga turut membubuhkan tanda tangan, sebagai wujud rasa kecintaanku kepada DDI dan kepada amanah ibuku. Karenanya, saya tahu persis gerangan apa yang berkecamuk dalam pikiran-pikiran kaum reformis DDI itu. Saya lebih suka menyebut “DDI-AG. Abdurrahman Ambo Dalle” sebagai sebuah gerakan para ulama dan kebangkitan kaum intelektual muda DDI. Ia adalah sebuah bentuk perlawanan yang ingin membebaskan DDI dari berbagai kepentingan politik dan mengembalikan DDI ke pangkuan para ulama yang berbasis pesantren, seperti yang terlihat pada mabdanya tahun 1938.
Gurutta telah mengantarkan DDI dalam sebuah perjalanan panjang yang berliku. Dalam kurun waktu itu, DDI telah mengalami berbagai fase yang secara evolutif telah teruji oleh zaman, yang menjadikannya sebagai salah sebuah lembaga Islam tertua di Sulawesi Selatan yang cukup disegani. Hampir di seluruh Indonesia, bahkan di Asia Tenggara terdapat cabang-cabangnya terutama di kantong-kantong pemukiman orang Bugis rantau.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa DDI bagai berdiri di simpang jalan, di satu sisi kakinya berdiri pada keinginan untuk mengembalikan DDI seperti semula, namun di sisi yang lain ia harus mempersiapkan diri menghadapi tantangan masa depan yang jauh lebih kompleks dan beragam. Karena itu diperlukan strategi baru dan penataan ulang yang memperlihatkan cirinya sebagai lembaga yang berwibawa, yang mampu menciptakan proses dialektika dan kesinambungan sejarah dari yang lalu, kini, dan akan datang.
***
Berbicara tentang DDI maka mau tak mau kita juga harus membicarakan Anre
Gurutta (AG) H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Sebuah nama yang menyimpan begitu
banyak kenangan dan pengalaman spritual bagi bangsa Indonesia. Beliau adalah
tokoh yang selalu hidup di hati para pendukungnya. Tidak diketahui dengan pasti
kapan tanggal kelahirannya, hanya tahunnya diperkirakan sekitar tahun 1900 di
Desa Ujungngé Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Itu berarti beliau hidup dari
empat zaman, mulai dari zaman feodal, Belanda, Jepang dan kemerdekaan. Ternyata
warna-warni zaman itu turut mempengaruhi dinamika perjalanan dan perjuangan
hidup Sang Gurutta. Pasang-surut kehidupannya selalu diwarnai oleh situasi
zaman, yang mengukuhkannya sebagai tokoh yang kokoh dalam menjawab setiap
tantangan yang dihadapinya.
Beliau adalah figur yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk membangun dan
mencerdaskan bangsanya melalui pembangunan yang berbasis nilai-nilai Islam.
Salah satu warisan monumentalnya adalah Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI), sebuah
lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial, yang berbasis
pada kepemimpinan ulama dan pesantren. Didirikan di tengah-tengah kancah
perjuangan revolusi bangsa Indonesia yaitu pada tanggal 21 Desember 1938 di
Mangkoso sebagai cabang Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di sengkang. MAI lalu
berubah menjadi Darud Da’wah Wal-Irsyad pada tanggal 7 Pebruari 1947 di Watang
Soppeng. Dalam wadah inilah Gurutta mencurahkan seluruh hidupnya hingga
hampir-hampir setiap membicarakan dirinya tak bisa lepas tanpa membicarakan pula
DDI. “Seluruh milikku adalah miliknya DDI, namun milik DDI bukanlah milikku”,
begitu selalu ia katakan di setiap pembicaraannya.
Gurutta telah mengantarkan DDI dalam sebuah perjalanan panjang yang berliku. Dalam kurun waktu itu, DDI telah mengalami berbagai fase yang secara evolutif telah teruji oleh zaman, yang menjadikannya sebagai salah sebuah lembaga Islam tertua di Sulawesi Selatan yang cukup disegani. Hampir di seluruh Indonesia, bahkan di Asia Tenggara terdapat cabang-cabangnya terutama di kantong-kantong pemukiman orang Bugis rantau.
Pada tanggal 29 Nopember 1996, Gurutta dipanggil menghadap oleh Yang Maha
Pencipta. Bersamaan dengan itu, pelan-pelan aura DDI pun mulai redup bahkan
sayup-sayup sudah mulai ditinggalkan oleh publiknya. DDI pun dikepung oleh
berbagai masalah baik secara internal maupun eksternal. Secara internal:
terlihat pada terlepasnya kepemimpinan ulama dan pesantrennya, cara pengelolaan
managemen DDI yang tidak profesional, tidak adanya fungsi pengawasan yang
melekat. Secara eksternal, problem utama yang dihadapi oleh DDI adalah sistem
pendidikan nasional, yang tidak memberi tempat dan proporsi yang pas dengan
tuntutan pendidikan yang berbasis pada pesantren, ancaman globalisasi yang
menawarkan referensi baru bagi generasi muda, serbuan media massa yang satu
arah, yakni dari pusat ke daerah. Akibatnya, panutan generasi baru pun bukan
lagi pada ulama, tapi telah berpindah ke internet, TV, dan berbagai media
lainnya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa DDI bagai berdiri di simpang jalan, di satu sisi kakinya berdiri pada keinginan untuk mengembalikan DDI seperti semula, namun di sisi yang lain ia harus mempersiapkan diri menghadapi tantangan masa depan yang jauh lebih kompleks dan beragam. Karena itu diperlukan strategi baru dan penataan ulang yang memperlihatkan cirinya sebagai lembaga yang berwibawa, yang mampu menciptakan proses dialektika dan kesinambungan sejarah dari yang lalu, kini, dan akan datang.
Atas dasar kesadaran itulah maka “DDI-AG.Abdurrahman Ambo Dalle”
dideklarasikan, yang salah satu ciri utamanya memberi peranan yang lebih besar
kepada ulama. Dalam struktur organisasi, para ulama ditempatkan pada sebuah
dewan yang diberi nama dengan “Majelis Syura”. Dewan ini bukan hanya dipajang
sebagai penasehat seperti yang terlihat pada struktur yang lama. Mereka
benar-benar fungsional, yang dapat mengontrol jalannya organisasi yang
dikendalikan oleh “Majelis Pengurus”. Dengan demikian, praktek kekuasaan yang
sewenang-wenang dan cenderung diktator dapat dihindari. Majelis Dewan Syura juga
mempunyai wewenang mengangkat dan memberhentikan Majelis Pengurus. Semua
kebijakan itu dilakukan dengan berpatokan arus bawah. Lalu kemudian suara arus
bawah tersebut digodok oleh Dewan Syura yang rujukan utamanya adalah syariat
Islam.
***
Bila kita memperhatikan struktur kepengurusan DDI versi Prof.Dr. H. Muis
Kabry (kopi SK-nya terlampir), maka di situ terlihat bahwa lebih dari separuh
pengurusnya telah hengkang dan memilih ke DDI-AG.Abdurrahman Ambo Dalle (Naskah
deklarasi, penandatangan dan pengurus sementara Majelis Syura) terlampir. Dan
ketika hal itu didengar oleh Menko Kesra, H. Yusuf Kalla, serta-merta beliau
berkomentar: “apa yang dilakukan oleh para ulama itu adalah sebuah tradisi
Bugis yang telah dipraktekkan oleh orang-orang Bugis sejak ratusan tahun yang
lampau”. Bila orang Bugis tidak lagi suka kepada pemimpinnya, maka ada berbagai
cara yang dilakukannya, antara lain: 1) mengamuk 2) menghakimi pemimpinnya,
biasanya mereka membunuhnya, 3) atau ramai-ramai meninggalkannya. Itulah
sebabnya dalam sejarah disebutkan, bahwa gelombang emigrasi terbesar di
Indonesia adalah suku Bugis, dan kebanyakan penyebabnya adalah meninggalkan
kampung halamannya bukan karena miskin, tapi biasanya karena protes terhadap
pemimpinnya. Tentu saja, para ulama kita tidak melakukan cara seperti nomor 1
dan 2 di atas, tapi memilih cara yang ketiga. Mereka tidak meninggalkan kampung
halamannya, tapi memilih rumah yang lain, yang lebih teduh, yang lebih sejuk,
yang lebih damai. Mereka tidak mendirikan rumah tandingan, karena ulama
bukanlah pada tempatnya untuk dipertandingkan, apalagi dipertandingkan dengan
seorang Muis Kabry.
Makassar, 21 Nopember 2003
Prof. Dr. Nurhayati Rahman, ketua divisi Ilmu Sosial Humaniora, Pusat
Kegiatan Penelitian Unhas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar