Coretan Kuliah Umum Pada STAI DDI Parepare (24/9/'16)
Oleh:
Med Hatta[1]
Prolog
Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI), merupakan
ormas Islam terbesar di Indonesia timur dan terbesar ketiga nasional setelah
Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Salah satu harapan besar para tokoh founding
father saat mendeklarasikan berdirinya ormas ini adalah perlunya membangun
sistem pendidikan berbasis kemasyarakatan; menggiatkan bidang dakwah dan sosial
kemaslahatan umat yang luas. Untuk membina
pribadi-pribadi muslim yang cakap dan bertanggung jawab atas terselenggaranya
ajaran Islam secara murni dikalangan umat Islam; dan menjamin kelestarian jiwa
patriotik rakyat Sulawesi Selatan yang pada waktu itu sedang
mempertaruhkan jiwa raganya demi mengusir kolonialisme dan mempertahankan
kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945.
Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI), pertama kali berdiri pada 11 Januari
1938 Miladia atau 20 Dzulqaidah 1357 Hijria di Mangkoso, Sulawesi Selatan dengan nama lahir Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). Pada tahun 1947, atas
inisiatif dari masing-masing: AGH. Abdurrahman Ambo Dalle (MAI Mangkoso), AGH.
Daud Ismail (Kadi Soppeng), Syekh H. Abdul Rahman Firdaus dari Parepare
bersama ulama-ulama besar lainnya diadakanlah Musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah
wal-Jamaah se-Sulawesi Selatan, dan salah satu keputusannya adalah membentuk
organisasi massal yang orientasinya lebih luas, yang kemudian disebut “Darud
Dakwah wal-Irsyad (DDI)”. Dan mempercayakan kepada AGH. Abdurrahman Ambo Dalle
sebagai ketua ormas baru tersebut.
DDI kini dalam perkembangannya telah tersebar di 20
propinsi dipelosok tanah air seluruhnya ditangani 8 Pengurus Wilayah, 274
Pengurus Daerah, 392 Pengurus Cabang, dan 127 Pengurus Ranting, dengan jumlah
madrasah 1029 buah, 89 buah pondok pesantren dan 18 buah penguruan tinggi.
Sekolah Tinggi Agama Islam Darud Da’wah wal-Irsyad (STAI DDI):
Pendidikan, sebagaimana pernah dikemukakan
oleh R.J. Menges, adalah keseluruhan proses dalam rangka membantu manusia
menapaki kehidupannya. Dalam konteks yang demikian, pendidikan menempati posisi
yang sangat sentral dan strategis dalam rangka membangun kehidupan manusia baik
kehidupan individu maupun sosial yang diharapkan mampu memposisikan manusia
dalam kehidupan yang plural. Posisi sentral dan tantangan yang berat sejalan
dengan semakin kompleksitasnya roda kehidupan manusia menyongsong era global.
STAI DDI, sebagai salah satu
institusi penyelenggara pendidikan di tanah air, tidak luput dari berbagai
tantangan yang harus dihadapinya. Tantangan tersebut antara lain berupa
timbulnya aspirasi dan idealitas masyarakat yang multi-interest dan
multi-kompleks, terutama dalam menghadapi dan memenuhi kebutuhan masyarakat dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian STAI DDI tidak lagi menghadapi
kehidupan yang simplisistis, melainkan amat kompleks.
Secara internal, perguruan tinggi dituntut
senantiasa menata diri baik dengan menyatukan langkah seluruh anggota civitas
akademikanya dalam mengantisipasi perubahan dan tantangan ke depan. Dalam
konteks STAI DDI, penting untuk melakukan refleksi dalam rangka reorientasi STAI
DDI sebagai landasan filosofis bagi upaya gerakan dan penyatuan langkah bagi
seluruh anggota civitas akademika. Di samping itu, penataan secara internal
yang menyangkut aspek managemen, administrasi, organisasi, pengembangan
akademik, adalah hal penting lainnya yang harus segera dilakukan.
Pesan Sekjen PB DDI, Helmi Aliyafie, sebelum
munulis makalah ini: Idealnya PT DDI itu harus khas
(dengan ke-DDI-annya), menciptakan atau membentuk manusia yang cerdas, peka
(terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan), kreatif dan mandiri. Karena itu
perlu memiliki keterampilan dan daya imajinasi untuk membangun daerah sendiri
atau membuka lapangan kerja. Memiliki misi, membangun fondasi masyarakat yang
menghargai perbedaan, tradisi, dengan ikut menebar nilai dan ajaran Islam
Ahlussunnah Waljama’ah (versi DDI, bukan versi NU atau yang lain).
Kalau STAI DDI itu khas, maka
akan dicari orang; paling tidak dicari oleh orang-orang DDI sendir, atau
orang-orang yang punya hubungan emosional dengan DDI atau Gurutta. Jadi STAI DDI wajib ada kurikulum
sendiri.
Tantangan yang mutlak dihadapi adalah:
Pertama, masyarakat yang semakin pragmatis (harus ada contoh baru mau ikut).
Kedua, Kita telah kalah start dengan PT lainnya yang sudah punya nama besar dan
(memang) mempunyai fasilitas lengkap; dan itu yang jadi ukuran kualitas
(anggapan orang pada umumnya; dst.
Berkenaan dengan hal ini, diskursus ilmiah
tentang karakteristik PT DDI, epistemologi pengembangan keilmuan, dan sosok
lulusan yang dihasilkan harus menjadi tema sentral. Konseptualisasi hal-hal
tersebut harus dilakukan sebab konsep tersebut akan menjadi dasar kebijakan
pengembangan STAI DDI lebih lanjut mulai dari tataran konsep abstrak, seperti
visi dan misi, struktur kelembagaan, struktur kurikulum di setiap fakultas,
jurusan dan program studi, sampai pada arah dan strategi pembinaan dan
pengembangan dosen, mahasiswa dan seluruh civitasnya.
Dengan demikian tugas STAI DDI menjadi sangat
jelas, yakni menyiapkan para lulusannya memiliki kualitas dan kemampuan handal
yang mampu bersaing, tidak hanya ahli di bidang ilmu agama saja, akan tetapi
juga di bidang ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan oleh pasar.
Kongkritnya, Upaya mewujudkan STAI DDI yang
mampu menghadapi berbagai tantangan di era global, masih memerlukan kerja keras
oleh semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung.
Upaya-upaya ini bisa dilakukan di antaranya dengan peningkatan kualitas sumber
daya yang ada, perluya dukungan kebijakan nasional, perubahan paradigma,
kepemimpinan yang visioner, memperluas jaringan kerjasama, dan pengembangan di
bidang penelitian. Hanya dengan kerja keras inilah STAI DDI ke depan akan mampu
bersaing dan menghadapi berbagai tantangan yang ada.
Peluang dan Tantangan Dakwah Islamiah
Peluang dakwah Islam dalam kehidupan masyarakat di era
globalisasi saat ini, sepanjang pengamatan penulis setidaknya ada tiga sektor
strategis yang patut menjadi perhatian dakwah di dalam kehidupan modern di
Indonesia, yaitu: Pertama, sektor keilmuan dan teknologi, yaitu dengan
berkembangnya semangat religiusitas (keislaman di kampus-kampus dan pusat-pusat
kajian ilmiah); kedua, sektor politik kekuasaan dan birokrasi dengan
tumbuhnya semangat religiusitas dari pusat pemerintahan sampai ke desa-desa;
dan ketiga, sektor wirausaha dan industri dengan mulai banyaknya
keterlibatan tokoh-tokoh interpreneurship dan pelaku industri tingkat nasional
dalam kegiatan dakwah dan pemberian fasilitas dakwah di pusat-pusat kegiatan
kerja mereka.
Jika STAI DDI sebagai pelopor Dakwah Islam merintis
akses kuat pada ketiga sektor strategis tersebut maka akan mempunyai peluang
besar dalam mengaktifkan kegiatan dakwahnya di dalam kehidupan masyarakat
dewasa ini, dan tentunya sangat strategis karena dakwah tidak hanya bertujuan
menanamkan doktrin dan nilai-nilai Islam semata, tetapi juga banyak
mengaktualisasikan doktrin dan nilai-nilai keislaman itu sendiri ke dalam
realisasi sosial, sehingga agama tidak mutlak menjadi faktor normatif dalam
realitas kehidupan, tetapi adalah sebagai faktor penting yang relevan dan
signifikan lainnya seperti faktor-faktor motivatif, inovatif dan integratif. Dengan demikian dakwah secara fungsional lebih berperan
dalam proses tranformasi serta mempunyai pengaruh yang lebih efektif dalam dinamika
kehidupan.
Namun,
tentu setiap usaha yang dikembangkan dalam mencapai setiap tujuan pastilah
mendapat hambatan dan tantangan untuk mewujudkannya, apalagi melaksanakan
sebuah missi suci berupa dakwah atau seruan demi tegaknya hukum Tuhan di muka
bumi. Oleh sebab itu STAI DDI menjadi sangat penting
untuk selalu reaktualisasi dan revitalisasi dakwah khususnya pada saat ini dan
masa datang mengingat berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi. Beberapa
tantangan dakwah yang harus dicermati STAI DDI,
seperti:
PERTAMA, masalah-masalah yang tumbuh di masayarakat semakin
kompleks seperti krisis moral di berbagai bidang kehidupan, kekerasan dalam
bermacam-macam bentuk, perilaku sosial yang semakin beraneka-ragam lepas atau
semakin menjauh dari nilai-nilai keagamaan, penindasan manusia atas manusia
dalam beragam corak, pengrusakan lingkungan dan alam kehidupan yang semakin
semena-mena, dan berbagai penyakit kehidupan lainnya dari yang terselubung
hingga terang-terangan. Itulah gambaran dari kehidupan yang anomali (penuh
penyimpangan) dan mengalami disorientasi (keterputusan nilai dan arah
kehidupan), sehingga manusia semakin menyerupai perilaku hewan yang buas tetapi
cerdik, bahkan dalam Alquran dikatakan ”bal hum adhallu”, malahan jauh
lebih ganas ketimbang binatang.
KEDUA, semakin berkembangnya berbagai pemikiran yang ekstrim atau
radikal dari yang cenderung radikal konservatif-fundamentalistik hingga radikal
liberal-sekularistik, yang menimbulkan pertentangan yang kian tajam dan hingga
batas tertentu kehilangan jangkar teologis dan moral yang kokoh dalam
menghadapi gelombang kehidupan modern yang dahsyat. Setiap radikalisme atau
ekstrimitas apapun bentuknya selalu melahirkan ketimpangan dan mengundang
banyak benturan. Ekstrim konservatif memang memberi peneguhan pada kemapanan
beragama, tetapi menjadi naif dan kehilangan kecerdasan dalam menghadapi
kehidupan yang serba kompleks. Esktrim liberal memberi horizon yang cerdas atau
luas tetapi sering kehilangan pijakan nilai dan moral yang kokoh sehingga
memberi ruang pada sekularisasi bahkan nihilisme kehidupan. Di sinilah
pentingnya wawasan baru pemikiran dan gerakan dakwah yang berdimensi pemurnian
(purifikasi) sekaligus pembaruan (tajdid, dinamisasi) yang harus semakin kaya
(bergizi tinggi) tanpa harus terseret pada polarisasi yang ekstrim.
KETIGA, semakin berperan dan meluasnya para juru dakwah
kontemporer di media massa elektronik dan majelis-majelis taklim yang
mempengaruhi ruang publik umat sedemikian rupa. Kehadiran dakwah
media-elektronik dan majelis-majelis taklim maupun majelis-dzikir yang
menguasai ruang publik umat dan masyarakat saat ini seungguh merupakan fenomena
baru yang berhasil menggeser peran-peran dakwah konvensional yang selama ini
dilakukan oleh DDI dan ormas-ormas Islam besar
nasional sepert NU, Muhammadiyah, dan lainnya. Memang fenomena dakwah
kontemporer tersebut merupakan hal positif dan bahkan dapat dijadikan kekuatan
untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Namun di sisi
lain juga memunculkan dampak berupa agama yang cenderung “instan”, tak ubahnya
obat generik yang sekadar memblok rasa sakit. Tetapi dakwah yang seperti itu
apapaun kekurangannya kini jauh lebih populer dan mengalahkan model-model
dakwah maupun sosok juru dakwah gaya lama. Di sinilah pentingnya pembaruan model
dakwah di tengah tuntutan pasar yang sedemikian dihinggapi budaya populer
tetapi harus bersifat mencerdaskan, mencerahkan, dan membebaskan.
KEEMPAT, semakin berperannya media
massa baik cetak apalagi elektronik dalam mempengaruhi, membentuk, dan mengubah
orientasi hidup manusia modern saat ini. Dengan kata lain media massa modern
tersebut sebenarnya telah menjelma menjadi ”organisasi dakwah” yang berwajah
lain, sekaligus menjadi pesaing tangguh Islamic Center yang selama ini
berkiprah di belantara kehidupan umat dan masyarakat. Pengaruh dan daya jelajah
media massa bahkan sangat spektakuler, sehingga dalam hitungan detik per detik
dapat menjangkau setiap relung kehidupan manusia di mana pun dan kapan pun
tanpa harus permisi atau minta izin. Televisi misalnya secara anarkhis atau
bebas sebebas-bebasnya dapat langsung mengunjungi balita, remaja, orangtua, dan
sispapun tanpa harus ketuk pintu. Hal itu sangat berbeda dengan kegiatan dan
langkah Islamic Center yang konvensional, yang datang ke rumah siapapun harus
minta izin terlebih dulu. Televisi bukan hanya dapat dengan sekejap
membangkitkan orang untuk hidup, tetapi pada saat yang sama dapat membunuh
orang tanpa prosedur apapun. Di sinilah kedahsyatan peran media massa modern,
yang menjadi lawan tanding Islamic Center, sekaligus sebenarnya dapat
dimanfaatkan sebagai alat dakwah paling canggih.
Penutup
Meski STAI DDI menghadapi
berbagai tantangan, seperti dikemukakan di atas, peluang bagi dakwah Islamiah jelas masih tetap besar. Situasi sosiologis
umat Islam Indonesia, yang setidak-tidaknya dalam dua dasawarsa terakhir
menemukan “new attachment”
kepada Islam merupakan modal yang sangat berharga bagi PT DDI, dan
lembaga-lembaga dakwah Islam
umumnya.
Sejalan dengan itu, STAI DDI tetap harus me-revitalisasi dakwah sebagai
proses penguatan kembali langkah-langkah dakwah baik yang bersifat kuantitas
maupun kualitas dalam seluruh aspek kehidupan menunju terwujudnya kehidupan
yang Islami. Peningkatan intensitas (kuantitas)
dan kualitas dakwah yang semakin tinggi dan maju, diharapkan agar dakwah
benar-benar berpengaruh langsung dalam membentuk kehidupan masyarakat yang
Islami. Dengan kehidupan masyarakat yang Islami maka akan terbentuk masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya.
STAI DDI harus yakin bahwa dakwah berkembang di tangan orang-orang yang
memiliki militansi, semangat juang yang tak pernah pudar. Ajaran yang mereka
bawa bertahan melebihi usia mereka. Boleh jadi usia para mujahid pembawa misi
dakwah tersebut tidak panjang, tetapi cita-cita, semangat dan ajaran yang
mereka bawa tetap hidup sepeninggal mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar