Uang Panai' dan Mahar
My Buku Kuning Centre
بسم
الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله الذي خلق لنا من أنفسنا أزواجاً، وأدخلنا في دينه أفواجاً، وارتضى
لنا الإسلام شريعة ومنهاجاً. والصلاة والسلام على البشير النذير الذي أرسله ربه
رحمة ونوراً وسراجاً وهاجا، وعلى آله وأصحابه والتابعين لملته سلوكاً وانتهاجاً. أما
بعد!
Pernikahan
Pernikahan merupakan
ikatan diantara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi
fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan dan lain-lain.
Dalam pandangan Islam,
pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan
jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat.
Aqad nikah dalam Islam
berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat “ijab dan qabul”. Tapi
dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari
bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah
kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, begitu juga dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah
bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian
antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali
nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada
tangan Allah SWT, “Yadullahi fawqa aydihim”.
Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah
menyebutnya “Mitsaqan ghalizhan” atau perjanjian Allah yang berat. Allah
berfirman:
" وَكَيْفَ
تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ
مِيثَاقًا غَلِيظًا".
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat” (QS: Annisa: 21)
Mahar dan Uang Panai'
Salah satu rukun pernikahan dalam mazhab Malikia adalah mahar (mazhab lain syarat). Mahar bisa diistilahkan dengan maskawin, yaitu pemberian wajib calon suami kepada calon isteri sebagai perwujudan ketulusan hati dan kerelaan, atau menunjukkan keseriusan calon suami dalam mendapatkan calon isterinya. Di Maroko dan negara-negara Timur Tengah lainnya biasa menyebutnya dengan istilah Shadaq (serius/benar). Allah berfirman:
Artinya: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan". (QS; Annisaa: 4)
Mahar dalam Islam telah diatur dengan baik dan tidak untuk memberatkan. Bahkan mahar terbaik dan berkah adalah yang paling mudah serta tidak menyulitkan calon suami demi mendapatkan keberkahan dari proses pernikahannya. Nabi bersabda: "Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya, dan mudah rahimnya" (HR. Imam Ahmad).
Bagaimana mengukur mudahnya mahar dan berkah? Di Indonesia - misalnya - mahar yang paling populer secara nasional adalah SEPERANGKAT ALAT SHALAT. Beberapa waktu lalu di Aceh, seorang pria menikahi wanita pujaan hatinya dengan mahar segelas air putih. Setelah mengucap ijab qabul, sang mempelai wanita langsung meminum segelas air putih sebagai mahar pernikahannya hingga habis. Lalu di Lamongan pulau Jawa seorang pria menikah dengan mahar bacaan Alquran surat Arrahman. Sekejab bacaan Alquran yang dilantungkan sang mempelai pria membuat bulu kudu tamu yang hadir merinding.
Tentu ukuran mudahnya mahar tidak selamanya murah atau sedikit/sederhana seperti kasus di atas. Namun, calon suami yang mudah mengeluarka uang Rp. 100 juta - misalnya - juga bukan sesuatu yang mahal/sulit dan menjauhkan keberkahan darinya. Karena dia senang dan rela memberikan nilai sebesar itu untuk meminang calon isteri pujaan hatinya. Sebagaimana telah dicontohkan oleh rasulullah SAW pada banyak kasus, seperti:
Nabi Muhammad sendiri, meski selalu menganjurkan agar memudahkan mahar pada beberapa haditsnya, tetapi Beliau saat menikah dengan Khadijah membayar mahar sebesar 20 ekor unta dan 12,5 ons emas. Adalah nominal mahar yang pantastis jika dikompersikan ke nilai rupiah sekarang. Harga standard minimal 1 ekor unta rata-rata (SR 4.000 x 20 = SR 80.000), atau sekitar Rp 283.733.275. Plus 12,5 ons emas yang kalau diuangkan sekarang sekitar Rp 100.000.000. Jadi nominal mahar nabi pada pernikahan pertamanya dengan Khadijah adalah sekitar Rp 383.733.275 (mendekati 400 juta rupiah).
Kemudian pada pernikahan-pernikahan Beliau SAW selanjutnya, yaitu memberikan mahar pada isterinya rata-rata 12,5 ons emas atau sekitar Rp 100 juta. Namun, disisi lain, tidak sedikit pula sahabat nabi yang menikah dengan mahar yang relatif murah/sederhana. Bahkan rasulullah SAW pernah menikahkan anak-anak perempuannya dengan mahar yang sederhana/murah. Sebagian sahabat menikah dengan mahar cincin emas yang beratnya tidak seberapa, dan sebagian yang lain menikah dengan mahar cincin dari besi. Serta rasulullah SAW menikahkan putri kesayangannya Fatimah dan Ali dengan mahar baju perang saja. Beliau juga pernah menikahkan seorang laki-laki dengan mahar hafalan Alquran. Itupun juga tidak sampai 30 Juz. Jumlah nominal mahar tidak di syaratkan, yang menjadi syarat adalah kemudahannya.
Uang Panai' Bugis Makassar
JAUH berbeda dengan yang ada di Aceh, Lamongan Jawa ataupun di negeri Arab tadi, menikah atau pernikahan dalam tradisi Bugis-Makassar bukanlah sesuatu hal yang murah dan sederhana. Calon suami wajib mempersiapkan terlebih dahulu UANG PANAI' sebagai salah satu prasyarat utama sebelum melamar wanita idamannya. Yaitu calon mempelai laki-laki memberikan sejumlah uang pada calon mempelai wanita yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta, belanja pernikahan, sosialisasi, pamer dan festival gengsi lainnya.
Uang panai' bukanlah mahar, kedudukannya sebagai uang adat yang terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua pihak keluarga mempelai. Uang panai' juga akan semakin berat ketika pihak mempelai wanita meminta sompa (harta tidak bergerak seperti sawah atau kebun), erang-erang (asesoris resepsi pernikahan). Dan belum lagi ketika meeminta beras, sapi/kerbau, gula, terigu dan kelengkapan lainnya.
Besarnya uang panai' ini sangat dipengaruhi oleh status sosial yang mau melaksanakan pernikahan, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Tingkat pendidikan, strata sosial, faktor kekayaan, dan faktor ketokohan menjadi dasar utama. Semakin tinggi great seorang perempuan Bugis-Makassar semakin tinggi tuntutan uang panai’nya. Tidak jarang, banyak lamaran yang akhirnya dibatalkan, karena tidak bertemunya keinginan dua pihak.
Uang panai' puluhan juta atau bahkan sampai pada ratusan juta menjadi nominal yang lumrah, terlebih lagi jika calon mempelai perempuan adalah keturunan darah biru (punya gelar adat, seperti karaeng, andi, opu, puang, dan petta) ataupun tingkat pendidikan calon mempelai perempuan adalah S1, S2, PNS, haji, dan lain-lain maka uang panai'-nya akan selamakin melangit.
Pengambilan keputusan akan besarnya Uang Panai' terkadang dipengaruhi oleh keputusan keluarga perempuan (Saudara ayah ataupun saudara Ibu), oleh karena besarnya Uang Panai' yang terkadang tidak mampu diberikan oleh Sang Lelaki kepada sang perempuan membuat sang pasangan yang telah saling mencintai ini melakukan tindakan diluar dari tradisi Bugis-Makassar yaitu Silariang (kawin lari).
Ada yang mengatakan bahwa uang panai bukan lagi menjadi mahar melainkan candu dalam sebuah pernikahan. Uang panai kerap menjadi momok bagi pemuda yang akan menikahi gadis Bugis-Makassar sebab jumlahnya seringkali mencekik. Pertengahan Agustus 2015 lalu, tersiar kabar sebuah pernikahan dengan uang panai tertinggi, mencapai Rp 500 juta, dari Bulukumba.
Lalu bagaimana hukum uang panaik dalam Islam? Pernikahan adalah sunnah. Sunnah pernikahan termasuk prosesnya. Melaksanakan sunnah tentu mendapatkan pahala di sisiNya. Bahkan Rasulullah saw bersabda “pernikahan adalah sunnahku, siapa yang berpaling dari sunnahku, maka dia bukanlah ummatku”.
Maka menghalangi pelaksanaan suatu yang disunnahkan tentu dilarang dalam agama. jika uang panai’ menjadi penghalang dalam proses pernikahan, maka uang panai’ itu adalah makruh bahkan bisa saja menjadi haram. Tapi jika jumlah uang panai’ disepakati oleh dua keluarga calon mempelai dan tidak mengandung unsur paksaan maka hukum uang panai’ adalah mubah atau boleh. Wallahua'lam!
Mahar dan Uang Panai'
Salah satu rukun pernikahan dalam mazhab Malikia adalah mahar (mazhab lain syarat). Mahar bisa diistilahkan dengan maskawin, yaitu pemberian wajib calon suami kepada calon isteri sebagai perwujudan ketulusan hati dan kerelaan, atau menunjukkan keseriusan calon suami dalam mendapatkan calon isterinya. Di Maroko dan negara-negara Timur Tengah lainnya biasa menyebutnya dengan istilah Shadaq (serius/benar). Allah berfirman:
Artinya: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan". (QS; Annisaa: 4)
Mahar dalam Islam telah diatur dengan baik dan tidak untuk memberatkan. Bahkan mahar terbaik dan berkah adalah yang paling mudah serta tidak menyulitkan calon suami demi mendapatkan keberkahan dari proses pernikahannya. Nabi bersabda: "Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya, dan mudah rahimnya" (HR. Imam Ahmad).
Bagaimana mengukur mudahnya mahar dan berkah? Di Indonesia - misalnya - mahar yang paling populer secara nasional adalah SEPERANGKAT ALAT SHALAT. Beberapa waktu lalu di Aceh, seorang pria menikahi wanita pujaan hatinya dengan mahar segelas air putih. Setelah mengucap ijab qabul, sang mempelai wanita langsung meminum segelas air putih sebagai mahar pernikahannya hingga habis. Lalu di Lamongan pulau Jawa seorang pria menikah dengan mahar bacaan Alquran surat Arrahman. Sekejab bacaan Alquran yang dilantungkan sang mempelai pria membuat bulu kudu tamu yang hadir merinding.
Tentu ukuran mudahnya mahar tidak selamanya murah atau sedikit/sederhana seperti kasus di atas. Namun, calon suami yang mudah mengeluarka uang Rp. 100 juta - misalnya - juga bukan sesuatu yang mahal/sulit dan menjauhkan keberkahan darinya. Karena dia senang dan rela memberikan nilai sebesar itu untuk meminang calon isteri pujaan hatinya. Sebagaimana telah dicontohkan oleh rasulullah SAW pada banyak kasus, seperti:
Nabi Muhammad sendiri, meski selalu menganjurkan agar memudahkan mahar pada beberapa haditsnya, tetapi Beliau saat menikah dengan Khadijah membayar mahar sebesar 20 ekor unta dan 12,5 ons emas. Adalah nominal mahar yang pantastis jika dikompersikan ke nilai rupiah sekarang. Harga standard minimal 1 ekor unta rata-rata (SR 4.000 x 20 = SR 80.000), atau sekitar Rp 283.733.275. Plus 12,5 ons emas yang kalau diuangkan sekarang sekitar Rp 100.000.000. Jadi nominal mahar nabi pada pernikahan pertamanya dengan Khadijah adalah sekitar Rp 383.733.275 (mendekati 400 juta rupiah).
Kemudian pada pernikahan-pernikahan Beliau SAW selanjutnya, yaitu memberikan mahar pada isterinya rata-rata 12,5 ons emas atau sekitar Rp 100 juta. Namun, disisi lain, tidak sedikit pula sahabat nabi yang menikah dengan mahar yang relatif murah/sederhana. Bahkan rasulullah SAW pernah menikahkan anak-anak perempuannya dengan mahar yang sederhana/murah. Sebagian sahabat menikah dengan mahar cincin emas yang beratnya tidak seberapa, dan sebagian yang lain menikah dengan mahar cincin dari besi. Serta rasulullah SAW menikahkan putri kesayangannya Fatimah dan Ali dengan mahar baju perang saja. Beliau juga pernah menikahkan seorang laki-laki dengan mahar hafalan Alquran. Itupun juga tidak sampai 30 Juz. Jumlah nominal mahar tidak di syaratkan, yang menjadi syarat adalah kemudahannya.
Uang Panai' Bugis Makassar
JAUH berbeda dengan yang ada di Aceh, Lamongan Jawa ataupun di negeri Arab tadi, menikah atau pernikahan dalam tradisi Bugis-Makassar bukanlah sesuatu hal yang murah dan sederhana. Calon suami wajib mempersiapkan terlebih dahulu UANG PANAI' sebagai salah satu prasyarat utama sebelum melamar wanita idamannya. Yaitu calon mempelai laki-laki memberikan sejumlah uang pada calon mempelai wanita yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta, belanja pernikahan, sosialisasi, pamer dan festival gengsi lainnya.
Uang panai' bukanlah mahar, kedudukannya sebagai uang adat yang terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua pihak keluarga mempelai. Uang panai' juga akan semakin berat ketika pihak mempelai wanita meminta sompa (harta tidak bergerak seperti sawah atau kebun), erang-erang (asesoris resepsi pernikahan). Dan belum lagi ketika meeminta beras, sapi/kerbau, gula, terigu dan kelengkapan lainnya.
Besarnya uang panai' ini sangat dipengaruhi oleh status sosial yang mau melaksanakan pernikahan, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Tingkat pendidikan, strata sosial, faktor kekayaan, dan faktor ketokohan menjadi dasar utama. Semakin tinggi great seorang perempuan Bugis-Makassar semakin tinggi tuntutan uang panai’nya. Tidak jarang, banyak lamaran yang akhirnya dibatalkan, karena tidak bertemunya keinginan dua pihak.
Uang panai' puluhan juta atau bahkan sampai pada ratusan juta menjadi nominal yang lumrah, terlebih lagi jika calon mempelai perempuan adalah keturunan darah biru (punya gelar adat, seperti karaeng, andi, opu, puang, dan petta) ataupun tingkat pendidikan calon mempelai perempuan adalah S1, S2, PNS, haji, dan lain-lain maka uang panai'-nya akan selamakin melangit.
Pengambilan keputusan akan besarnya Uang Panai' terkadang dipengaruhi oleh keputusan keluarga perempuan (Saudara ayah ataupun saudara Ibu), oleh karena besarnya Uang Panai' yang terkadang tidak mampu diberikan oleh Sang Lelaki kepada sang perempuan membuat sang pasangan yang telah saling mencintai ini melakukan tindakan diluar dari tradisi Bugis-Makassar yaitu Silariang (kawin lari).
Ada yang mengatakan bahwa uang panai bukan lagi menjadi mahar melainkan candu dalam sebuah pernikahan. Uang panai kerap menjadi momok bagi pemuda yang akan menikahi gadis Bugis-Makassar sebab jumlahnya seringkali mencekik. Pertengahan Agustus 2015 lalu, tersiar kabar sebuah pernikahan dengan uang panai tertinggi, mencapai Rp 500 juta, dari Bulukumba.
Lalu bagaimana hukum uang panaik dalam Islam? Pernikahan adalah sunnah. Sunnah pernikahan termasuk prosesnya. Melaksanakan sunnah tentu mendapatkan pahala di sisiNya. Bahkan Rasulullah saw bersabda “pernikahan adalah sunnahku, siapa yang berpaling dari sunnahku, maka dia bukanlah ummatku”.
Maka menghalangi pelaksanaan suatu yang disunnahkan tentu dilarang dalam agama. jika uang panai’ menjadi penghalang dalam proses pernikahan, maka uang panai’ itu adalah makruh bahkan bisa saja menjadi haram. Tapi jika jumlah uang panai’ disepakati oleh dua keluarga calon mempelai dan tidak mengandung unsur paksaan maka hukum uang panai’ adalah mubah atau boleh. Wallahua'lam!
BACA JUGA:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar