PENGORBANAN
SANG MAHA GURU
Oleh: Helmi Ali Yafie
Salah satu peristiwa yang paling banyak mengandung pro-kontra dalam sejarah
DDI adalah ketika Almughfuurulahu Gurutta Abdurrahman Ambodalle memutuskan
masuk Golkar pada pertengahan tahun 1970-an (1977). Peritiwa itu menimbulkan
gonjangan besar dalam tubuh DDI, orang-orang bersilang pendapat tentang peristiwa, mungkin
sampai sekarang.
Meskipun
kekuasaannya mutlak, tetapi tampaknya Pemerintah tetap membutuhkan legimitasi, menganggap penting adanya
lambang-lambang yang menunjukkkan adanya dukungan dari masyarakat (tampaknya
Pemerintah juga mengganggap bahwa tidak lucu jika ada kekuasaan mutlak di zaman
modern; harus kelihatan demokrastis). Karena itu mereka pun
giat merekruit tokoh-tokoh, terutama yang dianggap memiliki pengaruh besar dalam masyarakat.
Sikap
pemerintah yang cenderung sewenang-wenang
mendapat perlawanan, dan P3 tampil cukup sengit di parlemen (sampai melakukan
walk out di Sidang MPR untuk beberapa kasus, misalnya UU Perkawinan). Pokoknya
P3 tampil beda. Maka tidak hanya menjadi symbol kekuatan politik Islam, tetapi P3 juga symbol perlawanan. Karena
itu P3 memperoleh dukungan yang luas;
meskipun tidak bisa menang (konon karena hasil-hasil pemilu di rakayasa). Muncul
anggapan dalam masyarakat, ketika itu, kalau tidak ikut atau tidak mendukung
P3, seolah-olah orang tidak Islami. Tokoh-tokoh
Islam yang tidak ikut P3 dipertanyakan.
Maka ketika
Gurutta menerima tawaran dan masuk Golkar, masyarakat pendukung, murid-murid
dan kader-kader DDI pun tidak bisa menerima itu, meskipun Gurutta sudah
menjelaskan bahwa itu dilakukan untuk kepentingan DDI. Umumnya
menganggap tindakan itu telah mencederai
masyarakat dan mencoreng nama besar Gurutta. Situasinya memanas. Tampaknya ada juga pihak-pihak yang memanfaatkan situasi itu dan melakukan
provokasi, sehingga memicu reaksi keras
dari kebanyakan tokoh-tokoh, para kader dan santri DDI, yang menempatkan
Gurutta seperti berhadapan dengan murid-muridnya. Bisa di katakan, bahwa saat
itu Gurutta di tinggal. Konon santri Pondok Pesantren Ujung Lare, di mobilisir, melakukan eksodus,
sehingga Ujung Lare kosong. Situasi itu tampaknya menekan dan melukai Gurutta, sampai
beliau berniat meninggalkan Sulawesi.
Tentu kalau
Gurutta pergi, sulit membayangkan apa yang terjadi dengan DDI, dan meskipun
Gurutta sudah menyatakan diri masuk Golkar, Pemerintah juga merasa tidak akan
memperoleh apa-apa. Karena
itu, mungkin, beberapa tokoh membujuk Gurutta agar tidak pergi. Golkar pun turun tangan, menyediakan tempat di Kaballangang,
Pinrang, dan membantunya membangun Pesantren Kaballangan. Gurutta mulai lagi
membangun DDI dari Kaballangang, dan seiring dengan berjalannya waktu
kepercayaan kepada Gurutta pun, pelan tapi pasti, kembali lagi seperti semula.
Peritiswa,
mungkin sampai sekarang, tetap meninggal tanda tanya besar. Tetapi sebenarnya,
kalau kita mau berpikir jernih, maka
peristiwa itu memberikan gambaran tentang karakter kepemimpinan Gurutta, Karakter
kepemimpinan Ulama. Gurutta dalam kasus ini menunjukkan pengabdian, totalitas,
keikhlasan dan kesiapan untuk berkorban.
Pemerintah,
pada masa itu, dengan ujung tombak GOLKAR, sangat berkuasa dan cenderung
se-wenang-wenang, bisa melakukan apa saja, menentukan hitam-putih sesuatu.
Sementara itu Gurutta, sebagaimana yang kita ketahui bersama, pernah bergabung
dengan Kahar Muzakkar dengan DI-TII nya, yang dianggap sebagai pembrontak oleh
Pemerintah RI. Gurutta memang di culik,
atau dipaksa bergabung dengan DI-TII. Tetapi faktanya adalah bahwa Gurutta
pernah ikut DI-TII, dengan jabatan-jabatan bergensi. Orang bisa menafsirkan
fakta itu dari berbagai sudut, dari sudut pandang masing-masing. Tetapi yang mutlak benar, ketika itu, adalah tafsir
pemerintah. Dan karena DI-TII itu adalah pemberontak maka, di mata pemerintah,
orang yang pernah tergabung (apapun alasaannya) dalam gerakan DI-TII juga bisa dikategorikan atau dicap sebagai pemberontak.
Dia bisa dijerat dengan UU Subversi.
Jadi
kita bisa membayangkan situasi seperti apa yang dihadapi Gurutta. Kalau seandainya Gurutta, ketika ditawari,
menolak masuk Golkar. Maka Gurutta
berada dalam ancaman serius. Banyak hal yang bisa terjadi. Kalau kita melihat
cerita-cerita masa lalu, masa pemerintah Orde Baru, banyak tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok
(kegamaan) yang mencoba menolak kebijakan pemerintah di jebak, dengan permainan intelejen yang
canggih, dan habisi. Ingat misalnya kasus,
tragedy tanjung periok, September 1984, Ratusan orang jamaah Mushalah as
Sa’adah tewas di bantai, termasuk Amir Biki, pemimin kelompok ini (pristiwa ini
dipicu oleh provokasi dua orang petugas Koramil yang masuk ke Masjid tanpa
melepas alas kaki). Padahal Amir Biki itu adalah sekutu awal Orba. Pembantian
penduduk Way Jepara, Lampung, hanya karena ada dugaan bahwa di kampung itu
kelompok pengajian yang mau menggantikan Pancasila dengan Islam.
Barangkali
tidak seekstrim itu, mengingat karakter Gurutta, orang yang selalu
berperasangka baik tergadap orang lain. Tetapi sangat mungkin Gurutta di jebak,
dengan sesuatu, yang bisa dikaitkan dengan Kahar Muzakkar atau DI-TII. Bisa apa
saja, bisa mulai dari yang ringan-ringan
(misalnya ketika memberikan pengajian, seseorang bertanya menjurus dan menjebaknya untuk
memberikan pernyataan tertentu, yang bisa ditafsirkan bahwa beliau merancang
sesuatu, atau mendukung gerakan tertentu
yang bertentangan dengan pemerintah) sampai kepada pembicaraan-pembicraan
serius yang terbatas. Pada masa itu semuanya bisa terjadi. Ada berbagai cara
(mulai dari yang paling kasar sampai kepada yang sangat halus) dengan scenario
tertentu, yang biasa untuk menjebak seorang tokoh. Apalagi, sistem kekuasaannya
yang mutlak, menutup semua akses kecuali yang sudah ditentukan oleh pemerintah,
yang terbatas, menyulitkan orang mengembangkan diri atau karier kalau tidak
memiliki kedekatakan khusus dengan Pemerintah. Maka, untuk membuka akses yang terbatas
itu, orang-orang (yang ambisius) dengan mudahnya berkhianat; dan biasanya
kekuasaannya memang selalu memberikan umpan (kedudukan-kedudukan atau
posisi-posisi tertentu) untuk memancing orang-orang ambisius meninggalkan
sarangnya yang telah membesarkannya; atau menempatkannya disitu dan memberinya
jaminan kekuasaan untuk mengontrol sarangnya itu. Jadi ada banyak kemungkinan terjadi, yang bisa
menyudutkan Gurutta. Maka, dilihat dari situ,
Gurutta memang tidak mempunyai pilihan lain, selain masuk Golkar.
Kalau saja Gurutta menolak masuk Golkar, dengan posisinya sebagai orang
yang pernah bergabung dengan Kahar Muzakkar—rela atau tidak, suka atau tidak
sukan—maka Gurutta bisa saja memperoleh stigma tertentu. Bisa dicap sebagai
‘bekas pemberontak’. Jika salah melangkah, atau di dorong untuk salah melangkah
maka kemungkinannya, maka ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Kemungkinan
yang paling serius adalah dijerat dengan UU Subversive. Paling ringan adalah di isolasi. Kalau itu
terjadi maka itu tidak hanya mengisolasi Gurutta, tetapi juga DDI. Pasti berdampak
buruk bagi DDI. Bukan hanya institusi DDI, tetapi juga kader-kader DDI, santri
dan warga DDI, akan mengalami kesulitan untuk mengembankan diri. Bisa dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan Negara. Mungkin agak sulit
membayang situasi seperti itu, terjadi pada masa sekarang, di masa keterbukaan.
Tetapi di masa lalu banyak kejadian seperti itu terjadi. Kita bisa melihatnya
pada kasus-kasus orang-orang yang di cap sebagai PKI, pada sebenarnya tidak
mempunyai hubungan apa-apa dengan PKI; bukan hanya dia yang mengalami kematian
perdata tetapi juga keluarganya, anak keturunan.
Pilihan
masuk Golkar yang penuh resiko itu bukannya tidak diketahui oleh Gurutta. Dan
sebenarnya Gurutta sudah mencoba menjelaskan. Tetapi orang-orang tidak bisa
memahaminya, karena situasi pada masa itu. Gurutta memilih untuk di cerca,
ditinggal, demi untuk sebuah cita-cita. Gurutta mempetaruhkan nama besar dan
posisinya dalam masyarakat. Dan memang pada awalnya, konidisi Gurutta seperti
terperosok kebawah, ke lantai paling bawah dari bangunan yang pernah didirikannya.
Dan kalau dilihat lebih jernih, itu adalah pengorbanan yang sangat besar.
Maka
sayapun belakangan faham apa ma’na dari jawaban Ayahanda saya, ketika saya dulu
bertanya “kenapa Gurutta masuk GOLKAR ?”; beliau menjawab singkat, “Gurutta itu
bukan orang sembarangan, dan tindakan itu juga tidak sembarangan”. Begitulah
karakter Gurutta. Dari peristiwa itu bisa kita lihat adanya totilitas dan keikhlasan, adanya
kesiapan melepaskan diri dari sikap mementingkan diri sendiri, menjauhkan diri
dari sikap menonjolkan diri. Amaghfuurulahu rela berkorban untuk kepentingan
yang lebih besar, untuk murid-muridnya, untuk gerakan pendidikan dan da’wah
yang dirintisnya. Ini adalah
karakter Ulama, karakter kepemimpinan
Ulama. Itu adalah jalan para Nabi, dan Ulama memang adalah pewaris para Nabi.
Jampue,
27 November 2013
Hilmi
Ali Yafie
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar