Menelusuri Jejak Wanua Tua di Sidenreng
Cuplik: Andi Firdaus Daeng Sirua
Sidenreng Rappang atau lebih populer disingkat
SIDRAP, sebelum menjadi Kabupaten, telah melewati sejarah panjang sebagai
kerajaan Bugis yang cukup disegani di Sulawesi-Selatan sejak abad XIV. Jalur
kekerabatan Kerajaan Sidenreng berhubungan kental dengan seluruh Kerajaan
Federasi Lima Ajatappareng yang meliputi Kerajaan Mallusetasi [Pare-Pare],
Kerajaan Sawitto [Pinrang], Kerajaan Barru, Kerajaan Enrekang, kemudian
menjalin hubungan politik melalui perkawinan dengan Kerajaan Wajo, Luwu, Bone,
Gowa dan Soppeng.
Sejarah MULA RIUKKANA TANAE RI SIDENRENG [sejarah
awal pembukaan wanua di Sidenreng] menurut catatan Lontara Panguriseng [buku
harian kerajaan], bahwa setelah sepeninggal ‘’delapan bersaudara’’ yang semula
membuka wanua ri Ajangna TapparengE [sebelah Barat danau], BOLAPATINA [putri
tertua LA MADDAREMMENG] mengunjungi Rappang dengan DATU PATILA [suami] dan
melahirkan anak “tiga” orang yaitu: LA MALLIBURENG, WE TIPU ULENG, dan anak
KETIGA tidak disebut namanya.
Selanjutnya dituturkan dalam lontara yang sama, LA
MALLIBURENG menjadi Raja Sidenreng dan WE TIPU ULENG sebagai Arung Rappang,
dengan perjanjian kedua bersaudara: ‘’mate elei Rappeng, mate arawengi
Sidenreng’’, dengan terjemahan bebas: apabila Rappang meninggal di waktu pagi
maka Sidenreng meninggal di sore hari. Perjanjian ini bermaksud apabila terjadi
perang atau serangan dari pihak luar pada Kerajaan Sidenreng maka Kerajaan Rappang
akan mendahuluinya. Singkatnya, sejarah Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang
berawal dari “TIGA” bersaudara dan merupakan generasi pendahulu yang menurunkan
dinasti Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang setelah generasi pertama
DELAPAN bersaudara sebagai pembuka wanua awal di Ajang Tappareng, atau disebut
wanua AJATAPPARENG [sekarang disebut desa Teteaji] yang menjadi lokasi delapan
bersaudara “sidenreng-denreng” [saling beriringan] sehingga di kemudian hari
menjadi sebutan untuk Kerajaan SIDENRENG.
Berbagai literatur menyebutkan, eksitensi Kerajaan
Sidenreng telah memberi warna dalam percaturan politik dan ekonomi kerajaan
lainnya di Sulawesi Selatan. Sejarah Sidenreng merupakan salah satu dari
sedikit kerajaan yang tercatat dalam kitab LA GALIGO, suatu kitab kuno yang
sangat melegenda. Masa La Galigo, menurut Christian Pelras [penulis buku
Manusia Bugis], berlangsung sekitar 13 Masehi. Di abad selanjutnya, Kerajaan
Sidenreng yang berpusat di wanua Ajatappareng telah berkembang menjadi negeri
yang ramai dan cukup dikenal hingga ke benua lain sebagaimana catatan Crawfurd
pada 1828 [Descriptive Dictionary; 74, 441] bahwa: “pada kampung-kampung di
tepi danau... berlangsung perdagangan luar negeri yang pesat. Perahu-perahu
dagang dihela ke hulu sungai Cenrana... yang airnya cukup dalam untuk dilewati
perahu-perahu paling besar sekalipun”.
Manuel Pinto, seorang berkebangsaan Portugsi sempat
menetap selama delapan bulan di Kerajaan Sidenreng dan merekam suasana tahun
1548 M. Pinto menggambarkan Sidenreng sebagai sebuah negeri yang ramai dengan
penduduk sekitar 300.000 orang. Pendapat lain mengasumsikan penduduk di tahun
1548 M yang disebut Pinto terlalu besar. Namun menurut analisa lainnya,
keterangan Pinto sangat memungkinkan apabila penduduk dimaksud mencakup wanua
Ajatappareng [sekarang Teteaji] dan sekitarnya yang meliputi: Amparita, Lise,
PanrengE, dan Massepe sebagai wanua tua, sebelum Pangkajene menjadi pusat kota
di masa pemerintahan Belanda. Itulah jejak “wanua tertua” di Sidenreng-Rappang.
Nene' Mallomo |
Dalam penjelasan yang sama, Pinto telah
menceritakan aktivitas perdagangan di kerajaan Sidenreng yang dikunjungi
pedagang dari berbagai belahan dunia termasuk Portugis melalui jalur laut
menuju pelabuhan Ajatappareng. Pinto menulis, “sebuah fusta besar [kapal layar
Portugis yang panjang dan dilengkapi deretan dayung di kedua sisinya] dapat
berlayar dari laut munuju Sidenreng.” [Wicki, Documents Indica, II: 420-2].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar