PROLOG
Nasib
(Ulama) Perempuan
Oleh: Helmy Ali Yafie
Di
Sulawesi Selatan, ada seorang perempuan yang bernama Hj. Hafsah Laodji, asal
Rappang, Sulawesi Selatan, yang aktif mengajar di madrasah-madrasah dan
pesantren-pesantren Darud Da’wah wal Irsyad[1],
mulai dari sejak akhir tahun 1940-an, sampai pada akhir hayatnya, pertengahan
tahun 1990-an. Hj. Hafsah, mulai mengajar di MAI Mangkoso, Sulawesi Selatan;
ketika madrasah itu membuka kelas
perempuan. Lalu pindah ke Pare-Pare, dan mengajar di Madrasah DDI Ujung Baru.
Pada pertengahan tahun 1950-an, bersama suaminya, H. Mahmud Pase, dia pergi ke Kepulauan Riau, Sumatera, untuk
membuka sekolah DDI disana. Dia baru kembali lagi ke Sulawesi pada pertengahan
tahun 1960-an. Seterusnya dia tinggal di Pare-Pare mengajar di Pesantren DDI Ujung
Lare, sampai akhirnya hayatnya. Hj. Hafsah adalah seorang perempuan yang
memiliki kedalaman keilmuan yang tidak terukur. Dia sungguh-sungguh alim (berilmu), menguasai ilmu-ilmu dan
wacana keagamaan klasik. Tidak kalah dengan orang-orang, laki-laki, yang
memperoleh gelar guru besar dalam dunia keilmuan tradisional Islam yang pernah
ada di Sulawesi Selatan[2].
Dia adalah seorang Ulama. Atau dia memenuhi seluruh kwalifikasi yang dibutuhkan
untuk disebut sebagai ulama dalam dunia Islam; dari sisi ilmu dan karakter. Dia
memang bukan tipe
yang tampil di podium berbicara dengan semangat yang berapi-api. Dia lebih
memusatkan perhatian untuk mengajar atau mendidik. Dia mengabdikan diri untuk
mendidikan anak-anak perempuan, dengan sepenuh hati, total dan ikhlas. Dia
cenderung pendiam dan rendah
hati. Berbicara ketika ditanya; kecuali ketika mengajar. Dia mengajar di beberapa tempat, mendidik banyak murid,
tidak hanya di Sulawesi Selatan, bahkan di Riau. Dia memiliki banyak murid,
perempuan dan laki-laki. Tetapi anehnya, namanya tidak banyak disebut, bahkan
di Pare-Pare dan Mangkoso, tempat dia pernah mengabdi dalam waktu yang relatif lama. Sepanjang yang saya ketahui, tidak
ada buku tentang dia, atau buku yang menyebut namanya. Jangankan dalam encyclopedia,
atau buku, sampai kini belum ada skripsi, apalagi disertasi yang di tulis yang
menyebutkan namanya. Padahal banyak orang yang pernah menjadi muridnya, yang
kini menyandang gelar Sarajana atau Doktor.
(Lihat: Sambungan)
Para penulis, atau sarjana, atau para mahasiswa yang menulis tentang tokoh agama, atau ulama atau cendekiawan Bugis, tampaknya lebih menyukai menulis (guru-guru mereka) yang berjenis kelamin laki-laki. Entah kenapa begitu. Mungkin karena di bawah sadarnya menganggap bahwa perempuan itu, sebagus apapun kwalitasnya, tetap tidak bisa menandingi laki-laki, atau, jika ada perempuan menonjol, menganggap bahwa itu adalah kasus khusus, berada di luar kelaziman. Boleh jadi juga karena tradisi menulis para sarjana yang masih kurang. Tetapi memang juga Ulama perempuan tidak banyak meninggalkan jejak, melalui karya tertulisnya. Mungkin juga itu sebabnya, tidak banyak dikenal orang.
Para penulis, atau sarjana, atau para mahasiswa yang menulis tentang tokoh agama, atau ulama atau cendekiawan Bugis, tampaknya lebih menyukai menulis (guru-guru mereka) yang berjenis kelamin laki-laki. Entah kenapa begitu. Mungkin karena di bawah sadarnya menganggap bahwa perempuan itu, sebagus apapun kwalitasnya, tetap tidak bisa menandingi laki-laki, atau, jika ada perempuan menonjol, menganggap bahwa itu adalah kasus khusus, berada di luar kelaziman. Boleh jadi juga karena tradisi menulis para sarjana yang masih kurang. Tetapi memang juga Ulama perempuan tidak banyak meninggalkan jejak, melalui karya tertulisnya. Mungkin juga itu sebabnya, tidak banyak dikenal orang.
Bukan
hanya Hj. Hafsah, tampaknya banyak yang lain, perempuan yang memikili kedalaman
ilmu yang tidak terukur, yang telah mengabdikan diri untuk kaumnya, umat, agama
dan bangsa, yang mengalami nasib seperti itu, terabaikan, lalu akan terlupakan
bahwa dia sesungguhnya pernah tampil di panggung sejarah paling tidak untuk
kaumnya. Dalam buku ini, ada seorang perempuan yang juga memiliki kedalaman
ilmu yang tidak terukur dan mengabdi untuk kaumnya, untuk umat, agama dan
bangsanya. Bahkan, kalau prestasi itu diukur dengan gebrakan melakukan sesuatu
yang tidak biasa di tempat
tertentu, maka perempuan ini sungguh-sungguh luar biasa. Yang saya maksudkan
adalah Nyai Khoiriyah Hasyim Asy’ary. Nyai Khoiriyah ini pernah mukim di
Makkah, dan membangun madrasah khusus untuk anak perempuan disana, pada tahun
1940-an. Kalau dilihat dari nama
belakangnya, sesungguhnya dia bukan orang sembarangan. Dia adalah putri dari
Kiai Hasyim Asy’ary. Pendiri dan tokoh sentral Nahdlatul Ulama. Seharusnya dia
terkenal. Tetapi ketika saya mencari-cari namanya dalam Ecyclopedia NU, saya tidak menemukan namanya. Saya tidak tahu
kenapa bisa begitu. Tetapi bagi saya itu merupakan keanehan.
Perempuan dalam Panggung Sejarah Islam.
Di
masa lalu, pada masa-masa awal Islam, perempuan memperoleh tempat dan
penghargaan yang sangat baik. Banyak di antara
mereka yang menjadi ulama dan intelektual dengan keahlian yang beragam[3].
Kapasitas keilmuannya kurang lebih sama dengan laki-laki. Nama-nama, perjalanan
hidup dan karya-karya mereka terekam dalam banyak buku[4].
Jumlahnya memang tidak sebanyak laki-laki. Ignaz Goldziher[5], menyebut paling tidak lima
belas persen ulama ahli hadits adalah perempuan.[6] Bahkan, kalau menurut Rood Roded, sekitar
delapan belas persen[7].
Perlu diketahui bahwa masa itu, masa awal kedatangan Islam, masyarakat baru
keluar dari sebuah masa penuh kegelapan, yang disebut masa jahilyah[8],
yang sangat merendahkan perempuan. Perempuan, pada masa jahiliyah, tidak
memperoleh banyak kesempatan dan penghargaan. Maka jumlah yang disebutkan di atas, ketika baru memperoleh ruang dan
kesempatan, adalah sesuatu yang luar biasa. Satu atau dua orang perempuan ulama saja sebenarnya sudah
cukup untuk membuktikan bahwa perempuan tersebut memiliki potensi dan kwalitas
intelektual yang setara dengan laki-laki.
Para ulama perempuan
pada awal Islam tersebut telah tampil sebagai tokoh agama, pakar dalam ilmu pengetahuan, tokoh politik dengan moralitas yang terpuji. Aktifitas mereka tidak terbatas di dalam ruang domestik (rumah) melainkan juga dalam ruang publik
politik. Mereka,
bersama-sama dengan ulama laki-laki, membangun peradaban Islam. Kehadiran mereka di ruang publik bersama kaum laki-laki
tidak pernah dipersoalkan[9].
Keulamaannya atau kepakarannya diakui. Aisyah bint Abu Bakar, misalnya, atau Umm Salamah bint Abi
Umayyah, atau Hafsah binti Umar, atau Fatima binti Qais, menjadi guru dan
tempat bertanya para sahabat laki-laki[10].
Pada periode berikutnya
sejarah mencatat nama-nama perempuan ulama yang cemerlang. Banyak
sekali orang-orang besar yang
lahir dan dididik oleh seorang
perempuan. Sayyyidah Nafisah (762-824/145-208 H), cicit Nabi SAW., yang menjadi guru Imam Syafi’e, dan Imam
Ahmad bin Hambal[11].
Sebelumnya ada Sukainah bint Husain (w. 735/177 H.) juga cicit Nabi SAW., yang
disebut-sebut menguasai seni dan sastra, guru para penyair besar pada zamannya.[12]
Bisa dikatakan pada masa-masa itu tokoh-tokoh besar silih berganti lahir dengan
bimbingan para perempuan ulama.[13]
Tetapi
pada masa-masa berikutmya, perempuan ulama seperti tenggelam di bawah panggung
sejarah yang di dominasi oleh laki-laki. Tokoh dan
ulama perempuan dipinggirkan dan dilupakan. Entah apa yang terjadi, tetapi yang jelas sistem patriarkhis kembali dan sangat dominan. Memang pada umumnya karakter perempuan ulama cenderung tidak
menonjolkan diri, menghindari kekerasan dan konfrontasi. Hal itu tampaknya
memberi keleluasaan bagi cara pandang laki-laki untuk lebih dominan. Lalu
kemudian, atas nama
kasih sayang, perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan, secara pelan tapi pasti terjadi peminggiran terhadap perempuan. Tindakan tersebut dilakukan agar perempuan tidak menjadi sumber "fitnah"
(kekacauan sosial). Dr.
Muhammad al-Habasy, sarjana Suriah, dalam bukunya: “Al-Mar’ah Baina
al-Syari’ah wa al-Hayah” mengatakan bahwa peminggiran kaum perempuan itu
didasarkan pada argumen prinsip “Sadd al-Dzari’ah” (menutup pintu
kerusakan). Keikutsertaan atau keterlibatan kaum perempuan dalam dunia
pendidikan dan ilmu pengetahuan, baik sebagai pelajar maupun guru, dipandang
mereka dapat menimbulkan “fitnah” dan “inhiraf” (penyimpangan) moral. Ini dua
kata sakti yang membelenggu aktualisasi diri kaum perempuan. Jargonnya: “Demi
melindungi” dan “Menjaga Kesucian Moral”. Dunia sepertinya telah kehilangan
cara bagaimana “Melindungi tanpa Membatasi”. Tindakan selanjutnya adalah
“membuat aturan-aturan yang membatasi gerak tubuh perempuan di ruang-ruang sosial,
budaya dan politik” secara “Terstruktur, Sistemik dan Massif”[14].
Cara pandang seperti itu tampaknya
seiring sejalan dengan gaya kepemimpinan para penguasa dunia kaum muslimin pada
masa itu, yang korup dan mengabaikan penegakan keadilan dan hukum. Gaya kepemimpinan
yang melahirkan konflik-konflik internal tak berkesudahan, melemahkan kekuatan
kaum muslimin dan pada akhirnya mendatangkan kehancuran peradaban di hampir seluruh wilayah kaum Muslimin. Tentara Mongol berhasil
meruntuhkan kekuasaan
Islam, di timur, tahun
1256 M[15], disusul kehancuran peradaban Islam di Andalusia tahun 1492 M[16]. Sejumlah
peneliti mengatakan bahwa peminggiran kaum perempuan dari ruang
publik dan dalam dunia ilmu pengetahun, juga menjadi
salah satu sebab dari kehancuran peradaban Islam. Dan itu terjadi karena kebijakan negara tidak memihak, bahkan membekukan
aktivitas intelektual perempuan. Maka marjinalisasi dan subordinasi berlangsung sistematis, massif dan terstruktur. Akibatnya yang lebih
jauh adalah hilangnya
kritisisme terhadap kekuasaan. Dunia pemikiran dan
keilmuan menjadi mandek dan pada akhirnya membekukan peradaban. Hanya pengulang-pengulangan dan peniruan yang terjadi terus menerus. Kritik-kritik atas pikiran terlarang dan
dipandang kriminal. Keadaan ini berlangsung selama berabad-abad, selama kurang lebih enam abad.
Baru pada awal abad 20 muncul upaya-upaya yang menggugat keterpinggiran perempuan.
Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873 M)[17] adalah orang pertama yang
membawa pembaruan pemikiran Islam, mengkritik pandangan-pandangan konservatif yang
merendahkan dan memarjinalkan kaum perempuan. Dia mengkampanyekan kesetaraan dan keadilan gender serta
menyerukan dibukanya akses pendidikan yang sama bagi kaum perempuan. Menuliskan gagasan dan kritik-kritik tersebut dalam bukunya yang terkenal; “Takhlish al-Ibriz fi
Talkish Paris” dan “al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin”. Dia
memberi pengaruh terhadap tokoh-tokoh pembaharu dalam dunia Islam pada masanya. Tetapi yang paling menonjol dan kontroversial dalam isu-isu
perempuan adalah Qasim Amin (1863-1908)[18];
yang, pada tahun 1899, menulis bukunya yang terkenal; “Tahrir
al-Mar’ah” (pembebasan perempuan), dan “al-Mar’ah
al-Jadiddah” (Perempuan Baru).
Berawal dari pemikiran dan gerakan mereka itu lahirlah para ulama dan aktifis perempuan di banyak
negara muslim. Pengetahuan mereka dalam bidang ilmu-ilmu agama (Islam) sangat
mendalam dan luas. Beberapa di antaranya adalah Huda Sya'rawi[19], Aisyah Taymuriyah[20], Malak Hifni Nashif[21],
Nabawiyah Musa[22], Zainab al-Ghazali[23], Aisyah Abdurrahman bint
Syathi[24], Asma Barlas[25], Aminah Wadud[26], Fatima
Mernisi[27], Nazhirah Zainuddin (1908-1976)[28].
Dan masih banyak yang lagi yang lain. Munculnya kembali
perempuan ulama itu, mendorong kembalinya posisi perempuan ke tengah panggung
sejarah. Pengaruhnya cukup luas menyebar ke berbagai negeri-negeri Islam,
termasuk Indonesia.
Perempuan
(Ulama) Di Panggung Sejarah Indonesia
Di Indonesi, hal yang kurang lebih sama
terjadi. Memang tidak cukup banyak catatan yang menyebutkan keberadaan
perempuan ulama pada masa-masa awal Islam di Indonesia. Hanya ada catatan
sejarah tentang beberapa perempuan, yang berilmu, yang pernah tampil sebagai
raja di Aceh. Tetapi itu sudah cukup menggambarkan kejayaan perempuan di masa lalu. Ada seorang ratu bergelar Paduka Sri Sulthanah Safiatuudin Tajul-‘Alam
Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fil-‘Alam. Dia memerintah antara
1641-1675. Safiatuudin Tajul-‘Alam,
artinya kemurnian iman, mahkota dunia.
Konon sang ratu dapat berbicara dalam empat bahasa asing, selain bahasa Aceh
dan bahasa Melayu; yakni bahasa Spanyol, bahasa Belanda, bahasa Arab, dan
bahasa Persia[29].
Sesudah Safiatudin, ada dua ratu yang naik tahta yang juga cakap, dalam arti
berilmu pengetahuan. Tetapi pada periode berikutnya, Sulthanah Sri Ratu Kamalat
Syah, di turunkan dari tahta kerajaan, pada 1699, berdasarkan fatwa haram bagi
pemimpin perempuan dari Mufti Makkah[30].
Sejak saat itu tidak pernah ada lagi raja perempuan di Aceh. Meskipun begitu, di Aceh, tetap muncul
perempuan berilmu yang mandiri dan kuat, bahkan ada yang menjadi panglima
perang (melawan Penjajahan Belanda)[31]. Di Aceh memang perempuan juga menjadi
tumpuan keluarga dan negara. Mereka tidak hanya bekerja di rumah sebagai ibu
rumah tangga untuk anak dan suami mereka, melainkan juga di luar rumah berjuang
untuk kaumnya dan masyarakatnya. Tetapi di tempat lain,
tidak banyak catatan yang menunjukkan keberadaan perempuan, khususnya perempuan
ulama.
Boleh jadi ada banyak perempuan ulama atau
perempuan berilmu, tidak tercatat dalam sejarah[32].
Tampaknya memang ada problem dengan penulisan sejarah. Reni Nuryanti, yang
menulis tentang Rohana Koedoes dalam buku ini, mengkritik tentang kelangkaan
penulisan tentang Ulama perempuan di Indonesia. Kajian sejarah tentang tema
perempuan katanya belum banyak diminati. Kajian tentang sejarah perempuan, pada
umumnya justeru banyak dilakukan oleh sosiologi dan antropologi. Tampaknya
sejarawan pada umumnya beranggapan bahwa tema terkait dengan perempuan kurang
menarik. Salah satu buku penting, Sejarah
Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian, yang
menjadi pegangang sejarah Indonesia selama bertahun-tahun untuk menelaah
gerakan perempuan di tulis oleh seorang antropolog, Cora Vreede-De Steers.
Tulisan itu menarik, tetapi minim kritik. Sumbernya juga terbatas pada
arsip-arsip dan buku-buku sezaman[33].
Christin Dobbin mengatakan bahwa karya-karya besar yang di kaji telah
mengabaikan perempuan.[34] Kuntowijoyo juga mengeluhkan minat para
parsana menulis sejarah perempuan, di kalangan perguruan tinggi[35].
Sementara
Ruth Indiah Rahayu, juga dikutip Reni Nuryanti, mengatakan bahwa perempuan
dalam (penulisan) sejarah cenderung bias. Kalau pun
ada yang ditampilkan,
umumnya hanya yang berdarah biru. Landasan penulisannya juga lebih banyak
merupakan personafikasi keagungan sang tokoh. Ruth mengatakan: ‘Nyatanya
perempuan yang ditampilkan dalam sejarah Indonesia masih berpusat pada
ketokohan yang berasal dari kelas darah biru dan yang diyakni memiliki takdir
kemuliaan (keadiluhungan).[36] Apa yang dikatakan Ruth juga
berlaku dalam penulisan Ulama Perempuan. Maka tidak heran jika
tokoh seperti, Hj. Hafsah Laodji, tidak masuk hitungan. Memang muncul tokoh
perempuan ulama seperti Rohana Kudus dan Rahmah el Yunusiyah, di panggung
sejarah, tidak hanya terlibat dalam dunia pendidikan untuk perempuan, yang juga
aktif dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia, tetapi tidak mendapatkan
perhatian yang cukup memadai
Itu juga merupakan bentuk peminggiran
perempuan. Karena tidak adanya catatan atau tulisan yang memadai sebagai sumber
pengetahuan, maka
gebrakan ulama perempuan yang memperjuang kepentingan perempuan, tidak cukup
memiliki gaung. Kehadiran
Nyai Khoiriyah, salah seorang perempuan ulama dari kalangan Nahdliyin,
misalnya, yang pernah aktif dalam forum-forum bahtsul masail NU, pada tahun 1950-an, tidak banyak diketahui
orang, karena kurang informasi tentang dia.
Faktanya,
sesudah masa-masa itu, tidak terdengar ada perempuan ulama untuk beberapa waktu
lamanya. Boleh jadi, sesudah
masa Rohana, atau Rahmah, ada perempuan ulama dengan perspektif perempuan, yang
melakukan sesuatu yang mendasar, tetapi tidak cukup mendapat perhatian dan
tempat dalam penulisan sejarah yang,
kata Ruth India Rahayu, bias laki-laki. Maka keberadaan perempuan ulama yang memang ada untuk
membela dan memperjuangkan kepentingan perempuan tidak banyak diketahui.
Kebekuan itu terutama terjadi setelah Orde Baru yang otoriter dan refresive
berkuasa, sejak pertengahan tahun
1960-an, mengkrangkeng perempuan dalam sebuah konsep bernegara yang disebut
oleh Julia Suryakusuma ‘Ibuisme Negera’[37].
Kebekuan
gerakan perempuan ulama yang memperjuangkan
hak-hak perempuan baru mulai pecah pada paruh terakhir pemerintahan Orde Baru.
Kalau ditelusuri ke belakang,
gerakan itu merupakan bagian dari sejarah masyarakat Islam dalam merespon Orde
Baru, yang dimotori oleh kelompok ulama-intelektual Islam modernis[38]
dan tradisionalis[39]
Islam. Tetapi itu juga tidak bisa dilepaskan dari munculnya gerakan NGO, yang
berorientasi pada penguatan hak-hak politik sipil di samping hak-hak ekonomi-sosial, pada akhir
tahun 1980-an. Pada masa itu muncul NGO yang berbasis Islam dan Pesantren,
seperti P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) berakselarasi dengan
gerakan masyarakat sipil. Hefner menyebutnya sebagai kebangkitan Muslim sipil
di Indonesia.[40] Pada awalnya juga merespon isu-isu
demokratisasi, penegakan HAM dan keadilan sosial. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya
merespon gagasan dan gerakan keagamaan yang meminggirkan perempuan, dengan isu
gender dan kesetaraan perempuan.
Perkembangan itu tampaknya juga setelah gerakan NGO itu bersentuhan
dengan wacana dan gerakan feminisme
Islam di tingkat global yang dikembangkan oleh para perempuan ulama yang
disebutkan tadi, seperti Riffat Hassan,
Amina Wadud, Fatima Mernissi, dan lain-lain, serta organisasi-organisasi perempuan yang mengusung
feminisme
dengan perspektif Islam seperti Sisters Islam Malaysia, Jurnal Zaman di Iran,
dan lain-lain[41].
Itu juga tidak terlepas dari perubahan sikap gerakan dan pemikiran feminis
Barat yang sekuler, yang mulai menghargai keragaman gerakan perempuan yang
muncul di berbagai belahan
dunia, tanpa membedakan ras, bangsa dan agama[42].
Di
lingkungan perguruan tinggi muncul pusat-pusat Studi Wanita (PSW) di beberapa
perguruan tinggi Islam (baca Institute Agama Islam Negeri; sekarang UIN) yang mengkaji tema-tema
ketidak adilan gender dalam teks-teks keagamaan. Di lingkungan NGO yang
berbasis Islam dan pesantren, selain P3M dengan Fiqhunnisanya—yang menjadi
cikal bakal Rahima—muncul YKF-NU[43],
Yasanti[44],
LSPPA[45],
KPI[46],
dan sebagainya. Hal itu juga terkait dengan sikap pemerintah Orde Baru yang
kemudian lebih akomodatif terhadap Islam, di paruh akhir kekuasaannya. Hal itu
ikut memberikan energi
kepada aktivis dan masyarakat Islam bisa dialihkan kepada hal-hal yang lebih
produktif untuk pengembangan wacana agama yang lebih emansipatoris; termasuk
refleksi kritis terhadap tafsir teks-teks keagamaan, yang memunculkan wacana
feminism Islam di Indonesia.
Fiqhunnisa
P3M, yang dipimpin oleh Masdar F. Mas’udi dan Lies Marcoes, kemudian Farha Ciciek, selain mengembangkan wacana
keagamaan kritis, juga menyelenggarakan pendidikan dengan melibatkan pesantren
di Indonesia, terutama di Jawa. Dari proses pendidikan Fiqhunnisa lahirlah
beberapa orang (kader) ulama perempuan, seperti Djudju Zubaedah[47]
(Cipasung), Syafiq Hasyim, dan lain-lain. Pada masa-masa itu juga mulai muncul
tokoh-tokoh, perempuan muda, dari kalangan pesantren, seperti Ruqqayah
Ma’shum, Nur Rofi’ah
dan Badriya Fayumi[48].
Fiqhunnisa, karena sebuah kecelakaan[49],
kemudian berpisah dengan P3M, menjadi Rahima[50].
Rahima aktif menyelenggarakan pendidikan untuk ulama perempuan yang direkruit
dari kalangan pesantren dan majelis
taklim.
Gerakan pendidikan Rahima kemudian memunculkan perempuan-perempuan ulama
seperti Nyai Shinto
Nabila (Magelang), Umdah el Baroroh (Pati), Nyai Luluk Farida Muchtar (Malang), Afwah Mumtazah (Kempek Cirebon), Nyai Raihanah Faqih (Kediri), Neng
Hannah (Bandung), Nyai Khotimatul
Husna (Yogyakarta), Nyai Ida Mahmudah Achmad (Banyuwangi), Nyai Umi Hanik (Demak), Nyai Kokom Komariyah (Garut),
Nyai Khotim Suryani (Lamongan), Nyai Roudalatul Miftah (Sumenep), dan
lain-lain[51].
Kemudian muncul Fahmina Institute[52]
yang, selain melakukan pendidikan, juga mengembangkan wacana keagamaan yang
kritis. Belakangan muncul Alimat[53].
Tiga NGO itu lalu menggagas KUPI,
Kongres Ulama Perempuan Indonesia dengan mengusung tema ”Peran Ulama Perempuan Indonesia dalam Meneguhkan Nilai
Keislaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan”. Dalam penyelenggaraannya ARAFAH (Alimat, Rahima dan
Fahmina) kemudian bekerjsama
dengan AMAN Indonesia,
PEKKA[54],
Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab), dll, menjadi
fasilitator untuk penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan yang pertama di
Indonesia di pondok pesantren
Kebon Jambu, Babakan, Ciwaringin, Cirebon, yang dipimpin oleh Ibu Nyai Hj.
Masriyah Amva. Kongres ini diharapkan menjadi tonggak kebangkitan
kembali Ulama Perempuan di Indonesia, untuk merespon ketidak adilan bagi
perempuan, khususnya merespon gagasan dan gerakan keagamaan yang meminggirkan
dan memasukkan perempuan ke dalam
wilayah domestik
semata, yang semakin kuat setelah Reformasi di Indonesia.
Perempuan Ulama atau Ulama Perempuan
Setelah
muncul kembali kegairahan dalam (upaya membangun) gerakan ulama perempuan yang
memiliki pemihakan jelas penegakan hak-hak perempuan, yang berujung pada
(rencana penyelenggaraan) kongkres ulama perempuan, ada sedikit perdebatan di kalangan aktivis; tidak hanya soal definisi
ulama perempuan, tetapi juga dalam hal penamaan. Tentang definisi ulama
perempuan, sebagian besar mengembalikannya kepada pengertian ulama yang lazim
dikenal di Indonesia, yakni orang yang memiliki pengetahuan dan penguasaan
mendalam pada bidang ilmu-ilmu agama. Dilihat dari penguasaan cabang-cabang
ilmu keislaman, sebutan
ulama biasanya dikaitkan dengan pengetahuan yang menjadi keahlian seseorang,
seperti ulama fiqih,
ulama hadist, ulama tasawwuf, ulama tafsir, dan lain-lain.[55]
Pengertian itu sesungguhnya tidak membedakan laki-laki atau perempuan. Tetapi
karena cara pandang dominan yang bias, maka pada umumnya gelar itu lebih
identik dengan laki-laki. Dimunculkannya istilah Ulama Perempuan juga sekaligus
konter terhadap cara pandang dominan tersebut. Ulama perempuan adalah istilah
yang khas, karena lahir ketika pandangan dominan hanya mengakui keulamaan
laki-laki; khas juga karena tampil sebagai bentuk perlawanan terhadap gerakan
dan wacana keagamaan yang meminggirkan perempuan. Istilah itu menunjukkan bahwa
sesungguhnya banyak perempuan yang memikili seluruh persayaratan untuk disebut
sebagai ulama, yang tidak kalah dengan ulama laki-laki; bahwa banyak perempuan
yang menguasi ilmu-ilmu agama, wacana Islam klasik, dengan penguasaan
sumber-sumber Islam klasik yang sangat meyakinkan sesuai dengan standar yang berlaku, yang mengemban
misi kenabian; yakni menegakkan keadilan dan kemanusiaan, serta menjaga
keseimbangan lingkungan hidup. Pantas untuk disebut sebagai perwaris para nabi.
Sebahagian
lagi, melihat bahwa pengertian itu sebaiknya lebih diluaskan, dengan mengacu
kepada arti dari akar kata ulama,[56]
yakni orang yang berpengetahuan, atau ahli ilmu. Dengan demikian sebutan ulama
bukan hanya ditujukan kepada mereka yang dalam dan luas ilmu dan pengetahuan
agama saja, tetapi juga bagi yang menguasai ilmu pengetahuan pada umumnya[57].
Sehingga sebutan ulama bisa berarti sarjana atau intelektual dalam arti lebih
luas, sebagaimana yang masih berlaku sampai sekarang di dunia Arab.[58]
Tetapi perdebatan itu tidaklah bersifat mendasar dalam arti menunjukkan dua
pandangan yang saling bertolak belakangan.
Dalam konteks sekarang,
ketika keberadaan ulama perempuan masih dipertanyakan, muncul pertanyaan
istilah mana yang lebih tepat digunakan.
Sebagian menganggap bahwa istilah yang lebih tepat adalah ulama
perempuan; sedangkan
yang lain menganggap bahwa yang tepat adalah perempuan ulama. Yang pertama
bersifat lebih ideologis, sedangkan yang kedua bersifat biologis. Istilah
pertama lebih menekankan pada karakter keulamaan yang mempunyai perspektif
perempuan. Jadi yang disebut ulama perempuan itu adalah orang, seorang ulama,
yang memiliki perspektif perempuan, tidak penting apakah dia berjenis kelamin
perempuan atau berjenis kelamin laki-laki. Siapa saja yang memiliki kwalifikasi
keulamaan, yang memiliki perpektif perempuan, melihat persoalan dari kacamata
perempuan, maka dia bisa disebut ulama perempuan. Konsekwensinya adalah,
perempuan yang memiliki kwalifikasi ulama, tetapi menggunakan kacamata
laki-laki dengan pendekatan laki-laki, tidak bisa digolongkan ulama perempuan.
Jadi tidak sembarang orang, perempuan, yang bisa masuk ke dalam golongan ini.
Sedangkan
perempuan ulama, lebih menekankan jenis kelaminnya. Perempuan yang memiliki
kwalifikasi keulamaan, meskipun cenderung melihat persoalan dengan kacamata
laki-laki, tetap bisa disebut sebagai perempuan ulama. Artinya semua orang,
perempuan, yang memiliki kwalifikasi keulamaan, adalah perempuan ulama.
Laki-laki, yang memiliki kwalifikasi keulamaan, dan memiliki perspektif
perempuan, memiliki keberpihakan kepada perempuan, tidak masuk ke dalam
golongan ini.
Banyak
yang cenderung pada istilah pertama, yakni ulama perempuan. Karena istilah itu,
lebih bersifat ideologis, tidak muncul dalam ruang hampa. Istilah itu muncul
untuk merespon persoalan peminggiran perempuan pada umumnya, dan perempuan yang
memiliki kwalifikasi
keulamaan pada khususnya, dari dari wilayah publik. Istilah itu muncul pada masa ketika
perempuan memperoleh perlakuan tidak adil, mengalami kekerasan dan pelecehan,
yang lebih banyak disebabkan oleh budaya partriakhi yang diperkuat oleh
pandangan keagamaan yang bias laki-laki.
Kalau
melihat isi buku ini, yang banyak bercerita tentang ulama perempuan yang tampil
merespon persoalan-persoalan ketidak adilan bagi perempuan, maka istilah yang
pertama lebih tepat digunakan.
Tentang Buku Ulama Perempuan
Buku
Ulama Perempuan ini memuat bebarapa tulisan tentang ulama perempuan, dari
berbagai masa dan berbagai daerah di Indonesia, yang telah melakukan aksi
pembelaan dan pemberdayaan kepada kaumnya, kaum perempuan. Mereka tampil untuk
merespon peminggiran yang mengakibatkan keterbelakangan perempuan, karena cara
pandang masyarakat yang bersumber dari budaya patriarkhi dan struktur sosial yang melemahkan, yang dominan. Mereka melakukan itu karena pemahaman
keagamaan mereka. Mereka pada umumnya memang lahir dari lingkungan keagamaan
yang kuat. Pada umumnya mereka terinsipirasi oleh nilai-nilai dan ajaran-ajaran
agama yang menekankan pada seruan untuk menegakaan keadilan, dan kesetaraan. Ada yang memang lahir dari
proses pendidikan yang sistematis, tetapi ada juga yang belajar sendiri.
Roehana Koedoes, misalnya, memang belajar agama pada orang tuanya, tetapi dia lebih banyak
belajar sendiri dan dibentuk oleh
pengalamannya. Beberapa orang di antaranya sudah dikenal, seperti Rahmah El Yunusiyah, Rohana Kudus,
Teungku Fakinah.
Karena cukup banyak tulisan tentang mereka. Tetapi lebih banyak yang tidak
dikenal umum sebelumnya, karena kecendrungan penulisan (sejarah) yang bias
laki-laki.
Ada
satu kesamaan di antara
para perempuan ulama itu. Pada umumnya mereka tampil karena keprihatinan atas
nasib perempuan, yang tidak memperoleh penghargaan dan kesempatan sebagaimana
laki-laki. Mereka, terutama yang berasal dari masa lalu, mengalami diskriminasi
itu. Mereka muncul dari ruang sempit, ketika gerak perempuan dibatasi, bahkan
hak-haknya terpasung dalam belenggu adat dan pandangan keagamaan yang bias.
Beruntung mereka bisa bergeliat, dalam keadaan yang penuh dengan keterbatasan,
menempa diri sendiri, menuntut ilmu, mendalami ajaran agama, belajar dari
pengalaman dan realitas sekitarnya. Itulah yang tampaknya memberikan mereka
kepercayaan diri untuk tampil dengan keyakinan dan keteguhan yang tidak
tergoyahkan, memperjuangkan kepentingan kaumnya. Pada umumnya mereka secara
jelas mengatakan terpanggil, karena nilai-nilai ajaran agama yang difahaminya,
untuk tampil menjawab persoalan peminggiran perempuan dengan aksi kongkrit.
Rohana
Kudus yang menghadapi perlakuan adat yang tidak
adil terhadap perempuan, dalam bentuk perjodohan dan poligami, mengembangkan
pendidikan keterampilan
bagi perempuan di kampungnya di Koto Gadang, untuk menguatkan kaumnya dalam
menghadapi tekanan adat tersebut. Rohana Kudus—entah
belajar dari mana, karena dia sendiri tidak pernah duduk di bangku sekolah, mengenyam pendidikan formal
karena tidak dibolehkan oleh adat—mengembangkan teori pendidikan yang sangat
menarik. Baginya perempuan harus kembali kepada jati dirinya sendiri; tidak
perlu menjadi laki-laki. Perempuan bisa tampil di ruang publik; tetapi juga
tidak bisa melupakan kodratnya (hamil, mengandung dan melahirkan), dan
mengabaikan tugas-tugas dalam rumah tangga (terutama dalam mendidik anak). Peran-peran itu harus terintegrasi dalam diri
perempuan, untuk bisa disebut sebagai perempuan sejati. Itu yang harus dipahami
perempuan. Dan menurutnya, itu tuntutan agama, pengabdian kepada Tuhan, sebagai
hamba. Untuk sampai kepada pemahaman, mediannya adalah pendidikan, tidak perlu
pendidikan formal; tetapi pendidikan yang menjawab kebutuhan. Karena itu dia
mengembangkan Sekolah Kerajinan
Amai Setia (di
Koto Gadang) dan kemudian Roehana School (di Bukittinggi), yang memiliki karakter
sama[59].
Bagi Roehana Koedoes pendidikan (yang dikembangkan) itu bisa memberikan rasa
percaya diri, yang bisa membebaskan perempuan dari tekanan; adat dan pandangan
keagamaan, tanpa kehilangan karakter sebagai perempuan dan minangkabau.Rahmah
el Yunusiyah, lebih beruntung. Dia tumbuh dalam keluarga dan di lingkungan yang
terdidik. Di
kampungnya, di Padang Panjang, anak perempuan memang sudah memperoleh perlakuan
yang lebih baik. Boleh sekolah. Tetapi dia juga menempa dirinya sendiri. Sebab
sekolah yang dia temui adalah sekolah laki-laki, yang dikembangkan dengan cara
pandang laki-laki, yang tidak menjawab kebutuhan atau persoalan perempuan.
Dalam sekolah seperti itu perempuan tidak memperoleh banyak kesempatan. Tetap
saja sekolah didominiasi oleh laki-laki. Oleh karena itu dia membangun sekolah
khusus untuk perempuan, yang mirip dengan apa yang dikembangkan oleh Rohana Kudus.
Uniknya model sekolah Rahmah, bahkan diadopsi oleh Universitas al Azhar, Cairo,
Mesir.
Pengalaman
Nyai Khoiriyah mirip Rahmah. Meskipun ada pembatasan yang ketat terhadap anak
perempuan, dia bisa
tumbuh menjadi perempuan ulama, karena berada dalam lingkungan yang terdidik.
Di masanya, di kampungnya, di Jombang,
anak laki-laki bebas menuntut ilmu, sedangkan anak perempuan tidak. Maka dia
banyak belajar sendiri. Beruntung orang tuanya, Kiai Hasyim Asy’ary, adalah
pimpinan pesantren,
seorang ulama besar, tokoh sentral NU pada masanya, yang tetap memperoleh
penghormatan sampai sekarang. Sehingga dia bisa memenuhi ambisinya untuk
menjadi orang yang berilmu. Kemudian dalam perkembangan, dia mengembangkan
pesantren khusus putri, untuk merespon keterbelakangan perempuan dalam hal
pendidikan, di kampungnya, di Jombang. Yang unik dari Nyai Khoiriyah, dia
pernah ke Makkah
dan mendirikan madrasah khusus untuk anak perempuan disana, Madrasat lil Banat,
di negeri yang didominasi oleh cara pandang laki-laki. Dan seperti Rahmah dia juga
memperoleh penghargaan di negeri itu atas jasanya tersebut [60].
Nyai Khoiriyah juga bisa menembus wilayah yang didominasi (ulama) laki-laki.
Dia menjadi salah satu rois Syuriyah PBNU, dan aktif terlibat dalam forum Bahtsul Masail, setelah kembali dari
Makkah. Dia masuk ke wilayah, bukan karena nama belakangnya, tetapi karena
keilmuan (yang memperoleh pengakuan);
karena lembaga dan forum itu mempunyai tradisi tertentu yang lebih menimbang kwalifikasi
keilmuan di atas segalanya dalam
merekruit anggotanya, sehingga sulit ditembus oleh siapapun, kecuali yang
memenuhi persyaratan.
Pengalaman
Tuang Guru Nene Haji Muna dari Negeri Ori, Maluku, mirip Roehana. Meskipun bisa
berguru pada orang-orang pandai, ulama yang ada di negerinya, dia tidak
memeperoleh pendidikan formal. Dia berkembang dengan menempa diri sendiri,
melalui proses belajar dari pengalamannya, belajar dari realitas sekitarnya.
Dari proses situ dia mampu menemukan dan mengembangkan sebuahnya pendekatan
atau metode pendidikan yang khas untuk perempuan yang efektif[61].
Dia menerapkan suatu cara yang sekarang
dikenal dengan istilah learning by doing. Sesungguhnya, dengan apa yang telah
dilakukannya itu, dia bisa disebut
seorang penemu. Sayangnya tidak ada catatan yang relative lengkap,
menyeluruh, tentang Tuang Guru Nene Haji
Muna.
Barangkali
untuk masa sekarang, apa yang ada dalam pikiran Rohana Kudus,
Rahmah el Yunusiyah, Nene Haji Muna dan Nyai Khoiriyah, adalah sesuatu yang
sederhana. Tetapi untuk zamannya itu adalah lompatan yang jauh ke depan.
Nyai
Siti Maryam, atau Nyai Sepo, dari Bilapora, Sumenep, Madura, yang juga
menghadapi persoalan yang kurang lebih sama (perjodohan, perkawinan usia dini,
dan poligami)[62].
Selalu mengatakan bahwa ‘anak jangan dinikahkan dulu, selesaikan dulu SMAK-nya’. Atau Ibu. Hj. Masyitah, yang rela pergi
ke Pulau Tambelan[63],
dan mengabdi disana selama kurang lebih 20 tahuan. Begitu juga dengan Khotim,
atau Khotimahatul Husna,
mengikuti nuraninya pergi ke dusun
Kepanjen, Dukuh Bintaran, Desa Jambidan, Banguntapan, Bantul, DI Yogyakrta. Memulai
gerakannya dengan membangun Kelompok Bermain Flamboyan, untuk anak-anak yang
tidak mendapat kesempatan mengecap
pendidikan karena keterbatasan biaya. Kemudian dari situ dia merengkuh orang-orang, perempuan,
yang lebih dewasa, terutama ibu para anak-anak didiknya untuk membangun
kesadaran masyarakat, agar memiliki kepedulian terhadap pendidikan bagi
perempuan dan anak-anak. Ibu Nafis dari Krapyak, dengan cinta, kelembutan dan
ketelatenannya mengasuh santri perempuan para penghafal Qur’an; mempersiapkan
masa depan yang lebih baik bagi mereka. Atau Nyai Arikhah
dari Pesantren Be-Songo, Semarang, yang mengembangkan pesantrennya dengan
konsep pemberdayaan perempuan yang berorientasi pada pelestarian alam yang
bertumpu pada keseimbangan ekosistem. Atau Yulianti dengan konsep pendidikan
Prenting; sebuah konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan (dalam)
keluarga.
Catatan Ahir
Pada
dasarnya, ulama perempuan yang ada dalam buku ini tampil untuk menjawab persoalan
perempuan dengan misi dan konsep yang jelas. Sebagian memang tidak menyatakan
secara tegas tentang konsep pendidikannya (dalam tulisan yang disajikan dalam
buku ini). Tetapi hal itu bisa dilihat dengan jelas dari apa yang sudah dilakukannya. Mereka
menghendaki anak perempuan, atau perempuan, menjadi pintar, mandiri dan
memiliki daya kritis terhadap realitasnya, sebagai perempuan, dan anggota
masyarakat. Mereka menghendaki agar perempuan tampil secara maksimal, dengan
potensi yang mereka miliki. Sehingga bisa mengabdikan diri sebagai hamba Tuhan,
anggota masyarakat dan bangsa.
Mereka
sadar akan tantangan yang dihadapinya, yakni dunia yang dikuasi oleh cara
pandang laki laki,
yang melahirkan tafsir agama yang merendahkan perempuan. Kesadaran itu muncul,
kebanyakan dari pengalaman dan realitas
yang dihadapinya; dengan refleksi atas ajaran agama yang dianutnya. Beruntung
orang-orang seperti Rahmah el Yunusiyah, Nya Khoiriyah, Bu Nafis, Nyai Wahid
Hasyim, dan lain-lain yang lahir dari keluarga terdidik. Sehingga, meskipun
ruangnya terbatas, mereka masih bisa menempa diri sendiri dalam ruang sempit.
Tetapi perempuan seperti Roehana Koedoes, Ibu Masyitah, atau Tuang Guru Nene Haji Muna, dan lain lain, harus berjuang keras, untuk bisa
melepaskan diri dari kungkungan adat dan tradisi. Mereka tidak menunggu
datangnya kesempatan itu, tetapi mereka membuka ruang, mencari kesempatan,
dengan melalui cela yang sempit sekali pun.
Itu hanya mungkin karena tekad yang besar, dan semangat pantang menyerah.
Secara
keseluruhan ulama perempuan itu, karena tidak memperoleh banyak kesempatan,
karena perlakuan masyarakat, karena adat yang membelenggu dan kungkungan
pandangan keagamaan yang bias, lebih banyak mengembangkan kapasitas diri mereka
sendiri. Belajar sendiri, dan berusaha sendiri. Kata kuncinya, barangkali,
adalah kemauan (untuk belajar dari pengalaman, mendalami dan memberi atau
menangkap ma’ana baru dari realitas dengan berefleksi, mentautkannya dengan
nilai dan ajaran agama, yang memungkinkan tumbuhnya), empati (kepada sesama),
keteguhan dan keyakinan (untuk bertindak) yang tidak tergoyangkan. Itu gambar
yang saya peroleh dari ulama perempuan yang ada dalam buku ini.*[]
Wallahu a’lam bisshawab.
Jakarta,
10 April 2017.
[1]
Darud Da’wah wal Irsyad,
disingkat DDI, adalah sebuah gerakan pendidikan dan da’wah yang bertumpu pada
pendidikan pesantren, yang berpusat di Sulawesi Selatan, yang kemudian pada perkembangan
berikutnya menyebar ke berbagai
daerah di luar Sulawesi
Selatan. Pendidikan pesantren, di Sulawesi Selatan, pada mulanya dikenal dengan
nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) atau sekolah Arab; baru pada tahun
1960-an istilah pondok pesantren menggantikan istilah MAI atau sekolah
Arab. Gerakan DDI dimulai dari MAI
Mangkoso (sekarang salah satu daerah di Kecamatan Sopengriaja, Kabupaten Barru,
Sulawesi Selatan), yang dipimpin oleh KH. Abdurrahman Ambodalle, pada tahun
1938. Setelah beberapa tahun, berawal dari pengiriman guru-guru dan santri dari
MAI berceramah atau menjadi imam untuk memenuhi permintaan masyarakat, kemudian
muncul dan berkembang MAI atau semacamnya dalam waktu yang hampir bersamaan di
berbagai daerah di Sulawesi Selatan. MAI-MAI itu, selain untuk merespon
kelangkaan pendidikan bagi rakyat (akibat penjajahan), juga ada untuk merespon
gerakan keagamaan tidak toleran terhadap perbedaan dan tradisi. Dalam
perkembangan berikutnya secara rutin MAI-MAI berkumpul untuk mengevalusai perkembangan
gerakan pendidikan mereka. Dalam sebuah pertemuan besar yang dihadiri
tokoh-tokoh dan ulama Sulawesi Selatan, pada tahun 1947, di Soppeng,
diproklamirkan sebuah organisasi untuk menaungi (gerakan) MAI-MAI itu yang
muncul dari Mangkoso itu, dan diberi nama Darud Da’wah wal Irsyad. Organisasi itu
dipimpin oleh KH. Abdurrahman Ambodalle, Sang Maha Guru yang menggagas dan memulai
gerakan pendidikan dan da’wah tersebut. Sejak saat itu Madrasah DDI muncul di berbagai daerah, bahkan di luar
Sulawesi Selatan. DDI kemudian mengindonesia.
[2] Di Sulawesi Selatan, seorang yang
memiliki kedalaman ilmu (agama) dengan karakter kuat—ahli ilmu agama, mempunyai
integritas kepribadian tinggi, berakhlak mulia, memiliki kharisma, dan sangat
berpengaruh di tengah-tengah masyarakat—yang diakui oleh masyarakat, karena ikhlas
dalam setiap prilakunya, diberi gelar ‘gurutta’
atau atau ‘anregurutta’ (bahasa Bugis), ‘gurunta’ atau ‘anronggurunta; (bahasa
Makasar). Gurutta atau guruntta artinya guru kita; anregurutta atau
anronggurunta disejajarkan dengan
istilah mahaguru kita, sekarang. Salah seorang yang memperoleh pengakuan
seperti itu adalah Anregutta Ambdurrhman Ambodalle, pemimpim Darud Da’wah wal
Irsyad. Pada umumnya yang memperoleh pengakuan semacam itu adalah laki-laki.
Sepanjang yang saya ketahui, belum ada perempuan yang memperoleh pengakuan secara
luas sebagai ‘gurutta’ atau ‘anregurutta’.
[3]
Makna “ilmu
pengetahuan”, tidak terbatas hanya menunjuk pada ilmu pengetahuan keagamaan
atau “al-Ulum al-Diniyyah”, melainkan semua disiplin ilmu pengetahuan, seperti
kedokteran (al-thibb), fisika (fiziya), matematika (al-riyadhiyat), astronomi
(al-falak) dan sastra (al-Adab).
Lihat, Husein Muhammad, Perempuan Ulama di atas
panggung Sejarah, 2017.
[4] Ibn hajar, seorang ahli
hadist terkemuka, dalam bukunya ‘Al-Ishabah fi Al-Shahabah’, menyebutkan 500
orang perempuan ahli Hadist. Nama-nama yang sama juga di tulis oleh sejumlah
ulama. Imam Nawawi, dalam ‘Tahzib al-Asma wa al-Rijal’, Khalid al-Baghdadi
dalam ‘Tarikh Bahgdad’, Ibnu Sa’ad dalam ‘Al-Thabaqat’, dan al-Sakhawi dalam
‘al-Dhaw al-Lama’ li Ahli al-Qarn al-Tasi’, dan lain-lain. Imam al-Dzahabi, ahli hadits masyhur, penulis buku “Mizan al-I’tidal”, menyebut 4000 Rijal Hadits, terdiri dari laki-laki dan
perempuan. Dia
mengatakan: “Ma ‘Alimtu min al-Nisa Man Uttuhimat wa La Man Turika
Haditsuha” (Aku tidak mengetahui ada perempuan yang cacat dalam
periwayatannya dan tidak pula ada yang tidak dipakai haditsnya). Katanya lagi:
“Tidak ada kabar yang menyebutkan bahwa riwayat seorang perempuan adalah
dusta”. Belakangan Umar Ridha Kahalah menulis buku khusus tentang ulama-ulama
Perempuan di dunia Islam dan Arab: “A’lam al-Nisa fi ‘Alamay al-‘Arab wa al-Islam” (Ulama
Perempuan di Dunia Islam dan Arab). Buku ini yang terdiri dari 3 jilid/volume ukuran tebal
ini merekam dengan indah nama-nama perempuan ulama berikut keahlian.
[5]
Ignaz Goldziher
(1850-1921), adalah orientalis pertama yang mengkaji Hadist. Dia seorang
Yahudi-Hongaria. Sesungguhnya dia adalah seorang tokoh yang penuh kontraversi.
Karyanya yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam), menjadi semacam
“kitab suci” bagi para orientalis saat ini.
[6] Husen Muhammad, Ibid.
[7] Ahmad bin Hambal (w.241), salah
seorang imam mahzab fikhi, menulis satu jilid khusus dalam kitab Musnad-nya hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh sahabat perempuan. Dalam itu tercatat 125 orang sahabat
perempuan dari 700 orang sahabat perawi hadist pada tabaqah pertama (al rawi al
a’la) atau sekitar 18 % dari jumlah seluruh al rawi al a’la. Lihat Rood Roded,
Kembang Peradaban, Citra Wanita di mata penulis Biografi Muslim, Mizan, 1995.
[8]
Jahiliyyah, dalam konsep agama
Islam, menunjukkan masa dimana penduduk Makkah, berada dalam keadaan ketidaktahuan
(kebodohan). Jahiliyyah adalah bentuk kata kerja yang berasal dari kata jahala,
yang memiliki arti ‘menjadi bodoh’, ‘bodoh’, ‘bersikap bodoh’, atau ‘tidak
peduli’. Lebih jauh istilah memiliki arti ‘ketidak tahuan akan petunjuk ilahi’.
Keadaan itu merujuk pada
situasi masyarakat Arab pra-Islam, sebelumnya datangnya Nabi Muhammad SAW.
Pengertian khusus Dari istilah Jalilyyah adalah keadaan seseorang yang tidak
memperoleh bimbingan dari Islam dan Al Qur’an.
[9]
Dr.
Asma al-Murabit, direktur Pusat Studi Islam dan Gender, Maroko menulis: “Kuliah keilmuan Islam diikuti oleh mahasiswa laki-laki
dan perempuan. Kami tidak menemukan, dalam generasi Islam awal, para cendikia
yang tidak belajar kepada perempuan, kecuali beberapa saja. Pendidikan
diberikan untuk laki-laki dan perempuan secara sama, dan tidak ada pemisah
(segregasi) ruang antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini jarang sekali
seorang ulama laki-laki yang tidak belajar kepada perempuan ulama”.
www.annisae.m).
[10] Al-Dzahabi, dalam “Siyar A’lam al-Nubala” (riwayat hidup
ulama-ulama cerdas), 750H
(1350M) mengatakan:
Aisyah, disebut sebagai “A’lam al-Nas wa Afqah
al-Nas wa Ahsan al-Nas Ra’yan fi al-‘Ammah” (orang paling pandai, paling
faqih dan paling baik di antara semua orang) “tidak kurang dari 160 sahabat
laki-laki mengaji pada Siti Aisyah”); Sebagian ahli hadits lain menyebut: murid-murid Aisyah
ada 299 orang: 67 perempuan dan 232 laki-laki. Umm Salamah binti Abi Umayyah
mengajar 101 orang: 23 perempuan dan 78 laki-laki. Hafshah binti Umar: 20
murid: 3 perempuan dan 17 laki-laki. Hujaimiyah al-Washabiyyah: 22 murid
laki-laki. Ramlaha bint Abi Sufyan: 21 murid: 3 perempuan dan 18 laki-laki. Fatimah binti Qais: 11
murid laki-laki. (Muhammad al-Habasy, Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah, hlm. 16)
[11]
Nafisah bint Hasan al Anwar, 762-824/145-208, dikenal cerdas, sumber pengetahuan keislaman (Nafisah
al-‘Ilm), pemberani, sekaligus ‘abidah zahidah (tekun menjalani ritual
dan asketis). Sebagian orang bahkan mengkategorikannya sebagai Waliyullah perempuan dengan sejumlah keramat. Ia adalah guru Imam
al-Syafi’i dan kemudian Imam ahmad
bin Hanbal. Imam al-Syafi’i adalah “ulama yang paling sering bersamanya
dan mengaji kepadanya, padahal ia seorang ahli fiqih besar
[12]
Sukainah bint al-Husain (w. 735 M), cicit Nabi SAW, tokoh perempuan ulama terkemuka pada zamannya.
Pemikirannya cemerlang, budi pekertinya indah, penyair besar, guru penyair Arab
tekemuka: Jarir al-Tamimy dan Farazdaq. Ayahnya, Imam Husain bin Ali, menyebut putri tercintanya ini: “Amma
Sukainah fa Ghalibun ‘alaiha al-Istighraq ma’a Allah” (hari-harinya sering
berkontempelasi). Ia sering memberikan kuliah umum di hadapan publik laki-laki
dan perempuan, termasuk para ulama, di masjid Umawi. Ia dikenal juga sebagai
tokoh kebudayaan. Rumahnya dijadikan sebagai pusat aktifitas para budayawan dan
para penyair.
[13]
Ibn
Arabi (1165-1240), yang dianggap sufi terbesar,
sepanjang masa, menimba
ilmu dari tiga orang perempuan.
Pertama, Fakhr al-Nisa.
Sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Kepadanya dia
mengaji kitab hadits “Sunan al-Tirmidzîy”. Kedua, Qurrah al-Ain. Pertemuannya
dengan perempuan ini terjadi ketika Ibn Arabi tengah asyik tawaf, memutari
Ka’bah. Katanya, “Hubunganku dengannya sangat dekat. Aku mengaji kepadanya. Aku
memandang dia seorang perempuan yang sangat kaya pengetahuan ketuhanan”. Ketiga adalah Sayyidah Nizham (Lady Nizham), yang biasa dipanggil
“Ain al-Syams” (mata matahari), dan “Syaikhah al-Haramain” (Guru Besar untuk
wilayah Makkah dan Madinah). Ibn Arabi mengatakan: “Ia adalah matahari di
antara ulama, taman indah di antara para sastrawan. Wajahnya jelita, tutur
bahasanya lembut, otaknya sangat cemerlang, kata-katanya bagai untaian kalung
yang gemerlap penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun. Jika dia
bicara semua yang ada menjadi bisu”.
Ibnu Asakir
(1105)., sejarawan Damaskus terkemuka dan bergelar “Hafizh al-Ummah” adalah murid
dari banyak ulama perempuan Dia belajar pada Syuhdaaah bin al-Abri, perempuan ulama, guru sejumlah
ulama besar, antara lain Ibn al-Jauzi dan Ibn Qudamah al-Hanbali. Umma Habibah
al-Ashbihani, adalah salah seorang guru al-Hafiz Ibn Mundzir. Fathimah bin ‘Ala
al-Din al Samarqandi adalah faqihah jalilah, ahli fiqh besar, suami Syeikh Ala
al-Kasani, penulis buku “Al-Badai’ al-Shanai’
Tokoh cemerlang lain dalam dunia keilmuan Islam dan mujtahid
besar adalah Ibn Hazm (994-1064) dari Andalusia, juga
belajar dari kaum perempuan. Dia belajar membaca al-Qur’an sekaligus mengafalnya, menulis,
dan memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan dasar, dari perempuan. Dalam bukunya “Thauq al-Hamamah” (Kalung Merpati), ia
menceritakan : “Aku sering bertatap muka
dengan para perempuan dan aku mengetahui
banyak rahasia-rahasia mereka, karena aku dididik di pangkuan mereka. Aku
tumbuh besar di tangan mereka. Aku tak mengenal laki-laki kecuali setelah aku
menjadi dewasa. Para perempuanlah yang mengajari aku Al-Qur’an, puisi-puisi dan
kaligrafiuan.
[15]Tentara Mongol, 1256 menghancurkan
kekuasaan Dinasti
Abbasiyah—yang memang sudah melemah karena penguasa yang korup, mengabaikan penegakan keadilan
dan hukum, serta
konflik-konflik internal yang tidak berkesudahan—dengan meluluh-lantakkan Bagdad (Ibukota Dinasti Abbasiyah) yang dianggap
sebagai pusat kebudayaan Islam di Timur pada masa itu.
[16] Dinasti Umayyah yang berkuasa di
Andalusia, Spanyol, 92 H/711 M hingga tahun 797 H/1492
M, juga mengalami nasib yang sama, dihancurkan oleh persekutuan
kerajaan-kerajaan Eropa. Menurut para ahli sejarah, kehancuran Andalusia, karena melemah
akibat dari gaya hidup yang mewah dan korup dari penguasa, hilangnya semangat
jihad, penegakan hukum dan keadilan terabaikan, serta konflik-konflik internal.
[17]
Rifa’ah Rafi’ Al Thahthawi, seorang pemikir pendidikan Mesir, yang
dilahirkan di kota Thahtha tahun 1801. Ayahnya keturunan Husein cucu Nabi Muhammad SAW. Al Thathawi berhasil menamatkan pelajarannya di Al Ahzar dan ia
mengembalikan karir kependidikannya sebagai tenaga pengajar di Al Ahzar dan
tahun 1824 (Harun Nasution; 1975:43)
[18] Qasim Amin, lahir di Iskandriyah,
Mesir, dari Ayah yang berdarah Turki dan Ibu Mesir. Masa kecilnya dihabiskan di
Iskandriyah, lalu pindah ke Kairo dan masuk ke Perguruan Tinggi, mengambil
jurusan Hukum. Dia sempat melanjutkan studi di Paris, dan menjalin hubungan
dengan Jamaludin Al Afghani dan Muhammad Abduh yang ketika itu di asingkan di
Paris. Dia sempat menjadi penterjemah bagi Muhammad Abduh. Dia kembali ke Mesir,
1885, menjadi Hakim, lalu menjadi Wali Kota di Bani Suef, sebuah propinsi di
Mesir. Dia juga menulis buku ‘Al Mashruriyyun’ (Le Egyptian) dalam bahasa
Prancis, sebagai konter terhadap tulisan seorang tokoh Prancis, Duc Dh’arcouri
yang mengecam budaya Mesir.
[19] Huda
Sya'rawi (1879-1947) Pengagas Gerakan Feminis pertama di Mesir; Presiden
pertama Persatuan Feminis Mesir
(The Egyptian Feminist Union/ EFU), yang didirikan pada 1923, sampai masa akhir
hanyatnya (1947).
[20]Aisyah Taymuriyah (1884-1902) adalah
Penulis dan Penyair Mesir.
[21]
Malak Hifni Nasif (1886-1918), seorang feminis Mesir, yang telah
memberikan kontribusi besar terhadap gerakan dan pemikiran dalam wacana politik
perempuan Mesir pada awal abad 20.
[23]
Zainab
al-Ghazali (1917-20015),
dikenal sebagai pejuang di Mesir, pendiri The Muslim
Women's Association (Jamaa'at al-Sayyidaat al-Muslimaat). Pernah
dipenjara, di masa pemerintahan Jamal Abd. Naser, karena bergabung dengan Ikhawanul Muslimin
[24]
Aisyah
Abdurrahman bint Syathi
(1913-1998), terkenal dengan kajian dan tafsir sastera tematik. Dia antara lain
menulis, at-Tafsîr al-Bayâni
li al-Qur’ân al-Karîm
[25]
Asma
Barlas, lahir di
Pakistan, (1950), tetapi karena mengkritik sistem hukum yang patriarkhis, dia diusir dari
Pakistan oleh pemerintahan Ziaul Haq (1988) dan pindah ke Amerika. Dia menulis
buku Believing Woman in Islam; Unreading
Patriarchal Interpretation of The Qur’an; untuk mengkonter anggapan bahwa
Islam adalah agama patriarchis.
[26]
Aminah
Wadud, lahir pada 1952, di Bethesda, Maryland, Amerika; keturunan Afrika-Amerika. Dia tidak
hanya dikenal sebagai seorang yang akademis, tetapi juga aktifis yang secara
intensif melakukan advokasi bagi pembelaan hak-hak perempuan dalam pendidikan Dia
menullis buku “Qur’an and Woman”, yang
erat kaitanya dengan pengalaman dan pergumulan orang-orang perempuan
Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender
[27]
Fatima Mernissi (1940-2015),
asal Maroco, dianggap sebagai feminis Islam terkemuka, yang sangat berpengaruh
dan menginspirasi. Dia menulis tidak kurang dari 15 judul buku, hampir semuanya tentang isu perempuan
dalam Islam dan kritik atas dominasi laki-laki. Beberapa bukunya yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, adalah: The Veil and Male Elite,
(1997), diindonesiakan dengan judul Menengok Kontroversi Keterlibatan Wanita dalam
Politik; Women and Islam: A Historical and Theological
Enquiry, diterbitkan di Indonesia dengan judul Wanita dalam Islam; The Forgotten of Queen in
Islam, diterbitkan judul Ratu-ratu Islam yang Terlupakan (1994). Islam
and Democracy, (1994) terbit dengan judul Islam dan Demokrasi: Antologi
Ketakutan.
[28] Nazhirah
Zainuddin (1908-1976),
lahir di Aleppo, Irak, kemudian bermukim di
Mesir. Namanya dapat disejajarkan dengan tokoh feminis Muslim Mesir lainnya
seperti Malak Hifni Nashif, Aisyah Taimuriyah, Nabawiyah Musa, May Ziyadah dan
Huda Sya’rawi, Mohammad Abduh, Qasim Amin dan Sa’ad Zaghlul. Husein Muhammad memberikan apresiasi
khusus untuk Nazhirah, karena berani melancarkan kritik terhadap
pemikiran keagamaan konservatif
yang memasung hak-hak kaum perempuan. Nazhirah menulis sebuah buku "al-Sufur
wa al-Hijab". Melalui buku ini Nazhirah mengkritik keras pandangan
ulama pada masanya, terutama para ulama besar al Azhar, tentang Hijab, Jilbab
dan isu-isu perempuan yang lain. Argumen-argumennya mengambil sumber-sumber
otoritatif Islam; Al Qur-an dan hadits n-Nabi
saw. sambil melakukan kajian
atas kitab-kitab Tafsir klasik seperti tafsir Baidhawi, Khazin, Nasafi,
Thabari, kitab-kitab fiqih klasik dan lain-lain. Ulama perempuan kelahiran
Aleppo ini juga banyak mengutip sekaligus menganalisis pikiran-pikiran tokoh
besar lainnya seperti Muhyiddin ibnu Arabi. Kemampuannya memahami kitab-kitab
klasik tersebut tidak diragukan lagi. Dia mengajak para ulama untuk melakukan
reinterpretasi dan rekonstruksi atas wacana keagamaannya dengan melihat
fakta-fakta perkembangan dan perubahan sosial, budaya dan politik yang tidak
bisa dilawan. Nabawiyah
Musa, ulama perempuan Mesir, juga
menarik. Ia menuntut dibukanya akses pendidikan bagi kaum perempuan
negerinya.
[29]
Perempuan Aceh Tempo Doeloe
Yang Perkasa, Kabari, Maret, 2008; Sebelum Sulthana Safiatuddin (1612-1675) menjadi sulthana, Aceh dipimpin oleh suaminya,
Sultan Iskandar Tsani, (1637-1641). Ketika Iskandar Tsani wafat sulit untuk
mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat dengan sang
raja. Terjadi debat, bahkan kericuhan, dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama
dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan
tertentu. Tetapi seorang Ulama Besar,
Nurudin Ar-Raniri, menengahi persoalan dengan menolak seluruh argument kaum
Ulama, sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana. Lihat, Kronik
Perempuan-perempuan Pejuang Aceh di Kalyanamedia.
[30] Ketika Sri Ratu
Kamalat Syah (1688-1699) diangkat sebagai raja—yang memerintah sesudah Ratu
Zakiatuudin Inayat Syah (1678-16-88) dan Ratu Nurul Alam Naqiatudin Syah
(1675-1678)—terjadi lagi perselisihan pendapat, tetapi kali
antara Lembaga Panglima Tiga Sagi dan Majelis Orang Kaya, tentang keabsahan
wanita menjadi sultanah. Isu ini sebenarnya telah diselesaikan dengan fatwa
Syeikh Abdur Rauf Singkel pada zaman Sultanah Tajul Alam Safiatuddin; tetapi
dimunculkan kembali oleh pihak yang tidak suka dengan pemimpin perempuan, yang
diwakili oleh Majelis Orang Kaya. Tetapi pada akhirnya Ratu tetap dilantik
menjadi sultanah, karena kekuasaan untuk mengangkat seseorang menjadi sultanah
ada di tangan Lembaga Panglima Tiga Sagi; dan dianugerahi gelar Sultanah
Zainatuddin Kamalat Syah. Penolakan Majelis Orang Kaya berdasarkan hadist: Khasira qaumun allazina wallau umuurahum imraatan (Rugilah suatu kaum yang menyerahkan urusan
publiknya kepada perempuan). Tetapi Lembaga Panglima Tiga Sagi mengatakan bahwa fakta sejarah
menunjukkan beberapa kerajaan Islam sebelumnya diperintah perempuan, misalnya
Sultanah Syajaratul al-Daur yang memimpin kerajaan Mameluk di Mesir dan
Sultanah Raziah di Delhi, India; bahkan pada zaman keemasan Pasai terdapat
seorang ratu perempuan yang bernama Sultanah Nahrasiyah. Tetapi Majelis Orang
Kaya tetap mencari celah agar Zainatuddin turun dan tahtanya. Di antara upaya
yang mereka lakukan adalah dengan minta fatwa ke Makkah tentang boleh tidaknya
seorang wanita menjadi sultanah. Setelah ditunggu beberapa lama, muncullah fatwa
yang dinantikan. Mufti Makkah mengeluarkan fatwa haram bagi perempuan menjadi
pemimpin. Fatwa ini memicu perdebatan di kalangan para ulama yang pada akhirnya memaksa Zainatuddin turun dari tahta
kesultanannya. Sesungguhnya menurut peraturan yang ada, wewenang untuk mengangkat dan menurunkan sultan ada
pada Lembaga Panglima Tiga Sagi. Tetapi
pada masa itu pengaruh lembaga ini tidak lagi sekuat pada masa Sultanah Tajul
Alam Safiatuddin; juga karena pengaruh gerakan Panglima Polem. Tetapi ada juga
analisis yang mengatakan bahwa keadaan ekonomi dan politik yang tidak stabil
membuat banyak yang tidak puas dengan kepemimpinan sang Ratu. Tetapi yang jelas
Kamalat Syah turun tahta pada bulan Oktober 1699, sesudah adanya fatwa Mufti
Makkah. Kamalat Syah diganti oleh
suaminya yang bernama Sayyid Hasyim Jamalulail (asal Hadramaut; konon keturunan
Rasulullah SAW). Setelah diangkat menjadi Sultan Aceh, Sayid Hasyim Jalamulail
diberi gelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalulail. Tetapi dia tidak lama
memerintah Aceh. Dia turun tahta pada tahun 1702, karena sudah ketuaan, dan mangkat
dua minggu setelah turun tahta pada tahun yang sama.
[31] Di luar para Ratu itu juga ada
Laksamana Malahayati, Cut Nya Dien, Teungku Fakinah (1856 -1933) dan lain-lain. Yang terakhirnya
juga adalah seorang ulama perempuan.
[32]
Menurut Azyumardi Azra,
bukannya tidak ada perempuan ulama dalam peradaban Islam, tetapi sejarah mereka
adalah sejarah gelap sehingga tidak banyak yang dapat diketahui dalam dan
informasi tentang mereka sangat sedikit; Azra, Biografi Sosial-Intelektual
Ulama Perempuan: Pemberdayaan Histografi, Dalam Jajat Burhanudin (ed), Ulama
Perempuan Indonesia, Jakarta, 2002.
[33] Buku Sejarah Perempuan, yang ditulis
oleh Cora Vreede-De Streus, meskipun
disebut minim kritik, banyak dipuji orang; bagus sebagai langkah awal untuk
memahami gerakan dan kemajuan perempuan
di Indonesia. Streus mengkaji keterpurukan perempuan yang dibelenggu
oleh adat, salah satunya adat Minangkabau.
[34]
Christin Dobbin dalam sebuah seminar, pada tahun 1979, yang diselenggarakan
Perhimpunan Indonesia-Australia (Australian-Indonesian Assosiation) Cabang
Victoria bekerjasama dengan Pusat Studi Asia Tenggara (Center for Southeast
Asian Studies) Universitas Monash, Australia, mengkaji dan mengurai tiga karya
penting, yakni: The Emergences of the Modern Indonesian Elite, the Huge, karya
Robert van Niel; Road to the Exile: The Indonesian Nasionalist Movement, 1927-193,
Singapore, 1979, karya John Engleson; Java in a Time of Revolution: Occupation and
Resistence, 1944-1946, Itacha and London, Cornell University Press,
1972, karya Benedict R. Anderson. Dalam
kesempatan itu Dobbin mengatakan bahwa karya-karya yang dia bahas itu telah
mengabaikan perempuan sebagai bagian dari proses historis di masa awal
pergerakan nasional dan relovolusi Indonesia.
[35]
Kuntowijoyo, mengatakan bahwa sampai dia selasai menulis buku Metodologi Sejarah (1994), dia belum
melihat ada disertasi yang secara khusus membahas sejarah perempuan Indonesia.
Baru ada beberapa skripsi S1 maupun S2 sudah tampak menaruh perhatian pada tema
itu. Padahal menurut Kuntowijoyo, di negara maju seperti Amerika, kajian tentang
perempuan sudah menjadi spesialisasi tersendiri. Hal ini dapat terlihat dalam American Hostorical Association (AHA) dan Teaching Woman History yang merupakan
buku panduan untuk pengajaran sejarah perempuan di SLTA dan tahun-tahun pertama
di Universitas. Kuntowijoyo, ibid., hlm. 113. Contoh tulisan S1 (skripsi)
adalah tulisan Fatia Nadia, mahasiswa UGM, Tenaga Kerja Wanita di Perkebunan
Teh Malaber—Afdelingen Cianjur Regentshapen Priangan tahun 1880-1900. Sedangkan
contoh tesis (S2), juga dari UGM, Soedarmono, Munculnya Kelompok Pengusaha
Batik di Laweyan pada Awal Abad XX, 2005. Keterangan lanjut, Lihat Kuntowijoyo,
ibid., hlm. 120-121 dan 126.
[36] Ruth Indiah Rahayu, Kontruksi Historiografi
Feminisme dari Tutur Perempuan, Makalah Workshop Historiografi Nasional dan
Historiografi Alternatif, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007, hal. 6. Lebih lanjut lihat
Ismail Sofyan, dkk, Wanita Nusantara dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Agung
Offset, 1994)
[37]
Menurut Julia Suryakusuma, Orde Baru menafsirkan peran perempuan, yang disebutnya
Ibuisme Negara, berlandaskan tradisi priyayi Jawa yang kawin dengan tradisi
petite bourguasi kolonial Balanda. Orde Baru menafsirkan bangunan social
kenegaraan seperti sebuah lembaga keluarga, dimana peran Ibu adalah melengkapi
status kekuasaan Bapak. Bapak adalah entitas kuasa yang memerintah sebuah
Negara, dan Ibu berperan melayani kelangsungan entitas kuasa tersebut. Bepak
berperan mengontrol peran Ibu sampai ke tingkat seksualitas melalui system
kenegaraan. Kerangka sosiologis Ibu dan
Bapak dalam system kenegaraan yang di konstruksi Suryakusuma tersebut
menjelaskan mengapa Orde Baru menciptakan organisasi perempuan seperti Dharma
Wanita dan PKK.
Konsep
Orde Baru, kalau menurut Ruth Inda
Rahayu, tidak hanya hasil perkawinan tradisi priyayi Jawa dengan petite
bourguise Belanda, tetapi juga
mereproduksi teks, praktek dan makna militerisme ala Jepang, yang
bertumpu pada tradisi bushido samurai
Jepang (mengabdi atas dasar kesetiaan dan disiplin
tinggi kepada penguasa tanah air),
terhadap perempuan (yang hanya berkewajiban untuk menyenangkan, dalam arti seksualitas, dan melangsung
keturunan untuk menjaga keberlanjutan dinasti samurai; kurang lebih sama dengan
konsep koncowingking dalam tradisi jawa); yang dikenalka oleh Jepang ketika
menduduki Indonesia pada awal tahun 1940-an, melalui unit-unit perang yang
diciptakan nya seperti Heiho, Peta, Keibodan dan Sinendan—untuk mengahadapi
perang Asia Timur Raya—yang kemudian,
setelah Jepang angkat kaki dari Indonesia, membentuk unit militer seperti
Tentara Pelajar (Jawa Tengah) dan Tentara Republik Indonesia Pelajar (Jawa
Timur) pada pada waktu menghadapi agresi militer Belanda pada tahun 1947.
Ideologi itu menciptakan sarana prakteknya dalam bentuk organisasi Dharmawanita
yang miirip dengan Fujinkai (organisasi perempuan buatan Jepang), yang
mereproduksi teks tentang Lima Tugas wanita dari serat Centhini (Isteri sempurna
disimbolkan dengan Lima Jari Tangan: Jari telunjuk melambangkan isteri tidak boleh memerintah suami; jari tengah,
pananggul, melambangkan isteri berkewajiban mengunggulkan derajat dan martabat
suami; jari manis, artinya isteri harus bersikap manis terhadap suami; jari
kelingking berarti isteri harus pandai mengelola keuangan pemberian suami) yang
dimaknai dan disebut sebagai Panca Dharma Wanita (yakni : isteri yang sempurna
berkewajiban mendampingi suami, melahirkan dan merawat anak, mengatur keuangan
rumah tangga, boleh bekerja asalkan hanya untuk mencari nafkah tambahan, boleh
berorganisasi selama bersifat social). Lihat Ruth Indah Rahayu, Militerisme
Orde Baru dan Ideologi Koncowingking.
[38] Tokoh utama kelompok modernis
adalah Nurcholis Madjid, yang kemudian menjadi salah satu tokoh reformasi di
Indonesia.
[39] Tokoh utama kelompok tradisionalis
adalah Abdurrahman Wahid, ketika itu adalah Ketua Umum PBNU, juga menjadi salah
satu reformasi di Indonesia; dan menjadi Presiden (keempat) Republik Indonesia
(1999-2001).
[40] Robert W. Hefner,
Civil Islam: Muslims and Democratization in Idonesia, Princeto & Oxford: Princeton University Prees, 2000
[41] Margot Badran, Feminism in Islam: Secular and
Religious Convergences, Oxford: Oneworld, 2009. p. 242-252
[47] Wafat pada 2011
[48] Nyai Ruqoyah Ma’shum adalah pimpinan Pondok Pesantren Al Ma’shumi, Prajekan,
Bondowoso, adalah seorang ulama perempuan yang hidup di tengah komunitasnya,
bergelut dengan persoalan-persoalan keseharian komunitasnya, melakukan
pendidikan dan penyadaran dengan berangkat dengan realitas sekitarnya. Nyi
Ruqayah memiliki penguasaan yang sangat baik atas wacana keilmuan
klasik, dengan artikulasi yang sangat baik juga (mungkin karena apa yang
dibicarakan selalu bersandar pada realitas sekitarnya); Nyi Ruqayah, berkembang
seperti sekarang ini, karena ditimpa oleh pengalaman yang bersifat sangat pribadi. Sedangkan Nur Rofi’ah dan Badriyah Fayumi
adalah intelektual kampus, juga memiliki
basis Pesantren yang sangat kuat, yang aktif di dunia NGO dan gerakan
perempuan. Mereka menguasai keilmuan Islam klasik; yang memiliki keberpihakan.
Wawancara dengan AD Eridani, 3 Mei 2010
[49] Direktur P3M, yang ketika itu
menjadi simbol
gerakan yang membangun wacana keagamaan kritis, melakukan poligami yang justeru
ditentang oleh wacana keagamaan tersebut.
[50] Rahima, Pusat
Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak hak Perempuan pada awalnya dimotori oleh Farha Ciciek, Husein Huhammad, Syafiq Hasyim, dan
Muhyidin Abdussomad; pada perkembangan berikutnya dimotori oleh AD Eridani, Masrchah, Nur Rofi’ah dan Hindun Anisah
[51] Pada dasarnya
mereka adalah
orang orang yang sudah memilikikwalitas
sebagai ulama. Rahima hanya memperkuat mereka dengan cara pandang baru yang
lebih kritis terhadap teks teks keagamaan, dan melengkapinya dengan metode
analisis sosial.
[52] Fahmina, Bersama
Tradisi untuk Kemanusiaan dan Keadilan,
dimotori oleh Husein
Muhammad, Faqihuddin
Abd. Kadir dan Marzuki Wahid. Tiga tokoh pesantren yang malang melintang dalam
gerakan penegakan demokratisasi di
Indonesia.
[53] Alimat, gerakan
Kesetaraan dan Keadilan Keluarga Indonesia, terinspirasi oleh gerakan Mushawah Internasional, adalah gerakan
dengan isu perlindungan terhadap keluarga, yang melibatkan tokoh-tokoh
perempuan dari berbagai organisasi keagamaan seperti Fatayat NU, Aisyiah, dan
beberapa NGO, yang mengusung isu hak-hak perempuan seperti Fahmina, Rahima, PEKKA,
dan lain-lain. Alimat ini diinisiasi
oleh Kamala
Chandra Kirana, salah seorang tokoh gerakan
perempuan Indonesia, yang ketika itu adalah Ketua KOMNAS Perempuan. Saat
ini Alimat diketuai oleh Badriyah Fayumi.
[55] Ulama
adalah jama dari kata ‘alim, isim fa’il
dari ‘alima, yang berarti orang yang
berpengetahuan, atau ahli ilmu. Seorang
ulama berarti seorang yang banyak ilmunya. Dari makna aslinya ulama berarti
orang yang menguasai pengetahuan yang banyak, tentang berbagai bidang, baik
agama maupun umum. Dari pengertian ini berkembang di kalangan umat Islam
Tradisional, ulama diartikan sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam,
mempunyai integritas kepribadian yang tinggi dan mulia, berakhlak mulia,
memiliki kharisma, dan sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakat. Secara
tradisional ulama sering digambarkan sebagai orang yang kuat dan luas
pengetahuan agamanya; sanggup melaksanakan ilmu pengetahuannya dengan ibadat
dan amal perbuatan yang nyata, kuat takwanya kepada Allah, diakui oleh
masyarakat, ikhlas dalam setiap prilakunya, tanpa pamrih pribadi, sehingga
karenanya stabil
dan konstan pengaruhnya dengan karisma
yang menonjol. Gambaran ulama seperti tampaknya dipengaruhi oleh penegasan al Qur’an
dan hadist nabi yang masing-masing mengatakan “sesungguhnya yang takut kepada
Allah dari hamba-hambaNya hanya ulama ”(Al
Fatir, 28) dan bahwa sesungguhnya para ulama
itu adalah pewaris para nabi” (riawayat Abu Daud dan at Tirmizi). Namun di
kalangan masyarakat Ilmiyah terdapat satu kecenderungan atau pandangan bahwa
sebutan ulama bukan hanya ditujukan kepada mereka yang luas dan dalam ilmu dan
pengetahuan agama saja, tetapi juga menguasai ilmu pengetahuan pada umumnya.
Sehingga sebutan ulama bisa berarti sarjana dalam arti lebih luas, sebagaimana
yang masih berlaku sampai sekarang di dunia Arab. Lihat Ecyclopedia
Islam.
[56] Ibid.
[57]
Ketika ilmu dan teknologi
mengamali perkembangan yang sangat pesat,
begitu juga dengan issue-isue yang berkembang dalam masyarakat karena
globalisasi, maka penafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan baik dan konfrehesif, sudah
berada diluar kemampuan seorang ulama agama. Untuk menghasilkan penafsiran yang
baik dan konfrehensif dibutuhkan sekelompok ulama, yang terdiri dari ulama yang
menguasi bahasa arab, ulama al Qur’an, ulama Hadist, ulama filsafat, ulama
teologi, ulama hukum, ulama pendidikan, ulama ekonomi, ulama perbandingan
agama, , ulama pelestarian alam, ulama sejarah, ulama kesehatan, ulama sains,
ulama etika, dan lain sebagainya. Dengan demikian penggunaan sebutan ulama
bukan hanya untuk mereka nbelum popular. Yang mengakar dalam masyarakat adalah dalam
pengertian tradisional, yakni ulama yang menguasai ilmu-ilmu agama. Dilihat
dari penguasaan cabang-cabang ilmu keislaman, sebutan ulama biasanya dikaitkan
dengan pengetahuan yang menjadi keahlian seseorang, seperti ulama fiqih, ulama hadist, ulama tasawwuf,
ulama tafsir, dan lain-lain. Pada dasarnya inti pengertian ulama adalah orang
yang memiliki pengetahuan yang mendalam, baik pengetahuan yang datang dari Allah maupun pengetahuan
yang bersumber dari manusia atau pengalaman sebagai kebulatan pengetahuan yang
berdiri diatas asas sikap iman. AL
Qur’an menyebutkan ulama sebagai orang yang taqwa kepada Allah. Sikap ini
membuatnya taat dan patuh atas segala perintahNya dan menjauhi segala larangan
NYa. Nabi sendiri seperti telah
disinggung, mengatakan bahwa ulama itu sebagai pewaris para Nabi yang berugas
melanjutkan perjuangan, meneruskan tugas da’wah dalam arti yang luas, terutama
tugas amar ma’ruf nahi mungkar. Ibid.
[58] Ibid.
[59]
Sekolahnya
itu mengembangakan kurikulum sederhana, yang dibagi dalam empat bidang: (1)
Kerajinan. Kerajinan bagi perempuan adalah sangat penting bagi perempuan Melayu. Bagi Masyarakat Melayu keterampilan menjadi salah satu tolok ukur
kepiawian bagi perempuan. Selain itu dengan keterampilan pada akhirnya pintu gerbang yang memandirikan
perempuan. Tidak hanya itu, kegiatan menyulam, khususnya untuk motif terawang, menjadi khas Koto Gadang, pada
masa itu dicari-cari
oleh orang Eropa. Kegiatan itu menghidupkan budaya setempat. Itu menjadi jalan
untuk menciptakan lapangan kerja. (2) Baca tulis, huruf Arab dan Latin, dimaksudkan untuk membuka
pengetahuan. (3) pendidikan Rohani yang bertumpu pada akidah dan akhlak,
diberikan agar perempuan tidak kehilangan kesejatian dirinya, sebagai penganut
Islam. Sehebat apapun perempuan, kata Roehana, kalau tidak mempunyai pijakan
agama yang kuat,, akan kehilangan
kesejatian dirinya; sebagai makhluk ciptakan Tuhan, dengan kodratnya yang tertentu; (4) Pengajaran untuk mengurus
tangga, diberikan agar perempuan cakap dalam mengurus rumah tangga, terutama
dalam hal mengasuh anak
[60] Raja Arab Saudi pernah mengundang Nyai Khoiriyah, memberikan tanda
penghargaan, berupa cincin khas kerajaan, mendirikan sekolah khusus perempuan (Madrasah
lil banat). Sekarang ini ada lembaga yang disebut Jam’iyah al Khoiriyah, yang
dipimpin oleh Putri binti Abdul Azis Faishal. Tampaknya itu adalah kelanjutan
dari madrasah yang didirikan oleh—dan (dengan penggunaan nama Khoiriyah)
sekaligus penghargaan atas jasanya dalam pendidikan bagi perempuan untuk—Nyai
Khoiriyah.
[61] Nene Haji Muna menyelengakan
dua bentuk pengajaran, dengan dua
pendekatan pendidikan yang relative berbeda. Bentuk pertama, diperuntukkan
bagi murid yang baru belajar agama. Pada
tahuap ini dia mengajarkan tata cara
membaca qur'an, mulai dari mengenali huruf atau kata, sampai kepada tajwid. Bentuk pendidikan kedua, diperuntukkan bagi murid yang sudah
menyelesaikan pendidikan tahap pertama dan memasuki masa baligh, lebih fokus pada Fiqhi perempuan. Kebanyakan
tema dalam proses pendidikan tidak dilakukan dalam klas (di rumah), tetapi pada
waktu-waktu tertentu dibawa ke suangi atau ke pantai. Konsekwensinya, murid-murid dalam proses
pendidikan, tinggal atau menginap di
tempat pengajian Haji Muna.
Murid-muridnya perempuan yang sudah
memasuki haid diajak ke sungai,
sambil membawa cucian. Pada kesempatan
itulah dia memberikan pelajaran tentang hadast besar dan tata cara mandinya
diajarkan. Saat itu juga hukum haidh dan rukunnya diajarkan. Begitu juga
doa-doanya. Tidak sekadar itu, Haji Muna
juga mengajarkan tentang reproduksi perempuan. Dengan cara itu, ketika mandi
dan mencuci, murid-muridnya menjadi faham betul
perubahan fisik serta tanggung jawab perempuan yang telah memasuki masa
baligh. Nene Haji Muna juga membawa murid-muridnya ke pantai pada waktu-waktu tertentu. Menjelang
subuh, misalnya. Disana dia mengenalkan
mengenalkan fajar pertama dan
fajar kedua. Pada saat itu juga Tuang Guru Nene Haji Muna mengajarkan doa-doa
ketika menyaksikan fajar tersebut. Dengan cara belajar seperti itu membuat
pelajaran agama langsung tertanam dalam ingatan para muridnya. Proses belajar seperti itu adalah perenungan Nene Haji Muna; yang
sebelumnya, di masa, di kampung, sama sekali
tidak dikenal orang.
[62] Di Madura, pernikahan usia dini, ketika
anak-anak (perempuan) masih bau kencur, umum sekali bahkan sampai sekarang
masih terjadi. Ada begitu banyak faktor yang menjadi latar belakangnya. Di antaranya yang menonjol adalah:
Pertama, faktor ekonomi. Menikahkan anak perempuan sedini mungkin dianggap bisa
meringankan beban ekonomi keluarga. Karena setelah menikah, anak perempuan
sudah lepas dari tanggung jawab orang tuanya dan menjadi tanggung jawab
suaminya. Apalagi bagi keluarga yang memiliki banyak anak. Lepasnya tanggung
jawab finansial terhadap satu anak akan banyak menolong ekonomi keluarga.
Menyekolahkan anak perempuan dianggap tidak memberikan banyak keuntungan.
Karena toh dia akan menikah dan dibawa pergi oleh suaminya selepas menikah.
Bagi orang tua, yang penting anak perempuan bisa membaca, menulis, berhitung,
dan mengaji. Terlebih lagi bagi anak perempuan lulusan pondok. Anak perempuan,
kalau sudah lulus SMP, meskipun usianya masih belasan tahun, sudah dianggap
memiliki bekal cukup untuk menjadi seorang isteri
karena sudah mempelajari kitab kitab
fikih dasar seperti Fathul Qaribd, Fathul
Mu’in, dan juga sudah mempelajari Qurrotul
Uyun. Itu dianggap sudah cukup sebagai bekal berumah tangga
[63] Pulau Tambelan, di lepas pantai pantai barat Kalimantan
Barat, di utara Khatulistiwa Propinsi Kepulauan Riau. Pulau Tambelan adalah pulau
terjauh dalam wilayah Kabupaten Bintan, atau Indonesia. Pulau ini terletak di
laut China Selatan; salah satu dari ribuan pulau yang ada di laut China
Selatan. Jarak tempuh dari Ibukota Kabupaten, Tanjung Pinang, Pulau Bintan, Kepulauan Riau, adalah sekitar
185 mill
laut atau sekitar 300 km; Kapal Perintis ke Pulau Tambelan dari Tanjung Pinang,
adalah dua kali sebulan. Tetapi, karena cuaca, kondisi laut, bisa jadi tidak
ada kapal ke Pulau ini selama berbulan-bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar