SAMBUTAN PENGANTAR PERTEMUAN TOKOH DDI
Bintaro, 9 Jumadil Awal 1436 H/ 28 Februari 2015
M
Oleh: Drs. H. Helmi Ali Yafie
Oleh: Drs. H. Helmi Ali Yafie
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, dengan rahmat Allah SWT, maka kita dapat menyelenggarakan pertemuan pada hari ini, Sabtu, 28 Februari 2015, di tempat ini, di kediaman Gurutta Prof. KH. Ali Yafie, di Kompleks Menteng Residence, Bintaro Jaya Sektor 7, Pondok Aren, Tangerang. Pertemuan ini sangat penting artinya bagi Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI) ke depan. Ini bisa menjadi titik-balik bagi kemajuan dan kejayaan kembali DDI, seperti yang diharapkan oleh banyak orang, tokoh, kader, santri dan warga DDI. Tetapi, ini juga bisa menjadi titik berhenti sejenak di tepi jurang yang menganga lebar yang siap menelan DDI, terlebih jika pertemuan ini tidak didasari oleh dada yang lapang, pikiran dan hati yang jernih, yang memungkinkan adanya kemauan untuk saling menerima dan memberi. Saya minta maaf menggunakan kata-kata ini, karena mungkin kedengaran terlalu 'menderamatis', tetapi saya tidak bisa menggunakan kata lain untuk menggambarkan suasana hati saya pada saat ini. Bagi saya, ini adalah titik krusial.
Alhamdulillah, dengan rahmat Allah SWT, maka kita dapat menyelenggarakan pertemuan pada hari ini, Sabtu, 28 Februari 2015, di tempat ini, di kediaman Gurutta Prof. KH. Ali Yafie, di Kompleks Menteng Residence, Bintaro Jaya Sektor 7, Pondok Aren, Tangerang. Pertemuan ini sangat penting artinya bagi Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI) ke depan. Ini bisa menjadi titik-balik bagi kemajuan dan kejayaan kembali DDI, seperti yang diharapkan oleh banyak orang, tokoh, kader, santri dan warga DDI. Tetapi, ini juga bisa menjadi titik berhenti sejenak di tepi jurang yang menganga lebar yang siap menelan DDI, terlebih jika pertemuan ini tidak didasari oleh dada yang lapang, pikiran dan hati yang jernih, yang memungkinkan adanya kemauan untuk saling menerima dan memberi. Saya minta maaf menggunakan kata-kata ini, karena mungkin kedengaran terlalu 'menderamatis', tetapi saya tidak bisa menggunakan kata lain untuk menggambarkan suasana hati saya pada saat ini. Bagi saya, ini adalah titik krusial.
Perkenankan saya memulai pembicaraan ini dengan
kilas-balik perjalanan kita sampai hari ini. Saya tidak bermaksud
mengungkit-ungkit peristiwa masa lalu untuk mengorek atau merobek kembali luka
yang tampak sudah mulai tertutup. Tetapi, ini adalah sebagai refleksi saya atas
peristiwa-peristiwa masa lalu. Ada berbagai peristiwa yang telah kita lalui;
ada yang manis dan ada yang pahit, sangat pahit untuk ditelan, tetapi kita
harus menelannya dan menjadi obat yang menyembuhkan dan menguatkan. Bagi saya,
peristiwa masa lalu patut dilihat kembali dan mengenali faktor-faktor atau
situasi yang memengaruhinya serta efeknya. Sejarah bukanlah sekedar kronologi
kejadian, tetapi dibalik itu ada pergumulan di bawah permukaannya, yang menjadi
pelajaran, memaknainya kembali, dan itu memungkinkan kita bisa menghindari dari
keselahan-kesalahan yang sama, agar tidak terjatuh dan tetjebak pada lubang
yang sama.
Kita bisa mengatakan bahwa DDI adalah - Almaghfurulah - Gurutta Ambodalle, maka kalau mau melihat karakter, jiwa atau roh DDI maka 'lihatlah, kenanglah, Gurutta. Gurutta dan kawan-kawan melahirkan DDI untuk menjawab tantangan zaman, yakni kelangkaan pendidikan (di mana pada masa itu terbatas pada kelompok tertentu yang berada di klas atas pada strata masyarakat kita) di satu sisi; dan di lain sisi, juga dalam rangka merespon gerakan atau pandangan keagamaan yang tidak toleran terhadap budaya dan tradisi setempat. Maka inilah (DDI) salah satu pilar dari gerakan pendidikan Islam yang bertumpu pada Ahlussunnah Waljama'ah. Gurutta dan kawan-kawan melakukan itu, bekerja untuk itu, dengan sepenuh hati, totatal, dengan pikiran dan hati yang jernih, jiwa yang penuh pengabdian, sehingga memberikan hasil secara maksimal. DDI di kenal memperoleh apresiasi dan tempat khusus dalam masyarakat, karena bisa menjadi memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan, kalau kita melihat keadaan sekarang ini, misi itu masih sangat relevan.
Tentu Gurutta tidak sendiri. Para santri dan para sahabatnya yang sepaham dengannya ikut bersama; ada banyak pikiran dan tangan yang bekerja di situ, tetapi semuanya terpusat pada Gurutta. Maka kita bisa mengatakan bahwa tanpa Gurutta, DDI yang kita kenal tidak akan pernah ada; dan tanpa DDI kita ini, orang-orang yang dikenal sebagai masyarakat DDI, kader dan alumni tidak pernah ada dalam bentuk seperti sekarang ini. Karena campuran dari berbagai pengaruh, tetapi pengaruh Gurutta-lah yang terbesar; Gurutta-lah yang mengantar kita dalam bentuk sekarang ini, langsung maupun tidak langsung. Maka semua kita berhutang pada Gurutta, atau hutang-budi terbesar kita adalah pada Gurutta, dan itu patut dibayar, dengan pengorbanan tentunya.
Istilah pengorbanan ini mungkin tidak lagi populer sekarang, karena kita berada pada zaman yang didominasi sikap pragmatis, di mana hubungan didasarkan pada hitungan untung-rugi. Tetapi saya kira salah satu ajaran pokok dari Guru adalah pengerbanan. Kita diajari makna pengorban, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan. Itu adalah jalan para nabi, dan para ulama adalah ahli waris para nabi. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Gurutta secara nyaris sempurna.
DDI yang dirintis, sibangun, digerakkana dan dan dikembangkan Gurutta, diantar ke dalam suatu suasana yang megah, harum namanya, memberikan dampak nyata bagi masyarakat, tetapi sejak tahun 70-an seperti mengalami kesakitan, dan berpuncak pada tahun 90-an, sepeninggal Gurutta. DDI robek, terbelah.
Kesemua itu adalah efek dari suatu masa, ketika kekuatan begitu kuat dan dalam mencengkramkan kuku-kukunya ke dalam segala aspek kehidupan masyarakat, kita di bawah satu situasi di mana otoritas yang seharusnya menguatkan, berubah menjadi melemahkan. Berpuluh-puluh tahun kita berada dalam situasi itu, mengalaminya, dan itu membentuk karakter kita, karakter kepemimpinan kita.
Kepemimpinan yang dikenalkan Gurutta yakni kepemimpinan ulama yang menguatkan dan mencerdaskan, berubah menjadi kepemimpinan yang melemahkan dan mengabaikan tempat berpijak. Kepemimpinan yang hierarkis berlapis-lapis, dan selalu mencari gantungan ke atas. Kita dibawa ke dalam suasana dan dibiasakan dengan upaya-upaya penyelesaian persoalan internal dengan mengundang (atau dipaksa mengundang) kekuatan dari luar atau meminta petunjuk dari luar. Kita dibawa ke dalam suasana tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan sendiri. Kita tidak lagi bisa berbicara dari hati-kehati dengan saudara sendiri, terjebak dalam suasana saling mencurigai. Kita selalu bergantung pada pihak luar yang memiliki otoritas. Sesungguhnya kita dibawa ke dalam situasi kanak-kanak terus-menerus, yang selalu membutuhkan otoritas dan perlindungan orang tua.
Dalam keadaan seperti itu sebenarnya kita seperti telah kehilangan roh DDI yang ditanamkan oleh Gurutta. Sebenarnya efeknya sampai sekarang masih terlihat, cobalah perhatikan struktur organisasi yang dipenuhi oleh orang-orang yang berada dalam lingkaran atau memiliki keterikatan dengan struktur kekuasaan. Saya tidak menyalahkan orang tertentu, karena itu bersifat massif, dan pengenalaan (pemaksaan) kepemimpinan seperti itu dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Maka, saya cenderung mengatakan ini adalah produk zaman. Kita seperti berada dalam dalam zaman yang salah, untuk kepemimpinan ulama, yang didasarkan pada hati yang jernih, dada yang lapang, tanpa kehilangan daya kritis dan kreatifitas; kepemimpinan yang mendapingi, menguatkan masyarakat dan mencerdaskan.
Beruntunglah masih tersisa orang-orang yang memiliki kepercayaan diri, kepercayaan pada saudaranya sendiri, yang mau berbicara secara terbuka satu sama lain, ditambahkan dengan dorongan dan dukungan dari generasi baru yang memiliki kepercayaan diri dan kebanggaan sebagai warga DDI dan mau berkorban untuk kepentingan DDI, bekerja secara total tanpa pamrih. Itulah yang menghantar kita sampai pada pertemuan ini. Sebenarnya sudah sejak lama upaya ini dirintis, (alm) AGH. Wahab Zakaria, MA, kurang lebih dua atau tiga tahun sebelum wafat, secara massif mengajak saya mengobrol dan sebenarnya ada agenda yang coba kami jalankan, tetapi selalu mentok. Kami seperti menghadapi tembok. Sampai kemudian muncul gerakan anak-anak muda, generasi baru DDI yang lebih mandiri dan berupaya keluar dari jebakan-jebakan komflik masa lalu. Salah satu upaya yang digerakkan oleh generasi baru ini adalah acara Tudang Sipulung Nasional (TSN), Pondok Gede-Jakarta, 29-30 Maret 2014, yang dihadiri oleh berbagai unsur DDI, dari berbagai daerah, bahkan ada dari Negara lain, bias dianggap sebagai satu tahap yang membawa suasana baru dan menimbulkan harapan baru.
Pertemuan ini terselenggara karena adanya pertemuan intensif antara AGH. Faried Wajedy dan AGH. Rusdy Ambo Dalle, yang telah memperoleh kepercayaan dari para warga, anggota, kader dan tokoh-tokoh DDI sehingga memegang tampuk kepemimpinan DDI sekarang inii. Keduanya, karena setting keadaan, seperti berada di dua kubu (yang bertikai), tetapi karena mereka saling mempercayai, saling menghormati, maka keduanya terus-menerus membangun komunikasi, sampai pada adanya kesepakatan untuk bertemu di tempat ini, dengan menghadirkan sejumlah tokoh DDI baik yang tercantum dalam struktur kepengurusan DDI maupun yang tidak. Pertemuan ini diselenggarakan di tempat ini, saya kira bukan karena tempat ini bersejarah atau mempunyai makna khusus, tetapi karena di sini ada symbol ke-DDI-an yang kuat.
Demikian pengantar saya, mewakili tuan rumah, lebih kurangnya saya mohon maaf.
Wama taufiqi illa billah 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unib.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.
Untuk selanjutnya, saya mau meminta kesepakatan para hadirin, siapa yang akan dipercaya untuk menjadi fasilitator atau moderator dalam pertemuan.
Kita bisa mengatakan bahwa DDI adalah - Almaghfurulah - Gurutta Ambodalle, maka kalau mau melihat karakter, jiwa atau roh DDI maka 'lihatlah, kenanglah, Gurutta. Gurutta dan kawan-kawan melahirkan DDI untuk menjawab tantangan zaman, yakni kelangkaan pendidikan (di mana pada masa itu terbatas pada kelompok tertentu yang berada di klas atas pada strata masyarakat kita) di satu sisi; dan di lain sisi, juga dalam rangka merespon gerakan atau pandangan keagamaan yang tidak toleran terhadap budaya dan tradisi setempat. Maka inilah (DDI) salah satu pilar dari gerakan pendidikan Islam yang bertumpu pada Ahlussunnah Waljama'ah. Gurutta dan kawan-kawan melakukan itu, bekerja untuk itu, dengan sepenuh hati, totatal, dengan pikiran dan hati yang jernih, jiwa yang penuh pengabdian, sehingga memberikan hasil secara maksimal. DDI di kenal memperoleh apresiasi dan tempat khusus dalam masyarakat, karena bisa menjadi memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan, kalau kita melihat keadaan sekarang ini, misi itu masih sangat relevan.
Tentu Gurutta tidak sendiri. Para santri dan para sahabatnya yang sepaham dengannya ikut bersama; ada banyak pikiran dan tangan yang bekerja di situ, tetapi semuanya terpusat pada Gurutta. Maka kita bisa mengatakan bahwa tanpa Gurutta, DDI yang kita kenal tidak akan pernah ada; dan tanpa DDI kita ini, orang-orang yang dikenal sebagai masyarakat DDI, kader dan alumni tidak pernah ada dalam bentuk seperti sekarang ini. Karena campuran dari berbagai pengaruh, tetapi pengaruh Gurutta-lah yang terbesar; Gurutta-lah yang mengantar kita dalam bentuk sekarang ini, langsung maupun tidak langsung. Maka semua kita berhutang pada Gurutta, atau hutang-budi terbesar kita adalah pada Gurutta, dan itu patut dibayar, dengan pengorbanan tentunya.
Istilah pengorbanan ini mungkin tidak lagi populer sekarang, karena kita berada pada zaman yang didominasi sikap pragmatis, di mana hubungan didasarkan pada hitungan untung-rugi. Tetapi saya kira salah satu ajaran pokok dari Guru adalah pengerbanan. Kita diajari makna pengorban, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan. Itu adalah jalan para nabi, dan para ulama adalah ahli waris para nabi. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Gurutta secara nyaris sempurna.
DDI yang dirintis, sibangun, digerakkana dan dan dikembangkan Gurutta, diantar ke dalam suatu suasana yang megah, harum namanya, memberikan dampak nyata bagi masyarakat, tetapi sejak tahun 70-an seperti mengalami kesakitan, dan berpuncak pada tahun 90-an, sepeninggal Gurutta. DDI robek, terbelah.
Kesemua itu adalah efek dari suatu masa, ketika kekuatan begitu kuat dan dalam mencengkramkan kuku-kukunya ke dalam segala aspek kehidupan masyarakat, kita di bawah satu situasi di mana otoritas yang seharusnya menguatkan, berubah menjadi melemahkan. Berpuluh-puluh tahun kita berada dalam situasi itu, mengalaminya, dan itu membentuk karakter kita, karakter kepemimpinan kita.
Kepemimpinan yang dikenalkan Gurutta yakni kepemimpinan ulama yang menguatkan dan mencerdaskan, berubah menjadi kepemimpinan yang melemahkan dan mengabaikan tempat berpijak. Kepemimpinan yang hierarkis berlapis-lapis, dan selalu mencari gantungan ke atas. Kita dibawa ke dalam suasana dan dibiasakan dengan upaya-upaya penyelesaian persoalan internal dengan mengundang (atau dipaksa mengundang) kekuatan dari luar atau meminta petunjuk dari luar. Kita dibawa ke dalam suasana tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan sendiri. Kita tidak lagi bisa berbicara dari hati-kehati dengan saudara sendiri, terjebak dalam suasana saling mencurigai. Kita selalu bergantung pada pihak luar yang memiliki otoritas. Sesungguhnya kita dibawa ke dalam situasi kanak-kanak terus-menerus, yang selalu membutuhkan otoritas dan perlindungan orang tua.
Dalam keadaan seperti itu sebenarnya kita seperti telah kehilangan roh DDI yang ditanamkan oleh Gurutta. Sebenarnya efeknya sampai sekarang masih terlihat, cobalah perhatikan struktur organisasi yang dipenuhi oleh orang-orang yang berada dalam lingkaran atau memiliki keterikatan dengan struktur kekuasaan. Saya tidak menyalahkan orang tertentu, karena itu bersifat massif, dan pengenalaan (pemaksaan) kepemimpinan seperti itu dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Maka, saya cenderung mengatakan ini adalah produk zaman. Kita seperti berada dalam dalam zaman yang salah, untuk kepemimpinan ulama, yang didasarkan pada hati yang jernih, dada yang lapang, tanpa kehilangan daya kritis dan kreatifitas; kepemimpinan yang mendapingi, menguatkan masyarakat dan mencerdaskan.
Beruntunglah masih tersisa orang-orang yang memiliki kepercayaan diri, kepercayaan pada saudaranya sendiri, yang mau berbicara secara terbuka satu sama lain, ditambahkan dengan dorongan dan dukungan dari generasi baru yang memiliki kepercayaan diri dan kebanggaan sebagai warga DDI dan mau berkorban untuk kepentingan DDI, bekerja secara total tanpa pamrih. Itulah yang menghantar kita sampai pada pertemuan ini. Sebenarnya sudah sejak lama upaya ini dirintis, (alm) AGH. Wahab Zakaria, MA, kurang lebih dua atau tiga tahun sebelum wafat, secara massif mengajak saya mengobrol dan sebenarnya ada agenda yang coba kami jalankan, tetapi selalu mentok. Kami seperti menghadapi tembok. Sampai kemudian muncul gerakan anak-anak muda, generasi baru DDI yang lebih mandiri dan berupaya keluar dari jebakan-jebakan komflik masa lalu. Salah satu upaya yang digerakkan oleh generasi baru ini adalah acara Tudang Sipulung Nasional (TSN), Pondok Gede-Jakarta, 29-30 Maret 2014, yang dihadiri oleh berbagai unsur DDI, dari berbagai daerah, bahkan ada dari Negara lain, bias dianggap sebagai satu tahap yang membawa suasana baru dan menimbulkan harapan baru.
Pertemuan ini terselenggara karena adanya pertemuan intensif antara AGH. Faried Wajedy dan AGH. Rusdy Ambo Dalle, yang telah memperoleh kepercayaan dari para warga, anggota, kader dan tokoh-tokoh DDI sehingga memegang tampuk kepemimpinan DDI sekarang inii. Keduanya, karena setting keadaan, seperti berada di dua kubu (yang bertikai), tetapi karena mereka saling mempercayai, saling menghormati, maka keduanya terus-menerus membangun komunikasi, sampai pada adanya kesepakatan untuk bertemu di tempat ini, dengan menghadirkan sejumlah tokoh DDI baik yang tercantum dalam struktur kepengurusan DDI maupun yang tidak. Pertemuan ini diselenggarakan di tempat ini, saya kira bukan karena tempat ini bersejarah atau mempunyai makna khusus, tetapi karena di sini ada symbol ke-DDI-an yang kuat.
Demikian pengantar saya, mewakili tuan rumah, lebih kurangnya saya mohon maaf.
Wama taufiqi illa billah 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unib.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.
Untuk selanjutnya, saya mau meminta kesepakatan para hadirin, siapa yang akan dipercaya untuk menjadi fasilitator atau moderator dalam pertemuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar