KEWIRAUSAHAAN DALAM ISLAM
Oleh: Med HATTA[1]
PPMI Shohwatul Is'ad |
MUKADDIMAH :
Wira berarti
pejuang, manusia unggul, berbudi luhur, berkarakter agung, dan teladan; usaha
adalah perbuatan amal, bekerja keras, dan berbuat sesuatu. Beberapa pengertian kewirausahaan dan wirausaha: Menurut Richard Cantillon (1755), wirausaha adalah
seorang penemu dan individu yang membangun sesuatu yang unik dan baru; menurut
Schumpeter (dalam Bygrave, 1996), wirausaha adalah seorang yang memperoleh
peluang dan menciptakan organisasi untuk mengejar peluang tersebut; menurut
Peter F.Drucker, kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang
baru dan berbeda dan menurut Stephen Robins, kewirausahaan adalah proses
mengejar berbagai peluang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui
inovasi.
[1] Dewan Kiai PPMI Shohwatul
Is'ad | Khusus untuk Majalah Master SHOHID, Edisi perdana, Minggu I Bulan November 2015
Dunia modern baru mengenal kewirausahaan/enterpreneurship pada
abad ke-20 lalu, dan berkembang serta mulai diajarkan di kampus-kampus
terkemuka Amerika, Eropa, dan Jepang di akhir tahun 70-an. Sedangkan di dalam
ajaran Islam, demi meraih sukses dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat,
Islam tidak semata mengajarkan pemeluknya untuk beribadah, tetapi ia sangat
mendorong umatnya untuk bekerja keras sesuai norma-norma mulia keislaman, maka
salah satu kerja keras yang didorong Islam - sebagaimana dalam bahasa Alquran -
adalah albai’ wattijarah (berwirausaha). Dan nabi Muhammad SAW sendiri
merupakan pelopor wirausahawan muslim sejati yang diacungi jempol oleh kawan
dan lawan.
Namun, disayangkan bahwa kepeloporan dan ketokohan Nabi
Muhammad SAW di dunia kewirausahaan, kreatifitasnya di dunia bisnis serta
suksesnya sebagai trader dalam usia 40 tahun selalu luput dari kajian dan
sentuhan yang memadai dalam literature keislaman. Meski sosok Beliau sebagai
pribadi yang seluruh dimensi kehidupannya telah dikupas, dikaji secara intensif
dan mendalam baik oleh sejarawan Islam maupun oleh pemikir-pemikir non-muslim. Ini
disebabkan karena dunia Islam (Timur-Tengah dan termasuk Indonesia) terlalu
disibukkan oleh urusan politik, dan focus/bergelut dalam kajian-kajian fiqih
dan tasauf sehingga sisi penting dari ketokohan Nabi SAW dibidang kewirausahaan
lepas dari pengamatan mereka.
Alquran yang dibawa Nabi Muhammad SAW, semenjak
14 abad lalu telah mendemostrasikan secara tuntas tentang dunia kewirausahaan dengan
sempurna, banyak sekali ayat-ayat pentunjuk yang menganjurkan aktifitas
kewirausahaan tersebut di antaranya penulis cukup menunjukkan satu contoh saja
pada ayat ke-10 dari surah Aljum’ah, Allah berfirman: “Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah serta
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
MUHAMMAD ENTERPRENEURSHIP MUSLIM SEJATI
Berbicara tentang kewirausahaan dalam Islam tentu tidak terlepas
dari sosok nabi Muhammad SAW sebagai teladan dan pelopornya. Dalam kaitan ini,
ada hal yang menarik perlu dicermati dari kajian David Moors
tentang kewirausahaan dalam bukunya The Enterprising, mengungkapkan bahwa
ciri-ciri wirausaha adalah mengenai personality dan pelaku wirausaha itu
sendiri, disamping lingkungan yang mendukungnya, juga tugas-tugas yang diemban
oleh seorang wirausaha dan karir yang bisa dicapainya. Lebih lanjut, Personality atau kepribadian wirausahawan
adalah sikap yang didapatkannya sejak masa kecil yaitu sikap merdeka, bebas dan
percaya diri. Hampir senada dengan Viktor Kiam, berkomentar bahwa jiwa enterpreneur perlu
diberikan kepada anak sejak dibangku sekolah, karena filosofi kewirausahaan
dapat melatih anak lebih mandiri, jeli melihat peluang, sehingga punya daya
cipta yang lebih kreatif.
Maka dalam konteks Islam, nabi Muhammad SAW adalah
wirausahawan sejati yang memiliki kemerdekaan, kebebasan dan memupuk
kepercayaan pada diri sendiri melalui pengalaman yang menyenangkan ketika hidup
di pedalaman Bani Sa’ad dalam asuhan ibu susuannya-Halimah, dan masa pahit serta
penuh kepedihan karena terlahir sebagai seorang yatim-piatu. Muhammad kecil dibesarkan
oleh kakeknya yang juga tidak begitu lama bersamanya. Abu Thalib, paman
kandungnyalah kemudian mengambil alih pengasuhan atas Muhammad yang masih
berusia kurang dari 9 tahun. Dan inilah modal psikologis yang paling kokoh
sebagai landasan sikap, dan prilaku krwirausahaan Muhammad dikemudian hari dan
menjadi referensi penelitian para ahli kewirausahaan.
Sebuah riwat menceritakan bahwa Muhammad berusia 12 tahun
ketika pergi ke Syria berdagang bersama pamannya Abu Thalib. Ketika pamannya
meninggal, beliau tumbuh dan berkembang sebagai wirausahawan yang mandiri
dengan melakukan perdagangan keliling di pasar-pasar rakyat kota Makkah dengan
rajin, penuh dedikasi pada usahanya. Serta diceritakan pula bahwa Muhammad-lah
yang pertama kali memperkenalkan sistem pasar duduk - tidak berkeliling
menggotong dagangan – di pasar Ukaza, salah satu pasar raya di kota Makkah pada
saat itu.
Kecerdasan, kejujuran, dan kesetiaan Muhammad memegang
janji atau amanah adalah sebagai dasar etika wirausaha yang sangat modern. Dari
sifat-sifat yang dimilikinya itulah maka berbagai pihak pemilik wirausaha besar
Makkah yang silih berganti mengincar jasa Muhammad untuk memenage wirausaha mereka.
Salah seorang wirausahawan besar yang beruntung ketika itu adalah sang janda
kaya Khadijah, yang memberikan tawaran menarik, yaitu suatu kemitraan yang
popular saat ini dikenal dengan profit sharing/mudharabah atau sistem
bagi hasil. Kecerdasan Muhammad sebagai seorang wirausahawan telah mendatangkan
keuntungan besar bagi Khadijah, karena tidak satupun jenis bisnis yang
ditangani Muhammad mengalami kerugian. Bahkan menjadikannya tiga kali untung dalam
sekali perjalanan bisnis luar negeri didampingi oleh asisten Khadijah bernama
Maisarah:
Pertama, Muhammad
untung waktu dua kali lipat lebih cepat dari waktu normal, karena Muhammad
tidak seperti pebisnis Arab pada umumnya yang menjajankan produknya dari pasar
ke pasar sampai habis sehingga memakan waktu yang lama, tetapi Muhammad cukup
mendatangi satu agen besar di negeri itu dan meminta keuntungan 20 % saja dari
nilai real-invoice plus cost perjalanan; kedua, mendapatkan
keuntungan dari penjualan transaksional yang praktis dan minim cost; serta
keuntungan ketiga, adalah lagi-lagi Muhammad menciptakan inovasi baru
yang tidak lazim dilakukan oleh pebisnis Arab sebelumnya, yaitu pergi penuh muatan
dan pulang kosong, tetapi Muhammad membelanjakan sebagian dari keuntungannya
dengan produk-produk baru di Syam yang tidak ada di Makkah untuk dijualnya lagi
jika pulang.
Tidak kurang dari 20 tahun Muhammad berkiprah sebagai
seorang wirausahawan sehingga beliau sangat dikenal di Syria, Yaman, Irak,
Yordania dan kota-kota perdagangan di jazirah Arabia. Dalam berbagai telaah
sejarah diriwayatkan bahwa, Muhammad memulai kewirausahaanya pada usia 17 tahun
di saat Abu Thalib menganjurkan untuk berdagang sebagai cara melepaskan beban hidup.
Bagi seorang pemuda yang jujur dan penuh idealisme untuk melakukan kerja keras
dan menjalankan perdagangan secara adil, setia dan profesional, maka orang akan
mempercayainya. Inilah dasar kepribadian dan etika berwirausaha yang diletakkan
Muhammad kepada umatnya dan seluruh umat manusia. Dasar-dasar etika kewirausahaan
yang demikian itu pula kemudian yang menyebabkan pengaruh Islam berkembang
pesat sampai kepelosok bumi.
TUJUH (7) MENARA WIRAUSAHA YANG KOKOH
DALAM ALQURAN
Kewirausaahaan sesuai definisi yang
penulis pahami dari uraian singkat di atas, adalah kemampuan untuk menciptakan
sesuatu yang baru untuk kesuksesan yang lebih luas melalui inovasi, serta
mencapai puncak predikat wirausahawan yaitu Sa’yan masykura wa Tijaratan
lan tabura. Maka Alquran menunjukkan kepada manusia teori sukses merintis
kewirausahaan yang lebih inovatif dan kokoh dalam sebuah ayat perumpamaan di
dalam Alquran, Allah berfirman:
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang menginvestasikan hartanya dengan
cara yang benar (dijalan Allah) ibarat seperti satu modal menumbuhkan tujuh
(menara) usaha, pada setiap menara usaha menghasilkan seratus produk dan Allah
akan melipat gandakannya (tanpa batas) sesuai kehendak-Nya” (QS: 009: 103).
Ayat di atas penulis sengaja menterjemahkannya
dengan terjemah ta’wil/tafsir untuk mendekatkannya pada kajian kita (masih
butuh pendalaman), maka penulis berkesimpulan bahwa kewirausahaan yang
parmanen, kokoh dan senantiasa berkembang (tidak menyentuh grafik turun) adalah
memiliki tujuh menara kewirausahaan/industri yang stabil, dan menyarankan untuk
merintis ketujuh menara kewirausahaan tersebut, misalnya:
Pertama: Menara
kewirausahaan untuk industri agrobisnis dan turunannya (pangan)
Kedua, Menara
kewirausahaan untuk industri realstate/perumahan dan turunannya (papan)
Ketiga: Menara
kewirausahaan untuk industri model/gaya atau pakaian dan turunannya (sandang)
Keempat: Menara
kewirausahaan untuk industri transportasi dan turunannya (otomotif/traveling)
Kelima: Menara
kewirausahaan untuk industri keuangan dan turunannya (perbankan)
Keenam, Menara
kewirausahaan untuk industri kesehatan massal dan kemanusiaan serta turunannya
(helty dan humanora)
Ketujuh, Menara
kewirausahaan untuk industri pendidikan tinggi, teknologi dan riset ilmiah
serta turunannya (penguatan SDM).
Dua terakhir dari ketujuh poin di atas
merupakan media zakat dari menara–menara lainnya, yaitu helty/humanora dan penguatan
SDM. Tentu saja kesimpulan ini masih sangat dini, membutuhkan kajian yang lebih
serius dan tidak mengkin dituangkan di dalam lema majalah kita yang terbatas
ini. Dan, insya Allah, penulis berjanji akan mengkajinya lebih luas dalam satu
karya ilmiah melengkapi karya-karya penulis yang sudah terbit lainnya.
PENUTUP
Dari mana saja memulai merintis satu persatu dari ketujuh
menara kewirausahan versi Alquran di atas dan meneladani jejak sang entrepreneurship
muslim sejati Muhammad SAW, maka penulis yakin bahwan seorang wirausahawan akan
meraih sukses dengan Sa’yan masykura wa Tijaratan lan tabura. Keterangan penulis ini didukung oleh
sebuah hadits nabi bersabda: “Perhatikan olehmu sekalian kewirausahaan, sesungguhnya
di dunia kewirausahaan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rizki”
(HR: Imam Ahmad).
Minallahil
Musta’an wa Ilaihit Tiklan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar