Syarat Menjadi Presiden AS Memiliki Kasino Sendiri
By: My Buku Kuning Centre
Presiden
ke-45 AS, Donald Trump dan Wapres, Mike Pence langsung menyampaikan pidato
setelah mengetahui hasil penghitungan suara Pilpres AS, di Manhattan, New York,
Rabu (9/11). Trump unggul cukup jauh atas pesaingnya, Hillary Clinton.
Kemenangan
Donald Trump dalam pemilu presiden Amerika Serikat (AS) 2016 sangat mengejutkan
dunia. Karena selama berbulan-bulan berlangsungnya masa kampanye nyaris seluruh
lembaga survei menunjukkan, Hillary akan memimpin perolehan suara dan
melenggang ke Gedung Putih.
Cukup beralasan memang, karena sebelumnya
sang miliarder sempat membuat banyak pihak resah dengan kebijakan-kebijakan
ekstrem seperti pembuatan dinding yang membatasi negara Amerika Serikat
dan Meksiko dan juga larangan untuk Muslim masuk ke AS.
Komentar negatif terus mengalir
dari dalam dan luar negeri. Namun, figur Donald Trump berhasil mencuri
perhatian sejumlah kalangan, bahkan yang pada awalnya tidak menganggap politik
menarik. Perhatian pun perlahan-lahan berubah menjadi sebuah dukungan.
Kunci Sukses Kemenangan Trump
Setiap individu di AS punya
alasan masing-masing di balik kekaguman atau kebencian mereka terhadap Donald
Trump. Mulai dari pakar politik, selebriti, kaum sosialita, sopir taksi hingga preman,
semua punya interpretasi masing-masing akan seorang Donald Trump dan
kebijakannya apabila ia berhasil terpilih menjadi seorang Presiden nantinya.
Hal tersebut nampak dari berbagai
ekspresi mereka yang kerap dituangkannya di medsos. Dan yang paling menarik
adalah komentar Dinger, seorang preman asal Pittsburgh, menulis statusnya
dengan gaya bahasa sederhana dan terkesan dangkal mengatakan:
“Saya memang tidak tahu banyak
soal politik, namun Donald Trump memiliki banyak kasino. Saya pikir, siapa pun
yang bisa memiliki kasino sendiri itu hebat dan pantas dipilih untuk menjadi
Presiden,” terangnya.
Status Dinger memang terkesan kurang
berbobot. Namun, kicauan tersebut membenarkan tanggapan analis politik senior Aljazeera - QATAR, Marouane Bichara
pada bulan Januari awal tahun lalu. Ia berpendapat bahwa Trump memang
‘berbahaya’. apalagi dengan perjalanan kampanyenya yang kerap kali diiringi
dengan kicauan berbau SARA dan provokatif terhadap kandidat lawannya.
Kendati begitu, Bichara beranggapan
bahwa potensi bahaya yang Trump perlihatkan kepada masyarakat AS dan dunia
secara keseluruhan tidak berkaitan dengan ekstremisme ataupun
kecenderungan terhadap suatu ideologi. Trump menurutnya, berbahaya karena ‘keangkuhan’
dan sikap populisnya.
Keangkuhannya dapat dilihat
dengan jelas melalui kekayaan materi yang berlimpah dan juga didengar dengan
seksama dari pemilihan kata-katanya dalam pidato selama kampanye berlangsung.
Jadi, tidak heran apabila
seorang preman, Dinger mengidolakan sang miliarder karena punya banyak kasino
di beberapa kota besar AS. Ini membuktikan bahwa teknik ‘angkuhisme’ Trump
berhasil memikat hati dan pikiran banyak orang.
Disamping angkuh, Trump juga
dianggap oleh analis Bichara sebagai seorang populis yang berperan seakan ia
berpihak pada kepentingan orang banyak dengan kerap kali mengucapkan kata-kata
yang sebetulnya ‘Amerika ingin dengar’. Seperti “Kebijakan bersifat
diskriminatif terhadap etnis tertentu misalnya Amerika Latin, Asia dan juga
kepada kaum Muslim adalah aksi untuk menenangkan orang-orang kulit putih AS
yang marah dan kurang suka dengan keberadaan mereka,” tulisnya.
Pelarangan Muslim masuk ke AS
dan wacana pembangunan tembok perbatasan Meksiko dianggap senjata ampuh untuk
memompa kembali rasa kepercayaan diri kaum kulit putih Amerika yang selama
ini kekuatannya dianggap semakin terbatas dengan keberadaan etnis lain. Belum
lagi dominasi Partai Demokrat di Gedung Putih yang telah berhasil mengangkat
Obama sebagai Presiden AS Pertama dari warga Afrika dan pernah hidup lama di
Indonesia.
Bichara lantas yakin banyak yang
berpaling kepada Trump karena kaum kulit putih dipastikan akan kembali membuat
pengaruh besar di negeri Paman Sam itu apabila ia terpilih.
Muslim Memilih Trump
Hasil akhir dari survei yang
dilakukan oleh pihak The
Independent, menunjukan bahwa sebanyak 7% kaum Muslim dari partai
Republik memilih Donald Trump. Hampir 2.000 orang Muslim dari 6 bagian
negara AS seperti California, New York, Illinois, Florida, Texas dan Virginia,
turut berpartisipasi dalam survei tersebut.
Banyak orang bertanya-tanya akan
alasan di balik adanya sekelompok orang Muslim yang masih berniat untuk memilih
seorang Donald Trump setelah ia melontarkan tekadnya untuk melarang golongan
tersebut untuk masuk ke AS.
Direktur Dewan Komunikasi
Nasional Hubungan Amerika-Islam, Ibrahim Hooper menerangkan bahwa ada sejumlah
faktor yang sangat mungkin berperan dalam pembuatan keputusan para kaum Muslim
pro-Trump tersebut. Dan yang paling menonjol adalah keberhasilan sang miliarder
untuk merengut atensi melalui peliputan media. Nama Donald Trump dan aktivitas
kampanyenya mewarnai hampir semua headline media lokal dan internasional
beberapa bulan terakhir ini.
Terlepas dari celotehan
negatifnya, secara perlahan-lahan Trump menggenjot pamornya untuk naik dengan
menggunakan media sebagai wadah utamanya. Menurut Hooper, sangatlah wajar
apabila ada transformasi secara psikis dari reaksi awal yang berupa
ketidakpercayaan menjadi ketertarikan. Hooper menuturkan kepada The Independent, Kamis,
11 February 2016 lalu, seperti dilansir pada hari Rabu, (16/3/2016).
Trump Lihai Memamfaatkan Media
Pada Agustus 2015, Listverse
pernah menulis sebuah artikel berjudul "10 Reasons Donald Trump May Be
A Political Genius". Secara akurat, tulisan tersebut memuat prediksi
kemenangan Trump, namun kebanyakan orang mementahkan laporan tersebut.
Dari sekian banyak alasan
tulisan itu dimuat, salah satu yang paling menonjol adalah kelihaian Trump
memanfaatkan media. Hal tersebut tak mengejutkan mengingat ia memiliki latar
belakang yang panjang dalam dunia pertelevisian dan hiburan.
Ia tahu persis harus
menyampaikan apa untuk membuat penonton jengkel. Dan secara naluriah ia juga
tahu bagaimana cara menarik perhatian mereka. Setiap kali lawannya mulai
mendominasi pemberitaan, ia akan melemparkan granat retoris, membuat kamera
kembali mengarah kepada dirinya.
Trump memahami dengan baik
sebuah pepatah lama, "bahwa tak ada publisitas yang buruk".
Dia tahu bahkan ketika para pengamat muncul di TV mengecam kebijakannya, namun
para penonton akan setia mendengarkan retorika-retorikanya.
Memang faktanya, saat ini
kebanyakan orang lebih mudah mengingat bahkan menjelaskan kebijakan Trump
dibanding Hillary. Nyaris semua media menginginkan Trump 'jatuh', namun tanpa
mereka sadari mereka telah membentuk Trump menjadi orang paling berkuasa di
muka bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar