Pertemuan Perdana*
Oleh: Med HATTA
Mukaddimah:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات، وبعد!
Sejarah Perkembangan Tafsir Ayat-Ayat Hukum[1]
Tafsir fiqhi atau ayat-ayat ahkam (hukum)
telah tumbuh dan berkembang semenjak era rasulullah SAW, karena ia merupakan
bagian dari Alquran yang diturunkan Allah kepadanya. Jenis tafsir ini termasuk
bagian dari tafsir rasulullah SAW yang telah disampaikan kepada manusia, karena
banyak sekali dari ayat-ayat yang diturunkan kepada rasulullah SAW merupakan
ayat-ayat “al-far’iyah” (subtansial), yang dikenal “al-mushtalah” dalam
terminologi fiqhi. Maka rasulullah SAW menafsirkannya kepada sahabat-sahabatnya
dengan perkataan dan perbuatannya; Beliau menjelaskan yang totalitasnya,
me-menspesifikasikan yang absolutnya, dan mendefinisikan yang substansialnya;
serta beliau menjelaskan kepada mereka apa-apa yang rumit dari ayat-ayat
tersebut. (Lihat: Sambungan)
Sebagai contoh dari kasus-kasus itu; adalah
rasulullah SAW mengerjakan shalat berjama’ah dengan sahabat-sahabatnya, lalu
bersabda kepada mereka:
(صلوا كما رأيتموني أصلي)
“Shalatlah
sebagaimana kamu melihat saya mengerjakannya”, Beliau melaksanakan prosesi
ibadah haji bersama sahabat-sahabatnya, lalu beliau bersabda kepada
mereka:
(خذوا عني مناسككم)
“Ikutilah
dariku manasik (haji) kalian”, dan inilah sekelumit tafsir ayat-ayat hukum shalat
dan haji di dalam Alquran. Demikian juga halnya dengan hukum zakat, Allah
memerintahkan agar ditunaikan dengan perintah totalitas, seperti dalam ayat:
وَآتُوا الزَّكَاةَ
Artinya: “dan tunaikanlah zakat.” (QS:
2: 110).
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
Artinya: “dan tunaikanlah haknya di hari
memetik hasilnya” (QS: 6: 141)
أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ
Artinya: “nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi” (QS: 2: 267).
Maka rasulullah SAW yang menjelaskan kepada
mereka apa-apa yang harus ditunaikan zakatnya, ketentuan dan waktu-waktu
pelaksanaannya. Demikianlah pada hampir semua kewajiban syariat.
Adalah para sahabat selalu antusias menanyakan
kepada beliau setiap turun ayat-ayat seperti itu, Umar bin al-Khattab ra
berkata: Saya pernah menanyakan kepada rasulullah SAW tentang “kalalah”?
Lalu rasulullah SAW bersabda: Bacalah ayat “shaif” (ayat yang
diturunkan pada musim panas)[2].
Ijtihad Sahabat Dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Hukum:
Setelah rasulullah SAW wafat, para sahabatpun
baru mulai berijtihad dalam memahami petuntuk-petunjuk lain dari ayat-ayat
hukum yang tidak pernah ditanyakan maksudnya kepada rasulullah SAW, dan mereka
tidak pernah mengetahui tentang kasus itu. Kemudian pengalaman baru itu telah
menjadi pekerjaan yang cukup berat dihadapi para sahabat senior, terurama
setelah kaum muslimin semakin berkembang dan kompleks yang membutuhkan
aturan-aturan permanen, untuk menata kehidupan mereka berdasarkan hukum-hukum
syariat yang lurus dan benar.
Maka hal pertama menjadi perhatian besar
sahabat tiada lain adalah harus memahami ayat-ayat hukum, karena sumber pokok
yang akan mengaplikasikan hukum-hukum syariat ini adalah Alquran. Demikianlah
mereka bekerja keras mempelajari Alquran, terutama ayat-ayat hukumnya, berusaha
sekuat tenaga mencernah ayat perayat ke dalam benak dan hati
mereka.
Apabila mereka menemukan di dalam Alquran
hukum-hukum yang dibutuhkan pada kasus-kasus dihadapinya maka diaplikasikannya,
tetapi apabila tidak menemukan atau kesulitan, mereka mencari kepada
sunnah-sunnah rasulullah SAW. Dan jika tidak menemukannya juga pada sunnah,
mereka melakukan ijtihad namun tetap menyandarkan pemikiran mereka kepada
sumber utama yaitu Alquran dan sunnah nabi SAW, kemudian mereka meng-istinbat-kan
hukum pada kasus-kasus yang memerlukan hukum tersebut dengan perasaan tawakkal.
Maka tersebutlah tokoh-tokoh kaliber dibidang
ini, seperti Abu Bakar ra yang pernah berkata: “Sesungguhnya saya pernah
mengeluarkan ijtihad tentang “kalalah” jika saya benar, maka
itu dari Allah semata tiada sekutu bagi-Nya, dan jika saya salah maka itu
kesalahan saya dan dari setan, karena Allah terlepas dari itu semua. Menurut
saya “kalalah” adalah orang yang tidak mempunyai anak dan bapak”. Jelas
Abu Bakar di sini telah merujuk kepada firman Allah:
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ
Artinya: “jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak,” (QS: 4: 12).
Dan ayat inilah yang telah ditafsirkan dan
dita’wilkan oleh Abu Bakar ra dan mengaflikasikannya dalam hukum semasa
pemerintahannya.
Lain halnya dengan Umar bin al-Khattab ra yang
berijtihad dalam memahami firman Allah:
فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ
Artinya: “Maka bagi siapa yang ingin
mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji),”(QS: 2: 196)
Dari ayat ini Umar ra melarang melakukan
hubungan suami-isteri ketika sedang melaksanakan haji, sebagaima dalam konteks
ayat, sebagai ijtihad dari dirinya. Namun ditolak olehnya para sahabat-sahabat
terkemuka, seperti Ali ra, Ibn Mas’ud ra, Abu Musa ra dan Abdullah Ibn Umar ra.
Harus diketahui bahwa para sahabat dalam
menafsirkan ayat-ayat hukum, adakalanya mereka sepakat menerapkan hukum dari
ayat yang di tafsirkan, dan terkadang pula berbeda dalam memahami ayat. Maka
berbeda hukum-hukum mereka dalam suatu kasus yang mereka cari hukumnya, seperti
perbedaan yang terjadi antara Umar bin al-Khattab ra dengan Ali bin Abi Thalib
ra dalam menentukan iddah perempuan hamil yang ditinggal mati oleh
suaminya, maka Umar ra menetapkan iddahnya sampai ia melahirkan, sedangkan Ali
ra berpendapat bahwa iddahnya adalah yang terjauh di antara dua masa yang telah
disebutkan dalam dua ayat berbeda: melahirkan, dan menjalani masa empat bulan
dan sepuluh hari.
Adapun faktor yang menyebabkan perbedaan
pendapat seperti ini adanya kontra di antara duanash (ayat) yang bersifat
umum di dalam Alquran, bahwa sanya Allah SWT menjadikan iddah bagi
perempuan hamil hingga melahirkan, dan menjadikan iddah bagi
perempuan yang ditinggal mati suaminya sampai menjalani masa empat bulan dan
sepuluh hari tanpa ada perincian. Lalu Ali ra berijtihad menerapkan kedua ayat
secara bersamaan, bahwa setiap ayat dari keduanya berlaku khusus bagi keumuman
yang lain. Sedangkan Umar ra berpendapat bahwa ayat thalaq berlaku khusus untuk
ayat mengenai perempuan yang ditinggal mati suaminya.
Dan ternyata pendapat Umar ra diperkuat oleh
kasus Sabi’ah binti al-Harits al-Aslamiyah yang telah ditinggal mati oleh
suaminya, lalu melahirkan setelah 25 hari dari kepergian suaminya, dan kala itu
rasulullah SAW membolehkannya menikah lagi.
Kasus-kasus perbedaan seperti ini lazim
terjadi dikalangan sahabat berdasarkan pemahaman setiap dari mereka pada ayat Alquran,
dan apa yang menyokong dengannya dari petuntuk-petunjuk luar. Walaupun tetap
ada perbedaan itu, namun tiap-tiap dari mereka yang berbeda selalu pergi
sendiri mencari kebenaran, maka jika telah menemukan petunjuk dan ternyata
harus mengakui pendapat yang berhaluan dengannya, ia serta merta menggugurkan
pendapatnya sendiri dan beralih kependapat yang lebih benar.
Patut dicatat bahwa sahabat-sahabat yang paling menonjol pada periode ke-dua
setelah nabi SAW dibidang tafsir ayat-ayat hukum, masing-masinga adalah:
1. Abdullah bin
Mas’ud ra.
2. Abdullah bin
Umar ra.
3. Abdullah bin
Abbas ra.
Ketiga tokoh besar di atas telah menancapkan pengaruh-pengaruhnya pada murid-murid mereka, maka bermunculanlah jebolan pertama sekolah-sekolah tafsir Alquran, khususnya ayat-ayat hukum, seperti:
·
Institut
Tafsir Ayat-Ayat Hukum Kufah diprakarsai oleh murid-murid Ibn Mas’ud
·
Institut
Tafsir Ayat-Ayat Hukum Madinah dimotori oleh murid-murid Ibn Umar
·
Institut
Tafsir Ayat-Ayat Hukum Makkah oleh murid-murid Ibn Abbas[3].
Dari Institut-Institut inilah yang kemudian
menginsfirasi lahirnya studi-studi tafsir modern, khususnya ayat-ayat hukum,
dan telah mengeluarkan alumni-alumni terbaiknya yang ahli bidang hukum Islam
hingga sekarang..
Bagaikan tali yang tidak pernah putus, perhatian sahabat senior dan murid-murid
mereka dari dari sahabat dan tabi’in senantiasa berkesinambungan menafsirkan
ayat-ayat hukum, tidak terhitung studi-studi yang telah didirikan dan
fatwa-fatwa telah dikeluarkan hingga datang Imam Moqatel bin Sulaiman
al-Khorasani (w. 150 H). Maka dari buah karya yang terakhir inilah tercipta
kitab khusus membahas tafsir ayat-ayat hukum dalam Alquran yang pertama
dibidang ilmu tafsir, karya monumental ini tidak diragukan lagi adalah
tergolong tafsir bil-ma’tsur, tingkatan tafsir paling tinggi,
sekalipun adakalanya Imam Moqatel menggunakan pendapat breliannya juga
pada momen-momen tertentu jika diperlukan dalam tafsir[4].
Dan Imam-imam Mujtahid besar lainnya yang menorehkan tinta emasnya dibidang ini disebut-sebut juga: Imam Yahya bin Zakaria bin Sulaiman al-Qurasyi al-Kufi, seorang imam mujtahid besar (w. 203 H)[5].
Kemudian setelahnya, mulai pula sebagian tokoh
mazhab-mazhab besar dan murid-murid mereka menulis dibidang ini, terutama
setelah maraknya kasus-kasus baru yang terjadi dikalangan umat Islam yang tidak
pernah dikenal hukum sebelumnya, karena tidak pernah terjadi pada masa sahabat
senior. Lalu para imam mazhab-mazhab besar tersebut masing-masing mencermati
kasusu-kasus baru yang ada dibawah penerangan cahaya Alqur’an dan as-Sunnah,
serta sumber-sumber sekunder Islam selain keduanya, selanjutnya menetapkan atas
kasus tersebut hukum yang terpantas dalam pikirannya, dan meyakini bahwa ia
telah benar relefan atas dalil-dalil dan logika.
Di antara tokoh-tokoh mazhab tersebut
adakalanya mereka sejalan dalam menetapkan hukum, dan terkadang pula
berseberangan tergantung dari arah setiap dari mereka mengambil dalil-dalil,
Walaupun demikian, dilihat dari banyaknya perbedaaan mereka dalam menetapkan
hukum, namun tidak nampak di antara mereka kesan fanatik terhadap mazhab,
bahkan mereka semua menjunjung tinggi kebenaran dan mencari lalu merumuskan
hukum yang benar. Bukan isapan jempol atas salah satu di antara mereka merujuk
kepada pendapat rivalnya jika nampak baginya kebenaran berada pada rivalnya
tersebut.
Sportifitas yang paling indah untuk
menggambarkan semua ucapan penulis ini adalah Mahaguru kita Imam Syafi’i
ra. Beliau dengan lantang mengatakan: “Jika perkataan itu benar maka adalah
pendapatku”, ia juga mengaku: “Orang-orang itu mayoritas adalah anak buah dalam
ilmu fiqhi atas Imam Abu Hanifah”. Imam Syafi’i juga pada suatu
kesempatan mengatakan langsung kepada Imam Ahmad bin Hanbal, yang tiada
lain adalah muridnya sendiri dalam ilmu fiqhi: “Apabila anda mengatakan suatu
pendapat yang benar, maka ajarilah saya, plz!”.
Dan imam Syafi’i pula yang sering
mengeksplor kekagumannya mengatakan: “Apabila disebut ilmu Hadits maka Imam
Maliklah bintang yang paling gemerlapnya”... Serta ungkapan-ungkapan serupa
lainnya yang menggambarkan atas spirit sportifitas yang tinggi, luapan
penghargaan dan kasih sayang di antara para tokoh-tokoh hukum tersebut.... Dan
ini adalah keteladanan yang diambil dari pendahulu-pendahulu mereka dari
sahabat dan para tabi’in.
Karya-karya Tafsir Hukum Yang Terpopuler dari Pentolan Empat Mazhab Besar:
Dari perseteruan antara mazhab-mazhab besar, maka lahirlah tafsir-tafsir hukum
yang bercorak baru, mengikuti warna mazhab-mazhab tersebut dalam pemahaman dan
penerapan hukum, adapun penulis-penulis tafsir hukum yang paling menonjol pada awal-awal
periode mazhab ini, secara umum adalah:
1.
Imam
Abu Abdullah, Mohammad bin Idris as-Syafi’i (w. 204 H); karyanya adalah “Kitab
Ahkam Alquran” [6].
2.
Imam
Abu Ja’far at-Thahawi (w. 321 H).
Adapun karya-karya tafsir hukum yang
benar-benar murni produk mazhab yang mengambil alur berbeda dari segi motifasi
dan metedologi! Motifasinya adalah mendukung dan membela mazhab yang dia anut;
dan dari segi metedologinya, adalah menyusun tafsirnya berdasarkan prinsif dan
doktrin-doktrin imam mazhab. Adapun karya-karya tersebut berdasarkan mazhabnya,
sebagai berikut:
Mazhab Hanafiah: Tokoh Penulisnya,
adalah:
Imam Abu Bakar ar-Razi, dikenal dengan: Al-Jasshash (w. 370 H), karyanya
yang terkenal yaitu “Ahkam Alquran”, yang tidak pernah luput dari
mengekspresikan sanjungan terhadap Mazhab Imam Abu Hanifah, an-Nu’man bin
Tsabit (w. 150 H), walaupun hanya dengan sentuhan tidak langsung, kemudian
menerapkan prinsif dan dasar-dasar yang dibangun atas mazhab Hanafiah.
Karya tafsir hukum ini termasuk dalam deretan kitab-kitab tafsir fiqhi yang penting khususnya penganut Hanafiah; karena pemikirannya difokuskan pada konsep mazhabnya, penyebaran, dan membela mazhabnya tersebut.
Dia menerbitkan semua surah-surah Alquran, tetapi tidak menjelaskan kecuali hanya ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum-hukum saja, ia juga sangat simpel menyusun surah-surah Alquran. Tersusun bab per-bab seperti bab-bab buku fiqhi, dan setiap bab dari bab-babnya diberi judul dengan tema yang mengurut di dalamnya permasalahan-permasalahan yang ditemui penulisnya di dalam bab tersebut.
Mazhab Syafi’iyah: Tokoh Penulisnya, adalah:
Abu al-Hassan at-Thabari, yang dikenal dengan Ilkiya al-Harrasi
(w. 504 H), karyanya adalah: “Ahkam Alquran”, yang mengomentari pada
mukaddimahnya, bahwa tujuan penulisannya “menjelaskan apa yang telah menjadi
perhatian Imam Syafi’i, dari mencarikan dalil-dalil pada persoalan-persoalan
yang rumit.. [7]
Dan tidaklah disayangkan Ilkiya al-Harrasi karena menyusun prinsif-prinsif Imam Syafi’i, hal itu lumrah dilakukan terhadap buah pikiran imam-imam besar dan ijtihadnya untuk diteladani pengikut dari yang diikutinya dalam belajar fiqhi dan mengamalkannya; Namun yang disayangkannya karena bertaqlid fassif, dan panatik butanya, kemudian tidak dapat melihat kebenaran kecuali hanya dari satu arah... Padahal ia sangat kompeten untuk lebih maju dibidangnya....
Karyanya itu termasuk referensi penting dibidang tafsir hukum dikalangan pengikut Syafi’iyah; Karena penulisnya adalah seorang Syafi’iyah murni, yang tidak kalah fanatiknya terhadap mazhabnya dari al-Jasshash dari kalangan Hanafiyah, yang membuatnya menafsirka ayat-ayat hukum perdasarkan dengan prinsif mazhab Syafi’iyahnya, dan berusaha menjadikannya tidak terjatuh pada pihak-pihak lawannya.
Mazhab Malikia: Tokoh Penulisnya yang terkenal,
masing-masing adalah:
Ibn al-Arabi
dan al-Qurthubi, keduanya dari Andalusia. Ibn al-Arabi dengan
karyanya “Ahkam Alquran”, sedangkan al-Qurthubi dengan karya
monumentalnya “al-Jami’ li Ahkam Alquran”. Akan tetapi tafsir Ibn
al-Arabi lebih banyak mengambil perhatian pengikut Malikia dengan menjadikannya
kitab yang paling penting di Mazhabnya. Karena penulisnya merupakan pentolan
mazhab Maliki raqam wahid, yang tidak kalah fanatiknya terhadap mazhabnya
dari rival-rifalnya, al-Jasshash dari mazhab Hanafi dan al-harrasi
dari pengikut mazhab Syafi’i, membuat Ibn al-Arabi merajut tafsir ayat-ayat
ahkamnya berdasarkan prinsif-prinsif mazhabnya yaitu Malikii.
Bahkan Ibn al-Arabi lebih memperluas jangkauannya dalam mempromosikan mazhabnya sehingga memuatkan kitabnya ushul-ushul mazahab dan cabang-cabangnya. Dengan demikian, dapat memposisikan melalui kitabnya tersebut kekayaan mazhab ini, luas ushulnya dan melebar cabang-cabangnya. Ia menempatkan imam Malik sebagai Imam segala imam, dialah satu-satunya tinta umat tanpa tertandingi.
Ibn Arabi tidak pernah sungkan mengatakan dalam gempurannya terhadap pengikut Syafi’i, bahwa: “Semua apa yang dikatakan oleh Syafi’i, atau dikatakan dari padanya, atau disifatkan dengannya, semuanya itu adalah bagian dari Malik bahkan Syafi’i sendiri adalah besar dari asuhan Malik. Dan Maliklah yang paling peka pendengarannya, lebih cemerlang pemahamannya, lebih fasih lidahnya, lebih luwes keterangannya, dan lebih fariatif ilmunya. Dia juga tidak segan menunjukan kepada rivalnya head to head bagi setiap kasus per-kasus dan perincian.[8]”
Mazhab Hanabilah: Tokoh Penulisnya,
masing-masing adalah:
Abderrazzaq ar-Ras’ani, kitabnya “Ahkam Alquran”, dan Ibn
Adil al-Hanbali, dengan kitabnya “Ahkam Alquran”..
Maka setiap Mazhab bergelut dengan hukum-hukum fiqhi berdasarkan mazhabnya dan menjadikannya tafsir Alquran. Demikianlah, beberapa aliran sekolah tafsir logika, setiap tafsir dari Institut-Institut tafsir tersebut mempunyai metodelogi dan karakternya mendasari tafsirnya.
Dengan demikian, terus saja berkembang
penulisan dalam koridor mazhab; hanya saja para penulis-penulis belakangan
telah berbeda metodelogi mereka dalam segi kepraktisan, simpel, ringkas, dan
sifat-sifat kesederhanaan lainnya; maka di antara mereka ada yang membatasi
pada satu referensi tertentu saja dalam penafsiran dan menarik kesimpulan
hukum; mayoritas mereka ada pula yang lebih bebas sampai mengambil semua
perkataan imam-imam dan hobby mengadu perbedaan-perbedaan pendapat dan ijtihad
yang ditemukan; dan ada juga senang menguji setiap dalil dari imam-imam dan
mendukung yang lebih menenangkan hatinya, tanpa peduli kepada mazhab
mereka.
Dan tentu masih saja ada yang terpenjara pada
pendapat-pendapat syaikh pujaannya, dan sama sekali tidak pernah berbicara
tentang masalah-salah ilmu kecuali mengcopy-paste dari syaikhnya. Ini
benar-benar sisi keajaiban dari makhluk Allah.....Wallahu’alam
Daftar Materi-Materi Per-Pertemuan Tafsir
Ayat-Ayat Hukum:
·
Pertemuan
Perdana: Pengantar Umum Tafsir Ayat-ayat
Ahkam
·
Pertemuan
II: Ahkam “THAHARAH”: Wudhu, Mandi
Junub, dan Tayammum, (QS: an-Nisaa: 43 dan Surah al-Maaidah: 6).
·
Pertemuan
III: Hukum-Hukum Shalat (QS: al-Baqarah:
238, an-Nisaa: 102-103, dan al=: 83)
·
Pertemuan
IV: Hukum-Hukum Puasa (QS: al-Baqarah:
183-185)
·
Pertemuan
V: Hukum-hukum Zajat (Surah al-An’am:
141, dan at-Taubah: 60, 103)
·
Pertemuan
VI: Hukum-Hukum Tentang Makanan dan Miniman
(QS: al-Baqara: 173 dan 219, al-Maaidah: 5, dan al-An’am: 145)
·
Pertemuan
VII: Hukum Menjaga Pandangan dan
Memelihara Kehormatan (QS: an-Nur: 30 – 31, dan 59)
·
Pertemuan
VIII: Hukum-Hukum Nikah (QS: al-Baqarah:
221 dan al-Maaidah: 5)
·
Pertemuan
IX: Hukum-Hukum Miras dan Judi (QS:
al-Maaidah: 90 dan al-baqarah: 219)
·
Pertemuan
X: Hukum-Hukum Jual beli dan Mua’amalh
Riba (QS: al-Baqarah: 275-276 dan Ali Imran: 130)
·
Pertemuan
XI: Hukum Hutang Piutang dan Saksi
(al-Baqarah: 282-283)
·
Pertemuan
XII: Hukum-hukum Mandi Junub (al-Maaidah:
38-39)
·
Membuat
Makalah: (1-Menyembunyikan Ilmu Agama,
2-Riba Merupakan Kriminal Sosial Yang Paling Berbahaya, 3- Pandangan Islam
Terhadap Sihir/ Hipnosis, 4-Hukum Jihad dalam Islam, 5-Dll.)..
1.
Rawai’ul
Bayan fi Tafsiri Ayatul Ahkam, Mohammad Ali as-Shabouni
2. Al-Jami’
li Ahkam Alquran, al-Qurthubi
3. Tafsir
Ayatul Ahkam, Mohamed Ali as-Sayes
4.
Ahkam
Alquran, Ibn al-Arabi
5.
Ahkam
Alquran, al-Jasshash,
6.
Tafsir
Alquran, al-Kassyaf
7.
Tafsir
Alquran, an-Nasafi
Cempaka Putih, 11 Januari 2012
Med HATTA
1.
Pengantar Mata
Kuliah: Tafsir Ayat-Ayat
Ahkam, Semester II (2011/ 2012), Fakultas Syari’ah Prodi Fiqh dan Ushul Fiqh,
Institute of Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah, Kedoya – Jakarta Barat.
2.
Lihat:
At-Tafsir wal-Mofassirun, adz-Dzahabi (1/ 156); Tafasir Ayat al-Ahkam wa
Manahijuha, al-Abid (1/ 26); Ayat al-Ahkam fil-Mughni (Disertasi), al-Fadhil
(1/ 10) dan sesudahnya.
6. Direkap
oleh Ibn an-Nadim di dalam Fahrasnya, Halaman: 57; dan ad-Daudi,
Thabaqatul Mufassirin, (2/ 362).
7.
Lihat:
Al-Burhan, az-Zarkasyi, (2/ 3); Ahkam Alquran, al-Baihaqi, (1/ 20); dan telah
dinukil oleh al-Jasshash dalam Ahkam Alquran, (3/ 351).
8.
Lihat:
Ahkam Alquran, Mukaddimah Ilkiya al-Harrasi, (1/ 2), hal yang sama diungkapkan
juga al-Baihaqi dalam Mukaddimah kitabnya “Ahkamul Qur’an”, hanya saja
metodelogi umum kedua kitab tersebut berbeda satu sama lain, al-Baihaqi
membatasi karyanya terhadap cabang-cabang as-Syafi’i dalam bidang ini, dan ia
juga tidak memperkaya kitabnya dari retorika Syafi’i sedikitpun; sedangkan
Ilkiya al-Harrasi, kitabnya fokus hanya pada hukum-hukum Alquran dan telah
menitik beratkan pada dua hal: Motivasinya: menjelaskan retorika Syafi’i, dan
metodenya: adalah merekafitulasi retorika-retorika tersebut, bahkan menambahkan
hal-hal lain dalam bukunya....
9.
At-Tafsir
wal-Mufassirun, adz-Dzahabi, (4/ 371).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar