KEMBALI
KE MABDA’
Oleh:
Helmi Ali Yafie
(Sekjen
PB DDI)
Darud
Da’wah wal Irsyad (DDI) pada dasarnya adalah gerakan pendidikan dan da’wah,
yang bertumpu pada pendidikan atau sekolah-sekolah yang dikembangkan dengan
system (yang sekarang ini dikenal sebagai) pendidikan pesantren, dibawah
kepemimpinan Ulama. DDI, yang memulai gerakannya dari pilar-pilar tertentu (Mangkoso-Barru,
Ujung Lare-Parepare dan kemudian Kaballangang-Pinrang), mendorong dan menfasilitasi
tumbuh dan berkembangnya bentuk-bentuk pendidikan atau sekolah-sekolah DDI
seperti yang disebutkan diatas di berbagai
tempat dengan bertumpu pada partisipasi masyarakat. Dari bentuk-bentuk
pendidikan seperti itulah (diharapkan)
lahir santri, kader, guru, bahkan ulama yang berkarakter kuat (mandiri dan
konsisten), yang pada gilirannya (setelah menyelesaikan pendidikannnya)
menyebarkan ajaran dan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah kepada
masyarakat, mendampingi dan membimbing masyarakat menuju suatu bangunan atau
tatanan masyarakat yang beradab dan berkeadilan (dua istlilah yang disebut
terakhir ini digunakan dalam rumusan tujuan pada Anggaran Dasar pertama DDI.
Karakter
santri atau kader atau guru (masyarakat) seperti itu dimungkinkan lahir dari
proses pendidikan DDI karena system pendidikan pesantren tidak hanya memberikan
kepada peserta belajar (santri) tema-tema atau topik-topik tertentu (yang disampaikan
baik secara lisan maupun terltulis) tetapi juga menyediakan lingkungan yang
memungkinkan orang belajar tentang kehidupan yang didasarkan atas nilai-nilai
agama. Apa yang disebut kesederhanaan, kemandirian, kebersamaan, persamaan,
persaudaraan, penghargaan kepada sesama, keteladanan, penghargaan dan
penghormatan kepada guru, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, dialami oleh
santri. Proses mengalami itu menjadi bagian dari proses pembentukan karakter (santri)
yang khas. Maka selain berilmu dan memiliki pemahaman mendalam tentang agama,
mandiri dan kreatif, santri juga memiliki jiwa ikhlas dan semangat pengabdian
(kepada pendidikan dan da’wah untuk kemashlahatan umum) tanpa pamrih, penghargaan dan pengormatan kepada guru, rasa
persaudaraan yang tebal, menghargai perbedaan dan tradisi, memiliki kepekaan
dan kedekatan dengan masyarakatnya.
Pendidikan
atau sekolah-sekolah DDI (yang dikembangkan dengan system pesantren) itu
sendiri, karena juga dikembangkan dengan partisipasi penuh dari masyarakat
setempat, tidak terpisah dari masyarakatnya, menjadi bagian dari masyarakat
itu; tidak hanya menjadi tempat belajar tetapi juga menjadi sumber inspirasi
masyarakatnya.
Gerakan
DDI, yang dimotori oleh Almaghfuurulahu AGH Abdurrahman Ambo Dalle, lahir selain terdorong untuk menjawab kebutuhan masyarakat (yang terpuruk
secara ekonomik dan tertinggal dalam hal pendidikan, akibat dari penjajahan di
satu sisi, dan disisi lain ada gerakan keagamaan yang cenderung tidak toleran) khususnya
di daerah Sulawesi Selatan, tampaknya juga terinspirasi oleh gagasan (gerakan)
pendidikan yang dikembangkan oleh Sayyid Rasyid Ridha di Mesir
(1864-1935); yang melihat bahwa negeri-negeri Islam terjajah
(oleh Negara-negara Barat) karena mengabaikan da’wah dan karena itu tertinggal
dalam hal pendidikan. Mungkin karena itu maka ada kemiripan antara nama “Darud
Da’wah wal Irsyad” dengan nama (gerakan) pendidikan yang dikembangkan
Rasyid Ridla, “ad-Da’wah wal Irsyad”.
II
Pada
awalnya Almaghfuurulahu, dengan dukungan Raja Soppeng Riaja (HM Yusuf
Andi Dagong), mengembangkan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di
Mangkoso (1938). Tetapi MAI (sebenarnya dikembangkan dengan system pendidikan
pesantren) yang terpusat pada satu daerah, dianggap belum cukup untuk mengemban
misi pendidikan yang dicita-citakan oleh Almaghfuurulahu. Gagasan tentang gerakan pendidikan itu tidak
hanya menjadi pemikiran Almaghfuurulahu, tetapi juga oleh banyak Ulama
lainnya di Sulawesi Selatan. Tampaknya itu yang mendorong adanya pertemuan
Ulama dan tokoh di Soppeng (1947). Pertemuan itu kemudian sepakat mendukung Almaghfuurulahu
Gurutta untuk memimpin sebuah gerakan yang bertumpu pada pendidikan atau
sekolah-sekolah seperti yang disebutkan diatas (dikembangkan dengan system
pendidikan pesantren) yang menyebar diberbagai tempat, yang diberi nama Darud Da’wah
wal Irsyad (nama ini diusulkan oleh Syekh Abdurrahman Firadus). Almaghfuurulahu
Gurutta pindah ke Pare-Pare, mendirikan sekolah DDI di Ujung Lare, Pare-Pare, yang
kemudian berdampingan dengan Mangkoso sebagai titik awal gerakan DDI. Dari dua
tempat itu Almaghfuurulahu Gurutta menyebarkan santrinya yang dianggap
mumpuni, dan bersama dengan masyarakat setempat, memabangun sekolah-sekolah DDI
di berbagai tempat. Menurut cerita Gurutta Ali Yafie, ketika itu masih berusia
belia dan menjadi sekretaris DDI, setelah DDI diproklamirkan Almaghfuurulahu
Gurutta mengajaknya (ditemani oleh H. Abdullah Giling bergantian dengan Musa,
sebagai driver) berkeliling ke berbagai daerah di pelosok Sulawesi Selatan
untuk memperkenalkan DDI, dan memperoleh sambutan luar biasa. Maka dalam waktu
yang relatif singkat muncul permintaan dari berbagai daerah dan Almaghfuurulahu
Gurutta pun mengirim santrinya yang dianggap mumpuni. Dengan cara seperti itu gerakan DDI
berkembang dan menyebar, bahkan sampai ke luar daerah Sulawesi, seperti (Almaghfuurulahu
mengirim H. Mahmud Pase dan Hj. Hafsah ke Benteng, Tanjung Pinang, Riau pada
tahun 1953).
DDI
pun tumbuh, berkembang terus membesar, tanpa adanya rintangan berarti. Ketika Almaghfuurulahu
Gurutta di culik Kahar Muzakkar (pertengahan atau akhir tahun 1950-an), dibawa
masuk hutan, dan kembali lagi memimpin DDI setelah keluar dari hutan (awal atau
pertengahan tahun 1960-an), DDi tetap berjalan dengan normal, tanpa ada konflik
yang berarti. Hal ini tampaknya didukung oleh beberapa faktor. Salah satu
diantaranya yang menonjol adalah orang-orang yang mengurusi DDI berasal dari
akar tradisi dan budaya yang sama, yakni budaya dan tradisi santri. Sikap
saling mendahulukan, rasa persaudaraan, penghargaan kepada perbedaan,
penghormatan dan penghargaan kepada guru, sangat menonjol serta semangat
pengabdian tanpa pamrih dan keihlasan sangat kuat. Gerakan DDI tumbuh dan
berkembang karena tradisi dan budaya itu.
Tetapi
kemudian terjadi perubahan. Ada satu masa dalam perjalanannya, DDI terjebak
dalam struktur organisasi, yang biasa digunakan oleh organisasi politik, yang
hirarkis dan kaku. Hal itu mulai terasa pada akhir tahun 1970-an ketika sumber
rekruitmen sudah beragam. Sebenarnya sejak awal sudah dikenalkan dengan
struktur organisasi, tetapi lebih sederhana dan tidak kaku, lebih melayani
tradisi dan budaya yang dibangun dan berkembang dalam proses pendidikan DDI.
Struktur awal DDI, karena sifatnya yang seperti itu, memperkuat basis
gerakannya, bukan melemahkannya. Struktur kaku itu muncul setelah DDI bersentuhan dengan berbagai kepentingan
yang datang dari luar, baik bersifat
perorangan maupun kelompok. Hal itu berjalan beriringan dengan kebijakan
pemerintah (Orde Baru) yang refresif yang berkuasa pada masa itu. Atas nama
pembangunan, pemerintah membatasi ruang dan gerak orang perorang serta
organisasi sosial dan politik. Pokoknya Pemerintah mengontrol seluruh elemen
masyarakat sipil. Kebijakan itu melahirkan budaya ketergantungan (pada
pemerintah). Masyarakat seperti hanya memiliki satu channel (hubungan atau
kedekatan dengan kekuasaan) untuk memperoleh kesempatan untuk eksis dan
berkembang. Maka orang-orang pun mencari tempat atau batu pijakan, untuk meraih
kesempatan, mencari gantungan ke atas, agar diakui keberadaannya oleh kekuasaan
yang ada, dan itu artinya kesempatan besar untuk berkembang lebih jauh,
berpengaruh dengan kedudukan terhormat dalam masyarakat. Apapun, yang dianggap
potensial, diupayakan untuk dijadikan sebagai tunggangan menuju kesitu. Salah
tunggangan yang paling menggiurkan adalah organisasi yang memiliki nama besar
seperti DDI, karena memiliki basis legitimasi (keagamaan dan kepemimpinan
Ulama) dalam kuat. Dan itu seperti gayung bersambut. Karena Pemerintah sendiri,
meskipun sudah sangat berkuasa, tetap
membutuhkan legitimasi (Ulama) untuk mengukuhkan kekuasaannya.
Masa
pemerintah Orde Baru yang panjang itu, dengan pendekatan seperti itu, telah
melahirkan cara pandang baru terhadap organisasi kemasyarakatan (genererasi
baru?) yang kemudian dominan dalam kepemimpinan organisasi masyarakat, di
Indonesia. Kepemimpinan yang lebih banyak mencari batu tempat berpijak untuk
meraih tempat bergantung pada kekuasaan dengan kecenderungan mengabaikan
basisnya. Mereka menciptakan ketakutan-ketakutan (karena kemampuan mamanfaatkan
dan memanipulasi hubungan-hubungannya dengan kekuasaan) untuk memperkuat
posisinya. Lebih jauh mereka mendorong struktur dan mekanisme organisasi, untuk
menguatkan gaya kepemimpinan itu. Efeknya adalah organisasi dibuat sibuk untuk
(hanya) membicarakan pemimpin (yang salah satu syaratnya adalah kedekatan
dengan kekuasaan). Basis dan proses rekruitmen pun menjadi kacau, dan
sesungguhnya membuat fondasi organisasi kabur seperti tertutup debu. Gaya ini
mematikan, atau paling tidak membuat basisnya tidak berkembang (kalaupun
berkembang, kearah lain, jauh dari fondasinya). Pada kasus DDI,
pesantren-pesantren DDI tidak berkembang (kwantitas dan kwalitas), bahkan
mungkin banyak yang mati. Kurikulum DDI juga (mungkin) sudah tidak terpakai
sekarang. Gaya kepemimpinan ini kemudian, secara pelan tetapi meyakinkan,
menyingkirkan kepemimpinan yang menguatkan dan memberdayakan basis dan
masyarakatnya. Tampaknya paradigma kepemimpinan (masa) itu tampaknya masih
terlihat kuat sampai sekarang. Memang pada masanya hanya sedikit
(pemimpin) bisa melepaskna diri dari
situasi itu, yang memiliki paradigma berbeda.
III
Cengkaraman
struktur yang kaku dalam tubuh DDI semakin jelas dan kuat setelah wafatnya Almaghfuurulahu
Gurutta. DDI yang lahir dari gerakan pendidikan yang mencerdaskan dan membangun
karakter yang kuat, tidak ubahnya seperti organisasi politik. Peristiwa-persitiwa
penting, seperti muktamar, yang seharusnya dijadikan ajang refleksi, melihat
kembali jalan-jalan yang sudah ditempuh, untuk memperbaiki langkah, merancang
program yang memperkuat basis gerakan DDI (pesantren atau sekolah DDI), diabaikan;
orang-orang lebih memusatkan perhatian untuk membicarakan pemimpin atau
pengendali organisasi. Orang-orang yang datang ke muktamar seperti memasuki
arena pertarungan perubutan kekuasaan. Memang orang-orang masih membicarakan
pesantren dan sekolah-sekolah DDI, tetapi pada kwantitias (jumlah sekolah
disebutkan dengan penuh kebanggaan), tetapi tidak ada yang berbicara tentang
kwalitas. Tidak ada yang mempertanyakan “apakah sekolah DDI masih disebut
sekolah DDI; apa bedanya sekolah DDI dengan sekolah yang lain; apakah sekadar
papan nama yang membedakannya dengan yang lain?” Secara keseluruhan dapat
dikatakan basis gerakan terabaikan. Bahkan mungkin banyak (pesantren yang dulu
pernah menjadi pilar DDI, mati). DDI seperti kehilangan roh. Tentu ada yang
risau dengan keadaan itu, dan mencoba mempertanyakannya. Tetapi perbedaan
dikelola dengan kacamata kekuasaan sehingga bukannya menyelesaikan masalah,
malah memperparah keadaan. Puncaknya adalah DDI terbelah. Mungkin simbol dari
hilangnya roh gerakan pendidikan dalam tubuh DDI.
Kalau
kita melihat pringkat dan perangkat organisasi DDI mengalami kemajuan. DDI bisa
disebut merambah keberbagai daerah. Pengurus Cabang, Pengurus Ranting dan Anak
Ranting ada diberbagai daerah. Tetapi kalau sifat dasar DDI (sebagai gerakan
pendidikan), maka DDi mundur jauh kebelakang. Memang ada (institusi pendidikan)
yang tetap mempertahankan sifat dasar itu, tetapi hanya ada ditempat tertentu. Dan
itulah yang menolong DDI, sehingga tidak kehilangan identitas sama sekali. Artinya
struktur DDI yang kaku sungguh tidak membuat DDI lebih baik, bahkan
mengkerdilkannya. Struktur seperti hanya cocok untuk Parpol, atau sejenisnya.
Parpol memang bertujuan untuk mencari massa, maka logis jika parpol punya kaki
diberbagai daerah, bahkan di tempat yang terpencil sekalipun, tanpa harus
(menunjukkan) ada aksi atau kegiatan berkelanjutan dan sistematis. Tetapi itu
tidak berlaku bagi organisasi atau gerakan pendidikan, seperti DDI. Hal paling mendasar bagi gerakan pendidikan
adalah kegiatan pendidikan yang berkelanjutan dan mencerdaskan yang
dikembangkan dengan system tertentu. Itulah kaki, atau basis gerakan
pendidikan, bukan pengurus ranting, atau anak ranting, atau pengurus cabang.
Dengan kata lain, pengurus wilayah atau cabang, pengurus ranting atau anak ranting
baru bisa eksis kalau disitu ada aktivitas pendidikan yang berkelanjutan dan
dikembangkan dengan system tertentu. Kalau tidak maka pengurus wilayah, cabang,
dan seterusnya hanya berguna dalam forum-forum tertentu yang terkait dengan (suara
dalam) proses pemilihan pemimpin dan pelanggengan kekuasaan; dan sesungguhnya tidak relevan bagi gerakan pendidikan.
IV
DDI
kini telah kembali menyatu, setelah sekian lama robek dan terbelah. Tentu masih
ada tarik menarik antar (kelompok-kelompok) kepentingan dalam tubuh DDI. Tetapi
keinginan untuk mengembalikan roh, watak DDI sebagai gerakan pendidikan dan
da’wah cukup kuat. Sesungguhnya, suara-suara untuk kembali ke mabda’ sudah
sejak lama terdengar, tetapi baru beberapa tahun belakangan terdengar lebih
lantang dan kuat. Bukan suatu pekerjaan
mudah, karena DDI sudah sekian lama terjebak dalam format organisasi politik
dengan struktur yang kaku, dengan aturan main yan dirancang mobilisasi massa dalam
rangka meraih dan mempertahankan dominasi atau kekuasaan, (dan sesungguhnya
manifulatif), yang dianggap sebagai satu-satu alat yang dibolehkan atau sumber legalitas dari organisasi. Untuk kembali ke
mabda’ maka paradigma atau cara pandang terhadap DDI perlu berubah. Bahwa
organisasi DDI pada dasarnya bukan oranisasi politik, atau sejenisnya, yang ada
untuk mobiliasasi massa, untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan, yang harus
tunduk kepada struktur atau aturan-aturan untuk kepentingan kekuasaan. Tetapi
sebuah gerakan pendidikan dan da’wah yang ada untuk mencerdaskan dan membangun
karakter yang kuat; untuk membebaskan orang dari ketidak tahuan, dari dukungan
struktur yang menindas dan budaya yang membelenggu; yang bertumpu pada bentuk
pendidikan tertentu, yakni pesantren, dibawah kepemimpinan ulama; karena (pesantren)
itu menjadi tumpuan, menjadi basis gerakan, maka harus diperkuat; bukan
dilemahkan dan ditempatkan dipingiran menjadi pelengkap saja; tetapi ditempatkan kembali pada posisi
strtegis, ditempat dimana ia bisa menentukan arah perjalanan DDI. Struktur atau
aturan-aturan DDI seharusnya lebih melayani dan memperkuat itu.
Jampue,
15 Januari 2016
Helmy
Ali yafie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar