Doktrin & Tradisi Keilmuan Keluarga Yahudi
By: Syarifuddin Abdullah
Orang Yahudi,
kapan pun dan di manapun berdomisili, selalu mempraktekkan dan menanamkan etos
dan tradisi keilmuan untuk setiap anggota keluarganya. Doktrin menanamkan minat
belajar ini dibuat sesederhana mungkin, sehingga setiap anggota keluarga dapat
melakoninya dengan senang hati, tanpa rasa tertekan.
Berdasarkan hasil observasi melalui obrolan lepas dengan sejumlah warga Yahudi, artikel ini akan coba memberikan uraian singkat tentang lima doktrin pendidikan di lingkungan setiap keluarga Yahudi, yaitu:
Berdasarkan hasil observasi melalui obrolan lepas dengan sejumlah warga Yahudi, artikel ini akan coba memberikan uraian singkat tentang lima doktrin pendidikan di lingkungan setiap keluarga Yahudi, yaitu:
Pertama, sebagai
komunitas agamis, tentu saja doktrin pertama yang ditekankan dalam setiap
keluarga Yahudi adalah bahwa setiap anak Yahudi sudah memahami doktrin dasar
keagamaan Yahudi dan harus selesai ketika anak-anak berusia belasan tahun.
Karena itu, setiap anak-anak Yahudi umumnya sudah selesai pendidikan dasar
agamanya di lingkungan keluarga ketika mereka masih berusia sekolah dasar.
Kedua, pendidikan
tentang sejarah Yahudi sepanjang masa sejak Nabi Ibrahim, periode kejayaan,
periode keterasingan, dan perlunya orang Yahudi memperjuangkan kebangkitan,
antara lain doktrin untuk mendukung Negara Israel.
Ketiga, belajar
matematika sebagai dasar ilmu logika. Dalam pengertian bahwa matematika bukan
sekedar pandai berhitung, tapi lebih penting adalah bagaimana berpikir logis.
Karena itu bidang matematika ini difokuskan pada doktrin bahwa semua persoalan
harus melewati proses. Tidak ada hasil sim salabim;
Keempat, untuk bisa
survive di manapun, setiap anak Yahudi diwajibkan menguasai tiga Bahasa yaitu
bahasa Ibrani, bahasa di mana dia berdomisili, dan bahasa yang menjadi bahasa
yang digunakan dan dipahami sebagian besar penduduk bumi (saat ini adalah
Inggris). Dengan doktrin ini, semua generasi Yahudi siap dan matang untuk go
global.
Kelima, setiap anak
Yahudi sejak dini dicekokin doktrin untuk menjadi the best di bidang yang
dipilihnya. Kalau mau jadi sastrawan, jadilah sastrawan unggulan. Kalau mau jadi
politisi, jadilah politisi unggulan. Kalau memilih bidang matematika, jadilah
matematikawan unggulan, dan begitu seterusnya. Mungkin karena itulah, kalau
mengambil 10 pakar terbaik dalam disiplin ilmu apa saja di tingkat global
sekarang ini, mungkin separuhnya dalah keturunan Yahudi.
Kelima doktrin
tradisi keilmuan keluarga Yahudi di atas menghasilkan generasi yang siap
bersaing di bidang apapun, kapanpun. Karena doktrin itu sudah berlangsung
berabad-abad, maka hampir semua lini kehidupan di tingkat global saat ini,
didominasi oleh keturunan Yahudi.
Kalau
diilustrasikan, bila ada keluarga Yahudi yang berdomisili di Semarang misalnya,
maka anak-anaknya pasti sudah memiliki pengetahuan dasar tentang agama Yahudi
(tidak perlu belajar di sekolah formal); si anak Yahudi itu juga akan lebih
paham tentang sejarah bangsa Yahudi dibanding guru formalnya; si anak Yahudi
akan terbiasa berpikir logis, bukan klenis mistis; si anak Yahudi itu selain
menguasai bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia, juga menguasai bahasa Yahudi
(sebagai bahasa paling wajib) dan tentu saja Bahasa Inggris.
Nah, kalau
satu-satu dari lima doktrin pendidikan di lingkungan keluarga Yahudi di atas,
coba diujikan kepada keluarga di Indonesia, hasilnya amat jauh panggang dari
api, sebagai berikut.
Pertama, mestinya
kalau warga Indonesia itu Muslim, maka materi tentang Rukun Iman dan Rukun
Islam sudah selesai di rumah. Tapi umumnya keluarga Indonesia menyerahkan
pendidikan agama anak-anaknya ke sekolah formal atau kepada guru mengaji. Saya
sering bertemu orang Muslim dewasa di Indonesia, yang belum tahu cara
bertayammum dengan benar. Ini menunjukkan bahwa pendidikan keagamaan di
lingkungan keluarga Muslim tidak berjalan baik.
Kedua, sebagai
bangsa Indonesia, setiap tamatan SMP mestinya sudah tahu terminal-terminal
dalam periode sejarah Indonesia. Hal itu tidak bisa dicapai, karena sejarah
Indonesia belum dikemas dalam bentuk penggalan-penggalan periodik yang mudah
dicerna. Seorang ayah dan ibu juga tidak tahu apa yang harus diajarkan kepada
anak-anaknya. Jangan heran, banyak S-1 di Indonesia belum memahami
terminal-terminal penting perjalanan sejarah Bangsa Indonesia.
Ketiga, pendidikan
matematika/logika dasar dalam arti berpikir logis di lingkungan setiap keluarga
di Indonesia belum menjadi primadona. Sebaliknya, anak-anak malah dilibatkan
dalam kegiatan yang bernuansa klenis-mistis. Jangan heran, hampir semua warga
Indonesia sampai dewasa dan menjadi orangtua pun tetap doyan klenis-mistis.
Keempat, pendidikan
bahasa. Salah satu kelemahan utama ilmuwan Indonesia di berbagai bidang adalah
penguasaan bahasa. Sering terjadi, seorang pakar Indonesia menguasai substansi
lebih baik daripada pakar negara lain, tapi karena bahasanya belepotan,
akhirnya gak bunyi di tingkat global.
Kelima,
doktrin be the best. Keluarga Indonesia belum terbiasa mengarahkan
anak-anaknya untuk menjadi the best di bidang apapun yang dipilihnya. Anak-anak
bahkan cenderung diarahkan untuk tidak bercita-cita terlalu tinggi, cukup
menjadi pekerja atau pegawai saja.
Nah, kalau
dikaitkan dengan Konsep Pendidikan sebagai Gerakan Semesta, harus rela menerima
kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia masih memerlukan perjalanan marathon.
Kita bahkan belum memiliki konsep pendidikan di lingkungan keluarga, yang bisa
diadaptasi dengan mudah oleh semua keluarga di Indonesia. Buku-buku ajar lebih
berorientasi pada keuntungan materil dari pencetakan bukunya.
Beberapa kali
saya menyampaikan materi artikel ini melalui ceramah-ceramah, dan saya malah
dituding pencinta Yahudi. Ya, wes lah. Padahal, yang saya sampaikan adalah
metodenya, bukan substansi dari lima doktrin keilmuan keluarga Yahudi
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar