MEMBANGUN PEMIMPIN YANG BERKARAKTER
ULAMA
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات،
والصلاة والسلام على رسول الله محمد صلى الله عليه وسلم تسليما كثيرا، وبعد!
Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh peran
ulamanya, setidaknya seperti itulah yang disimpulkan oleh Syeikhul Islam Ibn
Taimiyah. Tidak dipungkiri, bahwa terjadinya multi-krisis yang dialami negeri
ini adalah akibat dari hilangnya peran strategis ulama
dari pentasnya dan ketidak pedulian sebagian mereka memberi
petunjuk atau nasehat pada masyarakat serta mengarahkannya kejalan yang benar. Maka
rusaklah tatanan sosial pada berbagai aspek kehidupan bangsa.
Sebagai ilustrasi data ICW menyebutkan bahwa di tahun 2015 semester I (lalu) tercatat 550 kasus korupsi dengan kerugian sampai 3,1 triliyun rupiah[[1]], dari pihak penegak hukumpun – notabene domain ulama – yang semestinya mengadili malah tidak luput dari kubangan kasus korupsi, ditambah lagi para pejabat terjerat kasus gratifikasi seksual dengan pelacur ternama. Maka pantas saja bila negara ini terus stagnan dalam keterpurukan, ketinggalan dengan negara lain, seakan-akan tak mengenal kedinamisan menuju kesejahteraan yang lebih baik.
Jika ulama negeri ini masih
tetap bungkam atau kehilangan peran demikian, maka pastilah umatnya pun sesat, sengsara,
pendidikan tak maju, kesejahteraan tidak merata, dan tak sedikit yang masih
berada dalam kubangan kemiskinan, dan kriminalitas pun meningkat. Sebuah
sumber menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2013 tercatat angka kriminalitas di
Indonesia mencapai angka 342.084 kasus, artinya setiap 1 menit 32 detik (92
detik) terjadi 1 tindak kejahatan[[2]].
Ada apa gerangan? Nampaknya bangsa kita mengalami “degradasi mental” ulama dan
pemuda yang diakibatkan krisis keteladanan tiap individu.
Dalam kesempatan ini, penulis
bermaksud ingin memfokuskan pembahasan pada pembentukan karakter ulama masa
kini untuk membangun peimimpin masa depan. Diskursus mengenai peran ulama dalam
membangun sebuah negara tidak akan pernah dikenal habisnya. Quote “ulama
adalah tiang negara,,, runtuhnya sebuah negara akibat lemahnya peran ulama”
tampak sudah mendarah daging dalam segala bentuk perjuangan ulama dimana pun ia
berada.
MEMBANGUN PEMIMPIN YANG BERKARAKTER
ULAMA
Penulis tidak ingin membahas lebih detail
tentang siapakah itu ulama, cukup untuk menjelaskan kemuliaan, keagungan
tanggungjawab dan pentingnya peranannya dengan apa yang telah digelarkan Allah
SWT padanya - diberbagai tempat di dalam Alquran – sebagai: “Alkhasyah”,
orang yang paling takut kepada Allah; “Arruf’ah” paling tinggi
derajatnya dan “Almarja’ Ilaihim” sebagai refrensi bagi setiap
permasalahan umat.
Begitu pula apa yang telah dikhususkan baginda
rasulullah SAW terhadapnya sebagai “Pewaris Nabi”, maka apabila telah
terjadi fitnah di tengah-tengah masyarakat, krisis mengkecamuk di dalam negeri
dan orang-orang membutuhkan seorang tokoh penyelamat dan pemimpin, lalu mereka
tidak menemukan lagi seorang nabi dan rasul maka hendaklah menuju kepada
pewarisnya (ulama), karena para ulama itu adalah penyambung lidah dari
rasul-rasul Allah. Dan kehormatan itu tidak dimiliki oleh selainnya. Apa
sebabnya? Allah berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي
الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو
الألْبَابِ
Artinya: “Katakanlah:
Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Azzumr: 9)
Pemimpin berkarakter ulama atau kita akan
istilahkan disini “ulama pemimpin”, adalah pemimpin yang tidak hanya
mempelajari, mentadabburi, tetapi lebih dari itu adalah mengamalkan Alquran
sebagai sumber acuan umat Islam dalam menjalankan pemerintahan. Ia adil, tawadhu’,
bijaksana serta memiliki sifat-sifat terpuji lainnya, maka pasti akan dicintai
oleh masyarakat.
Karakter pemimpin seperti disebutkan itu, yang
mau turun langsung ke masyarakat; tanggap memberikan solusi pada setiap krisisnya;
meringankan bebannya dan bekerja keras untuk mereformasi system yang tidak
menguntungkan masyarakat, pasti ia akan dikelilingi oleh massa besar yang akan
mendukung setiap langkah-langkahnya, maka dengan demikian mudah memperoleh dukungan
serta dapat bersaing meraih kekuasaan. Jika ia tampil dipanggung kekuasaan
pasti selalu mencari nasehat dalam setiap keputusannya, maka tercipta stabilitas masyarakat dan
negara.
Para ulama sejatinya adalah pemimpin agama,
hakim, tokoh masyarakat, pemimpin dalam pemerintahan dan penentu kebijakan. Oleh
karena itu ulama pemimpin tidak cukup hanya mengajar dan berceramah di kampus
dan di masjid-masjid saja, tetapi harus lebih global mencakup semua bidang
sosial, maka mereka akan menjadi imam, teladan, pemimpin bangsa dan pewaris nabi dalam menyampaikan ajaran suci[[3]].
Kepemimpinan bukanlah sekedar
kontrak sosial antara pemimpin dan masyarakatnya tetapi juga merupakan ikatan
perjanjian antara dia dan Tuhan. Menurut Prof. Dr. Quraisy Sihab, syarat
pemimpin harus mempunyai tiga aspek yang kuat, yaitu IESQ (Intelligence,
Emotional, Spiritual Quotient) dan AQ (Adversity Quotient)[[4]].
Diakui, Indonesia saat ini tengah mengalami krisis
kepemimpinan yang Berkarakter ulama, situasi politik negeri ini sekarang sama
seperti Turki sekitar 20 tahun yang lalu, dimana faham
sekularisme, liberalisme, dan materialisme masih merajalela. Pada periode itu
perempuan Turki masih dilarang memakai jilbab, karyawan tidak boleh
sembahyang ditempat umum serta . Tetapi
saat ini, ketika Turki dipimpin oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan seorang pemimpin yang berkarakter ulama,
karena penghafal Alquran, berhasil menerapkan konsep-konsep Islam dengan cara
yang cerdas. “Sehingga sekulerisme di negaranya yang menjadi acuan saat itu
bisa diruntuhkan, seperti yang masih dianut Indonesia saat ini”.
MANUSIA DITAKDIRKAN
MENJADI PEMIMPIN
Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً ، قَالُواْ أَتَجْعَلُ
فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ
وَنُقَدِّسُ لَكَ ، قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang pemimpin di muka bumi”. Mereka berkata: Mengapa Engkau
hendak menjadikan (pemimpin) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah: 30)
Manusia memang diciptakan
Allah sebagai pemimpin sebagaimana pada ayat Alquran di atas. Akan tetapi, pemimpin
seperti apa yang dikehendaki oleh Allah SWT dan umat manusia. Pemimpin yang
dikehendaki oleh Allah SWT dan umat manusia adalah pemimpin berkarakter ulama
yang senantiasa memegang teguh kepada Alquran dan Hadist. Bukan
pemimpin yang membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah seperti dugaan
para Malaikat sebelumnya.
Pentingnya ulama pemimpin dan kebutuhan masyrakat terhadapnya menunjukkan
bahaya hilangnya peran mereka atau tersisihnya. Karena kekosongan yang dapat
diperankan pemimpin yang berkarakter ulama tidak dapat diisi oleh selainnya. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan demikian penulis menekankan satu hal
prinsif, yaitu: Hendaklah ulama yang memiliki jiwa pemimpin berani tampil
mengisi kekosongan yang ada, dan mengambil alih lowongan kepemimpinan dengan
tangannya sendiri, ia harus selalu dekat dengan rakyat sebelum terjadi fitnah
maupun saat terjadinya, dan tidak menunggu kesempatan itu datang sedang ia
tidak dapat berbuat apa-apa.
Apabila pemimpin berkarakter ulama ini terlambat maju selangkah maka akan
maju orang-orang yang tidak layak mengisi peran yang semestinya diisi oleh mereka
tersebut. Seharusnya suatu bangsa itu dipimpin oleh pemimpin yang dapat memberi
petunjuk dan mengarahkan mereka. “Sehingga jika rakyat tidak menemukan karakter
ulama maka mereka akan memilih pemimpin abal-abal (tidak berkarakter), dan jika
rakyat bertanya padanya maka ia akan menjawab mereka tanpa pertimbangan matang,
maka jadilah ia sesat dan menyesatkan[[5]]”.
PESANTREN MENCETAK
PEMIMPIN
Bisakah pesantren mencetak pemimpin? Atau pertanyaan lain senada yang
sesuai dengan tema KTI kita yaitu: Bisakah kepemimpinan itu dipelajari?, yaitu dalam
kaitannya kita sekarang membahas tema: “Membangun Pemimpin Yang Berkarakter
Ulama”.
Untuk menjawab pertanyaan ini penulis kolaborasikan dengan pengalaman
pribadi sebagai salah satu pembina di kampus PPMI Shohwatul Is’ad, yang menitik
beratkan visinya pada: Terwujudnya insan ulul albab yang berkomitmen
terhadap kemajuan umat. Dan saat ini tengah mempersiapkan sekitar 400 santri pilihan
sebagai calon-calon ulama, interpreneurship dan pemimpin masa depan, insya
Allah. Hemat penulis bahwa:
1. Terdapat sekitar 2% dari manusia terlahir sebagai
pemimpin secara natural tanpa membutuhkan pengaruh luar. Dalam sejarah umat ini
kita dapat menemukan beberapa sampel dari kategori ini seperti: Khalid bin
Walid dan ‘Amr bin ‘Ash. Umar bin Khattab ra berkata: “Tidaklah pantas ‘Amr bin
‘Ash berjalan di muka bumi kecuali sebagai pemimpin”.
2. Sebagaimana terdapat sekitar 2% dari manusia yang tidak
dipersiapkan menjadi pemimpin secara prinsif, mungkin karena memiliki
kepribadian lemah, terkebelakang mental, cacat fisik tertentu atau idiot.
Sebagaimana sabda nabi SAW pada Abu Dzar ra: “engkau sangat lemah tidak mampu
mengayomi atas dua orang”. Atau jika kamu berdua sama seseorang maka dialah
pemimpin bukan kamu, meskipun Abu Dzar merupakan salah satu sahabat yang tinggi
kedudukan dan keutamaannya.
3. Adapun sisanya sekitar 96% dari manusia berbakat untuk
menjadi pemimpin, jika mereka memperoleh pelatihan yang cukup dan skil yang
memadai.
Dengan demikian, Pesantren dapat mengambil peran strategis dalam mencetak
pemimpin masa depan dengan menciptakan peluang; kolaborasi berbagai pihak dan
media; menjaring kader-kader yang potensial, inovatif dan kreatif; menetapkan
target dan menyiapkan pusat pelatihan untuk tujuan tersebut. Dan semua faktor
itu terpenuhi dengan sangat memadai di dalam lingkungan pesantren. Maka pesantren
telah memberikan andil besar dalam mencetan dan membangun pemimpin sesuai
karakter yang diinginkan berdasarkan visi-misi pesantrennya. Dan tentu saja
pemimpin yang diridhai Allah SWT dan dibutuhkan oleh bangsa dan negara adalah
pemimpin yang berkarakter ulama – yang notabene – domainnya pesantren.
Berbicara soal cetak-mencetak pemimpin tentu tidak ada hubungannya dengan
anggapan sebagaian masyarakat tentang kemunculan satrio piningit yang
ditunggu-tunggu. Yang tiba-tiba datang membebaskan semua krisis dan problematika
masyarakatnya, atau rekayasa manusia supermen yang dapat menolong bangsa yang
lemah menjadi kuat dan yang hina menjadi mulia. Akan tetapi kita hanya berusaha
untuk mempersiapkan SDM yang mampu mengemban tanggungjawab dan memacu semangat
kepemimpinannya serta memberi peluang masa depan yang gemilang.
MEMBIDIK KARAKTER
ULAMA
Tidak syak lagi, bahwa calon pemimpin masa depan haruslah memiliki karakter atau dalam
Islam disebut dengan akhlak. Karakter dan akhlak adalah dua kata yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama, meski
di Indonesia – saat ini – kalimat akhlak lebih populer disebut dengan istilah karakter. Konsep karakter
(akhlak) dalam Islam merupakan pakem hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta dan manusia dengan manusia
itu sendiri. Pada prinsipnya karakter yang diinginkan oleh Islam adalah
karakter yang senantiasa konsisten dan tetap dalam tekad atau teguh dalam pendirian, yang
terpatri pada jiwa para ulama. (Lihat: QS. Father: 28)
Maka apabila ingin menumbuhkan karakter yang tak lekang, maka harus
menggunakan acuan yang tak lekang pula dan universal. Itu hanya ada pada konsep
akhlak dalam Islam yang referensinya adalah Alquran dan hadist, yang pada
akhirnya akan tercipta para pemimpin berkarakter ulama (yang menguasai petunjuk
Alquran dan Hadits serta mengamalkannya) dari generasi-generasi muda. Dalam perspektif Islam ada 4 sifat prinsifil pemimpin yang berkarakter ulama,
yaitu sebagaimana karakter yang telah diteladankan oleh rasulullah SAW selama
hidupnya: Pertama, Shidq (benar, jujur); kedua, Amanah
(terpercaya); ketiga, Tabligh (komunikator); dan keempat, Fathanah
(cerdas)[[6]].
Nah, di tengah kondisi negara kita yang saat ini mengalami krisis kepemimpinan
yang berkarakter itu, maka diperlukan berbagai upaya serius yang harus
dilakukan oleh umat dan lembaga-lembaga Islam, yaitu terkait mempersiapkan
generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan. Di antaranya dan yang paling
urgen telah kami rintis di PPMI
Shohwatul Is’ad semenjak 10 tahun belakangan ini, yaitu dunia
pendidikan.
Tanpa mengecilkan peran lembaga keluarga dan masyarak yang (juga) mempunyai
andil yang sama dalam mempersiapkan generasi calon pemimpin, lembaga pendidikan, terutama
pondok pesantren, diharapkan menjadi industri strategis dalam mencetak generasi
pemimpin yang unggul dan memiliki karakter ulama seperti yang diinginkan Allah
SWT dan dibutuhkan oleh bangsa dan negari yang kita cintai ini.
Hal inilah yang tengah kami perankan di PPMI Shohwatul Is’ad mulai dari
didirikan oleh founding father Drs. KH. Masrur Makmur Latanro, M.Pd.I.,
tahun 2006. Memang belum nampak jejak alumni kami diberbagai level, karena
faktor usia yang masih seumur jagung, tetapi sesuai visi yang kami bidik:
“Terwujudnya Insan Ulul Albab (yang memiliki keseimbangan spritual,
intlektual dan moral) yang Berkomitmen Pada Kemajuan Umat”, insya Allah, dalam
jangka 10-20 tahun ke depan kami akan menyumbangkan generasi-generasi ulul
albab kami, bukan saja dilevel daerah tetapi juga dikancah-kancah nasional
dan global. Tentu pesantren-pesantren yang lain juga berharap demikian.
Pola pendidikan yang diterapkan yayasan PPMI Shohwatul Is’ad, selain telah
mempersiapkan sarana-prasarana dan berbagai fasilitas yang mendukung kenyamanan
santri di dalam lingkungan pesantren (service bintang lima), yayasan juga telah
menjaring tenaga-tenaga pendidik (SDM/Asatidz) yang handal guna mencapai tujuan
mempersiapkan santri-santri calon pemimpin yang berkarakter ulama. Para asatidz
itulah diposisikan sebagai figur yang diharapkan mampu mendidik santri dan
mengisinya dengan karakter yang
diinginkan tersebut.
Para Asatidz di pesantren sebagai pendidik/pembina dituntun menjalankan
enam peran ganda yang sudah di atur di dalam Tata Tertib (TATIB), SOP, Pedoman
Mu’amalat/Ke-Shohid-an, dan arahan-arahan langsung atau tidak langsung dari
Ketua Yayasan/Pendiri, yaitu:
Pertama, ustadz terlibat aktif dalam proses pembelajaran
dengan melakukan interaksi dengan santri dalam mendiskusikan materi
pembelajaran (dilakukan di ruang kelas yang yaman dan pada halaqah/kelompok
wali usrah yang diaktifkan tiga waktu dalam sehari).
Kedua, menjadi contoh teladan (role mode) kepada santri
dalam berprilaku dan berbicara (Pedoman Mu’amalat/Ke-Shohid-an).
Ketiga, mendorong santri aktif dalam pembelajaran melalui
penggunaan metode pembelajaran yang variatif.
Keempat, mendorong dan membuat perubahan sehingga
kepribadian, kemampuan dan keinginan ustadz dapat menciptakan hubungan yang
saling menghormati dan bersahabat dengan santrinya.
Kelima, membantu dan mengembangkan emosi serta kepekaan
sosial santri agar menjadi lebih takwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan
keindahan dan belajar (soft skill) yang berguna bagi masa depan.
(Pengajian dan halaqah/kelompok wali usrah)
Keenam, menunjukkan rasa kecintaan kepada santri,
sehingga ustadz dalam membimbing santri yang sulit tidak mudah putus asa.
Disadari, bahwa pemimpin yang berkarakter seperti
yang diinginkan tidak
lahir begitu saja, ia lahir dari proses pembinaan dan pendidikan sebelum
seseorang menjadi pemimpin. Keberhasilan pendidikan karakter akan menghasilkan stocks
pemimpin nasional yang berkarakter, dengan demikian akan menghasilkan wajah
bangsa dan negara
yang berkarakter pula.
Untuk itu, semua pihak
baik keluarga, masyarakat, lembaga formal, informal dan nonformal harus berbagi tanggungjawab dalam
mempersiapkan pemimpin berkarakter ulama tersebut. Indonesia
saat ini sudah seharusnya dipimpin oleh pemerintah
yang baik dan mampu mengembangkan good governance dengan nilai-nilai
transparency, independenci, accountability, responsibility, fairness dan social
awareness.
KARAKTER
ULAMA dan ULUL ALBAB
PPMI Shohwatul Is’ad, di
dalam visinya memang tidak membidik secara langsung karakter ulama seperti yang
telah dibahas di atas, tetapi lebih menekankan pada terwujudnya insan ulul
albab. Sebenarnya uluma dan ulul albab adalah dua kalimat yang
berbeda tetapi sesungguhnya spirit keduanya merupakan untaian setali tiga uang.
Kalimat “albab” sendiri adalah bentuk jama’ (plural) dari
kata bahasa Arab “lubbun” yang secara etimologi (bahasa) artinya ‘aql (intellect/
reason) atau intelektualitas yang bersumber dari hati yang terdalam. (Lihat: Lisanul Arab, I: 729).
Adapun makna terminology ulul
albab telah disimpulkan dengan indah sekali oleh tokoh-tokoh tafsir dan
bahasa dunia, seperti:
·
Ibn Jarir
Atthabari (Jami’ Albayan), ulul albab: “ashabal ‘uqul
alkabirah”, orang-orang yang memiliki pemikiran yang besar (great minds).
·
Arrazi (Tafsir Alkabir), sebagai: “dzul ‘uqul alkaamilah”, orang yang memiliki akal
yang sempurna (complete intellects).
·
Ibn Katsir
(Tafsir
Alquran alkarim: “al’uqul attammah
azzakiyah”, akal yang sempurna dan suci (pure and consummate intellects).
·
Mahmud Allusi Albaghdadi (Ruhul Ma’ani): “al‘uqul alkhalishah”,
akal yang murni (unadulterated intellects).
·
Assyaukani (Fath Alqadir): “al’uqul asshahihah alkhalishah”, akal yang benar dan murni (right
and unadulterated/uncontaminated).
·
Prof. Hamka (Tafsir Alazhar): “orang-orang yang mempunyai
inti pikiran yang dalam”.
Jelas
bahwa ulul albab adalah orang-orang yang berpikir dan
bertindak dengan didasarkan pada kesucian dan kemurnian suara hatinya yang
terdalam. Insan yang ulul albab adalah
mereka yang tidak pernah mendustai kata hatinya yang terdalam. Pemimpin yang
berkarakter ulul albab berarti orang yang memimpin dan
menjalankan roda kepemimpinannya didasarkan kepada kemurnian, ketulusan,
kesucian hatinya yang terdalam. Allah
berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
* الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ
قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ
فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya: “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam menjadi siang adalah tanda bagi
orang yang ulul albab. (yaitu) mereka yang ingat Allah baik di saat
berdiri dan duduk dan berbaring dan mereka memikirkan dalam penciptaan langit
dan bumi, Tuhan kami: “tiada yang sia-sia terhadap apa yang telah engkau
ciptakan”, Mahasuci Engkau, maka jauhkanlah kami dari api neraka”. (QS. Al Imran: 190-191)
Pemimpin
yang memiliki karakter ulul albab, memiliki indikasi melalui
penjelasan dalam ayat di atas, yaitu: Pertama, memiliki kecerdasan
intelektual, mempunyai kematangan emosional dan spiritual; kedua,
jujur dengan suara hatinya yang terdalam; ketiga, selalu ingat
kepada Allah SWT di saat bagaimanapun; keempat, mengambil pelajaran
dibalik apa yang ditetapkan Allah terhadap semua ciptaan Nya; kelima,
mensucikan Allah dan mengagungkan namaNya dan keenam, selalu membawa
manfaat dan kemaslahatan dunia dan akhirat.
Pemimpin
yang berani melawan kata hatinya sudah pasti akan menjadi pengkhianat terhadap
amanah yang dibebankan padanya. Tetapi sebaliknya, pemimpin yang berpijak dari
kesucian hatinya yang terdalam (lubbun) akan menjalankan amanah
kepemimpinan dengan sebaik-baiknya. Dan karakter inilah yang dicita-citakan
oleh pendiri PPMI Shohwatul Is’ad sebagaimana dituangkan dalam visi-misi
pesantrennya.
SYARAT
MUTLAK PEMIMPIN BAGI UMAT ISLAM
Indonesia
merupakan negara terbesar keempat dunia dengan populasi penduduk mencapai sekitar
230 juta jiwa, dan mayoritas besar di antaranya adalah umat Islam (sekitar
87%). Agama Islam (juga) telah meletakkan syarat-syarat kepimpinan bagi
umat Islam untuk menjamin kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran negari atau
pemerintahannya. Dan sekaligus menegaskan kewajiban mutlak memilih pemimpin
dari kalangan Muslim. Tidak non-Muslim.
Alasannya,
karena Islam mengharamkan segala bentuk ketaatan (wala’) kepada ahli
kitab (non-muslim) yang akidah mereka memiliki akar “kemiripan” dengan Islam,
dan lebih melarang lagi segala jenis wala’ pada orang-orang kafir dan
ahli makshiat yang tidak jelas bentuk akidahnya sama sekali. Allah berfirman:
يَـأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَـرَى أَوْلِيَآءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِى الْقَوْمَ الظَّـلِمِينَ - فَتَرَى
الَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ يُسَـرِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا
دَآئِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَن يَأْتِىَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ
فَيُصْبِحُواْ عَلَى مَآ أَسَرُّواْ فِى أَنفُسِهِمْ نَـدِمِينَ
Artinya :” Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, Maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kamu akan
melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik)
bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami
takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan
(kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka kerana itu,
mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri
mereka”. (QS. Almaaidah: 51-52)
Ayat di atas
menjelaskan kerjasama dalam gerakan Islam dengan orang-orang non Islam dan kafir
di atas dasar politik akan lebih menjauhkan lagi orang-orang Islam daripada
mereka. Oleh karena itu, tidak ada jenis ketaatan apapun pada selain muslim,
dan umat Islam mutlak harus dipimpin oleh pemimpin muslim pada semua level
pemerintahan yang didominasi oleh mayoritas mutlak penduduk muslim, termasuk
Provensi DKI Jakarta.
Syarat-syarat
lain kepemimpinan dalam Islam adalah: Adil, berilmu, kuasa, cakap, cerdas dan
masih ada syarat-syarat sekunder lainnya. Dan semuanya itu tercakup pada
kreteria pemimpin yang berkarakter ulama dan ulul albab yang telah
dibahas di atas. Adakah calon-calon pemimpin yang memenuhi karakter itu di
Indonesia?
Sesungguhnya
di negeri kita tercinta ini bukan tidak ada tipe pemimpin yang memiliki karakter
ulama dan ulul albab yang diinginkan oleh masyarakat itu. Kita tahu
bahwa mayoritas penduduk Indonesia pemeluk agama Islam. Dan tidak sedikit pula
dari jutaan umat Islam di Indonesia yang memiliki kemmpuan lidership
yang berkarakter ulama. Namun permasalahannya kemudian, mampukah kandidat-kandidat
pemimpin yang berkarakter ulama tersebut menembus sistem perpolitikan Indonesia
dan menduduki kursi kekuasaan Negara?
Adalah
salah satu agenda besar bangsa Indonesia adalah pesta demokrasi Pemilu yang
dilaksanakan lima tahun sekali. Jutaan rakyat Indonesia terlibat langsung dalam
menentukan nasib bangsa. Semua orang yang sudah memiliki persyaratan memilih,
berduyun-duyun menuju TPS untuk memilih pemimpinnya, terlepas dia mengenal atau
tidak siapa orang yang dia pilih itu.
Semenjak
lahirnya undang-undang nomor 23 tahun 2003 yang mengatur tentang pemilihan
eksekutif secara langsung oleh rakyat, banyak yang berpendapat bahwa ini lebih
demokratis. Rakyat lebih berdaulat dan presiden terpilih akan mendapatkan
legitimasi politik yang besar dari rakyat. Namun sayang, untuk mendapatkan
legitimasi dari rakyat tersebut para calon eksekutif negeri menempuh jalan
politik yang kurang baik.
Mereka
berkampanye dengan menebar ribuan pamplet dan benner di seluruh peloksok NKRI,
membagi-bagikan kaos, membagi-bagikan uang (money politic), atau yang
lebih gandrung sekarang ialah membuat film-film pendek pencitraan baik dari
para calon pemimpin tersebut. Sehingga biaya untuk menjadi pemimpin terkesan
sangat mahal.
Untuk
menanggulangi biaya kompanye yang sedemikan mahal, para calon akan melakukan
apa pun untuk mendapatkan bantuan dana. Termasuk mengadakan kontrak-kontrak
gelap dengan para investor asing. Misalnya, jika ia menang menjadi pemimpin
terpilih, maka ia akan mempermudah perijinan bagi investor asing itu untuk
penambangan pasir, emas, minyak bumi dan lain-lain. Kasarnya, para calon
pemimpin itu menjual tanah airnya sendiri.
Sialnya,
sampai detik ini cara yang demikian relative berhsil. Karena banyak dari rakyat
Indonesia belum mampuh membaca karakter dari calon pemimpinnya tersebut. Mereka
hanya mampu meraba-raba melalui performen, retorika, atau apa saja yang sudah
diberikan kepada mereka. Mereka tidak mampu membaca niat terselubung dari calon
pemimpinnya itu. Mereka tidak sadar, satu suara yang mereka berikan sangat
menentukan kemajuan dari bangsanya. Akibatnya, bangsa kita semakin hari semakin
terpuruk.
Sistem
pemilu yang seperti ini sesungguhnya telah menutup keran guna terjaringnya
seorang pemimpin yang memiliki karakter ulama. Seseorang yang sudah tertanam
dalam dirinya sebuah karakter ke-ulama-an, tidak akan melakukan
tindakan-tindakan kotor. Maka dari itu, jika sistemnya tidak dirubah, maka
keinginan untuk mendapatkan kepemimpinan yang berkarakter ulama, hanya isapan
jempol belaka.
Kongkritnya,
selain membangun pemimpin yang berkarakter ulama yang akan menjalankan roda kepemimpinan
bangsa dan negara yang berkarakter, kita bangsa ini juga harus membenahi sistem
pemilihannya. Sebab cara pemilu yang berkembang semenjak tahun 2004 realitanya
telah menjadi episentrum kegagalan pemimpin kita. Selain itu, kita juga harus
memperketat peraturan dalam berkampanye, seperti mengatur anggaran biaya
kampanye dan atau hal-hal lain yang dapat memicu ketidak adilan.
NAH, SIAPAKAH
PEMIMPIN YANG BERKARAKTER ULAMA?
Sekarang kita telah
mengetahui bahwa pemimpin itu adalah pribadi-pribadi unggul yang memiliki tiga
karakter dasar yaitu: Ilmu, Akal dan Quwwa (Power). Maka saatnya
kita membedah ketiga karakter
tersebut. Sbb:
PERTAMA: ILMU
Seseorang disebut
berilmu/alim adalah orang yang dapat memadukan ilmu
dan hikmah, tidak hanya terbatas pada tsaqafah (wawasan). Wawasan
hanyalah media menuju ilmu. Dan ilmu pada dasarnya adalah rasa takut kepada
Allah. Karena itulah Allah berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى
اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Artinya: ”Yang takut
kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah para ulama”. (QS. Father:
28).
Ibn Mas’ud pun
mengatakan: Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu adalah
rasa takut kepada Allah.
Bagaimana rasa
takut itu bisa muncul? Tentu saja rasa itu muncul sesudah mengenal-Nya,
mengenal keperkasaan-Nya, mengenal kepedihan siksa-Nya. Jadi ilmu itu tidak
lain adalah ma’rifat kepada Allah. Dengan mengenal Allah, akan muncul
integritas pribadi (al ‘adalat wa alamanat) pada diri seseorang, yang
biasa pula diistilahkan sebagai taqwa.
Jelaslah, bahwa
pemimpin – apapun levelnya – adalah pribadi unggul yang “pembelajar”. Dalam
bahasa Alquran:
كُونُوا
رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ
تَدْرُسُونَ
Artinya: “Hendaklah
kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu tetap mempelajarinya”. (QS. Al Imran: 79)
Pemahaman dan
penguasaan akidah, teknik
dan strategi pemerintahan menjadi kewajiban dari karakter ini. Dan tente aspek kepemimpinan dan manejemen merupakan
tuntutan tak terelakkan.
KEDUA: AKAL (Ulul
Albab)
Insan ulul albab adalah
orang-orang yang berpikir dan bertindak dengan didasarkan pada kesucian dan
kemurnian suara hatinya yang terdalam. Pemimpin yang berkarakter ulul
albab berarti orang yang memimpin dan menjalankan roda kepemimpinannya
didasarkan kepada kemurnian, ketulusan, kesucian hatinya yang terdalam. Sebagaimana disifatkan Allah SWT:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي
الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو
الألْبَابِ
Artinya: “Katakanlah:
Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Azzumr: 9)
Pemimpin yang memiliki
karakter ulul albab, adalah memiliki kecerdasan intelektual,
mempunyai kematangan emosional dan spiritual, jujur dengan suara hatinya yang
terdalam, selalu ingat kepada Allah SWT di saat bagaimanapun, mengambil
pelajaran dibalik apa yang ditetapkan Allah terhadap semua ciptaan Nya,
mensucikan Allah dan mengagungkan namaNya dan selalu membawa
manfaat dan kemaslahatan dunia dan akhirat.
KETIGA: QUWWAH (Power)
Karakter ini telah disimpulkan dengan sangat cermat pada satu ayat di dalam
Alquran. Allah berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ
مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ
عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ
اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ
إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Artinya: “Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu
belanjakan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu
tidak akan dirugikan”. (QS. Alanfal: 60)
Apabila karakter-karakter prinsif (yang kita istilahkan sebagai karakter uluma ulul
albab) di atas kita jadikan syarat utama dalam memilih pemimpin di negeri ini, maka pastilah
kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran akan menyebar luas di seantoro negeri
NKRI yang kita cintai. Dan Indonesia akan berjaya, disegani dan dihormati oleh
bangsa-bangsa dunia.
Kalifah Umar bin Khattab berkata: "Kita adalah umat yang diberi
kemuliaan dengan Islam, maka barangsiapa yang mencari selain dari Islam, Allah
akan memberi kehinaan kepadanya".
PENUTUP
Sesungguhnya model kepimpinan melalui teladan yang telah diperankan oleh rasulullah SAW dan
para sahabatnya dengan meletakkan
dunia ditangan mereka dan meletakkan akhirat di hati mereka adalah asas
penolakan pengaruh materialis, sekularis, liberalis, paragmatis dan semua unsur
luar yang mencemarkan kesucian Aqidah dan pegangan Umat Islam.
Sebagai penutup penulis ingin menyimpulkan secara acak beberapa sifat utama
yang harus dimiliki oleh pemimpin yang berkarakter ulama dari kajian kita di
atas, di antaranya sebagai berikut:
1.
Seorang pimpin mestilah sentiasa
mengharapkan akhirat dengan ikhlas kerana Allah semata-mata. Mempunyai hati
yang bersih, jauh dari segala penyakit jiwa yang akan meruntuhkan amal dan
usahanya seperti riya’, gila kuasa, cinta pangkat kebesaran dan pengaruh atau
terpedaya dirinya dan lain-lain penyakit jiwa yang merusakkan
pimpinan.
2.
Mempunyai sifat “Asshiddiq” (benar di dalam
segala kata-kata, sikap dan perbuatan).
3.
Mempunyai akal yang kuat, hikmah,
cerdik cendiakawan dan arif bijaksana, berpengalaman, mempunyai pandangan yang
tajam, pembacaan yang luas, mampu mengetahui pelbagai perkara dari berbagai
sudut.
4.
Berani, muruah,
tidak penakut dan tidak membabi buta.
5.
Mempunyai sifat sabar yang tinggi
6.
Keteguhan,
tawakal dan tidak ragu.
7.
Tawadhu’ (merendah
diri), tidak membanggakan diri kepada menusia.
8.
Mempunyai sifat pemaaf, menahan
kemarahan dan ihsan kepada oerang bawahan yang berbuat jahat terhadapnya.
9.
Mestilah berkarakter
dengan sifat “Alhilm” (tidak mudah
marah), penyantun, pengasih dan
lemah lembut.
10. Bersifat
“Al‘iffah”(suci hati, jiwa
dan amal) dan “Alkiram” (bersifat
pemurah dan tidak bakhil).
11. Sederhana dalam segala
perkara
12. Menepati
janji dan memenuhi sumpah setia.
13. Warak
dan zuhud
14. Memelihara
perkara-perkara yang dimuliakan Allah (Hurumatillah).
15. Jauh
dari sifat “Almannu” (mengungkit)
dan menyebut-nyebut kebaikkan diri sendiri.
16. Kesejahteraan
hati, tidak melayani orang yang mengumpat dan mengadu domba antara sesame
manusia.
17. Menjauhi
sikap putus asa
Semua
kepribadian dan sifat-sifat yang disebutkan di atas harus dimiliki oleh
setiap pemimpin dari berbagai level dan tingkatannya, seperti pemimpin organisasi, lembaga, politik,
daerah, negara dan lain-lain. Mereka
wajib untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat
tersebut serta memeliharanya, disamping memelihara karakter Islami
secara utuh yang wajib bagi
setiap muslim. Wallahua’lam.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Alquran
Alkarim
2.
Kitab Hadits (Shahih Bukhari dan Muslim)
3.
Kitab-kitab tafsir populer
4.
Kamus Lisanul Arab
5.
Mustafa Masyhur,
Alqaidu
alqudwah ‘ala thariqid Dakwah
6.
Jamal Hasan Sa’ad Madiy,
Alqiyadatul Mu’asharah
7.
Sohih Bukhari dan Muslim
8.
Kitab Assultah
attanfiziyyah fi biladil
Islami
9.
Quraisy Shihab, Membumikan Alquran 2 hal. 281
10.
Ahmad Arrasyid, Almunthalaq
11.
Zubaedi,
2011 :171
12.
Ahmad
Fahmi, Majallah Albayan
13.
Ibn
Muflih, Al Adabus Syar’iyah 2/235-236
14.
Majmu’
Alfatawa
15.
Mohamed
Quthb, Waqi’unal Mu’ashir
16.
Ahmad
Muhammad Salim, Tajedidu Ilmil Kalami qiraatun fi fikri Badi’izzaman Sa’id
Annursi
17.
Al
Mesbar Studies & Research Centre, Indonesia (Islamis – Syi’ah – Shufi)
18.
Kumpulan
Bahan Ajar: Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar