My Buku Kuning Center : ULAMA PENCERAH vs ULAMA PERTAPA ?

DROP MENU

Kamis, April 01, 2021

ULAMA PENCERAH vs ULAMA PERTAPA ?

Para Nabi Memakan Makanan dan Berjalan Di Pasar-Pasar : 

By: Med Hatta 


SEBUAH kisah inspiratif yang diceritakan oleh pakar sejarah dunia Ibn Ishaq dan sejarawan lainnya menyebutkan dalam buku biografi mereka; bahwa adalah Otbah bin Rabiah bersama beberapa tokoh Quraisy diutus oleh pembesar kota Makkah untuk mengadakan pertemuaan negoisasi bersama dengan pemuda Muhammad agar menghentikan seruan agama baru yang diproklamirkannya, alasannya bahwa agama baru itu mengancam stabilitas masyarakat negeri Makkah.
 

Di dalam pertemuan itu juru runding pihak kafir Quraisy, Otbah bin Rabiah menyampaikan kepada nabi Muhammad SAW beberapa tawaran yang menggiurkan jika nabi bersedia menghentikan seruan kenabiannya, seperti ungkapan Otbah yang terkenal : 

يا محمد..! إن كنت تحب الرياسة وليناك علينا، وإن كنت تحب المال جمعنا لك من أموالنا، وإن كنت تحب المرأة زوجناك بها...؟! 

(Wahai Muhammad...! Jika engkau berambisi menjadi pemimpin maka kami akan membaiatmu menjadi raja kami, jika engkau ingin kekayaan maka kami akan kumpulkan harta-harta kami untukmu, jika engkau mencintai seorang perempuan maka kami kawinkan kamu dengannya...?!)

Namun, ketika nabi Muhammad SAW menolak semua penawaran tersebut, mereka berbalik menghujat nabi Muhammad SAW sebagaimana diabadikan di dalam AlQuran, Allah berfirman : 

وَقَالُوا۟ مَالِهَٰذَا ٱلرَّسُولِ يَأْكُلُ ٱلطَّعَامَ وَيَمْشِى فِى ٱلْأَسْوَاقِ ۙ لَوْلَآ أُنزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُۥ نَذِيرًا  

Terjemah Arti: "Dan mereka berkata, "Mengapa rasul (Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat) itu memberikan peringatan bersama dia," (QS. Al-Furqan: 7)

Orang-orang musyrik Quraisy menistakan nabi Allah dan rasul yang penutup itu karena dia (juga) masih memakan makanan seperti mereka dan berjalan di pasar-pasar; mereka memerotes kalau nabi memakan makan karena berasumsi bahwa seorang Rasul yang diutus oleh Allah itu harus-lah seperti Malaikat; dan mereka (juga) mencela nabi berjalan di pasar-pasar kerena mereka menganggap bahwa semestinya utusan Tuhan itu haruslah hidup bag raja dan harus duduk saja di singgasana seperti raja dan kaisar-kaisar di negeri yang besar, mereka tidak bisa menerima jika nabi Muhammad SAW kelak akan menjadi pemimpin mereka karena karakternya jauh berbeda dengan tipikal seorang raja. Maka turun ayat menghibur nabi Muhammad SAW, Allah berfirman : 

وَمَآ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ ٱلْمُرْسَلِينَ إِلَّآ إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ ٱلطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِى ٱلْأَسْوَاقِ ۗ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

Terjemah Arti: "Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu (Muhammad), melainkan mereka pasti memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat." (QS. Al-Furqan: 20).

Ayat ini menjelaskan bahwa semua rasul utusan Allah berjalan di pasar, atau salah satu karakteristik esensial dan konstan dalam kehidupan semua nabi dan rasul Allah adalah bahwa mereka "berjalan di pasar". Fakta bahwa para pembawa risalah kenabian berjalan di pasar yaitu mereka bergaul dengan orang-orang; berkomunikasi dengan mereka; mengetahui kondisi mereka; mencerahkan dan membimbing mereka, serta mendengarkan keluhan dan memberikan solusi terbaik kepada mereka.  Mereka berjalan-jalan di pasar adalah mempersepsikan dirinya sebagai da'i/guru dan pemberi pencerahan kepada masyarakat, yang terintegrasi dengan realitas, masa dan komunitas mereka. Dan di antara karakteristik Rasulullah SAW, nabi penutup adalah senang "duduk dengan orang miskin dan berjalan di pasar".

Oleh karena itu, para nabi dan rasul-rasul yang berjalan di pasar adalah bagian dari pendekatan, moralitas, tugas misi dan profesi mereka, jadi bukan hanya sekedar untuk mengejar pencaharian untuk menanggung beban hidup, atau pencitraan (menunjukkan) kerendahan hati atau blusukan jelang pilkada. Tapi mereka merasa terpanggil untuk selalu lebih dekat pada umat. Dan jika semua nabi dan para rasul mulia melakukan cara pendekatan seperti ini, maka - tentu - tidak ada alasan bagi seorang "pewaris nabi" untuk mengisolasi diri dan menjauh dari umat, santri-santri, orang-orang di pasar atau cafe-cafe, dan massa yang lebih luas lainnya. 

Hal yang - mungkin - aneh dan tentu disayangkan adalah bahwa sebagian ulama, semakin merasa berkompeten dan memiliki kedudukan, semakin menjaga jarak dari masyarakat dan menjauhi pasarnya dan urusan mereka, padahal mestinya sebaliknya. Idealnya seorang ulama adalah semakin memiliki kompetensi mestinya harus semakin mendekati dengan karakteristik para rasul dan meneladani mereka dalam bersosialisasi dengan rakyat, melakukan blusukan di pasar-pasar, cafe-cafe dan tempat-tempat favorit mereka, tidak memandang mereka baik atau buruk, lawankah atau teman....

Dulu saya pernah tanya seorang teman pemerhati keluarga Cendana tentang Presiden Soeharto; dimanakah beliau - sekarang - dan apakah sudah bisa menikmati jalan-jalan ke Mall atau pasar-pasar rakyat dengan bebas tanpa pengawalan ketat Paspampres pasca dilengserkan dari Istana...? Kata teman: Beliau hanya memakan makanan di rumah saja tidak ke Mall tidak pergi ke cafe atau ke pasar-pasar....

Mungkin jika Presiden Soeharto - Allahu Yarhamhu - menghabiskan masa hidupnya dengan memakan makanan di rumah saja dan tidak berjalan-jalan di pasar-pasar, pasti itu karena keterpaksaan belaka. Tapi - yang aneh - beberapa ulama kita yang menirunya secara senang hati untuk melepaskan diri dari tanggung jawab keumatan. Bahkan, mereka sengaja menjauhkan diri dari publik, tidak menyapanya di pasar-pasar serta cuek tak peduli dengan urusan mereka, demi menjaga prestise dan image kepakarannya. Mereka mengambil prinsip seperti kata pameo klasik: "Bahwa mundur dari publik adalah untuk mempertahankan full image", atau gantung sepatu dini demi tetap menjadi bintang. Sungguh ini adalah jauh sekali (bertolak belakang) dari sifat-sifat para nabi dan rasul-rasul Allah yang mulia. Mereka manusia-manusia pilihan Allah itu sama sekali tidak pernah merasa rendah atau jatuh image mereka jika beralan-jalan di pasar, menyapa dan berbaur dengan orang-orang pagi dan petang...!!!

Ulama Pencerahkah kita atau Ulama Pertapakah ? 

Di era milenial ini banyak sekali jargon-jargon syariah yang praktis, tapi - sayang - sebagian sudah dipreteli dan diselewengkan maknanya, seperti "Guru pendidik" dan "Ulama Pencerah". Tentu ini adalah jargon islam yang bernilai tinggi dan banyak sekali diisyaratkan dalam AlQuran, seperti firman Allah : 

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ

Terjemah Arti: "Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya." (QS. Al-Maidah: 44); 

وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Terjemah Arti: "Dan kamu akan melihat banyak di antara mereka (orang Yahudi) berlomba dalam berbuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat. Mengapa para ulama dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat." (QS. Al-Maidah: 62-63); 

وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

Terjemah Arti: "tetapi (dia berkata), "Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan Kitab dan karena kamu mempelajarinya!" (QS. Ali Imran: 79).


Khusus ayat terakhir dari surah Ali Imran ini dikomentari oleh tokoh tafsir besar dunia, Syeikh Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir At-Thabari mengatakan: Bahwa firman Allah "Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah (rabbaniyin)"; terdapat beberapa pendapat ahli tafsir menta'wilkannya : 

Ada sebagian ulama menafsirkan: menjadilah Rabbani yaitu pemimpin-pemimpin dan ulama; Mujahid menafsirkan: Jadilah ulama dan pakar Fiqhi (lebih tinggi dari pertapa); Dan sebagian yang lain menafsirkan: menjadilah pengayom dan pemimpin publik. Kemudian imam A-Thabari menyimpulkan bahwa: yang benar - menurut saya - adalah: Menjadilah "Rabbani" sebagai pendidik yang mencerahkan orang-orang, memberikan nasehat dan solusi dalam permasalahannya....

Maka "Rabbani" identik dengan siapa pun dalam kapasitas yang telah saya sebutkan; dia adalah pakar syariat, ahli hikmah dan mereka (juga) sebagai para reformis, mendidik karakter orang-orang dengan mengajar mereka untuk berbuat baik, memotivasi mereka untuk mengembangkan diri/skil dengan bidang-bidang yang dapat memberikan manfaat pada mereka. Demikian (pula) Rabbani sebagai pemimpin yang bertaqwa, pejabat publik yang mengurusi urusan kemaslahatan rakyat dan ciptaan lain, dengan melakukan amal kebajikan pada mereka, baik jangka pendek atau berkesinambungan yang berdampak manfaat (langsung) bagi agama dan duniawi mereka. Maka mereka-lah semua yang pantas disebut dalam kreteria AlQuran "jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah". 

Jadi para rabbani; mereka sesungguhnya adalah pilar masyarakat dalam syariah, sains, dan masalah-masalah agama dan duniawi lainnya. Oleh karena itu Mujahid menyebutnya bahwa mereka berada di atas para pertapa, karena para pertapa adalah ulama dan Rabbani: orang yang memiliki kompetensi keilmuan memadai, ahli fiqhi, melek politik, serta cakap dalam pengelolaan dan menjalankan urusan-urusan rakyat, yang memberikan manfaat bagi agama dan kesejahteraan mereka...

Namun, yang semestinya jargon yang berorientasi pendidikan, pencerahan, kepemimpinan, dan sosio-politik ini telah "kabur", dan bahkan telah dipreteli nilai simbolisnya, baik oleh kalangan umum atau kalangan eliter sendiri; sehingga "ulama pencerah (Rabbani)" dalam persepsi mereka adalah yang terputus dari buku-buku dan kertas-kertas kerja, bertapa/i'tikaf dalam wirid-wirid dan ibadahnya, fokus (saja) pada urusan privasinya, dan dia tidak ingin melihat orang dan tidak ingin diganggu. Sehingga istilah: "mengundurkan diri dari publik" menjadi trend baru dan kedok emas yang membingkai kehidupan beberapa "ulama rabbani".


Saya pernah membaca sebuah kitab biografi tokoh-tokoh, yang menulis biografi salah seorang ulama mengatakan: "Syeikh Al-Alimul Allamah Prof. Dr. KH (menulis namanya), dia adalah seorang ulama yang berbudi luhur, yang menutup diri dari hiruk pikuk dunia, dan fokus berzikir dan beribadah saja. Saking ketatnya "uzlah"nya sehingga tidak lagi bisa menghadiri acara-acara keluarga dan masyarakat, dan orang-orang pun harus setengah mati untuk menemuinya. Dalam image masyarakat, dia adalah seorang "ulama rabbani" yang diberkati Allah. Jelas bahwa kasus ini - hanya sampel saja - tapi, mohon maaf, tampaknya dia lebih dekat dengan "ulama pertapa" daripada "ulama rabbani". Semoga Allah Mengampuni Penulis !


Tidak ada komentar:

歓迎 | Bienvenue | 환영 | Welcome | أهلا وسهلا | добро пожаловать | Bonvenon | 歡迎

{} Thanks For Visiting {}
{} شكرا للزيارة {}
{} Trims Tamu Budiman {}


MyBukuKuning Global Group


KLIK GAMBAR!
Super-Bee
Pop up my Cbox
Optimize for higher ranking FREE – DIY Meta Tags! Brought to you by ineedhits!
Website Traffic